Kamis, 05 Juli 2012

Pribumisasi Islam (Memelihara dan Menggerakkan Tradisi)



Oleh : Muhammad Arif



Nur Kholik Ridwan, seorang penulis buku, tinggal di Yogyakarta menyampaikan materinya di depan peserta Kelas Pemikiran Gusdur di ruang belajar YLKiS di Sorowajan Bantul Yogyakarta, Sabtu (17/06/2012). Makalah yang disampaikan berjudul “Gus Dur, Islam, dan Pribumisasi”

Dalam materinya, ia menceritakan sejumput fenomena gejala “Islamisasi-Arabisasi-Syariatisasi” yang semakin mewabah di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan dominasi penggunaan simbol-simbol Islam di segala bidang kehidupan .

Ia mencontohkan, bagaimana euphoria simbol Islam melalui kebisingan kaset yang meraung-raung di mesjid, Ibadah haji/umrah ke tanah suci Mekah secara berulang ulang, mesjid dibangun sedemikian megah, diwajibkannya jilbab, menjamurnya perguruan tinggi Islam, pendirian bank syari’ah, hingga penamaan nama jalan yang dilekatkan pada penggunaan nama yang berbau Islam (arab).

Sehubungan dengan yang diutarakan Nur Kholik Ridwan, fenomena tersebut penulis coba kaitkan dengan maraknya sejumlah daerah di Indonesia, terutama daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mengeluarkan regulasi tentang penerapan syariat Islam yang dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah).

Contoh kasus, di Aceh misalnya, seluruh remeh temeh kehidupan warganya diarahkan dan dipaksa mengikuti perda syariat yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai ketetapan mutlak yang harus diikuti. Sedangkan di Bulukumba Sulawesi Selatan--- sejak dipimpin bupati Patabai Pabokori, Perda Syariat semakin banyak bermunculan. Seperti Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqah Dalam Kabupaten Bulukumba, juga Perda No. 6/2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba (Depancasilasi Lewat Perda SI, GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006).

Di Kota Tasikmalaya Jawa Barat sendiri, berhembus kabar bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) tengah menyiapkan Perda Syariah No.12/2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Berlandaskan Ajaran Islam dan Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Saat ini aturan yang akan dibuat dalam bentuk peraturan wali kota ini masih dalam tahap penyelesaian. Kabarnya dalam waktu dekat Perda ini akan diterapkan, paling cepat pada Ramadhan mendatang (Perda Syariah, Apanya yang salah ?, Kompasiana (15/06/2012)).

Arabisasi dan Domain negara
Seabrek fenomena penerapan syariat Islam di sejumlah daerah ini menunjukkan kepada kita bahwa gejala “Universalisasi Islam” yang pernah dikritik Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1980-an, kembali digalakkan oleh segelintir kelompok dengan dukungan legitimasi dari negara.

Negara melakukan pembiaran dengan semakin melegalkan praktek universalisasi Islam yang terjabarkan dalam tiga idiom”Islamisasi-Arabisasi-syariatisasi”. Gejala tersebut semakin mewabah karena lembaga-lembaga keagamaan yang diharapkan menjadi katalisator justru mengalami distorsi dalam menjalankan peran dan fungsinya (contoh: Depag dan MUI ) yang fatwanya kebanyakan mengarah pada---- pengukuhan Islam secara formal. Sehingga berdampak semakin terbukanya ruang yang luas bagi pihak yang ada dibawahnya, untuk menuangkan kebijakan yang meminggirkan kalangan minoritas. Dan parahnya lagi, prosesnya acapkali tidak melalui pertimbangan rasional dan matang sebelum keputusan itu ditetapkan. Mau tidak mau, terjadilah pro-kontra.

Pijakan dasar sehingga konstruk “Arabisasi” ini digalakkan, bersumber dari al-Quran berbunyi “udkhulu fi al- silmi kaffah (QS al-Baqarah [2]: 208. Yang artinya (masuklah kalian ke dalam Islam secara penuh)”. Kata al-silmi (Islam) kemudian disalah tafsirkan oleh penganut pandangan Islam Formal sebagai entitas Islam formal yang kemudian arahnya pada proses tiga kata diatas (Islamisasi, Arabisasi, Syariatisasi).

Seperti telah disebutkan diatas, segelintir kelompok Islam yang lebih moderat membaca ruang sosial menentang pandangan ini, karena akan terjadi proses diskriminasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain. Maka kelompok penganut faham legal-formal ini (termasuk oknum-oknum yang ada dalam tubuh pemerintah) mencoba berdalih dengan beranggapan--- bahwa mayoritas jumlah penduduk Indonesia menganut agama Islam. Sehingga asumsi ini dihubungkan dengan paradigma demokrasi (baca:procedural) yang menyatakan bahwa suara mayoritas lah yang mesti didengar.
Selain itu, mereka beranggapan bahwa penerapan peraturan berbasis syariah niscaya akan membawa berkah tersendiri. Dalam asumsinya, perda-perda syariah ini juga akan melindungi perempuan dan laki-laki, muslim maupun non-muslim dari perbuatan maksiat, menjaga moral dan martabat mereka sebagai manusia.

Ironi memang, karena orang-orang yang masuk menjadi perumus dan penentu kebijakan, kebanyakan mereka yang mengenyam pendidikan Islam formalistik yang jauh dari ranah tradisi. Selain itu, mereka juga mayoritas belum begitu memahami kondisi masyarakat kita yang sebenarnya tidak bisa diseragamkan dalam satu payung keagamaan berbentuk---- entitas Islam Formal.

Gagasan Pribumisasi Islam
Menurut Nur Kholik Ridwan, untuk meng-counter paradigma “Islam Formal” yang semakin merengsek dan merusak tatanan kehidupan bangsa, maka diperlukan sebuah gagasan yang pernah dirumuskan oleh Gus Dur---yang dinamakan “Pribumisasi Islam”.

Jika dibedah secara harfiah, ada dua padanan kata yang digabungkan yaitu: Pribumi dan Islam. Kata pribumi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai penduduk asli, atau jika diartikan lebih luas berarti seluruh penduduk yang telah lama menetap dan bermukim di wilayah Nusantara. Mereka hidup, berdiaspora, beranak pinak, dan memiliki cara hidup dan budaya yang masing-masing berbeda. Baik itu yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi dalam peta. Dan mungkin ada yang tidak pernah mengetahui dan tidak mau tahu, bahwa diluar wilayah pemukiman mereka telah disepakati sebuah negara kesatuan yang dinamakan Indonesia.

Sedangkan kata “Islam” sendiri secara etimologi adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dengan penjabaran yang lebih luas lagi bermakna sebuah ajaran yang mengajarkan kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan. Itulah Islam dalam cara pandang Islam moderat seperti Gus Dur atau penganut faham Ahlusunnah waljamaah an-nahdliyah secara umum.

Asumsi Dasar Pribumisasi Islam
Gus Dur dari tahun ke tahun mengalami keprihatinan yang mendalam atas realitas yang menimpa bangsa Indonesia karena mengalami keterbelakangan di bidang ekonomi dan mayoritas di dalamnya merupakan lokalitas muslim. Keterbelakangan itu kemudian dipersepsikan oleh banyak kalangan baik itu di dunia maupun di Indonesia yang mengutarakan bahwa kondisi tersebut lahir akibat keengganan masyarakat muslim Indonesia untuk berkembang secara ekonomi karena menolak ide-ide modernitas yang ditawarkan ekonom-ekonom barat.

Sehingga, bagi Gus Dur perlu ada sebuah kebangkitan nyata dari umat Islam di Indonesia untuk meninjau ulang wawasan akan realitas yang dialaminya. Kebangkitan itu kemudian di rumuskan dalam satu gerakan yang dinamakan---Dinamisasi, yang selanjutnya memuat -----Pribumisasi Islam.

Dinamisasi sendiri menurut Gus Dur merupakan kreatifitas nyata dari masyarakat secara keseluruhan (agama, suku, dan kelompok mana pun) untuk melakukan upaya kreatif dengan meninggalkan pola lama yang sudah tidak konteks dengan perkembangan zaman. Mengutip tulisan Nurkholik Ridwan, bahwa dinamisasi adalah bagaimana tradisi yang relevan dengan konteks zaman tetap terpelihara (hidup), dan mengganti hal-hal yang sudah tidak relevan dengan konteks zaman. Hal ini tiada lain dalam rangka melakukan perubahan sosial (social change).

Secara lebih jelas, dinamisasi bagaimana menggalakkan nilai-nilai lama yang positif, dan mengganti nilai-nilai hidup lama dengan nilai-nilai baru yang lebih sempurna. Hal inilah yang dimaksud oleh Gus Dur sebagai modernisasi namun bukan westernisasi. Atau (al-muhaafadhatu ala al qaadimish shaalih wal akhdzu bil jaadid al ashlah / memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Bukan Sinkretisme dan Islamisasi
Nah, didalam dinamisasi inilah terdapat “Pribumisasi Islam” yang penguatannya bagaimana menumbuhkan kereligiusan masyarakat muslim dan selanjutnya bersinergi dengan kearifan lokal yang selama ini di warisi dari nenek moyang secara turun temurun.

Gus Dur juga mengingatkan bahwa Pribumisasi Islam bukan berarti praktek sinkretisme yang menumbuhkan romantisme Jawa (Jawanisasi) di seluruh wilayah Nusantara. Pribumisasi merupakan pertalian antara norma dan budaya sesuai konteks lokal di masing-masing tempat. Pribumisasi berupaya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum agama itu sendiri (Nurkholik Ridwan, 2012).

Ada yang menanggapi gagasan Gus Dur ini sebagai cara yang ditempuhnya untuk melakukan proses Islamisasi di Nusantara. Seperti yang diutarakan salah seorang peserta KPG sore itu. Ia berasumsi karena latar belakang beliau berasal dari Islam terlebih lagi dari kultur pesantren, maka ia mencurigai bahwa Gus Dur pada gilirannya nanti menginginkan seluruh penduduk Indonesia seluruhnya masuk ke dalam Islam. Dan menurutnya, cara pandang Gus Dur hampir mirip dengan cara pandang Nurkholis Madjid (Cak Nur).

Asumsi tersebut kemudian coba diluruskan oleh narasumber, bahwasannya tak pernah sekalipun Gus Dur berpandangan demikian (baca: Islamisasi). Ia sejatinya berpedoman pada ayat suci Al-Quran yang secara jelas menerangkan bahwa di bumi ini Allah telah menakdirkan akan kehidupan yang majemuk, dengan berbeda, suku, agama, dan ras, serta budaya hingga hari kiamat kelak. Oleh karena itu, disitulah tugas manusia untuk menjaga persaudaraan di muka bumi ini sebagai khalifatul fil ardh. Sehingga sangat keliru kiranya jika Gus Dur dinilai ingin melakukan proses Islamisasi.

Selanjutnya, Nur Kholik Ridwan kemudian menguraikan persamaan dan perbedaan Gus Dur dengan Cak Nur dalam memaknai proses relasi antara negara, agama dan budaya. Menurutnya, Hal yang membedakan antara kedua tokoh ini, jika Gus Dur dalam mengutarakan gagasannya ia tak pernah sekalipun menggunakan simbol-simbol Islam. Sedangkan Cak Nur masih kerap mempergunakan idiom atau simbol Islam dalam melakukan kerja-kerja intelektualnya.

Sebagai contoh, Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) namun tidak menjadikan entitas Islam sebagai Ideologi Partai. Melainkan beliau menggunakan ideology kebangsaan sebagai respon akan bangsa yang berbhineka Tunggal Ika.
Sedangkan Cak Nur sendiri, meskipun beliau tidak masuk dalam hiruk pikuk politik praktis (termasuk mendirikan partai), tetapi ia mendirikan sebuah perkumpulan para cendikiawan yang seluruhnya muslim---yang ia berinama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). .

Perangkat Pribumisasi Islam
Adapun perangkat/instrument yang digunakan oleh Gus Dur untuk membumikan antara nilai-nilai yang tertera dalam ajaran Islam dengan Kearifan lokal di masyarakat diantaranya :

1.Pemahaman Ushul Fiqh (menggali isi Qur’an)
Ushul Fiqh atau yurisprudensi Islam penting dalam menerapkan Pribumisasi Islam. Sebab, dalam menterjemahkan konsep ini ke ruang sosial, maka akan banyak hal kontemporer yang dijumpai dan jika itu dihubungkan ke dalam Al-quran acap kali mengalami kekakuan jika hanya diartikan dogmatif-normatif. Melainkan, hendaknya fiqh menjadi konsep aktif-progresif dalam mengkaji masalah sosial.

Contoh : Didalam alquran tidak disebutkan mengenai dibolehkannya beras dijadikan sebagai zakat Fitrah. Namun yang tertera adalah gandum. Oleh karena itu, berdasarkan tinjauan fiqh beras dibolehkan. Karena jenisnya sama.

2.Pemahaman Dasar-dasar Syariat
Adapun yang dimaksudkan dalam dasar-dasar syariat yakni mengenai pengetahuan dasar tentang hukum Islam. Adapun sumber dari hukum Islam dirujuk dari hal-hal yang terdapat dalam Alquran, Hadist, dan Ijtihad. Karena syariat inilah yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Adapun syariat dibagi menjadi dua macam, yaitu asas syara’ dan furu’ syara’ .

Yang dimaksud dengan Asas Syara’ yakni sesuatu yang secara jelas telah terjabarkan dalam alqur’an atau biasa juga di istilahkan dengan Dalil Naqli. Misalnya diwajibkannya sahadat, sholat, puasa, zakat, dan berhaji bagi yang mampu. Sedangkan furu’ syara’ adalah sesuatu yang tidak tercantum secara jelas dalam alquran dan hadist, namun dasarnya tetap ada.

Oleh karena itu, ada yang dinamakan Ijtihad yang kemudian terjabarkan dalam Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (pengambilan keputusan dengan menghubungkan kemiripan yang sudah jelas hukumnya, seperti perumpamaan gandum dan beras diatas), Marsalah Mursalah (Keputusan berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan ummat), dan Urfa atau kebiasaan-kebiasaan. (untuk lebih jelasnya lihat Wikipedia).

Di dalam pemahaman Ahlusunnah waljamaah an Nahdliyah sendiri, berpedoman pada ketentuan empat Imam mazhab: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i. Namun, yang konteks dengan masyarakat Indonesia yaitu cara pandang yang digunakan oleh Imam Syafi’i.

3.Memahami Persamaan, Keadilan, dan Demokrasi
Persamaan yang dimaksudkan Gus Dur disini yaitu kesetaraan. Pada hakikatnya, posisi manusia di hadapan Tuhan sama, tergantung maqamatnya (ketaqwaannya). Dan yang hanya mampu mengukur derajat ketaqwaan seorang hamba terhadap Khaliknya adalah Tuhan itu sendiri. Sehingga bagi Gus Dur, praktek subordinasi atau diskriminasi terhadap seseorang atau kelompok sangat tidak dibolehkan. Terlebih lagi jika sampai melakukan praktek marjinalisasi, hal itu melanggar prinsip kemanusiaan.

Sedangkan prinsip Keadilan yang dimaksudkan Gus Dur disini yaitu adanya pandangan yang mengatakan bahwa martabat kemanusiaan hanya akan bisa terpenuhi jika terjadi kelayakan dan kepantasan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena bagaimanapun manusia masing-masing memiliki hak asasi yang tidak boleh dikebiri oleh siapapun. Termasuk negara. Namun, realitas acap kali berkata lain, sedikit-banyak terjadi praktek-praktek yang tidak ber-keadilan dan meminggirkan orang atau kelompok tertentu. Sehingga tugas kita untuk menghadirkan rasa keadilan itu dalam bentuk perjuangan.
Demokrasi menjadi kata kunci penting dalam pribumisasi Islam. Namun demokrasi yang dimaksudkan Gus Dur bukan berarti demokrasi procedural terbuka yang lebih mementingkan kepentingan individual (liberal). Demokrasi menurut Gus Dur yaitu bagaimana nilai-nilai (substansi) sosial budaya yang kemudian termanifestasikan untuk menjawab persoalan bangsa. Artinya piranti demokrasi diatur oleh sebuah ketetapan Yurisprudensi---dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945.

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, dikhawatirkan akan terjadi “Tirani Mayoritas”. Namun bagi Gus Dur, kekhawatiran itu tidak perlu karena Demokrasi yang dimaksudkan disini lebih pada persoalan bangsa, seperti kesamaan hak dalam bidang politik dan sebagainya. Namun dalam bidang agama, negara terbatas mencampuri, karena agama itu sifatnya otonom. Agama urusan hamba dengan khaliknya.
4. Pertimbangan akan kenyataan lokal (Local Wisdom).

Salah satu yang membedakan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain yaitu kebhinekaan yang dimilikinya. Mulai dari suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam diversity itu, banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah berikut komunitas-komunitas yang hidup di dalamnya. Kearifan lokal itu dianggap sebagai praktek terbaik bagi mereka. Secara filosofi, dengan praktek-praktek inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan Pancasila, UUD 1945, dan prinsip Bhineka Tunggal Ika dan seluruh tata nilai yang beradab. Dengan demikian, kearifan lokal ini mesti digerakkan dan dijadikan sumber gagasan yang dipadukan dengan norma yang kita anut (baca:agama).

Sebagai contoh, pelaksanaan maulid Rasulullah Muhammad SAW yang dirangkaikan dengan pagelaran Saeyyang Pattu’du’ (Kuda menari) di tanah Mandar Sulawesi Barat. Tradisi ini turun temurun dilakukan dan prakteknya anak-anak yang telah tamat khatam Al-Quran diarak keliling kampung dengan menggunakan kuda, sembari diiringi tabuhan rebana yang mendendangkan syi’ir-syi’ir shalawatan. Ada juga peringatan Maulid di Cikoang Takalar Sulawesi Selatan diatas laut dengan menggunakan perahu berikut seluruh penganan yang disediakan, juga dengan diiringi dengan pembacaan shalawat.

Pribumisasi Islam dan Multikulturalisme

Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat dipastikan akan ada komunitas yang mendominasi (mayoritas) dan sebaliknya ada pula yang minoritas karena jumlahnya sedikit. Kelompok-kelompok minoritas ini juga bisa dipastikan memiliki pola dan cara pandang berbeda dalam memaknai hidup. Terlebih lagi pada saat pemrosesan untuk mendekatkan diri keharibaan zat yang menciptakannya. Mereka memiliki keyakinan yang teguh dan itu dikukuhkan dengan cara mereka dalam melakukan peribadatan.

Di Indonesia sendiri, ratusan bahkan ribuan kelompok minoritas banyak bermukim. Sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok-kelompok ini sudah lebih dulu bermetamorfosa dan memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri yang menjadi ikatan kolektif di masing-masing komunitas.

Namun, dibalik dinamika tersebut, acapkali keberadaan mereka oleh kelompok mayoritas dicap sebagai entitas terasing atau liyan. Apalagi, saat bersentuhan dengan kebijakan yang dikeluarkan negara sangat sedikit pemihakan terhadap kelompok minoritas ini bahkan cenderung sangat diskriminatif.

Telah banyak kasus bermunculan. Diantaranya kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di beberapa tempat, karena diwacanakan akan merusak aqidah umat Islam. Ada juga cerita dari komunitas Tengger Bromo di Jawa Timur yang dipaksa memilih agama yang diakui negara (Beragam Agama Satu Budaya, Majalah Desantara, 2005). Sedangkan kasus lain di Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni yang dialami komunitas Kajang di Bulukumba yang harus berhadapan dengan tembok kokoh negara dan korporasi karena tanah leluhur yang selama ini mereka sakralkan dicaplok PT LONSUM (perkebunan karet) yang mendapat dukungan pemerintah daerah (pemda) Bulukumba. Hingga dalam kisahnya, mereka di cap sebagai kelompok animism. (Lihat tulisan: Syamsurijal Adhan, Tanah Toa Kajang di bawah Bayang-bayang Konflik, Desantara 2010). Ada juga komunitas Bissu di Pangkep Sulsel yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena dianggap memiliki penyimpangan seksual (Lihat tulisan Halilintar Latif : Bissu, Pergulatannya dengan masyarakat Bugis, Desantara 2004 ).

Di dalam kajian multikulturalisme, kelompok-kelompok seperti ini perlu mendapat pengakuan karena mereka memiliki hak-hak kemanusiaan. Mereka bukan hanya diberikan ruang yang sifatnya affirmative action, melainkan collective rights yang sifatnya permanen. Karena di dalam kajian multikulturalisme ada tiga instrument----pengakuan, penerimaan, dan jaminan hukum.

Didalam pemikiran Gus Dur sendiri tentang pribumisasi Islam. Berangkat dari landasan teologis (tauhid) yang menjadi pijakan beliau dalam bertindak yakni ajaran Islam---- yang mengajarkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, tanpa memandang asal usul dan adat istiadat. Gus Dur berangkat dari ajaran Islam Ahlusunnah waljamaah yang mengajarkan persaudaran sesama manusia (Ukhuwah Basyariah), sesama bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), dan sesama Islam (Ukhuwah Islamiyah). Dan yang lebih terpenting lagi menjaga harmonisasi dengan alam (Hablumminalalam) sebagai perwujudan “Islam Rahmatan lil alamin”. Konsep tauhid Gus Dur ini kemudian terjabarkan dalam tindakan nyatanya untuk memberikan ruang bagi kearifan lokal agar lebih berkembang seperti kelompok-kelompok diatas tadi.


Kesimpulan

Pribumisasi Islam dalam konteks Indonesia sangat relevan untuk digalakkan karena cocok dengan konteks. Sebab, nilai-nilai yang dikandung dari gagasan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Islam hendaknya dipahami secara substansi bukan tekstual. Oleh karena itu, penulis berusaha menyimpulkan:

a) Pribumisasi Islam tidak menjebak kita dalam pemikiran tekstual-dogmatif terhadap teks Al-Quran dan Hadist, tetapi mengantar kita untuk lebih brpikir kritis dan kontekstual. Artinya gagasan ini sejalan dengan perkembangan zaman.
b) Kemajuan zaman tidak dipahami sebagai sebuah ancaman. Melainkan dapat dijadikan sebagai sebuah strategi yang progresif untuk lebih membangkitkan umat Islam dari keterpurukan tanpa harus tercerabut dari tradisi lokal yang selama ini dijalankannya.
c) Pribumisasi Islam merupakan sebuah gagasan yang sifatnya membebaskan. Artinya, kemampuannya dalam menjawab problem-problem kemanusiaan secara utuh. Karena selama ini banyak praktek dehumanisasi yang melanda masyarakat Indonesia terutama kalangan masyarakat bawah (grass root). Sehingga gagasan ini penting dibumikan, dan dalam pengaplikasiannya tidak memandang dari suku, ras, agama, dan golongan manapun.

Wallahul muwaffieq ila aqwamith tharieq
Wassalam

--Muhammad Arif—
Email: ariekampoeng@rocketmail.com
Fb: Arie Islam Tradisi
Twitter :@arie_LAPAR
HP: 082190247854

Tidak ada komentar:

Posting Komentar