Senin, 06 Februari 2012

Menyoal Pengelolaan Pemerintahan di Polman


Oleh : Muhammad Arif

Heboh. Mungkin ini diksi paling tepat, menyimak pemberitaan rencana salah seorang anggota DPRD Polewali mandar (Polman), Andi Mappangara yang mengancam akan melaporkan dugaan penyalahgunaan Dana Program Pembangunan Infrastruktur Desa (DPPID) di Polman ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Rencana itu bukan tanpa alasan. Pemerintah kabupaten (Pemkab) Polman dituding telah menyalahi Peraturan menteri keuangan (Permenkeu) nomor 140 Pmk 7/2011. Dana sebesar Rp. 19,25 milyar yang terbagi dalam biaya pembangunan infrastruktur di Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp. 18 milyar dan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) sebesar Rp. 1, 25 milyar. (Radar Sulbar, Jumat (7/10/2011).

Pelanggaran yang dimaksudkan oleh legislator Polman dua periode ini adalah dilakukannya proses tender tanpa adanya peraturan bupati (perbup). Meskipun eksekutif telah mengklaim bahwa telah ada perbup yang dibuat, tetapi pihak eksekutif belum pernah mengajukan ke dewan untuk diasistensi.

Dalam pemberitaan itu juga, Anggota DPRD dari Partai Demokrat ini berjanji akan membawa persoalan tersebut ke KPK, apabila pihak pemkab tidak mengindahkan peringatan dari dewan. Meskipun secara kelembagaan nantinya, DPRD Polman tidak memberikan rekomendasi terkait pelanggaran itu. Ia kemudian secara pribadi akan tetap melaporkan temuan tersebut ke KPK.

Selang beberapa hari kemudian, pernyataan salah satu unsur pimpinan DPRD Polman tersebut mendapat tanggapan balik dari pihak eksekutif. Meski tidak terkait dengan masalah dugaan penyalahgunaan DPPID ini. Tetapi, pemkab Polman yang disampaikan langsung oleh Bupati Ali Baal Masdar (ABM) melayangkan serangan balik (counter attack) dengan menebarkan ancaman bagi 33 anggota DPRD Polman periode 2004-2009 yang juga- Andi Mappangara termasuk salah satunya. Sang Bupati berencana akan melaporkan para legislator tersebut ke aparat penegak hukum bersangkutan, karena para legislator ini dinilai melakukan praktek “korupsi” akibat belum mengembalikan dana komunikasi intensif senilai Rp. 1,2 milyar.

Seperti yang diberitakan oleh media online seputarsulawesi.com. Di dalam pemberitaan tersebut diwartakan bahwa orang nomor satu di Polman (baca; ABM) mengultimatum 33 anggota DPRD Polman periode 2004-2009 agar mengembalikan dana yang pernah digunakan oleh para legislator tersebut. Hal ini mengingat, baru Andi Natsir Nawawi (saat ini menjabat wakil ketua DPRD Sulbar) yang mengembalikan uang rakyat itu ke kas negara.(seputarsulawesi.com, 13/10/2011)

Problem Tata Kelola Pemerintahan
Merujuk tulisan Abdul Halim dan Syukri Abdullah yang berjudul “ Hubungan Masalah Keagenan di Pemerintahan Daerah”. Didalamnya tertera penjelasan bahwa terjadi hubungan prinsipal dan agen antara kedua lembaga yaitu eksekutif dan legislatif di daerah. Hubungan “prinsipal-agen” ini terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.

Terkait dengan fenomena eksekutif legislatif diatas, akibat hubungan principal-agen ini menurut penilaian penulis sangat kurang berpihak terhadap kepentingan arus bawah. Sejatinya, apapun yang dipertentangkan oleh mereka hari ini juga merupakan buah dari pola sistem liberal yang diadopsi oleh negara kita. Akibatnya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan bersifat elitis dan hanya menguntungkan para tirani minoritas. Konflik kemudian menyeruak karena pembagian jatah proyek yang terlalu dimonopoli oleh kelompok tertentu.

Penulis dapat mencontohkan, anggaran yang seharusnya diprioritaskan bagi pembangunan fisik maupun peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di pedesaan, banyak tersedot untuk pembiayaan belanja para aparatur pegawai (birokrasi) di lingkup pemkab dan SKPD. Misalnya, pengadaan kendaraan dinas, ATK (Komputer) yang dianggarkan setiap tahunnya, biaya perawatan gedung dan kendaraan, serta diklat-diklat pegawai yang juga dianggarkan hampir saat tiba pembahasan masa sidang tahunan. Dari situlah rawan terjadi praktek koruptif. Padahal, masih banyak permasalahan-permasalahan yang dianggap lebih prioritas terutama yang bersinggungan dengan pemenuhan hak rakyat, dan selalu menjadi tumbal atas kuatnya pragmatisme di tingkat elit.

Implikasi Demokrasi Liberal Prosedural

Analisis yang bisa digunakan untuk mengkaji fenomena-fenomena diatas adalah pendekatan institusional atau sistem. Sejak tidak memungkinkannya diberlakukan sistem pemilihan langsung seperti yang pernah diterapkan di kota Athena Yunani (Eropa). Maka, sebagian masyarakat di belahan dunia menggunakan sistem perwakilan yang mendelegasikan wewenang kepada orang-per orang di dalam sebuah lembaga. Dengan asumsi bahwa jumlah populasi manusia dalam suatu wilayah (negara) semakin hari semakin bertambah. Ditambah, kondisi geografis yang tidak memungkinkan untuk diterapkannya pemilihan langsung.

Di dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia yang menganut model prosedural formal dengan sistem perwakilan. Dominannya pengaruh negara (pemerintah) dalam pengambilan keputusan paradoks dengan pelibatan warga terutama yang berstatus menengah ke bawah untuk ikut menyuarakan segala hak-haknya selaku warga negara. Masyarakat bisa dikatakan hanya dilibatkan lima tahun sekali yakni dalam kenduri demokrasi baik itu pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada).

Pada prakteknya, masyarakat diajak untuk memilih tanda gambar dan simbol. Dan juga memilih orang-orang yang belum tentu dikenalnya pada beberapa lembar kertas suara. Orang yang dipilihnya pun sudah barang tentu tidak akan mengenalnya, sangat kecil kemungkinan. Itupun kalau memang mereka saling mengenal, biasanya saat akan mendekati hajatan demokrasi berikutnya, barulah para elit ini akan berdatangan. Apakah ia sebagai kawan, keluarga, kerabat, handai taulan, dan apapun namanya sepanjang simpati dan pilihan masyarakat bisa mereka raup. Meskipun tidak semuanya demikian, kadangkala juga ada yang betul-betul berjuang tanpa pamrih.

Nah, sebuah proses yang dinamakan musyawarah rencana pembangunan desa (musrembangdes), musrembang dan di tingkat kecamatan ternyata terdistorsi oleh kepentingan kaum elit ketika tiba di kabupaten. Modus operandinya akan terjadi praktek manipulatif dikarenakan kuatnya kepentingan para elit. Implikasi selanjutnya yang muncul, kebijakan-kebijakan yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) maupun penganggaran pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan kedalam APBD, terkadang kurang mewakili hasil musrembang yang ada di desa-desa. Banyaknya proyek-proyek titipan di level atas oleh mereka (tidak semuanya) yang hanya menggunakan prosedur musrembang untuk memuluskan syahwat keserakahannya. Atau umum diistilahkan oleh khalayak praktek “oligarki”. Dari sinilah kemudian terjadi apatisme rakyat terhadap pemerintah akibat banyaknya usulan-usulan yang telah digagas dalam forum musrembang di tingkat bawah tidak terakomodasi dalam APBD.

Pentingnya Ruang Publik Komunikatif
Dalam pemikiran Jurgen Habermas, generasi terakhir Mazhab Frankpurt, bahwa diperlukannya ruang publik (public sphere) bagi masyarakat untuk mendiskusikan segala macam problematika terutama persoalan pemenuhan hak-hak nya sebagai warga negara. Mengingat, komunikasi secara dialogis yang diinginkan, dan itu akan menumbuhkan partisipasi yang aktif dari seluruh masyarakat. Ruang publik yang disediakan oleh sistem demokrasi prosedural dan konon dianggap setara ternyata mengalami ketimpangan akibat kuatnya dominasi para elit.

Solusinya kemudian yaitu demokrasi deliberatif. Di dalam penerapan metode demokrasi model ini, pengimplementasiannya memberikan ruang atau porsi yang lebih luas bagi masyarakat untuk membicarakan segala bentuk permasalahan yang dialaminya. Oleh karena itu, penting kiranya demokrasi model ini diterapkan dalam kondisi atau situasi pengejawantahan system demokrasi yang bisa dikatakan mengalami distorsi baik dari segi pelaksanaan maupun dari para aktor yang terlibat.

Ada beberapa prinsip umum dalam rangka penerapan demokrasi deliberatif tersebut. Pertama, demokrasi model ini menghendaki adanya pelibatan warga negara secara aktif guna membincang segala problema yang dihadapinya. Olehnya itu, perlu pelibatan banyak orang, dan dilaksanakan setiap waktu. Kedua, demokrasi deliberative harus senantiasa bebas dari tekanan pihak manapun (pemodal dan birokrasi) sehinggga akan terjadi kesetaraan, dan keseimbangan.

Contoh misalnya seorang bupati ketika datang dalam sebuah forum yang dilakukan warga maka si bupati tersebut tidak tampil sebagai seorang bupati. Melainkan, ia tampil sebagai warga negara yang setara dengan warga lainnya, sehingga akan lahir sebuah keputusan yang sifatnya partsipatif dan egaliter serta bebas intervensi. Ketiga, pelaksanaan forum deliberatif melibatkan banyak orang.

Maksudnya adalah dalam proses perumusan kebijakan yang nantinya akan ditawarkan sebagai agenda prioritas pemerintah, maka pelibatan dari berbagai unsur masyarakat sangatlah penting terutama mereka yang mendapat dampak dari kebijakan tersebut. Dan seyogyanya mereka diberikan kesempatan yang sama dalam memberikan masukan-masukan pada saat berada di dalam forum.
Selanjutnya, pada saat seluruh pembahasan mencapai titik final, maka selanjutnya rakyat melakukan pengawasan dari dokumen publik yang telah disepakati bersama. Artinya dokumen tersebut senantiasa dikontrol kepada para penentu kebijakan atau tidak. Atau dengan kata lain adanya pemerintah mengupayakan dengan melakukan tindakan nyata. Olehnya itu, forum deliberative tadi perlu membentuk sebuah tim khusus untuk dalam rangka pengawasannya. Bisa melibatkan para tokoh masyarakat, ormas, dan LSM yang telah mendapat kepercayaan penuh dari forum.

Penutup
Refleksi bagi penyelenggaran pemerintahan di daerah terutama Polman sungguh sangatlah penting. Karena dalam hemat penulis ukuran keberhasilan sebuah daerah dalam pengembangan sumber daya manusia (SDM) yaitu sampai sejauh mana tingkat kritis masyarakatnya dalam mengawal pelaksanaan pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah selaku pemegang amanah. Bukan terjebak pada pembangunan gedung-gedung bertingkat seperti gedung gabungan dinas-dinas (gadis) yang sampai hari ini tidak diketahui kejelasan fungsinya.

Oleh karenanya, jika kita menganalogikan tentang pengelolaan pemerintahan. Ibarat, sebuah perusahaan pihak legislatif sebagai dewan direksi yang bertugas mengontrol eksekutif sebagai direksi (pelaksana), sedangkan masyarakat adalah sebagai pemegang saham.


Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Al- Asyariah Mandar (Unasman).
Saat ini aktif mengelola wadah kreatif Café Baca Asyariah.