Sabtu, 23 Februari 2013

Sebuah Ocehan tentang Face Book





Oleh : Muhammad Arif

Face Book atau FB--acapkali dijadikan sebagai media untuk melayani rasa bersalah pada hidup, bahkan kerap lebih dari upaya melayani pacar, keluarga, sahabat, tanah air, hingga Sang Khalik. Biasanya perasaan bersalah itu tak terjelaskan asal usulnya, tak terduga batas-batasnya dan sering berkembang menjadi ruang diskusi bagi si pemilik akun baik itu dengan teman-temannya yang telah ter-confirm, atau bisa pula lebih jauh mereka yang kebetulan membaca akun teman yang berteman dengan si pemilik akun yang punya perasaan bersalah tadi.           

Yah, itulah FB dan mungkin selamanya akan seperti itu. Atau mungkin pula kelak namanya akan berubah menjadi sesuatu yang begitu menyeramkan, bombastis, tragik, dan romantis. Hingga kemudian saat mendengarnya siapapun bisa ketakutan atau bisa pula mengalami "puberitas" karena kecantol pada media yang dibuat pemuda asal inggris bernama-Mark Zuckerberg. 

Eiitzz....Adakah yang berencana mengganti nama "FB" dengan sebutan yang lain ?---pasti belum kan ? saya yakin saat ini belum ada yang berencana menggantinya. Mark Zuckerberg bisa komplain  selaku orang yang pertama kali membikin jejaring yang mempertemukan orang per orang, komunitas ke komunitas yang terpisahkan jarak ruang dan waktu.  

Apalagi, di dunia yang kerap banal ini telah ada kesepakatan tertulis yang dinamai--Undang-undang Hak Cipta. Dan jika kesepakatan itu coba dilanggar maka sanksi material dan jeruji besi siap menanti kita semua yang coba-coba mengganti nama FB (Tapi, boleh juga sih, sepanjang tak ketahuan si bule itu...he..he..)

Entah apa yang muncul dalam pikiran Mark sehingga  muncul karya  yang spektakuker mengantarnya menjadi salah satu pemuda genius dan terkaya di dunia.  Meski  kita mahfum bahwa secara tidak langsung mereka yang tinggal di Eropa ama Amerika sana tak perlu repot-repot lagi ke negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk melakukan pendataan dan penelitian, karena FB menjadi sarana yang sungguh efektif untuk mengetahui perkembangan, mulai dari nama, alamat, TTL, hobbi, dan cara pandang masyarakat dari waktu ke waktu . Enteng kan, karena disana operatornya apalagi didukung perangkat super canggih. Tapi ini baru sebatas asumsi penulis loh, namanya juga ocehan. 

Kita tinggalkan dulu ocehan diatas,  berpindah  ke ocehan lain. 

Tahun lalu ada cerita unik yang terjadi di negeri Firaun (Mesir) .  Cerita itu berawal saat terjadi peristiwa Revolusi Mesir yang menumbangkan rezim presiden Husni Mubarak. Dan usut punya usut, ternyata salah satu faktor yang menimbulkan gerakan Rakyat Mesir membuncah  salah satunya adalah FB disamping twitter dan kuatnya pengaruh kelompok oposisi. Kecaman demi kecaman terhadap Husni Mubarak, hingga konsolidasi massif yang berisi seruan untuk menumbangkan presiden yang dicap Diktator oleh kelompok oposisi saat itu yang mewarnai ratusan ribu pengguna FB di Mesir. 

Dan yang unik karena ada salah seorang penduduk  Mesir bernama Jamal Abdul Rahim memberikan nama kepada bayi mungilnya yang baru lahir dengan nama "FACE BOOK". Suatu luapan ekspresi kegembiraan atas perubahan yang terjadi di Mesir, dan sekaligus pula sebagai tanda terima kasih kepada media yang acapkali membuat orang lupa segala-galanya saat memainkannya. 

Fenomena FB memang seperti menjadi spritualitas baru di tengah kehidupan kita, selain di kota juga sudah mulai merambah ke kampung-kampung. Kerap kita melihat status dari para pemilik akun yang selalu up to date meng-informasikan segala aktifitas kesehariannya. 

Laiknya seorang selebrita top dunia yang menyampaikan segala rutinitas dunia keartisannya ke seluruh penggemar. Seperti itu pula mereka—tak pilih tua maupun muda, mereka mengekspresikan segala rutinitas kesehariannya. Mulai dari aktifitas di rumah, di sekolah, bahkan lebih intens lagi mengenai jalinan asmara dengan sang kekasih.  Bahkan, ingin buang hajat sekali pun hal itu seringkali di informasikan ke publik. 

Syahdan, fenomena FB memang memunculkan cerita menarik dan variatif. 
Sekali lagi, itulah "FB" entah cerita apa lagi yang akan lahir dari dinamika yang berlangsung di FB. Mungkin kejadian-kejadian kusut, ajang mencari jodoh, perselingkuhan, revolusi baru yang berujung pertumpahan darah, penipuan, perebutan jabatan publik, kampanye pilkada dan partai politik atau saling caci diantara kita yang acapkali merasa benar sendiri dan tidak mau menerima pendapat orang lain. Hingga tanpa kita sadari,  "HATI" kita  teralingi untuk merasakan Kemesraan-NYA

Eittzzz----lagi-lagi ini hanya sebatas ocehan..he,,he..

Subuh, Cafe Baca Asyariah, 15 Februari 2013

Senin, 11 Februari 2013

Dilema Jami'iah dan Jama'ah NU--(di Sulawesi Barat)





     Oleh : Muhammad Arif 
 (Direktur Cafe Baca Asy'ariah)


Maaf yah, kalau tulisannnya tidak resmi-resmi amat........ndk karuan gitu...soalnya belum di edit.

 Mengutip pendapat Dr. Ali Masykur Musa (2010), bahwa salah satu kekuatan utama NU dalam kancah politik nasional ialah :
- pertama, wilayah POLITIK KERAKYATAN (hal ini termaktub dalam tausyiah Syuriah PBNU di rembang jilid 2). Salah satu wilayah garapannya yaitu melindungi praktik Islam lokal dari kapitalisasi budaya. Sehingga komitmen NU sangat jelas melindungi tradisi dengan pendekatan kesejahteraan, pendidikan, dan budaya (culture)

-kedua, wilayah politik kenegaraan, garapannya dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945

-ketiga, wilayah KEKUASAAN, point ini adalah wilayah terendah dalam implementasi gerakan NU, namun para elit NU sungguh sangat menyukainya (maaf yah, ini kata Bang Ali Masykur..he..he..).

Untuk konteks Sulbar, kita akan lebih banyak membincang point 1 dan 3.

Politik kerakyatan

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, Sulbar menjadi wilayah sentral penggembosan faham Muhammad Bin Abdul Wahhab atau trend dalam kongkow aktivis NU disebut " faham Wahabi". Faham ini mutlak mengkampanyekan antitesanya terhadap eksistensi  Islam kultural (kampung) yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Sulbar. Kaum Wahabiyyah menganggap bahwa akulturasi antara agama-budaya merupakan praktek bid'ah, khurafat, dan Takhayul.

Kaum Wahabi dengan berbagai variannya melakukan modus operandi baik secara politik maupun kultural dalam rangka menyebarkan fahamnya. Misalnya, keterlibatan mereka dalam panggung politik praktis dengan menempatkan kader-kadernya di eksekutif, yudikatif dan lebih getol lagi di  legislatif.

Sedangkan di wilayah kultur, mereka menyebarkan kader-kader militannya untuk menguasai kantung (enclave) jamaah NU, misalnya menjadi imam atau pengurus mesjid di pelosok. Menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah, menguasai pusat-pusat informasi di pasar tradisional. Cara kerjanya sangat sistematis, terukur, dan massif.

Kekuasaan

Tak dapat dipungkiri, hubungan timbal balik antara NU dan PKB  sangat tidak bisa dipisahkan. PKB merupakan kekuatan partai politik yang membawa aspirasi kaum Nahdliyyin. Selain sebagai kantung aspirasi, PKB juga dianggap sebagai partai yang dalam istilah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)---kembali ke rumah sendiri.

Dalam konteks Sulawesi Barat, PKB dianggap mengalami "impotensi" dalam perebutan kekuasaan (Strungle of power). Banyak pihak (baik internal maupun eksternal) menilai bahwa NU-PKB tidak menemukan titik kejelasan rekonsiliasi dalam rangka menentukan masa depan politik warga Nahdliyyin.

Faktanya memang bisa disaksikan, banyak warga Nahdliyyin kebingungan dan akhirnya memilih menyalurkan aspirasi politiknya melalui parpol-non NU. Informasinya bisa kita saksikan di posisi parlemen baik itu di level  kabupaten dan provinsi di Sulbar.

Yang lebih Ironi, banyak jama'ah karena kepolosannya dan ketidaktahuannya  ikut andil membantu kerja-kerja kaum Wahabiah dalam bidang politik. Karena memang, seperti yang penulis ungkapkan tadi, bahwa cara kerja kaum Wahabiah sangat sistematis dan halus, sehingga kebanyakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekeluargaan--yang memang menjadi karakter masyarakat Sulbar secara umum yang tidak formal-formal amat.

--Bersambung--

Selasa, 05 Februari 2013

PERAN SASTRA DI ERA MODERN






Oleh : Halil Arifin Murka

(Lahir di Paredeang 1993
Aktif di Cafe Baca Asyariah)

sekilas dengan melihat realitas yang terjadi sekarang ini, akibat derasnya arus globalisasi yang menghantam masyarakat yang berada pada loklitas kultur mereka. Seakan menghilangkan kebiasaan masyarakat.  Bahkan, di kalangan mahasiswa pun banyak yang terhegemoni oleh zaman moderen, dan kemudian pengaruh globalisasi sekarang ini sangat banyak menimbulkan ke asyikan dan kenikmatan yang bermacam-macam, sehingga manusia atau masyarakat yang masih berpegang kepada kulturnya itu sendiri larut dalam hegemoni modern. Dan sekarang ini sangat banyak dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengaruh budaya yang lahirnya dari eropa ,dan kita harus sadar bahwa cara pandang moderen ini lahir ketika pasca zaman kegelapan yang ada di eropa, dan yang mendominasi masuknya moderen sekarang ini adalah orang eropa khususnya orang barat.
Pengaruh moderen ini yang dibawa oleh orang barat sangat mempunyai dampak negatif yang khususnya di masyarakat,  seakan eksistensi yang berada di tataran masyarakat pribumi  akan  hilang,tanpa kita sadari pula bahwa pengaruh moderen yang ada sekrang ini mengakibatkan hilangnya eksistensi atau ke biasaan lokal itu sendiri,dan inilah yang banyak  yang terjadi di sekarang ini.
Ketika kita berangkat dari kesadaran kita sendiri untuk melihat fakta yang terjadi di se keliling kita, maka kita semua akan memahami yang sebenarnya apa yang terjadi di daerah kita sendiri,itulah yang menjadi porblematika sekarang ini khususnya pada mahasiswa yang hanya tau kritis tapi tidk ada gerakan,dan apa yang menjadi problem bagi mahasiswa sekarang ini sehingga banyak yang terdiam apatis di tempat,kita sadar bahwa kita telah memikul tanggung jawab sebagai mahasiswa,tanggung jawab itu adalah bagaimana sebagai jalan tengah bagi masyarakat dan tanggung jawab juga yang kita bawah sejak lahir dan smpai sekarang,bagi saya tanggung jawab itu adalah amanah dari tuhan,maka dari itu sebagai mahasiswa yang mempunyai tanggung jawab sosial buktiakan dan jalankan amanah itu.
Dan saya punya pemikiran sendiri bahwa sejak dulu sastra itu ada dan sudah menjadi kebudayaan masyarakat dan mnjadi turun temurun.dan jika kita  juga melihat realitas di atas,bagaimanakah sastra memandang moderen yang sekarang ini sudah melanda negeri  ini, dan apakah sastra dapat dijadikan tamen  untuk melawan arus globalisasi.
Sastra juga  mempunyai peran untuk mempertahankan EKSISTENSI masyarakat pribumi,sebab sastra juga sudah menjadi kebuadayaan bagi masyarakat pribumi yang selama ini sudah jelas keberadaanya dan itulalah yang nampak pada realitas yang selama ini ada di sekeliling kita.
Mungkin inilah tulisan saya dapat sajikan kepada  pembaca semoga ada mamfaatnya dan menjadikan kita sadar akan kelarutan di zaman moderen dan apa bila ada kesalahan didalam tulisan ini saya mohon maaf sebab saya hanya insang yang tak pernah lupuk dari kesalahan.
Sekian dan terimah kasih.
WALLAHUL MUWAFFIEQ  ILA AQWAMITH THARIEQ
 WASSALAM

Sabtu, 02 Februari 2013

IBU

Oleh : Tarman 
(Aktivis PMII  Unasman )

dendang lagu terdengar di telinga kiri dan kanan
membuatku selalu rindu dan air mata pun menetes
Sulit melupakan semua kenangan lalu disaat engkau
ada dihari-hariku

bergerak kayu dengan tangan memukul anak pembangkang itu aku
engkau bilang aku pendosa, engkau bilang aku pemalas dan
engkau bilang aku pembohong lalu engkau bersedih hati ibu

dipanggil dari kejauhan aku lari ibu aku lari bukan karna tak sayang
aku lari bukan karna tak hormat tapi aku malu ibu

melihat engkau terbaring dan selalu menyebut nama tuhan
lalu engkau pergi jauh ibu belum sempat aku minta maaf padamu ibu
belum sempat aku membuat ibu bahagia namun ibu telah tiada lagi

PUISI TANPA JUDUL

 
 
 OLEH : MUHAMMAD SIKIN
maaf,,,
muara kata atas lancangku menelorkan sangsi keperaduanmu
yang terlalu rentan dan rapuh
mengarak kisahku

kamu dicipta katanya untukku
tapi apa guna kau hadir?
hanya untuk mengakhiri kelana rasa
dan mengahkimiku dengan dosa atas nama agama

kau ini bagaimana ?
dan dicipta untuk apa ?
inginku kau membendung hasrat yang terkadang mangkir dari tata nilai
tak kaku kata sikapmu membesuk keangkuan telatahku
menyetubui kehidupan

manding, 2 februari 2013

Diskusi Sastra Mengevaluasi Diskusi Sastra

"Diskusi Sastra" di Pelataran Kosaster Siin Unasman, bersama Padepokan Sastra Empu Tantular, Madatte Art, Cafe Baca Asyariah, Panggung Palatto, Gemabena Unasman, dan beberapa penikmat dan penggiat sastra Polman= Muhammad Syariat Tajuddin, Muhammad Subair Sunar, Azikin Noer, Bahtiar, dll.

POLEWALI, KabarMandar--Diskusi sastra (disastra) yang merupakan agenda rutin dua bulanan lingkar jaringan komunitas kesenian di Polewali Mandar kembali digelar, (31/01) malam tadi di Pelataran Depan Kosaster Siin Unasman dengan mengambil tema inti evaluasi perjalanan Disastra selama setahun.

Disastra kali ini kembali dibesut oleh Kosaster Siin Unasman, setelah etafe pertamanya juga diselenggarakan oleh Kosaster Siin Unasman tersebut.

Dalam acara yang dimulai sekitar pukul 21.00 hingga pukul 24.00 malam itu sedikitnya dihadiri 30 pekerja kesenian, kesustarean dan budaya yang berasal dari enam komunitas lingkar jaringan Disastra. Mulai dari Padepokan Sastra Empu Tantular, Panggung Palatto, Madatte Art, Cafe Baca Asyariah, Gemabina Unasman dan Kosaster Siin Unasman  

Salah satu simpulan dari acara yang dipandu oleh Muhamma Syariat Tajuddin itu adalah, Disastra setelah setahun perjalanan memiliki banyak kekurangan, mulai dari konten materi diskusi hingga kemasan teknis acaranya.

Sehingga lingkaran bersama, malam tadi itu, menyepakati adanya perubahan teknis penyelenggaraan hingga konten dan penentuan tema. 

"Saya kira kita perlu merubah model dan desain acaranya. Sebab kita telah sama melihat, hampir tidak ada tindak lanjut yang kita bisa sikapi dari Disastra sebelumnya. Sehingga malam ini kita kembali berduskusi dan rasanya penting untuk mengevaluasi. Inilah yang menjadi pertimbangan sehingga kami memilih tema evauasi perjalanan Disastra ini," urai Masdar Ketua Kosaster Siin Unasman dalam prolog pembukanya.

Sementara itu, dalam acara yang dipandu oleh Muhammad Syariat Tajuddn itu, disepakati empat item hal yang mesti menjadi pertimbangan untuk penyelenggaraan Disastra berikutnya, yakni bagaimana Disastra ini menjadi ajang evaluasi karya dan bahkan legitimasi karya.

Selain itu, Disastra juga hendaknya dugunakan sebagai medan diskusi alternatif untuk mendiskusikan banyak ikhwal dalam kehidupan, mulai dari politik, ekonomi dan lain sebagainya.

Lebih jauh, Disastra juga hendaknya menjadi tempat pendadaran ide untuk memahami kredo setiap komunitas yang ada dalam lingkar jaringan. Sementara item yang terkahir adalah bagaimana Disastra dimanfaatkan untuk menjadi ajang untuk mendiskusikan problem sastra bahkan pekerja seni budaya secara umum

"Saya kira hanya dengan begitu, Disastra selain mampu menjadi jebatan silaturrahmi juga dibutuhkan pembicaraan secara intensif terhadap subtansi dari emansipasi sastra di daerah," urai Subair yang disahuti, Arifin, Azikin Noer dan Muhammad Arief.



Selain berdiskusi, acara juga diselingi dengan penampilan repertoar. Tampil pada malam itu, Kosaster Siin Unasman sebagai tuan rumah, Madatte Art, Padepokan Sastra Empu Tantular dan Panggung Palatto yang dihadiri oleh Syuman Saeha yang tampil membacakan dua puisinya secara berturut-turut. [yat/*]  


(Diunduh dari kabarMandar.com)