Senin, 28 November 2011

Romantisme Ala Akademika

Oleh : Ilham



Pada hakikatnya, lingkungan akademik sangat berbeda dengan lingkungan masyarakat lain. jika ingin ditinjau dari tipografi kata dari akademik itu sendiri tentunya kita akan berbicara mengenai perguruan tinggi. Dimana, pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di dalamnya sudah tidak lagi dinamai siswa atau murid, melainkan mahasiswa. Gelar sebagai mahasiswa ini tentunya memiliki nilai plus tersendiri. Salah satunya yakni diberi gelar sebagai kaum intelektual oleh kalangan masyarakat luas. Namun terkadang mahasiswa ini pun tak sadar dengan apa yang menjadi beban dengan nilai kata MAHA yang digelarnya. Sudah banyak fakta yang terjadi di depan mata kita sendiri. Begitu dominannya sikap dan prilaku mahasiswa yang sangat tidak mencerminkan nilai keiintelektualannya itu. Sikap yang dimana, Mahasiswa sudah tidak dapat dibedakan dengan sikap dan prilaku orang yang tidak pernah sekolah. Ironis bukan?

Mungkin ada beberapa alasan mengapa gelar keintelektualan yang diberikan masyarakat terhadap kita selaku mahasiswa ini. Salah satunya berawal dari pandangan hidup dan tujuan mahasiswa yang berbeda dengan orang yang bukan mahasiswa. sepakat bukan? Namun pernahakah kita menyadari, bahwa sesuatu yang membuaikan kita maka itu pula yang akan membutakan kita.
Salah satu fakta yang terjadi di ruang lingkup akademik yang dapat dijadikan sampel atas kekeliruan kita memaknai arti keintelektualan itu. Hampir semua mahasiswa yang berpacaran sudah tidak lagi menggunakan gaya pacaran ala kaum intelektual. Mengapa tidak, banyak dari mahasiswa terutama kaum perempuan atau yang lazim disebut mahasiswi ini telah keliru menanggapi arti bercinta. Sudah beberapa kejadian yang ditemukan dilapangan. Tak jarang salah satu pasangan cerita memiliki keluhan dari pengembaraan kisah romantisnya. Ada yang beranggapan bahwa pacarnya terlalu mengungkungnya. Ke mana pun harus melapor. Jika tak dizinkan, yah apa boleh buat kita sepakat-sepakat saja. Kasihannya, semua itu berimbas pada masa depan perkuliahnnya sendiri. Ada yang cuti, ada yang malas masuk kuliah, hanya karena persoalan dua kata “Sakit Hati“. Jadi pertanyaannya kemudian, apa bedanya kita dengan cara pacaran dengan anak-anak layangan di luar akademik?

Memang kekeliruan memahami cinta itu tidak sepenuhnya dapat diamini. Tapi kalau kita mau menelisik kembali tentang makna gelar kita selaku kaum intelektual, tentunya kita akan sepakat dan mensahkan pendapat itu. Andai kita ingin mencoba mengkupas satu persatu paradigma pelaku-pelaku romantisme akademik ini, tentunya kita akan banyak menemukan kekeliruan. Sebab apa yang menjadi mainstream berfikir kita sekarang mungkin terlalu terhegemoni oleh budaya-budaya import dan lokal kita sendiri.

Di suatu universitas, lazim terjadi jumlah wanita lebih dominan dibanding jumlah kaum lelaki. Pada akhirnya perempuan yang dilahirkan memang sebagai jawaban dari suatu pertanyaan seakan berlomba-lomba untuk mencari siapa yang akan membuat dirinya kelepak-kelepak. Maka berlomba-lomba pulalah mereka untuk menyodorkan kemolekan tubuh dan cantik paras yang dimilikinya. Kedengarannya mungkin sedikit lucu, tapi memang hal itu sudah lazim terjadi dari kalangan wanita-wanita perguruan tinggi. Mungkin jika kita ingin berbicara benar salahnya, kita tidak akan semerta-merta mengklaim itu salah maupun benar. Tapi pada prinsipnya, jika ditinjau dari sisi yang lain tentu semuanya itu memiliki banyak kekeliruan.

Mungkin kekeliruan mendasar yang terjadi dikalangan wanita-wanita intlek, itu pula yang terjadi pada kaum lelaki. Namun pemberian kesannya mungkin sedikit berbeda. Umumnya yang sering dipandang mata, begitu banyaknya mahasiswa yang pola fikir dalam menggait wanita itu sudah tidak dikategorikan kaum intelektual lagi. Mengapa tidak, tak jarang mahasiswa yang mengandalkan harta dan wajahnya saja untuk mencuri hati para wanita. Maka wajar-wajar saja jika ada satu kalimat mandar yang berbunyi “ Silambi’ to kasusu anna’ to parallu “. Cukup menyedihkan bukan?

Sangat diakui, mencari pasangan cerita alias pacar itu hal yang wajar-wajar saja. Sebab kita ini sadar, kita tentunya tak mau dikategorikan menjadi orang-orang yang tak sehat bukan? Tapi satu hal yang kita harus ingat sebagai kaum intelek yang hidup dalam lingkup akademik. Segala tingkah laku yang kita mesti lemparkan pada setiap orang itu harus mencerminkan kepribadian kita tentunya. Sama halnya berpacaran, kita seyogyanya menjalani suatu hubungan yang membedakan kita dengan cara berpacaran orang-orang yang bukan mahasiswa.

Sebenarnya banyak jalan yang mudah ditempuh untuk semua itu. Salah satunya mungkin dapat dimulai dari kalangan mahasiswi akademika. Jangan sekali-sekali membumikan difikiran anda untuk mencari lelaki yang hanya mengandalkan fisiklinya saja. Sebab anda pun telah mamahami bahwa ketampanan itu tidak ada yang abadi.

Coba direnungkan, jika hanya fisikli lelaki saja jadi ukuran maka sama halnya anda akan menjerumuskan diri anda untuk mencapai titik kebosanan atau kejenuhan berpacaran. Jadi, mungkin ada baiknya sebagai kaum intelektual, wanita seharusnya mencari lelaki yang mempunyai kapabiliti yang bagus. Toh, anda sendiri tentunya sepakat, tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tak menginginkan masa depan yang dipenuhi lampu-lampu pijar penerang jalan.

Problem yang kedua tentunya dari kaum lelaki itu sendiri. Masih membuminya pola fikir yang keliru akibat kungkungan modernisme yang menjajah pengetahuan mahasiswa. Faktanya, sekarang betapa sukarnya kita membedakan mana BoyBand dan yang mana mahasiswa. Yang di mana, kita tak bisa mendengar trend-trend apa yang gaul dan marak diperbincangkan untuk kita populerkan juga. Demi kelancaran dan keberlangsungan kita untuk menggaet para wanita. Amat disayangkan, jika pemikiran-pemikiran seperti itu terjadi secara terus menerus pada diri kita selaku pelopor bangsa. Semestinya kita selaku mahasiswa yang sering berdiskusi dan mengkaji mengenai anti kemamapanan ini seyogyanya merasa resah bagaimana langkah yang harus kita tempuh agar memiliki pengetahuan dan kecerdasan yang tinggi.

Maka langkah awal kita, marilah kita mencoba menumbuhkan rasa kemauan kita untuk mengisi dan mengisi otak kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang akan menguatkan kapabiliti kita sebagai agen of changes di muka bumi ini. lalu kapabiliti kita itulah yang dijadikan amunisi untuk merampok hati para kaum hawa di lingkungan masyarakat dan ruang lingkup akademik kita sendiri. Dan apabila budaya-budaya berpacaran seperti itu kita lakoni dengan intens, pasti semuanya akan terasa indah dan bermakna. Ingat friend, kemampuan yang hanya mengandalkan deruman knalpot kendaraan itu sudah tidak jaman lagi. Apalagi ketampanan dan kekayaan yang kita andalkan selama ini hanya bagaikan seonggok daging tempat perlindungan untuk bersembunyi di balik ketidak mampuan kita.

Kesimpulannya, mulai dari detik ini kita harus mencoba menanamkan difikiran kita bahwa kita ini mahasiswa yang lebih tinggi derajatnya dari kaum-kaum pelajar yang lain. Mahasiswa yang telah diberi gelar sebagai kaum intelektualis di dalam masyarakat. Maka cara berpacaran pun harus mencerminkan kepribadian kita sebagai kaum intelektual. Sederhananya, model berpacaran ala kaum intelektualislah.
Akhir kata, pikirkan dan renungkanlah..............!!!!!!!! Hidup Mahasiswa!

Penulis adalah Warga PMII Polman.
Saat ini menjabat sebagai mandataris
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia (Gemabina)
FKIP Unasman periode 2011-2012.
Selain itu, aktif di Padepokan Sastra Mpu Tantular.

Celana Robek Tapi…..????

Oleh : Ahmadi Haenur (Kancil)



Di kalangan mahasiswa, pengembangan kapasitas pengetahuan adalah hal terpenting. Sebab, output ketika menjadi sarjana, otomatis itu akan dipertanggung jawabkan. Karena mau tidak mau kita dituntut demikian.

Proses pembelajaran dalam kelas tidak memungkinkan sebahagian mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang layak. Kenapa penulis mengatakan hal tersebut..? pertanyaan ini dapat kita kembalikan pada birokrasi kampus karena mereka lah yang lebih tahu tentang problem itu, terkhusus lagi bagi para dosen yang memang digaji untuk mencerdaskan mahasiswa. Bukan justru sebaliknya, membungkam daya kritis mahasiswa karena cara mengajarnya yang tidak mendidik.

Jadi jangan heran ketika ada mahasiswa ling-lung pada saat ujian. Bagaimana tidak, mahasiswa berangkat ke kampus hanya 3D (Datang, Duduk, dan Diam). kemudian seperti yang dibahasakan para sahabat; dosen asal-asalan, mahasiswa senggol-senggolan. Kemudian mahasiswa pun seakan-akan acuh tak acuh dengan kuliahnya. Dan ini fakta.
Namun tidak semua mahasiswa sama dengan fakta diatas. Karena ada juga mahasiswa secara style (Celana robek), sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang mahasiswa atau seorang terpelajar. Akan tetapi di bidang kapasitas pengetahuan mereka memiliki itu.

Pentingnya kita merefleksi bahwa tidak semua apa yang kita lihat itu benar, karena secara simbolitas (karakter tampilan) memang kita dapat terjebak, tampilan luar bisa saja berwarna hitam namun belum tentu yang didalam, siapa yang tahu didalam warnanya putih terus diluarnya hitam.

Ini salah satu problem yang perlu diketahui oleh dosen, sebab perspektif dosen kepada mahasiswa yang berpakaian urakan, seakan-akan dianggap mahasiswa preman yang tidak beretika dan tidak mempunyai kapasitas apa-apa. Tetapi perlu dosen kembali menganalisis, di dalam diri manusia terdapat akal pikiran dan perasaan yang tidak dapat dilihat, siapa yang tahu jika mahasiswa itu berhati “Tawadhu’”.
Analisis penulis mengenai beberapa dosen, sama sekali kurang melihat psykologi mahasiswa, sehingga terkadang dosen merasa tidak dihargai ketika tampilan mahasiswa berpakaian robek.

Dinamika kampus akhir-akhir ini, seakan-akan menenggelamkan budaya intelektual apalagi di koridor akademik, sebab masih kurangnya perhatian mahasiswa terhadap pengembaraan----ilmupengetahuan. Kita bisa lihat di hari-hari biasanya, betapa lumranya mahasiswa berkeliaran di lingkungan kampus ketimbang membaca buku dan berdiskusi di areal kampus.

Di lingkungan kampus Unasman sendiri, fenomena yang patut kita teladani bersama, dimana masih ada mahasiswa yang resah yang kemudian membentuk komunitas-komunitas kecil, untuk menfasilitasi sahabat-sahabatnya dalam menggali ilmu pengetahuan, tanpa penulis harus menyebut kelompok mana. Tetapi, yang terpenting tradisi tersebut akan membangkitkan semangat mahasiswa sehingga akan terbentuk kesadaran tentang apa sebenarnya hakikat mahasiswa.

Dan lucunya, yang berinisiatif membentuk kegiatan-kegiatan kecil ini, adalah mahasiswa yang dianggap preman oleh sebagian dosen. Jadi disini kita dapat merefleksi bahwa pakaian robek atau seronok, bukanlah simbolitas sebagai seorang bajingan, penjahat, preman dll. Tetapi, sejatinya ukuran menagapa dia dikatakan mahasiswa, sebab ada kesadaran yang terbangun pada dirinya bahwa menjadi seorang mahasiswa adalah bagaimana menuntut ilmu pengetahuan setinggi-tingginya , kemudian mengimplementasikannya pada ruang sosial. Maka, membaca, persentase, diskusi, dan menulislah, Insya Allah cita-cita luhur tersebut akan kita gapai.

Wallahul muwaffieq ila aqwamith tharieq
Penulis adalah warga PMII Polman.
Saat ini berproses di Café Baca Asyariah
dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus. Selain itu, terdaftar sebagai warga Padepokan Sastra Mpu Tantular

PMII Di Tengah Pusaran Arus Islam Ekstrem

Catatan Diskusi Malam Café Baca Asy’ariah, Selasa 22 Nopember 2011


Oleh : Muhammad Sikin

Membincang tentang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tentunya kita takkan pernah lepas dari paham Ahlusunnah Waljamaah ( asawajah ) yang senantiasa memperjuangkan Islam berlandaskan atas Al Qur’an dan Sunnah Rasul serta mencoba memadukan khazanah lokalitas masyrakat. “PMII ditengah pusaran arus Islam ekstrem” merupakan tema yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. Topik ini diangkat dari judul buku yang ditulis Abdul Muiz Syaerozie, salah satu aktivis PMII cabang Jogja yang saat ini sebagai peneliti Cires (Center For Interelegius Studies), Lingkar Tradisi Yogyakartadan Rumah Kitab ; Kitab Kuning Research Center.

PMII sampai saat ini masih tetap konsisten mencetak para pemikir Islam yang progresif dengan ikon pemikiran yang berkarakter tauhid, social, serta senantiasa mempertahankan eksistensi kebudayaan berbasis lokalitas. Ada dua paradigma yang senantiasa dibangun PMII dalam upayanya mencounter paham-paham transnasional yaitu paradigma “menggiring arus” dan “melawan arus”.

Konsep menggiring arus jika diuraikan dalam konteks globalisasi yakni bagaimana mencoba menerima masuknya paham baru dengan menkontekstualkan paham itu dengan kehidupan masyrakat kita. Kalau suatu paham tidak memberikan kontribusi positif untuk tujuan kemaslahatan, maka hal tersebut di upayakan agar tidak teraktualisasikan dalam pola hidup masyrakat. Sedangkan paradigma melawan arus adalah bagaimana PMII memberikan dogmatisasi perlawanan terhadap apapun bentuk paham yang bisa mengancam eksistensi negara, bangsa dan masyarakat.

Salah satu kendala yang melanda masyarakat pesantren di masa lampau yaitu adanya anggapan yang dialamatkan terhadap pesantren bahwa tumbuhnya ajaran ASWAJA dalam piraktek keagamaan di pesantern sifatnya hanya mengawan-awan. Dalam artian tidak adanya upaya membenturkan paham-paham tersebut dengan relitas masyrakat. Makanya para pemikir intelektual PMII dirasa perlu membumikan paham itu dengan menkontekstualkan pola kehidupan masyrakat kita. Bisa kita contohkan, dalam masyrakat pesantren sangat jarang di rasuki ajaran-ajaran di luar iklim pesantren. Lahirnya pemikir intelektual merupakan usaha untuk menepis asumsi yang disebutkan sebelumnya dengan tujuan agar pesantren tidak terjebak dengan paham-paham tekstual.
Perlu dijelaskan pula bahwa pola relasi yang dibangun penyebar agama Islam yang berhaluan ASWAJA semenjak masuknya ke Indonesia dengan cara memadukan ajaran agama Islam dengan pola-pola atau praktek kehidupan masyrakat. Di jawa misalnya, masyrakat pada masa itu sangat fanatik dengan “wayang<

Nah, jalan yang ditempuh adalah menggunakan instrument wayang dalam menyebarkan agama Islam. Salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menggelar petunjukan wayang yang diperuntukkan bagi ummat muslim dan jikalau belum menganut agama Islam tetap di luaskan masuk asalkan didahului dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Begitupun di tanah Mandar, bagaimana Islam senantiasa mencoba melakukan syiar yang memakai instrument khazanah local. Salah satu cara yang ditempuh ialah “ mua tamma bando’o mangaji naupinggulilingo’o ditangnga kappung massaeayang” artinya kalau kamu ( anak ) tamat mengaji saya akan mengarak kamu mengelilingi kampung mnggunakan kuda. Inilah salah satu upaya yang dilakukan suatu masyarakat atau penyebar agama Islam masa lalu.

Di tengah gempuran globalisasi, PMII harus mampu memberikan sikap terhadap dampak semakin merengsek masuknya paham-paham transnasional ke dalam ruang masyarakat kita. Paham fundamentral atau tekstual yang dipahami oleh kelompok ini mencoba melakukan penyeragaman pemahaman dalam masyarakat kita, hingga tak jarang kita mendedngar anggapan yang mengatakan ke-arab-arab-an, kalau sampai hal ini membumi sebagai paham yang diyakini masyarakat maka akan sangat menciderai nilai-nilai keberagaman serta subtansi agama Islam itu sendiri.

Gerakan radikalisme yang dilakukan dalam melakukan penyebaran pahamnya justru tidak sejalan dengan nilai nilai ajaran islam yang mengedepankan aspek kedamaian, menghargai perbedaan, dan saling menaghormati. Tapi perlu juga kita pahami, yang menjadi kelemahan masyarakat kita saat ini yaitu terbangunnya paradigma bahwa Islam itu adalah Islam. Walaupun sesungguhnya paham yang masuk kedalam ruang masyarakat kita itu adalah sebuah konspirasi yang didesain sedemikian rapinya untuk menghabisi praktek keagamaan masyrakat cultural, seperti halnya wahda Islamiah, Wahabi dan sebagainya.

Betapa masyarakat kita terjebak pada simbolitas Islam yang hanya melihat dari materi belaka..Perlu dijabarkan bahwa Islam tektual itu menjadikan landasan kebenaran itu pada al Qur’an dan hadist, dan praktek atau pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan paham mereka itu adalah sesuatu yang tidak benar. Sungguh sebuah tantangan besar bagi PMII kedepan.

Mayoritas penganut agama moderat dan penganut agama terbesar di dunia adalah Indonedia. Islam yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah islam moderat, toleran, inklusif terhadap segala perbedaan. Maka diwacanakanlah suatu paham bahwa Islam yang benar itu adalah islam yang ada di arab. Kenapa agama moderat perlu dikikis eksistensinya karena hanya akan menghambat masuknya paham tekstual fundamental yang bersenggama dengan faham liberal ala barat.
Nah bagaimana kita memberikan satu solusi yang paling konkret terkait dengan upaya kita untuk menqounter paham yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyrakat kita.

Pertama, memuliakan mesjid, kenapa, karena di sebagian mesjid dijadikan sebagai sasaran atau basis pergerakan dan tidak jarang dari mereka menjadi orang terpenting dalam mesjid tersebut. Salah satu fakta juga bahwa pada hakikatnya mesjid dijadikan sebagai tempat untuk membicarakan banyak persoalan ummat akan tetapi terjadi semacam disfungsi ketika orang selesai melaksanakan shalat, selanjutnya akan ditutup untuk kepentingan atau aktifitas yang lain yang menyangkut persoalan ummat. Selain itu terdapat begitu banyak terdapat tempat-tempat strategis lain yang bisa dijadikan sebagai wadah penyebar dogma ajarannya tersebut.

“Tangan terkepal dan maju kemuka “
Wallahul muwaffieq ila aqwamit thariq


Penulis adalah warga PMII Polman,
dan saat ini aktif di Café Baca Asyariah
dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus.


Sabtu, 26 November 2011

Melacak Mandar di Kappung Lette, Migrasi dan Pergolakan

Teks oleh : Muhammad Arif

RABU sekitar pukul 11.30 19 Desember 2010, awal pertama saya menapakkan kaki di Lorong 09 RW 05 Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Makassar. Di sana, kening saya dikerutkan oleh pemandangan pemukiman penduduk setengah kumuh, rumah-rumah berhimpitan, jalan-jalan kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Tak luput, coretan-coretan menghiasi tembok lorong masuk perkampungan.

Selain rumah berdempetan dan jalan sempit, mata saya juga disuguhi pemandangan gerobak para PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terparkir pada sebidang tanah tak berpenghuni. Disekitarnya terdapat puing-puing rumah panggung seperti habis terbakar api. Dan ternyata benar anggapan saya, tanah kosong tersebut adalah sisa bangunan rumah yang beberapa bulan lalu naas dilalap si jago merah.

Tak jarang, saya juga menyaksikan dari kejauhan kerumunan ibu-ibu asyik ngerumpi dengan tetangganya sembari sesekali melayangkan tatapan dengan sorot mata yang tajam ke arah saya. Tatapan itu seolah menyiratkan tanya tentang siapa gerangan orang asing yang datang ke tempat mereka, tetapi ada pula yang terlihat acuh seolah tidak mau ambil pusing.

Menjelang sore dan magrib saat adzan di kumandangkan, saya menyaksikan warga berbondong tengah itikaf di mesjid seluas 15 x 20 m. Warga Lette menamakannya “Mesjid Darul Hijrah”. Mesjid ini terletak disudut kiri pertigaan perkampungan.

Kebanyakan dari mereka yang berdatangan itu, adalah para orang tua dan ibu-ibu. Sedang beberapa anak muda hanya terlihat duduk santai di sekitar mesjid sambil menghisap dalam rokoknya bahkan sesekali tampak memainkan kepulan asapnya.

Pemandangan seperti ini tidak jauh beda dengan situasi tanah kelahiran saya, di kampung Paropo Polewali Mandar Sulawesi Barat. Saat tiba waktu sholat, para orang tua menghentikan segala aktifitasnya guna menunaikan sholat berjamaah di mesjid, sedangkan anak muda asyik nimbrung (berkumpul) di area mesjid.

Seratus meter sebelah utara mesjid, berdiri bangunan pasar tempat warga sekitar melakukan aktifitas jual beli. Pada pagi hari, pasar akan terlihat ramai hingga menjelang siang, dan tampak lengang pada sore hari. Situasi ini berlangsung setiap harinya, dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, pasar tersebut banyak yang menamainya pasar “ Lette”.

Menurut cerita Pak Ahmad Imran (56) warga lorong 10 RW 05, dulunya pasar itu bukanlah merupakan pasar seperti yang ada hari ini, melainkan hanya pemukiman warga. Tetapi pada saat terjadi kebakaran dahsyat yang melanda pasar di kompleks Patompo, maka para pedagang sayur dan ikan yang ada di sana mencari tempat yang layak untuk ditempati berjualan, karena tenda-tenda sebelumnya yang mereka tempati ludes terbakar.

Para pedagang ini akhirnya memilih tempat jualan di lorong 10 RW 05 sebagai tempat yang dianggapnya strategis dalam menjajakan barang dagangannya. Akhirnya, lama kelamaan banyak pembeli yang datang berkunjung dan membeli. Situasi ini berlangsung setiap hari dan seiring berjalannya waktu, akhirnya tempat itu dijadikan sebagai pasar seperti yang kita jumpai sekarang.

Sahdan, pada tahun 90-an, keberadaan pasar tersebut juga sempat menuai kontroversi dari Pemerintah Kota Makassar. Pasar Lette ini pernah ingin digusur oleh petugas Satpol PP karena dianggap mengganggu ketertiban kota. Penggusuran itu atas perintah Walikota yang saat itu masih dijabat oleh H. Amiruddin Maula. Tetapi waktu itu, warga melakukan perlawanan dengan menyiramkan cabai yang sudah dihaluskan terhadap petugas yang hendak melakukan penertiban. Mereka memilih bertahan di tempat yang mereka jadikan tempat mengais rezeki sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya niat penertiban pun dibatalkan.

Mengungsi akibat Pergolakan DI/TII di Tanah Mandar

Sore itu, saya juga menyempatkan waktu untuk berbincang dengan salah seorang warga lain sebut saja—Pak Razak. Menurut penuturan Pak Razak, mayoritas warga yang bermukim di Kelurahan Lette ini adalah para pendatang yang awalnya mengungsi dari daerah Mandar, seperti Majene, Polman, dan Mamuju. Mereka mengungsi lantaran terjadi pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pada kurun waktu 1950 sampai dengan 1965 yang juga merajalela di tanah Mandar. Kala itu, pertempuran sengit antara pasukan DI/TII dengan pasukan Batalion 710 pimpinan Andi Selle dari Pinrang.

Peristiwa inilah yang mengilhami terciptanya lagu Mandar “Diwattu Tallo’be’na (sesaat sebelum kebakaran itu terjadi) ciptaan Masud Abdullah yang kemudian dipopulerkan oleh A.Syaiful Sinrang yang kini almarhum. Rekaman dengan lirk memilukan tersebut, merupakan penggambaran kehidupan yang tidak pasti.

Terbakarnya sebagian daerah Mandar itu terjadi bertepatan Mandar berada dalam masa suram ketika DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Muzakkar melakukan perlawanan terhadap pemerintah NKRI pada pertengahan tahun 50-an sampai awal tahun 60-an. (Suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah dan Kebudayaan Mandar edisi ke 2, 2005).

Nah, berangkat dari cerita Pak Razak yang juga asli Baruga Majene inilah kemudian yang menggugah semangat saya untuk mengetahui lebih jauh asal muasal perkampungan ini. Ditambah lagi dengan diskusi saya sebelumnya, dengan Pak Daud dan Ibu Raehang yang juga adalah tetangga Pak Razak. Menarik sebab kedua pasangan suami istri yakni Pak Daud dan Ibu Raehang tadi juga mengaku merasakan betul pahit getirnya pergolakan yang berujung terbakarnya rumah dan harta benda mereka di tanah Mandar dan terpaksa harus ia tinggalkan.

Banyak pengalaman berharga dari kunjungan saya kesana. Pertama, sejauh ini belum secarik kertas pun saya dapati baik itu melalui buku, artikel, atau jurnal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Mandar yang mendiami kota Makassar itu. Kedua, sebagai orang Mandar untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa di sudut kota Makassar terdapat perkampungan Mandar yang rasanya tak begitu keliru jika dikategorikan berstatus menengah ke bawah. Ya, mereka yang merupakan korban peristiwa politik masa lalu yang terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya dan ber-diaspora dengan kehidupan tak menentu di kota terbesar di wilayah Indonesia timur ini. (s)

Penulis adalah Pengelola Cafe Baca Asy'ariah

Demokrasi Bukan Suatu Keadaan, Refleksi Pilbup Majene dan Indonesia


Oleh : M. Ma’ruf Muchtar

Demokrasi Adalah Suatu Keadaan Masyarakat
(Alexis de Tocquiville)

Saya memulai tulisan ini dengan satu adagium pemikir demokrasi modern Amerika Serikat (AS) yang terkenal; de Tocquiville yang menulis Demokrasi Amerika pada abad ke 19. Ini tentu tak berlebihan sebab masyarakat Majene sebentar lagi akan kembali malalui PILKADA secara langsung untuk memilih sekaligus mengangkat Pemimpin Daerahnya untuk yang kedua kalinya; suatu tahap seleksi evolusi sosial untuk mencari “Sang Manusia Setengah Dewa” (pen. Pemimpin masa depan ) untuk Majene, atau sekedar uforia pelaksanaan prosedur demokrasi modern untuk mengembalikan Majene pada tampuk kekuasaan para aristokrat, oligarkian dan juga para birokrat daerah yang kita tahu bersama sangat “jauh” dari masyarakatnya ( the society) atau rakyatnya (the people).

Baiklah, marilah kita mencermati keadaan Majene yang kurang lebih pada bulan Mei nanti akan melaksanakan Prosedur Demokrasi. Mungkin banyak yang tidak puas dengan proses kepemimpinan Daerah saat ini yaitu duel Kalma Katta dan Itol Syaiful Tonra, dengan berbagai komentar miring yang saat ini mungkin bisa dianggap sebagai isu black champain. Namun tentu banyak juga yang puas dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Kalma Katta sudah cukup baik dan visible, tentu juga dengan berbagai komentar yang lebih banyak bersifat memuji dan apologetik. Akan tetapi, demokrasi tentu tidak sesederhana itu; keberhasilan demokrasi dalam satu daerah dan sebuah bangsa akan sangat muskil jika diukur lewat term opposition binner (puas/tidak puas-berhasil/gagal) semata.

Yang paling penting dilihat adalah bagaimana cara masyarakat Majene menilai kesuksesan dan kegagalan pemimpin yang dipilihnya sendiri dan bagaimana paradigma mereka dalam menentukan pilihan dalam aspirasi politiknya. Kegagalan Kalma-Itol bagi satu pihak saat ini hanya akan diukur karena mungkin saja, jalan disekitar kampungnya tidak diaspal atau bolong-bolong, atau jatah proyek fisik yang kurang atau tidak ada sama sekali bagi para kontraktor, dana pengajuan proposal yang tidak sesuai harapan, mutasi jabatan yang mengorbankan pegawai rendahan, jatah PNS yang tak kunjung datang dan lain sebagainya. Bagi yang puas dengan Kalma-Itol tentu akan berpikir sebaliknya.

Apabila alasan ini yang menjadi dasar untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan demokrasi, maka masyarakat Majene dan pemimpinnya tentu salah kaparah dalam menilai demokrasi. Sebab tanpa demokrasi pun jalan, proyek, pencairan proposal dan sebagainya juga bisa didapatkan oleh rakyat. Cobalah kita tengok negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, dan Jepang yang masih berbentuk aristokrat (monarki) dan tidak begitu demokratis seperti Indonesia ternyata mampu membangun bangsanya dan keluar dari Krisis sosial dan kebudayaan dibanding Indonesia yang demokrasinya dianggap nomor satu. Atau lihatlah negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Suriah, Arab Saudi yang notabene dipimpin oleh rezim diktator, mampu membangun gedung-gedung indah dan jalan-jalan kota yang kuat bak kota surga bagi rakyatnya; yang lagi-lagi tak demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya. Bahkan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Austria cikal-bakal lahirnya pradaban modernd_ sampai hari ini negara mereka masih berbentuk Kerajaan (aristokrat) yang sama sekali tak mencerminkan keberhasilan demokrasi modern, namun orang tak akan menutup mata atas pengaruh ketiga Negara besar itu di Dunia sampai saat ini, dan sekali lagi ketiga negara itu, tak begitu demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya.

Deskripsi diatas janganlah membuat kita berkecil hati; sebab masyarakat Majene tidak sedang mengalami itu. Lebih jauh, masyarakat Majene justru sedang meangalami shouck Culture akibat sistem demokrasi pancasila ala Indonesia yang salah kaparah. Masyarakat Majene cukup mengetahui dan mahami demokrasi dari poster-poster, baliho dan benner yang menampilkan gambar para CABUP dan CAWABUP yang berpenampilan elegan dan dengan senyum yang dibuat-buat; yang akan bertarung dalam Pilkada. Kedua, demokrasi bagi mereka hanyalah sekedar nyoblos di TPS yang ditunjukkan oleh para Team Sukses, ketiga, demokrasi adalah partai-partai yang mengorganisir mereka dimana simbol-simbol dan jargonnya tak pernah mereka pahami, keempat, demokras adalah ikatan primordial karena calon yang maju ada ikatan darah dan keturunan (calon yang maju itu keluargaku ces..! pilih ki na..!) kelima dan yang paling parah, demokrasi adalah berapa duit dan lebih tinggi nilai duit engkau beri maka pilihanku jatuh ke Anda. Di Indonesia dan Majene-nya masyarakat hanya merasakan demokrasi melalui uang yang bersumber dari proses moneyy politic, satu-satunya senjata ampuh bagi para calon untuk memenangkan Pilkada, sekali lagi aturan dibuat untuk selalu dilanggar.

Sejenak Membaca Demokrasi

Marilah sejenak kita berbicara tentang makhluk ini (demokrasi.pen). Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang(wikipedia). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM (Rosseau, 87.124)

Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia dengan ciri-ciri pemerintahan; seperti adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), kedua; adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, ketiga; adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, dan keempat; adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Demokrasi Yunani dikenal sebagai demokrasi Kaum Elite yang jauh dari konstitusi rakyat seperti yang kita tahu di zaman modernd, sehingga demokrasi Yunani bersifat medioker dan anarkis, Itulah alasanya mengapa Plato sangat membenci demokrasi saat itu, karena bagi Plato demokrasi hanya akan mengacaukan sistem pemerintahan, sehingga Plato lebih memilih bentuk pemerintahan diktator ala Sparta (negara tetangga Athena) yang prinsip pemerintahannya dibangun dalam bentuk militer, dan Plato selalu membuktikan kecerdasannya, Athena runtuh akibat persaingan politik para elitenya, sementara Sparta sukses mempertahankan Negaranya dari serangan Raja Xexers Persia yang terkenal; meski pada akhirnya Alexander The Great dari Macedonia mampu menaklukkan Sparta lewat aksi keroyokan.

Demokrasi Yunani hilang ditelan zaman, dan Eropa dalam cengkraman Imperium Romawi mengalami zaman kegelapan pengetahuan selama 1000 tahun sampai akhirnya pada akhir abad ke 15 M menjelang abad ke 16 M (Amstrong: 2001.120), datanglah zaman Renecine (pencerahan) di Eropa yang melahirkan pemikir demokrasi Modernd sepert Jone Locke dan Thomas Hobbes dan David Hume J. Jasque Rosseau, (Russel:1999-57) pada abad ke 18 M yang kemudian melahirkan gagasan social contract (kontrak sosial) dimana demokrasi sebuah bangsa sepenuhnya berpijak pada konstitusi yang disepakati oleh rakyat yang bebas dari penindasan para elite dan kelompok tertentu.

Apapun bentuknya, demokrasi di Eropa tak pernah seindah yang kita bayangkan. Sejak bangkitnya zaman renecine (modernd) pada abad ke 17 M yang mencapai puncaknya pada aba ke 20 M, The Blue Land (julukan benua Eropa) tak pernah berhenti diwarnai oleh perang dan pertumpahan darah. Sampai akhirnya, orang tak pernah memprediksi sebelumnya_bahwa sebuah bangsa disebelah barat Eropa; berada diseberang Samudera Atlantik, tempat para imigran Eropa kulit putih (mayoritas Anglo Sakson mantan begal dan patologi social), tepat disebelah utara bagian tengah benua Amerika, demokrasi menjadi sistem yang begitu mapan dan modern sampai akhirnya mampu mempengaruhi seluruh dunia hingga hari ini.

Yah, semua orang terkejut, justru di negeri para imigran Eropa itulah (Amerika Serikat) demokrasi muncul untuk pertama kali dalam pengertian modern. Sejak kesuksesan Revolusi AS pada abad ke 18 M, Revolusi Rakyat AS dalam melawan penjajahan Spanyol dan Inggris selama hampir 260 tahun, sejak itu pula Konstitusi Sosial telah menjadi pijakan demokrasi AS dalam membentuk Nation State-nya. Eropa boleh berbangga karena memiliki tokoh-tokoh pemikir besar seperti Karl Marx, Hegel, Montesquie dan Adam Smith, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa hanya di AS pemikiran mereka bisa diterapkan.

Alexis de Tocquiville (pemikir Prancis yang datang ke Amerika Serikat) menjelaskan bahwa demokrasi menjadi kuat dan liberal di AS karena beberapa faktor. Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat keunggulan demokrasi AS. Di negeri Eropa ketiga faktor ini tidak ada, dan inilah yang membedakannya dari absolutisme dan anarkisme Eropa. Yang pertama adalah kondisi geografis; AS tidak pernah terdesak karena lahan yang terbatas, AS adalah Negara continental (daratan) yang sangat luas sehingga pada saat demokrasinya tumbuh, AS tidak terdesak oleh keadaan geografis. Sehingga konflik antar Negara tetangga dan rakyatnya jarang terjadi (kecuali konflik antar ras, kulit putih, Indian dan Negroid). Hal ini berbeda dengan Negara-negara Eropa yang memiliki lahan sempit dan bertetangga dekat. Sepanjang sejarah Eropa sekali lagi yang kita lihat adalah sejarah peperangan.
Faktor kedua, adanya pemerintahan lokal. Yang utama dilihat Tocqueville di Amerika adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal, bahwa rakyat AS individual itu tidak sepenuhnya. Satu hal yang patut di cermati bahwa di AS orangtua selalu mengantar anaknya ke sekolah dan mengikuti rapat. Hal ini berlaku umum dan wajar di sana, bahkan aneh kalau orangtua tidak ikut rapat(Mallarangen: 2009.9).

Faktor ketiga yang paling penting. Yakni adat-istiadat dan agama yang muncul pada kaum imigran Amerika saat itu. Partisipasi yang tinggi ini didorong oleh sesuatu hal yakni agama protestan yang puritan. Selain itu, karena kondisi alam yang keras, mereka didorong untuk berani. Ini yang membuat kehendak untuk bebas menjadi sangat kuat. Dorongan untuk bekerja sama dan bekerja keras itu ada. Ini akan ditulis lagi oleh Weber 50 tahun kemudian tentang kapitalisme lahir dari semangat kerja keras protestan.

Tapi Tocqueville lebih awal menjelaskan ini, Agama merupakan salah satu perekat yang universal. Artinya agama adalah suatu counter balance terhadap elemen demokrasi yang suatu saat bisa destruktif dan menghancurkan dirinya sendiri. Amerika mungkin sangat sosial, patriotik—bahkan mungkin lebih dari kita (meski sudah belajar PKN di sekolah). The land of the brave, the land of the free. Tanahnya kaum pemberani, tanahnya kaum yang bebas. Itulah lirik lagu kebangsaan AS yang nampaknya membuatnya menjadi bangsa congkak hari ini.

Deskripsi diatas menjelaskan bahwa Demokrasi Liberal AS adalah demokrasi yang berpijak dan berproses dalam ketiga faktor diatas, pendeknya; demokrasi AS adalah demokrasi yang sepenuhnya bersumber dari basis kesadaran masyarakat bawah, yang sadar akan nasib bangsanya. Sejarah mencatat, Goerge Washintong, Thomas Jeferson dan Abraham Licoln telah menjadi “manusia setengah dewa” memimpin dan membesarkan AS dengan pijakan demokrasi modernd Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Majene (demokrasi untuk [si] apa.. ?

Derivasi demokrasi Modernd perjalanan AS diatas pada akhrinya sedang mencari momentum geraknya di Indonesa. Sejak pemilihan umum yang dilaksanakan begitu liberal pada tahun 1955, kemudian demokrasi pancasila pada tahun 1959, demokrasi terpimpin wujud sikap diktator Soekarno berakhir 1966, demokrasi Pancasila tafsir otoritarianisme-fasis gaya Soeharto yang berakhir pada tahun 1998 sampai kembalinya demokrasi pancasila gaya reformasi saat ini, demokrasi selalu berupa produk politik yang dihadirkan oleh para elite (kuasa-modal) yang berjalan melahirkan sistem rekayasa sosial baru, yang tak pernah memberi batasan kekuasaan pada negara untuk rakyatnya. Rakyat Indonesia membutuhkan sebuah negara dan pemimpinnya sebagai Institusi tertinggi yang melindungi kepentingan rakyat, sehingga Konstitusi dan sistem demokarasi adalah keniscayaan untuk membatasi kekuasaan Negara dan para elitenya agar tidak sewenang-wenang pada rakyatnya sebagai konstituante tertinggi.

Di Indonesia dan Majenenya keinginan itu tak pernah terjadi, sebab konstitusi dan demokrasi hanya sebatas alat untuk membagi kekuasaan. Demokrasi Pancasila salah kaprah menjadi alat untuk pembagian kekuasan melalui jalur politik yang tak dipahami oleh rakyat Indonesia dan Majene-nya. Demokrasi pada akhirnya hanya sekedar situasi formal dan penyelesaian prosedur belaka, PEMILU, PILKADA, partai politik, KPU dan atribut politik lainnya itulah demokrasi yang dipahami oleh Rakyat Indonesia.

Lalu bisakah demokrasi melalui pilkada ini melahirkan satu duet “manusia setengah dewa” yang bisa memimpin Majene kemasa depan? Apakah para kandidat Kalma-Massiara, Rizal-Rusbi, A.Syukri- Syahriah, Arifin-Rizal memiliki talenta dan gaya kepemimpinan yang bisa membesarkan Majene, atau mereka hanyalah orang-orang yang memiliki logistik cukup untuk bertaruh nasib dalam pilkada yang lebih nampak seperti casino legal. ini bukan pertanyaan mudah; untuk menjawabnya, kita bisa memulai suatu analisis meminjam pemikiran beberapa tokoh diatas, sehingga kita akan melihat bahwa demokrasi bukanlah the most success system in the world.

Jika kesimpulan Tocquiville bahwa demokrasi adalah suatu keadaan masyarakat; itu berarti demokrasi adalah suatu partisipasi dan kesadaran penuh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan penjelasan Tocquiville yang bersumber dari konteks sosial masyarakat AS ini, tak pernah terjadi di Majene. Sebab demokrasi melalui pilkada adalah rekayasa sosial yang datang dari atas (elite) dimana rakyat Majene adalah rakyat yang paling tidak mau berpartisipasi tanpa pamrih untuk negaranya, rakyat yang paling senang dengan janji-janji birokratnya, rakyat yang berpenghasilan rendah dan dalam kondisi ekonomi terbatas, rakyat yang tidak pernah bersatu dan tentunya rakyat yang tak pernah punya kesadaran dan sejarah demokrasi.

Boleh saja demokrasi begitu maju di AS; akan tetapi Majene hanyalah satu kabupaten kecil yang ber-PAD 5 M/tahun(sangat menyedihkan), yang terletak di sebelah barat pulau Sulawesi berada dalam gugus 17 ribu pulau di Indonesia yang kondisi geografisnya berbentuk Archipelago (Negara Kepulauan) berbeda 380⁰ dari AS yang berbentuk Kontinental. Majene hanyalah satu kabupaten yang memiliki lahan sempit dan bertanah gersang yang sulit dan tidak bisa menjadi lahan pertanian maju.

Mayoritas rakyat Majene harus mencari rejeki dengan cara bertarung dengan ombak Selat Makassar yang terkenal ganas, atau pasrah menunggu giliran menjadi PNS, atau yang beruntung bisa berdagang kecil-kecilan, membuka mini-market, bisnis on-line seperti warnet, berdagang pulsa, ber-kontraktor dan usaha jasa lainnya. Dan yang paling penting Majene adalah salah-satu kabupaten termiskin di Indonesia (54,24% bps), hal ini sangat kontras dengan prilaku gaya hidup para birokrat daerah dan legislatifnya yang hidup dalam keadaan mewah, sehingga Majene juga termasuk Daerah yang pejabatnya berpotensi besar melakukan korupsi. Bisakah demokrasi hidup dalam kondisi geografis dan keadaan demografis seperti ini? Bukan tidak mungkin, pasca pilkada Majene akan disibukkan oleh konflik perbutan lahan.

Pemerintahan lokal tak pernah ada di Majene, sebab kita tahu bersama bahwa otonomi daerah dan pemekaran daerah, bukanlah suatu perubahan yang lahir dari kepentingan dan semangat rakyat di arus bawah. Tetapi otonomi daerah dan pemerkarannya sekedar kebijakan yang menguntungkan para elite ketika mereka kalah bertarung dalam power level yang lebih tinggi.

Sejak kerajaan Majannang (kerajaan pertama dan asal Kata nama Majene ) di abad 12 berdiri dan membangun persekutuan dengan Kerajaan Majapahit (pararaton:leiden.43), kemudian pada abad ke 16 muncul Banggae bersama dengan Balanipa dan beberapa kerajaan lainnya membentuk Pitu Ba’ba Binanga yang bersekutu dengan kerajaan Gowa, menjadi Ibu Kota Distrik Afdeling Mandar di Zaman Kolonial Belanda, sampai menjadi Kabupaten dalam rahim Ibu Pertiwi, sejak itu pula rakyat Majene tidak pernah tahu apa itu Negara dan pemerintahan (State and Govermance), mereka hanya tahu bahwa sejak dulu mereka dipimpin oleh para Raja yang bergelar Mara’dia dan Para Pa’bicara yang mengangkat Raja. Dimasa lalu, rakyat Majene percaya bahwa pemimpin mereka adalah pilihan Deata’ (istilah Ketuhanan Mandar Kuno) dan yang paling tahu tentang itu adalah para Pa’bicara keturunan to manurung yang mendapat ilham dari Deata’ untuk mengangkat seorang Raja.

Sampai saat ini kesadaran ini masih mengakar, setiap hari kita masih mendengar banyak orang yang dipangil dengan sebutan Dzaeng/Daeng (pangilan untuk Mara’dia Mandar Kuno) dan Puang (Panggilan untuk Pa’bicara Mandar Kuno), meski kita tahu bahwa mereka yang dipangil itu tak pernah diangkat menjadi Mara’dia dan tak pernah melanjutkan amanah Pa’bicara. Pada akhirnya Feodalisme modern menemukan momennya dan rakyat Mejene tak perlu lagi menunggu pemimpin yang dipilih oleh Deata’; mereka (rakyat Majene) yang tak pernah mengenal apa itu kekuasaan, kepemimpinan, politik, dan pemerintahan, kini punya hak yang sama untuk memilih pemimpinnya, dan semua punya kesempatan menjadi kandidat asal memiliki ambisi dan logistik yang cukup untuk membiayai pemilihannya.

Greand Narasi dan Imagined Community

Melihat kondisi hiostoris dan tipikal masyarakatnya, demokrasi di Majene adalah sebuah fakta yang ahistoris. Demokrasi datang dengan semangat antroposentrisme Eropa yang kemudian menjadi greand narasi (nasrasi besar)_meminggirkan diskursus politik dan kepemimpinan lokal yang telah lama mengakar dalam mind-set masyarakat Majene, dalam kondisi ini, masyarakat Majene (dan Seluruh Indonesia) menerima sistem Demokrasi daratan ala Eropa itu sebagai keharusan agar mereka bisa menjadi masyarakat, dewasa, maju dan modern seperti Eropa. Pada saat bersamaan, mainstream demokrasi yang datang dari kepala Eropa ini, mengunci alam bawah sadar masyarakat sehingga masyarakat Majene berada dalam represi psikotik (Freude: 2004.245) yang membuat mereka percaya sekaligus tidak percaya pada pilkada Majene dalam ruang dan waktu bersamaan. Kedua, masyarakat majene diikat oleh identitas etnis Mandar, namun dalam kehidupan sehari-hari tak pernah ada nilai-nilai kultur Mandar yang mereka jalankan; jika itu persoalan berkelahi, perkawinan dan harga diri_mereka sangat mengaku Mandar, akan tetapi jika itu menyangkut uang, jabatan, gaya hidup, dan image sosial_mereka sudah lupa dengan orang Mandarnya. Keadaan ini-lah yang membuat masyarakat Majene berada dalam kondisi apa yang disebut oleh Derrida de apporia exemplarity dimana masyarakat Majene berusaha melupakan identitasnya yang berkesadaran tradisional dan menggantinya dengan yang lain, sementara kesadaran mereka tak pernah berajak. Pada akhirnya demokrasi bagi mereka hanya untuk kebesaran orang lain. Ketiga, akibat keadaan bawah sadar yang serba tak menentu itu, masyarakat Majene mewujud menjadi orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai “yang lain” (the others) dan “liyan” (Lacan:2003.96) yang tak pernah PD (percaya diri), berpikir apa adanya, wawasan sempit, dan takut akan tantangan, maka apapun yang akan anda perbuat pada Majene hendaknya dipikirkan dulu; sebab masyarakat Majene adalah masyarakat yang paling cepat bosan dengan hal baru, Demokrasi dan Pilkada adalah hal baru, sebentar lagi masyarakat akan segera bosan dengan itu.

Demokrasi modern tak mungkin sukses pada masyarakat yang memiliki limitasi kesadaran seperti ini; sementara kita tahu bahwa Demokrasi Modern lahir dari konteks masyarakat yang sejak awal bebas (anarki) dan tidak diperintah oleh mekanisme kekuasaan apapun (masyarakat AS memiliki konteks ini).

Kondisi historis dan metanarasi inilah yang menjadikan_pilkada selalu menghasilkan konflik horisontal yang berujung pada tidak stabilnya pemerintahan daerah. Sebab asumsi pembangunan daerah tidak berpijak pada prinsip good governance sebagaimana tujuan pilkada. Akan tetapi, sistem pemerintahan daerah lebih jauh menjadi ajang perebutan lahan proyek daerah jangka pendek untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Hasilnya, keuntungan akan diperoleh bagi mereka yang mendapat kue lebih, dan yang mendapat jatah kurang atau tidak sama sekali akan berpotensi mengacaukan program-program daerah atau bahkan menggalkannya, hasilnya rakyat yang telah memilih kembali menjadi tak terperhatikan, dan bagi pejabat terpilih pasti bisa melenggang dan memberi alasan klasik “kan masyarakat dah dibayar biar milih saya, sekarang waktunya kembali modal”, rakyat dah diberi haknya “didepan,” sekarang pejabat butuh haknya dipenuhi” itulah fakta yang terjadi. Wajar saja wacana sentaralisasi kebijakan daerah kini mulai bergulir dengan alasan klasik bahwa daerah tidak pernah siap untuk menerima kebijakan otoda.

Itulah pilkada Majene, pilkada yang datang dari elite, oleh elite dan untuk elite juga, masyarakat Majene adalah mereka yang sedang mengalami sindroma imagine community, masayarakat yang membayangkan bahwa mereka sedang dilindungi oleh kepentingan mereka sendiri, padahal itu tak pernah mereka temukan, (Anderson.1999-178) itu hanya terjadi di angan-angan. Hasil pilkada mungkin terlalu cepat mereka rasakan melalui amplop yang berisi duit bernilai Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, Rp 150 ribu atau bahkan lebih dari itu. Jika kesadaran, paradigma, dan sikap masyarakat Majene masih dengan mudah dibeli dan tidak selektif dalam memilih, dan begitu mudah terbuai dengan janji-janji politik_maka perubahan untuk Majene tak akan terjadi, sebab para elite yang terpilih akan sibuk menguras uang dari khas daerah melalui KKN sebab merasa kehabisan modal, sementara elite yang kalah akan sibuk membuat kerusuhan dan kekacauan karna merasa bangkrut dikibuli oleh rakyat dan tidak menerima kekalahan, intinya pilkada tak pernah sukses menghadirkan the zoo politichos yang siap kalah dan menang dalam politik_ yang hanya mengenal no Enemmy Permanent and no Freand Permanent. Dan mustahil mengharap hadirnya “manusia setengah dewa” untuk memimpin Majene kedepan. (s)

M. Ma'ruf Muchtar :
Direktur, Lembaga Studi Agama dan Budaya Nusantara (eLSABaN) Tinggal di Majene.

Kamis, 24 November 2011

Mencari Bupati Dan Legislator yang Memahami Rakyatnya

Oleh : Herman

Di saat tengah malam suntuk, sembari terdengar bunyi gemercik hujan di balik pelepah daun pohon pisang yang terletak pas di samping rumah. Penulis memilih beranjak dari pembaringan. Ada kegelisahan yang cukup berat dan kelopak mata pun sangat sulit untuk dipejamkan. Kegelisahan itu bukan tanpa sebab. Yaitu tiada lain karena memikirkan nasib kampung halaman yang tak kunjung mengalami perubahan berarti dalam sepuluh tahun terakhir ini. Sebut saja daerah dimana penulis lahir dan dibesarkan oleh kedua orang tua. Kalimbua, yang terletak di kelurahan Batupanga, kecamatan Luyo, kabupaten Polman. Sebuah kampung yang dalam keseharian masyarakatnya mayoritas

masih berpegang teguh dengan kultur lokal yang sudah menjadi warisan turun temurun dari nenek moyang.

Hal yang paling menggelisahkan, ketika melihat kondisi kampung tak kunjung berubah. Jalan yang semakin rusak, mulai dari kampung hingga menuju ke daerah pegunugan di Kecamatan Tubbi Taramanu (Tutar). Sampai sekarang ini, dan waktu yang belum terlalu lama berlalu. Pernah salah seorang sahabat sesama mahasiswa Unasman yang kebetulan tinggal di kampung Ratte Kallang, Tutar dan begitu mengeluhkan kondisi jalan saat berangkat dari tempat tinggalnya menuju Kalimbua.

Kinerja Legislator dipertanyakan
Selanjutnya, sahabat penulis itu mempertanyakan mengenai kinerja para legislatif terutama mereka yang berasal dari daerah pemilihan (Dapil) 3 yaitu kecamatan Campalagian, Luyo, dan Tutar. Kami pun lama berdiskusi tentang kinerja para wakil rakyat yang ada di daerah ini. Seharusnya, para wakil rakyat di dapil ini lebih memperhatikan pembangunan di daerahnya” keluh sahabat penulis waktu itu.

Karena bagaimanapun, orang-orang yang sudah terlegitimasi namanya dalam lembaga perwakilan rakyat ini dan mengecap status baru sebagai bapak/ibu yang terhormat ini memperlihatkan kepada konstituen bahwa amanah yang ada di pundaknya betul-betul di embannya dengan baik. Bukan malah datang, duduk, dengar, dan diam di gedung dewan dan menikmati segala fasilitas yang telah disediakan oleh hasil keringat rakyat yang memilihnya.

Padahal, pada saat diselenggarakanya pemilihan umum (pemilu). Janji manis yang diucapkan sungguh sangat membuat rakyat terbuai dan mampu meyakinkan rakyat bahwa merekalah para pahlawan dari Dapil 3. Tetapi, yang terjadi kemudian realitas masih tetap seperti ini. Kemana janji itu ?

Jalanan Rusak, Bencana, & Gangguan Kesehatan
Sebuah fakta empiris yang bisa diceritakan dalam keluhan singkat ini. Dua bulan yang lalu tepatnya wilayah Salutengge-Siratuang desa Batupanga Daala, Kecamatan Luyo. Kondisi jalan yang memprihatinkan, disertai bukit yang semakin tampak gundul. Selain itu, aspal sudah tidak terlihat, akibat terkelupas. Pengalaman ini penulis dapati pada saat kunjungan ke rumah salah seorang sahabat di kampung Kamande, Kecamatan Tutar. Perjalanan yang penulis lalui kesana bisa terbilang cukup lama. Ini dikarenakan lama perjalanan yang banyak dihabiskan untuk menghindari lubang dan bebatuan terjal.

Fakta lain yang saat ini masih menimbulkan tanda tanya besar dalam diri sebagai warga Kalimbua. Tiada lain, sejak beroperasinya pabrik aspal yang terletak di desa Batupanga Daala (bersebelahan dengan Kalimbua). Mobil perusahaan aspal yang lalu lalang setiap hari dengan mengangkut muatan berat yang tidak sesuai bobot jalan. Sehingga yang terjadi kemudian jalanan semakin bertambah rusak.

Bukan cuma itu saja. Dampak negatif lain yang ditimbulkan dengan keberadaan pabrik aspal tersebut sungai yang terletak di desa Batupanga Daala, tampak semakin dalam dan melebar, karena diakibatkan pengerukan material (batu). Rakyat pun dihantui kecemasan akan bayang-bayang terjadinya banjir dan bencana alam lainnya.
Selain dua dampak negatif diatas. Keluhan rakyat Kalimbua dan sekitarnya terjadinya polusi udara akibat debu yang beterbangan. Ini dikhawatirkan terganggunya kesehatan paru-paru yang bisa mengancam saluran pernapasan, dan bisa menimbulkan penyakit seperti Infeksi saluran pernapasan (Ispa), asma dan penyakit berbahaya lainnya.

Kebijakan tidak Populis
Disini, penulis mencoba mengutip isi artikel dari tabloid Kareba Mandat edisi III/juni-juli 2010 yang berjudul mencari “Bupati yang bisa berenang, memanjat gunung dan berjalan kaki”. Bila mencermati judul di atas bahwa hampir semua pemimpin yang sekian banyak yang mengikuti jalannya pesta demokrasi tidak ada satupun yang bisa memenuhi janjinya kepada rakyat. Malahan, cuma pesta demokrasi hanya di jadikan sebagai alat untuk meng-hegemoni rakyatnya dalam memenangkan pesta demokrasi di kabupaten yang bersangkutan (Kabupaten; Pangkep).
Fenomena yang ada di kabupaten Pangkep tersebut, saya coba komparatifkan dengan fakta yang ada di kabupaten Polman hari ini. Dimana, hajatan demokrasi yang digelar pada empat tahun lalu (2008) dimenangkan oleh incumbent Bupati Polman yakni Ali Baal Masdar (ABM). Seiring dengan kepemimpinannya tersebut, tetapi belum membuat masyarakat puas dari karya program-program pembangunannya, yang katanya akan melanjutkan pembangunan dengan slogan “Pembangunan Berlanjut”.

Perlu dipahami bahwa Pancasila terutama pada sila ke lima secara jelas menyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, ada juga Pasal 28H ayat (2) “ Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna memcapai persamaan hidup berkeadilan”.
Ada juga Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah. Menimbang: dalam poin (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan amanat Undang – Undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 pemerintahan yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya. kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi pemerataan keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Jika ketika mencermati bunyi undang – undang di atas. Kita bisa saja mengatakan bahwa implementasi kebijakan pemerintah sekarang tidak seperti kontesk yang ada dalam isi dan batang tubuh konstitusi. Mengapa penulis mengatakan demikian karena fakta empiris yang mengajak ruang batin untuk mengatakan tidak adanya ketidak adilan yang dialami oleh masyarakat di beberapa daerah di Polman, terutama kampung halaman penulis sendiri yang saat ini masih membutuhkan perhatian serius pemkab dan DPRD Polman.

Pembangunan Pilih Kasih
Jika kita mencoba membandingkan pembangunan fisik yang ada di wilayah 4 (Balanipa, Tinambung, Limboro, Alu) sangat jauh berbeda dengan pembangunan jalan di kecamatan Luyo dan kecamatan Tubbi Taramanu. Aspal yang mulus, ditambah konstruksi beton sepanjang desa Lemo-susu, kecamatan Limboro, sampai ke desa Alu, Kecamatan Alu.

Padahal, kalau berbicara kewajiban, rakyat yang ada di Luyo pun membayar pajak tagihan pemerintah. Sehingga kami sebagai warga menuntut keadilan dari pemkab Polman. Karena bgaimanapun, kewajiban pemerintah untuk melaksanakan pembangunan di daerah haruslah merata.

Pesan penulis kepada seluruh pembaca, kiranya memberikan solusi agar tentang cara apa yang harus ditempuh sehingga pemkab dan DPRD Polman bisa lebih adil dalam menggelontorkan dana untuk membiayai pembangunan fisik. Apalagi, tidak lama lagi rakyat Polman akan kembali menghadapi pesta demokrasi yaitu pemilihan kepala daerah (pemilukada) Polman pada tahun 2013 mendatang.

Kita tidak ingin lagi memilih orang yang hanya mementingkan kepentingan kelompok dan keluarganya ketimbang rakyat kecil yang saat ini masih membutuhkan pemenuhan hak dasar. Tetapi, bagaimana memilih pemimpin yang betul-betul mahfum dengan kondisi masyarakat yang saat ini masih terbelit dengan sejuta problem, karena hak-hak dasarnya yang tidak terpenuhi secara maksimal.(ed/ar)

Penulis adalah Ketua Umum Komunitas Diskusi
“Peco-Peco Kampus”
Periode 2011-2012.
.

Central Comitee: Idealnya Lembaga Kemahasiswaan

Teks Oleh :Muhammad Arif



Pada era 80-an, pemerintah memberlakukan aturan yang dinamai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kampus (NKK/BKK). Kebijakan ini diterapkan sebagai upaya untuk mengekang daya kritis mahasiswa yang dinilai terlalu jauh melakukan campur tangan terhadap pemerintahan yang dikelola rezim saat itu.

Dengan kebijakan ini, mahasiswa kemudian disibukkan oleh kegiatan intra kampus yang serba padat sehingga tidak lagi mempunyai banyak kesempatan untuk melayangkan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang jauh dari semangat keberpihakan terhadap rakyat kecil.

NKK/BKK merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa turun ke jalan dan memasuki ranah politik praktis, yaitu dengan keluarnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).

Nah, dua akronim diatas seolah menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an. Istilah NKK /BKK tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membredel serangkain aksi kritis mahasiswa.

Dewasa itu, produk NKK/BKK tersebut sangat kental di dalam kehidupan kemahasiswaan. Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), merupakan contoh dari serangkaian produk rezim otoriter tersebut, sehingga memunculkan arus pikir (mainstream) yang menghendaki revitalisasi dari sistem kelembagaan mahasiswa dan menformulasi ulang model yang lebih ideal untuk dijalankan.

Central Comite
Di negara-negara yang menerapkan paham sosialis-komunis, sentralisasi kewenangan berada sepenuhnya di tangan negara. Negara mempunyai legitimasi mutlak dalam mengurusi hajat hidup rakyatnya dalam rangka pemerataan kesejahteraan.
Nah, jika pola sosialis-komunis ini diterapkan dalam lembaga kemahasiswaan, maka implementasinya adalah legitimasi mutlak berada di tangan Dewan Mahasiswa (Dema) yang diusulkan perwakilan prodi di setiap angkatan. Setiap fakultas mengusulkan satu calon perwakilan untuk menduduki posisi di Dema.

Dari sini Dema akan memilih satu orang pelaksana tekhnis dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan, yaitu yang biasa disebut Presiden mahasiswa. Jika sistem ini dijalankan, maka niscaya kompetisi dalam ranah intelektual diantara mahasiswa akan terasa kental. Para mahasiswa akan berlomba-lomba belajar dan terus belajar karena syarat untuk menduduki jabatan tidak semudah yang dibayangkan, karena prasyarat minimal yang harus dimiliki adalah Coca Cola (Competent/kompetensi, Capacity/kapasitas, Communication/komunikasi, dan Landscape/wawasan).

Diperlukan kapasitas mumpuni baik itu dari segi pengetahuan maupun kepemimpinan, karena setiap prodi ini akan membentuk kelompok diskusi yang bertugas menyeleksi siapa saja yang pantas untuk dicalonkan. Bukan lagi kandidat yang mencari konstituen melainkan justru sebaliknya para konstituen yang mencari calon/kandidat.

Idealkah di Unasman ?
Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) sebagai lembaga pendidikan terbesar di Sulawesi barat dalam perjalanannya sedang menata pondasi kokoh guna mengarungi kompetisi yang begitu sengit di tahun-tahun mendatang.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) di Majene dan Universitas Tomakaka (Unika) Mamuju merupakan fakta empirik bahwa aroma kompetisi antar perguruan tinggi di Sulawesi Barat kedepan akan semakin tajam. Ini disebabkan karena beberapa perguruan tinggi ini akan berusaha menarik simpati masyarakat Sulbar agar dilirik.

Dalam kondisi demikian, diharapkan kapasitas (capacity) mahasiswa Unasman sebagai pioneer dalam menjawab tantangan tersebut. Disinilah peran lembaga kemahasiswaan sebagai wadah aktualisasi dalam menciptakan atmosfer kreatif dalam ranah akademik yang beragam sehingga kampus akan semakin hidup dan berkembang.
Dengan mengambil acuan dari paradigma central comitee diatas, hal positif yang dilahirkan adalah kampus akan semakin hidup dengan ramainya kelompok-kelompok diskusi (small group) ,karena mengingat yang berhak mengusulkan para kandidat untuk mengisi posisi di Dewan Mahasiswa (Dema) adalah small group ini.

Kehadiran kelompok diskusi semisal Komunitas Diskusi Peco-peco Kampus, Padepokan Sastra Mpu Tantular, dan Cafe Baca Asyariah, ,ada juga kabar yang sempat terdengar di telinga penulis bahwa ada lagi kelompok diskusi baru yang muncul yaitu Serambi Cendikia yang fokus kajiannya membahas tentang isu-isu tentang agama yang berkembang saat ini di Indonesia dan terkhusus lagi di Sulawesi Barat.

Kelompok-kelompok inilah yang diharapkan menjadi bagian penting dalam melahirkan mahasiswa-mahasiswa intelektual nantinya di Unasman. Harapan besar setidaknya akan mempengaruhi mahasiswa yang lain untuk membentuk kelompok serupa. Para mahasiswa tidak akan terjebak lagi dalam ranah konflik karena memperebutkan posisi jabatan di BEM, HMJ dan UKM.

Seiring berjalannya waktu, ketika ini menjamur maka tidak menutup kemungkinan paradigma central comite ini akan bisa diterapkan di Unasman. Jika selama ini pola yang digunakan adalah pola formal pemilihan seperti yang diterapkan pada perhelatan pemilukada dan pemilu, ini berangsur akan bisa berubah. Dengan semakin banyaknya kelompok diskusi bermunculan, iklim diskusi di internal kampus akan berjalan sehingga menambah khazanah keintelektualan dalam upaya menjadikan Unasman sebagai pusat peradaban di Sulbar, semoga !!!!

Menjawab Problem Kemiskinan Nelayan di Sulawesi Barat

Catatan Diskusi/Lesehan Mingguan Peco-Peco Kampus

Teks Oleh : Muhammad Arif



Setahun lalu, tepatnya senin tanggal 8 November 2010, digelar acara diskusi/lesehan "Peco-Peco Kampus" di pelataran kampus Universitas Al-Asyariah Mandar, dengan mengangkat topik “Menjawab Problema Kemiskinan Nelayan di Sulawesi Barat”. Kehidupan seputar nelayan dibedah habis dalam diskusi yang berdurasi sekitar dua jam yang menghadirkan narasumber Muhammad Ridwan Alimuddin (penulis dan pemerhati budaya bahari mandar).

Mencuat dalam diskusi tersebut, masyarakat nelayan atau pesisir diasumsikan jauh tertinggal secara ekonomi dengan masyarakat lainnya seperti petani terlebih lagi pedagang. Asumsi demikian berangkat dari pengamatan yang dilakukan oleh narasumber selama menjalani proses riset yang begitu mendalam tentang kemiskinan nelayan. Terkhusus lagi diwilayah pesisir pantai Sulawesi Barat (Sulbar), seperti yang terjadi di daerah Pambusuang Kabupaten Polewali mandar (Polman), dan Salutambung, Kabupaten Majene.

Problem Eksternal dan Internal

Mengapa nelayan di Sulbar miskin? Pertanyaan sederhana namun cukup menggelisahkan dan menjadi perbincangan hangat. Ridwan menjelaskan bahwa sebab utama kemiskinan nelayan disebabkan faktor internal dan eksternal. Pola patron-klien yang begitu menggurita antara nelayan (passawi) dengan majikan (punggawa), adalah satu dari sekian banyak faktor internal yang membuat nelayan hari ini tetap miskin.

Mata rantai ini sangat sulit untuk dihilangkan. Ini terjadi dikarenakan punggawa adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu keperluan semasa berada laut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan.

Situasi ini membuat punggawa (majikan) mematok bunga pinjaman yang begitu mencekik leher para nelayan dan mau tidak mau nelayan harus menerima konsekuensi tersebut. Realitas seperti ini terjadi berulang-ulang, sehingga anak nelayan yang belum dilahirkan pun akan ikut berutang akibat bertumpuknya pinjaman.

Selain itu, sebab internal lain adalah gaya hidup yang cenderung konsumtif (berfoya-foya) hal ini yang mengakibatkan nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Umumnya ketika belum sampai masa paceklik, nelayan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahnya tanpa berpikir untuk berinvestasi untuk kebutuhan jangka panjang. Sehingga kebiasaan untuk menabung ditiadakan. Kondisi lain yang cukup memiriskan, nelayan kerab menggunakan alat tangkap atau peralatan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan racun. Hal ini dikeluhkan oleh Ridwan berpotensi menghancurkan biota-biota dan terumbu karang yang dipahami adalah rumah bagi ikan.

Persoalan tanah juga menjadi masalah pokok bagi nelayan, sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat, berbeda dengan mereka yang hidup didaerah pegunungan. Di daerah pesisir, banyak ditemui kondisi tanah yang tidak layak untuk ditanami karena pengaruh dari air laut. Dan sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yag luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal saja yang dimiliki.

Dan hal yang paling terpenting adalah minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, rata-rata mereka hanya lulus ditingkat sekolah dasar dan paling tinggi tamat sekolah menengah pertama (SMP).

Begitupun halnya ketika kita melacaknya dari segi eksternal, sedikit banyak penyebab kemiskinan ini dikarenakan oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada nelayan. Baik itu dari sistem itu sendiri dan juga oknum yang menjalankannya. Sebut saja, bantuan modal dan perlengkapan terkadang tidak tepat sasaran.

Umum diketahui bahwa program-program bantuan pemerintah tidak tepat sasaran dikarenakan kurangnya riset yang dilakukan, dan juga terjadinya political will dari pemerintah. Pelaksanaan pembangunan seharusnya tidak hanya bertumpu di wilayah daratan. Melainkan juga diwilayah pesisir dijadikan sebagai skala prioritas pembangunan, dalam rangka penggalian sumber ekonomi baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan masuknya perusahaan asing untuk mengeksplorasi hasil laut, seperti pengeboran minyak lepas pantai menunjukkan bukti bahwa political will dari pemerintah pusat dan daerah masih memarginalkan masyarakat pesisir. Sehingga nelayan mengalami keterbatasan akses untuk menangkap ikan. Atau dengan kata lain bukan saja kemiskinan struktural tetapi juga merupakan kemiskinan absolut yang dialami oleh para nelayan.

Lembaga Ekonomi Nelayan & Keterbukaan
Pada dasarnya diperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan diatas. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat pesisir (nelayan) di di salah satu provinsi termuda di Indonesia ini.

Dari hasil sharing lesehan tersebut lahir sebentuk ide dan gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan. Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. Sarana dalam bentuk lembaga ekonomi merupakan sebuah ide yang pas untuk menunjang kehidupan para nelayan. Dengan adanya lembaga ekonomi ini diharapkan akan lebih mempermudah akses bagi pemenuhan kebutuhan para nelayan dan tekhnis pengelolaannya murni untuk kepentingan nelayan.

Lembaga ekonomi ini nantinya yang bertugas membuka akses pasar dalam rangka menunjang pendapatan nelayan. Olenya itu, selain dibentuknya lembaga ekonomi diperlukan pengorganisasian yang matang baik itu nelayan ataupun para istri nelayan guna memberikan pendidikan atau pelatihan sehingga pada gilirannya mereka tidak akan hanya bertumpu pada hasil tangkapan ikan saja, melainkan produk kreatif lainnya.

Dalam studi kasus yang dilakukan oleh narasumber di pesisir utara pantai Jawa, pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir yang ada disana banyak ditopang oleh semakin tumbuhnya industri olahan hasil laut. Contoh: pembuatan kerupuk ikan kemasan yang dikelola oleh para istri-istri nelayan.

Lebih lanjut, lembaga ekonomi yang telah dibentuk mencari pangsa pasar dalam rangka pemasaran produk kripik ikan ini. Dari hasil pemasaran inilah yang kemudian mampu menutupi kebutuhan hidup para istri nelayan selama ditinggal oleh sang suami, disamping penghasilan tambahan lain seperti arisan dan sebagainya.

Oleh karena itu, agar hal seperti ini juga bisa diterapkan di masyarakat pesisir yang ada di Sulawesi barat, dibutuhkan upaya nyata dari semua pihak untuk bagaimana membangkitkan semangat para nelayan untuk dapat keluar dari jaring kemiskinan yang melilitnya. Karena akan sangat sulit jika tidak adanya kerjasama timbal balik, baik itu dari kalangan nelayan ataupun pihak yang merasa peduli dan terpanggil hatinya untuk meringankan beban hidup para nelayan ini.

Peningkatan kehidupan sosial-ekonomi nelayan merupakan kontribusi besar bagi peningkatan kualitas SDM masyarakat nelayan. Dengan kemampuannya dalam mengelola potensi sumber daya alam (laut) maka akan semakin mengurangi problem bangsa terlebih lagi masyarakat miskin yang berada diwilayah pesisir Indonesia dan lebih terkhusus lagi, nelayan-nelayan yang ada di Sulbar.



Muhammad Arif adalah Pendiri Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus
. Sekarang ini aktif mengelola Cafe Baca "Asyariah"

Catatan dari "Batu Bertasbih" di Galung Lego

Teks Oleh : Fadliana


Menjejakkan kaki di tanah Balanipa Mandar. Rasanya tak akan pernah lengkap jika luput berkunjung ke Desa Galung Lego Kecamatan Balanipa Polewali Mandar Provinsi Sulawesi Barat. Sebab disana ada sebuah makam dan sebongkah batu besar. Yang oleh masyarakatnya, selain diyakini memiliki nilai mistik yang amat tinggi juga dipercaya sebagai jejak karomah para Wali dan Ulama yang mensyiarkan Islam di tanah Mandar.

Konon, batu dan makam ini berasal dari Sengkang Sulawesi Selatan. Tatkala Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle, pendiri Pondok Pesantren Mangkoso Barru bersama Anregurutta H. Saad melakukan perjalanan syiarnya dari Sengkang menuju pesisir Pantai Kabupaten Barru seraya bertasbih dan menghanyutkan sebongkah batu besar yang terapung.

Nah, saat batu itu hanyut dan terapung digiring ombak dan gelombang lautlah akhirnya terdampar di bibir pantai Mandar yang kebetulan searah dengan mesjid Pambusuang Polewali Mandar Sulawesi Selatan (sebelum dimekarkan dan masuk dalam wilayah Sulawesi Barat).
Karena diyakini batu itu memiliki kelebihan, oleh warga kemudian batu itu diangkat dari bibir pantai dan dipindahkan ke wilayah pegunungan Galung Lego yang berjarak sekitar 1, 5 Km dari bibir pantai pambusuang, atas permintaan Mara'dia Lego. Setelah sebelumnya dilakukan ritual pembacaan do'a dari para habib dan ulama salaf yang ada di Pambusuang, seperti Annangguru Toa, Annangguru H. Lolo, serta para alim ulama yang lain.

Berada diantara Galung Lego dan Lambanan

Letak batu itu, kini berada tepat di jalur tengah antara Desa Galung Lego dengan Desa Lambanan yang tak lain merupakan tempat atau kediaman ulama salaf yang ternama yakni KH. Syekh Abdussalam salah seorang murid setia Sunan Giri dan berasal dari Blambangan Jawa Timur.

Dari cerita yang dihimpun penulis, saat bertandang ke Balanipa, sebagaimana disampaikan oleh seorang ulama yang ditemui penulis namun enggan disebutkan namanya itu, diyakni batu tersebut hanyut beberapa ratus kilometer diatas permukaan laut maka terdengarlah lantunan tasbih, “subhanallahi, walhamdulillahi, walailahaillallahu Allahu Akbar ”.

Sejurus dengan pengakuan para nelayan, yang hidup pada masa tatkala batu itu ditemukan mengaku sempat ikut menyaksikan langsung batu hanyut yang diiringi dengan lantunan tasbih. Batu itu melintas dihadapan mereka pada saat nelayan-nelayan ini tengah mencari ikan di perairan Pambusuang yang berbatasan dengan Selat Makassar. Para nelayan yang menyaksikan batu itu kemudian berupaya mendekat, dan hendak mengambil batu itu, namun tidak kunjung kesampaian.
Selama hanyut itulah, lantunan tasbih tersebut menggema di tengah laut dan terdengar langsung oleh para nelayan.

Mendapati batu yang melantunkan kalimat tasbih itu, para nelayan itu kemudian mencoba bertanya ke beberapa alim ulama yang ada di Pambusuang. Yang akhirnya ditemukan jawaban bahwa, peristiwa itu bisa saja terjadi, karena Kuasa Tuhan. Bahkan para nelayan itu mendapatkan jawaban, bahwa, hal itu tidaklah bertentangan dengan Al Quran dan Hadits. Terlebih Alim Ulama yang ditempati bertanya para nelayan kala itu menjelaskan kepada mereka seraya mengutip sebuah hadits yang menyebutkan, ”barang siapa yang mengucapkan kalimat subhanallah, walhamdulillah, walailahailallahu Allahu Akbar maka nafas yang keluar dari rongga mulut akibat pengucapan itu dikiyaskan membentuk satu malaikat yang menyelam ke lautan berbentuk burung".

Lalu lanjut alim ulama tersebut, "malaikat tersebut muncul kembali ke permukaan laut dan mengibaskan sayapnya. Tetesan air yang tumbuh dari sayapnya terbentuk lagi menjadi seribu malaikat yang tugasnya memohon ampun kepada Allah bagi yang mengucapkan kalimat suci itu".

Disimpulkan oleh para Alim Ulama di Pambusuang, batu tersebut merupakan suatu bukti kebenaran hadits yang dikutip diatas tadi. Seraya menekankan, kiranya batu bertasbih itu, tidak lalu menggiring kita kepada kemusyrikan. Dengan membangun prasangka adanya kekuatan melebihi kekuatan Allah. Justru yang harus terjadi adalah sebaliknya, dengan adanya batu bertasbih itu, akan kian membuat pemahaman kita ini untuk kian meluruskan aqidah kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab bukan berarti batu tersebut adalah malaikat, akan tetapi batu tersebut hanyalah sebagai pembuktian akan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.

Banyak Diziarahi Warga

Bentuk batu bertsabih itu bagaikan bola yang bopeng, jenisnya identik dengan batu karang yang garis-garisnya bercabang namun tetap memiliki satu kumpulan asal dari cabangnya. Inipun diyakini merupakan simbol dari berbagai macam bentuk ciptaan Allah Swt dan pada akhirnya akan kembali pada nilai kekuasaanNya.
Hingga kini tradisi masyarakat Galung Lego dan Lambanan jika berziarah ke makam Mara'dia Lego maka sangat dianjurkan untuk menyempatkan diri mengelus-elus makam dan batu sambil melantunkan tasbih.
Pernah suatu ketika, salah seorang warga di Pambusuang mencoba mengingkari kebenaran batu yang dianggap sakral itu. Akibatnya orang itu jatuh sakit. Jari-jemari tangan serta kakinya mengecil dari bentuk semula. Bahkan penyakit yang diderita itu ikut pula menular dan menyerang anak sulung laki-lakinya.
Menderita sakit yang sungguh aneh, Ia dan anaknya kemudian menempuh berbagai cara pengobatan mulai dari yang medis hingga yang non medis. Namun hingga berselang lama penyakit itu, tak juga kunjung sembuh dan mengalami perubahan.
Hingga pada akhirnya, bersama anaknya selama tiga malam berturut-turut ia mimpi didatangi oleh suara suara yang meminta kepadanya untuk segera pergi berziarah ke makam dan batu yang semula tidak diyakininya itu. Dalam mimpinya Ia dan anaknya juga dipesan agar mengambil tujuh helai rumput yang tumbuh dari batu itu. Rumput yang diambil itu kemudian diusapkan kejari kaki dan tangannya.
Keesokan harinya, berangkatlah Ia bersama anaknya berziarah dan melaksanakan perintah yang hadir dalam mimpinya itu. Alhasil, atas izin Allah dan safaat Rasulullah Muhammad Saw sepulang dari ziarah itu penyakit yang diderita bersama anaknya itu kemudian sembuh dan kembali normal seperti semula.
Batu yang sangat dikeramatkan oleh masyarakat Galung Lego dan Lambanan ini bisa dikatakan merupakan sebagian kecil ciptaan Allah dari beragam tanda-tanda kekuasaan yang diperlihatkan kepada hambaNya. Kekuasaan Allah Swt sungguh tak ada batasannya, sehingga apapun yang dikehendaki pasti akan terwujud, dan batu itu merupakan contoh atas ke-Maha kuasaan-Nya.
Tetapi apapun yang ada pada batu bertasbih itu, rasanya menjadi teramat sangat penting untuk kembali kita melakukan pengkajian secara terus menerus dan lebih mendetail guna menemukan makna yang terkandung dibalik keberadaan batu bertasbih itu. (s)

Fadliana :
Tercatat sebagai mahasiswa jurusan bahasa Indonesia Universitas Al Asyariah Mandar (Unasman) Sulawesi Barat. Ia yang acap melekatkan "Flow" di depan namanya ini selain bergiat di Padepokan Sastra Mpu Tantular Ia juga menjadi salah seorang Pengurus Rayon FKIP Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Unasman.

Tulisan ini pernah dimuat di media online suaramandar.com

Rabu, 23 November 2011

Ketika “ Sandeq” Dicabut Dari Habitatnya

OLEH : MUHAMMAD ARIF


Desa Pambusuang bagi para pemandu wisata di Sulawesi Barat bukan daerah yang asing. Di Sulawesi Barat, Pambusuang bahkan menjadi laboratorium alam bagi para peneliti khususnya yang tertarik dengan dunia bahari. Disamping masyarakatnya yang terkenal agamis karena tempat lahinya para ulama terkemuka, di daerah ini juga lahir sebuah maha karya yang estetik dan mengandung muatan filosofis begitu dalam yaitu Sandeq.

Perahu bercadik yang terkenal karena kecepatannya ini mampu mengarungi lautan selama berbulan-bulan, sehingga mengundang minat para wisatawan lokal dan asing untuk datang berkunjung ketika ajang Sandeq Race digelar. Tidak sedikit dari mereka (baca:wisatawan) yang karena keingintahuannya yang menggebu rela tinggal beberapa bulan di Pambusuang untuk melacak bagaimana proses pembuatan Sandeq. Bahkan, beberapa waktu lalu penulis mendapati seorang mahasiswa asal Jepang tengah melakukan riset disana.

Maka tidak mengherankan, keunikan dari perahu ini mengundang intervensi dari pemerintah daerah. Bahkan, dalam upaya menaikkan citra daerah ini (Mandar-Sulbar) sikap pemerintah pro aktif dalam menentukan keberadaan Sandeq. Tapi sayangnya, kepedulian pemerintah terhadap sandeq hanya sebatas kepentingan pariwisata dan cenderung hanya menguntungkan segelintir kelompok saja.

Yang lebih ironi, sebagian besar masyarakat Pambusuang tidak pernah paham dan risau tentang apa sebenarnya yang menimpa Sandeq hari ini. Hingga dalam ketidaktahuannya, tetap mendukung segala bentuk kapitalisasi Sandeq yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak luar yang menggunakan Sandeq sebagai objek jualan yang laris manis di pameran mancanegara.

Perpaduan Nilai antara Agama dan Budaya

Terjadi pergeseran fungsi pada Sandeq tak lebih dikarenakan kurangnya pemahaman oleh generasi sekarang tentang apa itu makna filosofis Sandeq. Dahulu kala, pada masa kejayaan kerajaan Balanipa, penamaan awalnya bukan Sandeq melainkan Pakur yang berukuran lebih besar dan inilah yang digunakan oleh para nelayan di Mandar untuk menafkahi keluarganya. Tetapi hanya sebatas mencari ikan di wilayah perairan yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai, karena layarnya masih sangat sederhana.


Menurut pengakuan para pelaku sejarah, seperti yang dikemukakan oleh Kambasong alias Papa Agus. Setelah kedatangan para pelaut dari pulau Salemo Pangkep ke daerah pambusuang. Kala itu, Para nelayan di Pambusuang di Mandar tertarik dengan model sombal (layar) “Toposel” yang digunakan oleh pelaut Salemo, kemudian salah seorang nelayan pambusuang yang akrab disapa Kama Eko mencoba merancang layar serupa maka jadilah perahu Sandeq seperti yang kita saksikan sekarang.

Sandeq adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka (baca:nelayan), perahu ini disimbolkan sebagai bentuk tubuh manusia yang mempunyai kepala kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya sehingga diidentikkan dengan manifestasi sang khalik. Sandeq diyakini selain sebagai alat mencari nafkah juga dijadikan sebagai sarana pengenalan diri melalui renungan yang dalam, dan juga sebagai bentuk peribadatan yang di ajarkan Nabi Muhammad SAW.

Bahkan keyakinan para nelayan jika tidak menggunakan Sandeq dalam mencari ikan penghasilannya tidak akan seberapa, dan walaupun ada itu tidak bertahan lama atau bisa dikatakan tidak berberkah. Hal inilah yang mendasari pada zaman dulu Sandeq menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir di tanah Mandar.

Jika diteropong lebih dalam, muatan filosofi yang tergambar dalam perahu Sandeq mengandung makna religi yang begitu haqiqi dan menyentuh aspek metafisik yang tidak dapat dicerna oleh akal (rasio) jika tanpa melalui renungan yang panjang.

Seperti pada tiang (Pallayarang) di ibaratkan huruf Alif yang tegak lurus, sebagai simbol kesatuan keyakinan dan harapan. Menurut keyakinan kebanyakan masyarakat nelayan Mandar, huruf “Alif” adalah dasar kesatuan hamba dengan Khaliqnya dalam bentuk peribadatan apapun, sehingga ada bahasa yang sangat populer dikalangan masyarakat nelayan pesisir “Alefu’ Tang Makkejori’ yang berarti ” Alif Yang Tak Tertulis”. Empat tali penyangga tiang disimbolkan sebagai empat sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Assidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, serta Ali Bin Abu Thalib. Hal ini dikiyaskan ketika mengembalikan posisi “Hajar Aswad” pada tempatnya di Ka’bah.

Dibagian paling ujung yang biasa di istilahkan Paccong ini digambarkan sebagai Nabi Nuh AS, seperti yang tertera dalam Alquran bahwa Nabi Nuh lah yang pertama kali membuat perahu dimuka bumi ini. Sedangkan Tubal atau lubang tempat tiang agung dipancangkan menurut pendapat para nelayan dan ulama Pambusuang (tidak ingin disebut namanya) adalah simbol kebesaran N abi Yunus AS, yang karena mukjizat dari Allah SWT tidak meninggal dalam perut ikan selama berpuluh-puluh tahun.

Dibagian Posi’ atau pusar, yang secara mistik merupakan bagian paling penting pada perahu adalah simbol nabi besar Muhammad SAW. Sedangkan pada guling (kemudi) itu adalah penggambaran Tuhan (Allah SWT) sebagai zat yang menggerakkan manusia.

Secara mistik, yang tak kalah menarik dari Sandeq itu sendiri adalah proses ritual (upacara) yang dijalani pada saat pengambilan kayu bahan untuk membuat perahu. Kemudian sampai pada saat akan diturunkan kelaut. Semua orang yang ikut dalam pengambilan kayu diharuskan mengambil daun yang berguguran dibawah pohon kayu yang akan ditebang. Dedaunan tersebut digosokkan ke badan mereka, ini sebagai pertanda bahwa bagaimana perkenalan awal dengan pohon yang akan ditebang. Setelah itu menggali tanah sedalam telunjuk sebagai simbol penyatuan rasa tubuh dengan tanah.

Lebih lanjut, manakala saat diturunkan kelaut selain membaca doa yang diyakini, para nelayan menyiapkan beberapa makanan sebagai bentuk sedekah, seperti sokkol (lemper) yang terbuat dari tiga jenis beras ketan yaitu merah, putih dan hitam. Tujuh butir telur ayam kampung, serta pisang tiga sisir yang juga terdiri dari tiga jenis yaitu pisang Ambon, pisang balambang (bentuknya sedikit ramping dan lonjong), dan pisang manurung (bentuk dan ukurannya lebih besar). Ini pertanda bahwa Sandeq sebagi sarana kebutuhan hidup nelayan tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang berbau mistik (irrasional).

Ditinjau dari ajaran agama yang diajarkan oleh Nabi bahwa dalam setiap kali akan memulai aktivitas yang erat hubungannya dengan masalah sarana dan prasarana kehidupan, sebaiknya dimulai dengan kebersihan jiwa berupa doa dan kesungguhan jiwa dengan memberikan yang terbaik kepada orang lain. Berarti ritual yang dilaksanakan diatas bukanlah suatu bentuk kemusyrikan.

Lebih jauh lagi, keterangan yang sempat didapat oleh penulis dari para informan bahwa para nelayan pun harus mengetahui secara detail nama laut, dan siapa penjaga laut sebagai bentuk penghargaan kepada mahluk Tuhan yang tak terlihat oleh mata zahir. Disamping itu, hal yang menggelikan yakni penggunaan kalimat porno oleh para nelayan ketika melaut karena diyakini ikan-ikan akan terangsang jika menggunakan kalimat-kalimat tersebut.

Dari kesemuanya ini menandakan bahwa Sandeq sebagi sarana kebutuhan hidup nelayan tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang berbau mistik dan irrasional. Hal ini merupakan gambaran perpaduan antara nilai budaya dan nilai religi yang tak bisa dipisahkan begitu saja.

Kapitalisasi Sandeq
Sekelumit kekultusan Sandeq ini perlahan hilang semenjak masyarakat nelayan mulai mengenal kapal mesin (katinting), banyak nelayan yang mulai meninggalkan Sandeq. Selain itu, Pergeseran pemaknaan Sandeq dari sarana vital kehidupan nelayan beralih fungsi menjadi komoditi pariwisata saat Sandeq mulai dikenal oleh dunia luar, terutama lagi sejak diperlombakan dalam ajang Sandeq Race.

Betapa tidak, perahu yang mengandung muatan mistik begitu tinggi ini dipaksa untuk keluar dari habitat aslinya demi kepentingan para kelompok elit yang menjadikannya sebagai proyek komersialisasi yang mendatangkan banyak keuntungan dengan digelarnya event ini.

Dan sesuai informasi yang didapat penulis Sandeq pun akan diperlombakan pada Pameran Budaya yang rencananya akan digelar di Prancis tahun 2012 mendatang, pertanyaanya kemudian sampai sejauh manakah kontribusi bagi para nelayan di Sulawesi Barat, terkhusus lagi nelayan yang berada di Pambusuang sebagai tempat (habitat) asli Sandeq ?

Yang lebih ironis lagi, pada saat ajang Sandeq Race digelar, justru pihak terkait yang nota bene bukan masyarakat pribumi mempunyai andil dalam menentukan siapa yang berhak menjadi panitia. Sehingga, terkadang banyak masyarakat setempat kecewa karena keinginan untuk turut serta menjadi panitia pelaksana terbatasi ruang geraknya. Sungguh sangat memilukan hasil karya dari nenek moyang mereka malah di intervensi dan diatur oleh pihak luar .

Dengan semua keresahan diatas, penulis tidak bermaksud untuk menapikan peran pemerintah dan pihak terkait yang telah memperkenalkan Sandeq ke dunia mancanegara. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana suatu produk kebudayaan seperti Sandeq ini bisa dilestarikan tanpa mengurangi aspek-aspek filosofis yang terkandung di dalamnya.

Fenomena Sandeq yang tereklusi dari habitatnya ini merupakan gambaran konkret betapa kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya melestarikan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh bangsa. Cara pandang negara yang hanya melihat kebudayaan dari aspek keindahan telah membentuk pola fikir yang dangkal dengan menjadikan produk kebudayaan sebagai asset yang berharga. Akibatnya, produk kebudayaan hanya akan menjadi barang komoditas untuk meraup keuntungan demi untuk mengisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sandeq memang pantas untuk dijadikan Ikon Sulawesi Barat. Bukan tanpa alasan, Sandeq yang telah diperlombakan beberapa tahun yang lalu (sepengetahuan penulis mulai ramai sekitar tahun 2006) dalam ajang “Sandeq Race” ini menjadi salah satu asset pemerintah yang paling berharga. Sandeq yang tadinya sarat akan makna-makna filosofis, saat ini sudah jauh mengalami pergeseran makna kearah proyek komersialisasi. Ironisnya lagi, keuntungan yang diperoleh dari hasil karya pelaut Mandar ini (baca: Sandeq), justru dinikmati oleh kalangan elit yang sama sekali tidak memahami arti dari Sandeq itu sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) ,
Universitas Al-Asyariah Mandar,

Anomali “Pembangunan Berlanjut ” di Polman

TEKS OLEH : MUHAMMAD ARIF

Belum lama ini, saya dan seorang kawan berkunjung ke kampung halaman saya di Paropo desa Mombi kecamatan Alu Kabupaten Polewali Mandar. Sepanjang perjalanan, saya mengamati di ruas-ruas jalan banyak baliho bertebaran. Dari kota Polewali hingga setibanya saya di kampung, beragam gambar dari baliho-baliho tersebut yang mewartakan tentang para calon Gubernur dan Wakil Gubernur jelang pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) Sulawesi Barat 2011, yang sedianya akan digelar 10 oktober mendatang.

Gambar-gambar bisu ini jika dicermati seolah ingin menyampaikan ke dalam benak masyarakat bahwa ada banyak tokoh di Sulawesi Barat yang kapabel dan kompeten dalam memimpin propinsi termuda di Indonesia ini kedepan. Tak luput dari pandangan saya, ada juga gambar Bupati Polewali Mandar “Ali Baal Masdar (ABM)” berpose dengan para lurah dan kepala desa beserta aparatnya, yang juga seolah ingin meng-infiltrasi ke ruang batin masyarakat Polewali Mandar (selanjutnya disingkat Polman), tentang keberhasilan “pembangunan” yang dipimpinnya selama hampir satu dasawarsa ini.

Card Stacking & Politisasi birokrasi

Dari sudut pandang komunikasi, pola penyampaian pesan dengan penggunaan media baliho, plakat, dan sebagainya yang digunakan oleh Bupati Polman tersebut merupakan bentuk komunikasi propaganda model Card Stacking yang olehnya menyampaikan pesan-pesan politik dengan menonjolkan hal- hal yang baik saja, sehingga publik akan menilai dari satu sisi (Nurudin, 2001).

Bentuk komunikasi seperti ini merupakan cara memberikan kemungkinan terbaik bagi masyarakat yang memandangi baliho-baliho tersebut. Apalagi masyarakat awam yang tidak mengerti seluk beluk system pengelolaan pemerintahan di bumi Tipalayo.

Tetapi, jika kita mencermatinya dan melacak lebih dalam lagi. Terutama, jika kita menggunakan pendekatan analisis wacana kritis (critical discourse analisis) dalam memaknai baliho yang mengikut sertakan kades dan lurah itu, justru pemaknaannya akan menjadi berbeda. Pandangan ini lahir dari sebuah perspektif pemikiran seorang tokoh filsafat yaitu Michel Foucault yang kemudian saya pakai dalam memaknai hubungan antara wacana dan kekuasaan yang berkaitan satu sama lain dalam mengamati jalannya pemerintahan di Polman ini.

Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif. Wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, defenisi yang paling dipercaya dan dipandang paling benar. Persepsi kita dibentuk oleh wacana yang dianggap benar tadi. Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan batas-batas yang telah ditentukan (Erianto. 2001)
Fakta dengan adanya baliho yang menyertakan para kades, lurah, dan aparat-aparatnya terkesan terjadi politisasi birokrasi. Banyak pihak yang beranggapan bahwa Bupati Polman menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk melakukan tekanan terhadap para birokrasi yang ada dibawahnya, dalam rangka memenangkan pencalonannya dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.
Mengenai konsep pembangunan berlanjut yang selama ini digembar-gemborkan, ada baiknya kita menelisik realitas secara satu persatu dibawah ini.

Sulitnya Akses Transportasi
Pembangunan berlanjut dengan visi “Terciptanya Pemerintahan yang Baik dan Terpercaya Berdasarkan Nilai Agama dan Budaya” hanya menjadi slogan pelengkap yang salah satunya tertera di sejumlah baliho-baliho yang terpasang tadi. Namun, konsep atau visi tersebut sepatutnya harus betul-betul diimplementasikan secara menyeluruh. Masih banyaknya daerah-daerah belum tersentuh akses transportasi terutama di daerah pegunungan dan itu perlu mendapat perhatian.
Dalam perjalanan saya ke kecamatan Tubbi Taramanu (Tutar) tepatnya di daerah Patulang desa Ambopadang beberapa minggu lalu. Jalan yang menanjak lengkap dengan bebatuan terjal terutama di daerah perbatasan Luyo-Tutar, dan sesekali pula kami mendapati ada baliho Bupati Polman yang terpasang di sepanjang jalan tersebut. Ada pemandangan memilukan yang sempat mengerutkan kening saya waktu itu. Seperti tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya, masih banyak jalan yang rusak belum mendapat perbaikan. Jalanan rusak itu seolah memohon belas kasih di hadapan baliho sang Bupati agar mendapat perhatian. Kawan yang kebetulan berasal dari sana mengutarakan bahwa jalanan dengan bebatuan terjal di daerah Siratuang Luyo adalah sisa-sisa peninggalan mantan Bupati Polmas yaitu Almarhum H.S. Mengga. Bahkan, masyarakat disana (baca; desa Batupanga daala, Luyo) mengutarakan bahwa jalanan tersebut dianalogikan sebagai jalan menuju neraka.

PAD dan kerusakan lingkungan.
Selain sulitnya akses transportasi, ada juga fakta yang mengundang kegelisahan kita. Sesuai hasil wawancara saya dengan salah seorang anggota DPRD Polman (tidak mau disebutkan namanya). Wawancara tersebut seputar polemik soal ganti rugi tanah yang belum jelas penyelesaiannya. keberadaan PT ISCO Polman Resource (selanjutnya akan disingkat PT. ISCO) yang diklaim oleh beberapa pihak telah menyerobot sebagian tanah warga yang tidak masuk dalam wilayah eksplorasi, dan proses penyelesaiannya masih ditangani oleh pansus (panitia khusus) yang dibentuk oleh DPRD Polman. Cerita yang lebih memiriskan, keberadaan PT ISCO ini dianggap oleh pemerintah daerah sebagai sebuah berkah karena akan mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga, tanpa berfikir dampak yang akan ditimbulkan akibat pengerukan hasil bumi dalam hal ini tambang bijih besi (mangan). Apabila dilakukan secara terus menerus lambat laun akan terjadi kerusakan ekologi di sekitar tambang dan pada akhirnya menimbulkan bencana.

Tengok saja pemberitaan yang pernah dimuat oleh Fajar Edisi Rabu, 10 November 2010
“Najamuddin Ibrahim berharap pengertian warga membantu pemerintah dalam mempermudah iklim investasi. Kehadiran investor akan berdampak positif terhadap masyarakat dan daerah, khususnya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah yang sangat diperlukan membiayai kegiatan pembangunan.”

Paring Waluyo Utomo dari hasil penelitiannya yang berjudul “Merebut ruang dari kendali rezim tata ruang (menelusur pola industry migas di Bojonegoro)” yang diterbitkan oleh Desantara foundation Jakarta, dengan judul buku “Bencana Industri”. Menurutnya, lemahnya posisi para pengambil kebijakan (decition maker) ketika berhadapan dengan mega proyek triliunan rupiah merupakan fenomenon yang banyak terjadi di daerah-daerah di Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 tahun 1999 dan surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2001, disebutkan bahwa pihak perusahaan yang melakukan proses eksplorasi harus menyertakan pembuatan analisis dampak lingkungan (Amdal), yang secara bertahap harus mendapatkan rekomendasi dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Selain itu, di dalam pasal 3, PP No. 27 tahun 1999 dicantumkan” kegiatan eksplorasi sumber daya alam merupakan “jenis kegiatan/tata usaha yang berdampak penting bagi perubahan lingkungan hidup”.

Berkaca dari penelitian Mas Paring, dan mengaitkannya dengan keberadaan PT. ISCO sudah barang tentu aktivitas PT ISCO yang ada di desa Duampanua juga harus mempunyai ijin Amdal. Disinilah peran Bupati memiliki otoritas untuk mengeluarkan ijin Amdal tersebut. Dan pertanyaannya kemudian, apakah penambangannya mempunyai ijin Amdal atau tidak ? kalaupun ada, ijin Amdal tersebut harus disosialisasikan kepada masyarakat disekitar kawasan tambang. Karena bagaimana pun, masyarakat berkepentingan mengetahuinya.

Selain itu, menurut informasi yang didapat oleh penulis dari sejumlah pembicaraan para aktivis LSM dan mahasiswa. Bahwa lokasi yang ditempati oleh PT ISCO tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Padahal, dari segi tata ruang, hutan lindung merupakan kawasan terlarang yang tidak dibolehkan dalam melakukan aktivitas penambangan. Tetapi, kemudian Pemkab Polman mengeluarkan surat keputusan yang memberikan ijin bagi perusahaan tersebut untuk melakukan penambangan. Dalam pemberian ijin, warga setempat juga harus mengetahui apa, siapa, dan untuk apa aktivitas penambangan tersebut. Dan sepengetahuan saya itu harus disosialisasikan secara bertahap.

Pembangunan oleh APBD atau PNPM ?
Selain problem tambang PT ISCO Polman Resource dengan masyarakat Duampanua diatas, ketersulitan akses transportasi dapat digeneralisasikan dengan APBD Polman tahun 2010 yang besaran anggarannya mencapai 500 milyar rupiah. Jumlah yang demikian besar ternyata hanya menjadi impian semu bagi sebagian besar masyarakat Polman untuk menikmatinya secara merata. Tak pelak, hanya dana-dana karikatif seperti PNPM saja yang banyak memberikan kontribusi terhadap pembangunan fisik di daerah-daerah pelosok. Meskipun disadari, dana PNPM adalah dana pinjaman dari Bank Dunia (World Bank) yang dipinjamkan ke negara-negara berkembang sebagai bentuk penjajahan baru. Ini dilakukan karena sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan penjajahan fisik. Oleh karenanya, banyak yang mengasumsikan bahwa pinjaman itu akan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk melunasinya. Tetapi apa boleh buat, seperti itulah realitas yang dialami oleh masyarakat Indonesia hari ini, tak terkecuali masyarakat Polman. Dan ironi, terkadang bantuan PNPM tersebut banyak yang mengklaim sebagai andil dari pemerintahannya.

Penutup
DEMIKIAN. Pada akhirnya, saya selaku penulis tidak punya pilihan lain dalam mengakhiri tulisan ini selain menyebutkan sekali lagi bahwa perlu adanya sikap kritis kita bersama dalam mendedah perjalanan roda pemerintahan di Polman. Meskipun dalam tulisan ini banyak fakta-fakta lain yang belum sempat saya cantumkan. Tetapi besar harapan saya, semoga melalui tulisan sederhana ini dapat menjadi bahan diskusi bagi pemerintah daerah baik itu eksekutif maupun legislatif agar lebih transparan dan partisipatif guna memberikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat. Pembangunan sejatinya bukan cuma para elit yang menikmatinya. Melainkan, dirasakan seluruhnya oleh kalangan grass root (masyarakat bawah) tanpa terkecuali.

Penulis adalah Aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) dan saat ini masih terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) ,
Universitas Al-Asyariah Mandar.