Minggu, 25 Desember 2011

Pacaran: Antara Cinta, Tradisi, atau Komitmen,..


Oleh : Muhammad Alfian

Kita mungkin sering mendengar, atau bahkan mengalami sendiri sebuah proses yang diawali dengan mengekspresikan rasa suka kepada lawan jenis, kemudian rasa itu tersambut tanpa bertepuk sebelah tangan, ditindaklanjuti dengan perilaku-perilaku romantis, dan selanjutnya mendapatkan pengakuan publik bahwa mereka telah berpacaran. Mungkin ada juga yang urutan prosesnya tidak seperti demikian, tapi secara teknis seperti itulah kira-kira proses terjalinnya sebuah hubungan yang sekarang kita kenal dengan istilah pacaran. Rasa-rasanya memang pacaran sudah menjadi hal yang lazim, mulai dari anak-anak sampai kalangan lansia, dari hiruk pikuk kota sampai kepelosok-pelosok desa, semuanya telah memahami apa itu pacaran. Dalam bahasa yang sederhana, bolehlah kita mengatakan bahwa pacaran merupakan hubungan spesial yang terjalin oleh sepasang kekasih sebelum masuk ke jenjang pernikahan.

Secara etimologi, pacaran ternyata berasal dari kata pacar (daun pacar), kalau dalam bahasa bugis dikenal dengan nama “pacci”. Menurut sejarah, dahulunya di masyarakat Melayu khususnya, ada budaya memakaikan pacar air (masyarakat Melayu biasa menyebutnya inai) pada dua orang muda mudi yang ‘ketahuan’ saling tertarik oleh keluarganya. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya, tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis. Mirip serenada dalam budaya Meksiko. Nah, jika si gadis menyambut pantun sang pemuda dan keduanya ingin meneruskan hubungan mereka maka orangtua keduanya memberikan pacar air di tangan keduanya. Inai tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah memiliki hubungan.. Inai yang ada di tangan akan hilang selama tiga bulan dan selama waktu itulah sang pemuda mempersiapkan segala kebutuhan untuk melamar sang gadis. Jika sampai inai di tangan mereka hilang dan belum juga ada lamaran atau konfirmasi lebih lanjut maka si gadis berhak untuk memutuskan hubungan tersebut dan menerima pinangan lelaki lain.

Dari sejarah melayu, kita coba melihat ke sejarah munculnya istilah pacaran (dating) di inggris. Tepatnya Antara tahun 1830 ke awal 1900 yang merupakan masa kekuasaan ratu Victoria. Di rentan waktu itu jugalah terjadinya revolusi industri di inggris. Ada kebiasaan yang sering dilakukan oleh bangsawan inggris yaitu mengadakan pertemuan yang dirangkaikan dengan pesta bersama keluarga bangsawan lain yang diundang. Dipertemuan itulah sering terjadi pembicaraan perjodohan antar anak-anak para bangsawan. Pada proses selanjutnya, muda-mudi yang dijodohkan tersebut diberikan ruang oleh keluarga masing-masing untuk saling mengenal melalui pertemuan-pertemuan formal. Jika kedua pasangan yang dijodohkan tersebut merasa cocok, maka akan disepakatilah waktu pernikahan oleh kedua keluarga mereka. Dari momen-momen pertemuan itulah kemudian dikenallah istilah dating. Kisah-kisah romantis seperti ini banyak dikisahkan dalam novel, tapi mungkin yang tragis tapi terkenal ada dalam karangan William Shakespeare yang terkenal lewat film romeo dan Juliet.

Namun, Revolusi industry memberikan pengaruh yang besar terhadap proses dating yang terjadi di eropa. Efek Revolusi industry menyibukkan para pengusaha dengan membangun infrastruktur dan mengumpulkan kekayaan. Pada saat itulah, terjadi budaya hidup bermewah-mewah dan bersenang-senang. Timbul kesenjangan kekayaan antara bangsawan. Bermunculan kebiasan-kebiasan baru di setiap dating, seperti pasangan berkeliling taman yang diberi wilayah privasi, pesta dansa secara bebas, minum teh, dan banyak lagi variasi-variasi pesta lainnya. pada akhirnya, pertemuan-pertemuan formal perjodohan dengan tujuan pertemuan garis perasaan cinta secara serius, akhirnya kabur maknanya.

Lalu bagaimana dengan pacaran di zaman modern?
Sepertinya tidaklah ringkas jika hendak diurai tentang paradigma apa yang terbangun saat ini di dalam proses pacaran. Di berbagai media, baik cetak maupun elektronik bisa kita jumpai berbagai slogan-slogan cinta dalam pacaran yang banyak dipelopori oleh para artis. Walaupun pada akhirnya tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian dan pernikahan beberapa kali. Dalam konteks ini, sepertinya pacaran merupakan tradisi. Tapi di lain tempat, kita menjumpai kemesraan jalinan hubungan yang dicontohkan oleh AA Gym beserta istri barunya, walaupun banyak dicemooh oleh berbagai pihak yang menentang poligami. Mungkin dalam konteks itu ada yang mengatakan bahwa pacaran itu adalah cinta dan komitmen,… karena ritus-ritus pacarannya justru dilakukan setelah pernikahan.


Well,…
Entah mana yang benar dan mana yang salah,..
Sebab jika kita mencoba melihat kehidupan percintaan Rasulullah SAW bersama istri-istrinya,..

I just wanna say,.
Be a kind man if you wanna get a kind girl,
And for the girl,..
Be a kind girl if you wanna get a kind man,…

penulis adalah ketua umum komisariat PMII Universitas Negeri Makassar

Kembali ke Etos Budaya

Oleh : Hendra Djafar



Todilaling atau I Manyambungi merupakan kepala pemerintahan Kerajaan Balanipa Mara’dia. Mulai pertama memerintah sekitar tahun 1440. I Manyambungi pertama-tama meletakkan dasar-dasar sitem budaya politik kepada rakyat kecil. Beliau mengatur Formasi dan pengelompokan peranan-peranan yang saling berintraksi. Pengaturan peranan dan pengelompokan tersebut menempatkan kerajaan analog dengan sebuah perahu “ ana’ kodzai mara’dia banua kaiyangngi toilopi” raja adalah pemegang kekuasaan ekskutif tertinggi di bantu oleh mara’dia matoa dan anggota ada’. Akan tetapi banua kaiyang yang terdiri dari Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang, yang dibantu 12 orang banua, sebagai perwakilan seluruh rakyat, memegang kekuasaan pengawasan. Banua kaiyang berhak mengangkat dan menurunkan raja. Ketetapan banua kaiyang ini bersifat mutlak tak dapat di ganggu gugat, seperti yang di rumuskan dalam hukum adat “ laweangi tandi wali, mappaui tandi simbong” ( berucap tak tersanggah. Penetapannya tak terbantah). Prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi acuan raja dan puang Dirano sebagai Pappuangan Napo yang juga merangkap sebagai pemimpin banua kaiyang ( baca: pemimpin lembaga perwakilan) di tuangkan dalam stateman politik yang antar lain berbunyi sebagai berikut (penegasan puang Dirano) “upakaingo,upakaraya, marondong duambongi anna : a.mara’ba ra’bao petawung (tuan merusak pematang) b. mambotu bottuo bassi’ ( tuan memotong genting pelurus) c.marattassoo uwake ( tuan memotong akar kehidupan dan akar orang banyak) d. marappao batu-batu (tuan telah memecah batu kecil, menindas orang kecil) e.marussao alewuang ( tuan merusak kesatuan dan persatuan) f.mambu’eo alewuang.(tuan meninggalkan janji kesepakatan).

Cerminan yang dapat diambil dari peristiwa ini bahwa nilai-nilai luhur budaya yang telah di wariskan oleh para leluhur tidak mengenal kata angkuh, sombong, mementikang diri sendiri, berat tangan, tidak menghargai, pemalas, tidak percaya diri, tidak bercerai berai, ketergantungan, tidak santun dan tidak sopan. Malahan sebaliknya leluhur Mandar mencerminkan keramahan, sopan dan santun, suka menolong, ringan tangan, rajin bekerja, toleran, solidaritas, familier, kekerabatan dan keluargaan yang tinggi jujur dan tulus ikhlas. Tak heran kalau puang sodo pernah mengungkapkan “ mua’ ditami balimbungannna azda, tuomi tau tammate, mapia takkazdae, apa metturundungi tau di barimbing, mettullung diropo uwe, mua tadami tau lao di olona andenami tau bicaran na, issinna parabue’na,apa nayya azda, takkeanai, takkeappoi, tammariwai tammakaleppei, tale napilletei diwatang makambu, tale namipasenderi di ayumate” ( apabila kita telah melihat rumahnya adat, berarti kematian telah terhindar, kebaikan menyongsong, keburukan terkikis, karena kita bernaung di bawah pohon rindang, dan lebatnya rumpung rotan. Apabila kita berada di hadapan adat maka kita menyerahkan diri untuk menjadi bahan persidangannya, dan isi ketetapannya,karena seorang adat tak bakal mementingkan anak, tak mengutakan cucu, tak bakal ada di pangku, tak ada bakal di momong, tak akan menitikan pada jembatan kayu sudah lapuk, tak bakal bersandar pada dahan yang telah mati).

Pertanyaannya sekarang masihkah ungkapan Puang Sodo itu tercermin dalam masyarakat kita,dalam pemerintah kita dan proses kepemimpinan kita di Indonesia dan tanah Mandar ( Sulawesi Barat) pada khususnya? Kitalah yang akan menilai itu dan merasakannya?

Memudarnya penghayatan dan mengalaman nilai-nilai budaya mengakibatkan negeri kian terpuruk dalam segala bidang kehidupan baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Kondisi ini melanda pada setiap tataran mulai dari tataran kepemimpinan tingkat bawah sampai pada tingkat atas, masyarakat selalu merasa tak aman, tidak percaya atas keputusan keputusan pemerintah. Dalam ranah hukum masyakat kecil selalu di titikan pada jembatan yang lapuk dan di sandarkan pada kayu yang telah meranggas.

Kemajuan dan keunggulan sangat di tentukan oleh karakter bangsanya. Sehubungan dengan itu program pemndidikan karakter bangsa tidak dapat di tawar menawar lagi. Bangsa yang sudah luntur karakter/ budi pengerti aslinya kehilangan jati dirinya akan terus menerus dalam keterpurukan. Bila ini terus menerus terjadi maka, kewaspadaan Mahatma Ghandi tetang tujuh dosa yang mematikan bisa menjadi kenyataan di negeri tercinta ini pada umumnya dan di Sulewesi Barat pada khususnya. Tujuh dosa itu yakni merebahnya nilai-nilai dan perilaku “kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.

Sejarah telah membuktikan bahwa Mandar telah memiliki karakter/budi pengerti yang kuat yang telah diwariskan oleh para pendahulu seperti Todilaling, To Mepayung, Puang Sodo, Puang Chazdia, dan yang paling muda yang paham tetang karakter dalam ranah Hukum adalah Prof. Baharuddin Lopa dll. Karakter kuat dan unggul dari pendahulu ini tampaknya terabaikan, terlunturkan karena pengaruh globalisasi yang kuat. Padahal Karena arus globalisasi yang kuat ini seharusnya karakter/budi pengerti harus lebih kuat pula supaya tidak terbawah arus globalisasi itu. Penyimpangan-penyimpangan yang belaku seperti korupsi, money politik, komplik social dan politik, saling mencela, saling sikat, merasa diri yang paling benar dan layak jadi pemenang, pemerkosaan dan pembunuhan adalah perilaku yang menyimpang etika moral yang merupakan tanda-tanda, melemahnya karkter /budipengerti anak negeri.

Memperhatikan penyimpangan-penyimpangan di atas, maka pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda, sudah waktunya memerankan ketokohannya, untuk membangun karakter bila tidak, jangan maharap Sulawesi barat akan sampai pada iconnya “mala’bi”. Pertanyaannya kemudian bagaiman membangun kembali karakter Mandar yang sudah hampir kabur ini? Para pendahulu kita telah menanamkan etos budaya yang di sebut “siri’”.

Siri’ yang pada dasarnya adalah tolak ukur tentang harkat,martabat dan harga diri, keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan, seseorang yang bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tetapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya , berarti siri’ orang tersebut telah pudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya di langgar dan di injak-injak di luar hukum etika dan norma kebiasaan, juga berarti, Siri’ atau harkat dan martabat orang tersebut telah pudar. Para guru Dosen yang tidak masuk mengajar pada jadwal dengan alasan yang tidak jelas patut di pertanyan tentang siri’, dan pemuda yang hanya mampu memperbincangkan kejelekan orang lain juga patut di pertanyakan tentang siri’nya.

Sebab dengan siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin appe banua kayyang menurunkan Daeng Rioso’ dari Raja. Siri’ itu pulalah yng mendorong Raja Mandar mendukung Pammarica, untuk menolak permintaan Gubernur Belanda, serta Siri’ pulalah yang mendorong puang Cazdia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Ka’useng, anak kandungnya sendiri menajalani hukuman mati di pangkuannya. Husni jamaluddin mengemukakan pandangannya tentang siri’ dalam sebuah seminar bahwa siri’ adalah surat izin untuk berada di atas tanah. Orang tidak ada siri’nya tidak punya izin tinggal diatas tanah. Di bawah tanah saja. Dan ini budaya Mandar.

Untuk mewujudkan Sulawesi Barat yang Bala’bi mulai sekarang kita kembali kepada etos budaya siri’ dengan menanamkan dalam diri kita sebagai pijakan awal pesan To dilaling “ inna ri tia sobai totondo zdaimu, pakarayai sipattummu, sayangngi totondo naungmu” ( yang lebih baik adalah ta’atai atasanmu, hargai rekan rekan sejawatmu, sayangi bahawanmu”



Jakarta 25 Desember 2011

Jumat, 23 Desember 2011

SENANDUNG DALAM GERAKAN, PERNAPASAN DAN GESTUR


Oleh: Syuman Saeha


Antonin Artaud; Aku membutuhkan aktor-aktor, yang pertama adalah makhluk-makhluk. Yaitu bila mereka berada diatas pentas, mereka tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, yaitu luka karena pisau (Ledakan Dan Bom. 142), tentu saja pengakuan ini tidak bermaksud menghalalkan pembunuhan secara sungguhan lantaran tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, pun mungkin bukan itu tujuannya dalam memberi penegasan terhadap aktor dan garapan teaternya. Sekalipun kita semua tahu, actor menurut Artaud, “haruslah seorang gila, yang hidupnya dihantui, dibahayakan dan diancam” (170).

Demikian pula bahwa tidak sedikitpun maksud untuk menyamakan (tapi kalau dapat kenapa tidak) setiap takaran dari sederet pertunjukan oleh kelompok seni sekolah SMA dalam Festival Teater Putih Abu II yang dilaksanakan di Kampus Unasman walaupun pada kenyataan tidak persis dengan apa yang diingini oleh Artaud dalam teater garapannya. Hal inilah kemudian yang menuntut kita untuk membuka mata selebar-lebarnya, memandang berbagai sisi atas pertunjukan tersebut, siapa dan kapan mengenalnya serta fasilitasnya apa, juga tak kalah pentingnya penyelenggaraanya bagaimana.

Berangkat dari kesadaran atas berbagai sisi pandang ini akan melabuhkan kita pada titik muara keresahan sekaligus mencoba menguatkan hati untuk menerima kelemahan yang mengepung disegala arah, sebab yang menjadi tujuan bersama adalah, bahwa teater harus ada dan hadir di tanah Mandar, (baca sulbar) dan di Polewali Mandar pada khususnya, meski harus secara terus-menerus cemburu terhadap kondisi serta kemampuannya.

Tulisan ini juga tidak bermaksud mengupas tuntas terlebih mencincang sampai kedalam isi perutnya tentang bagaimana pertunjukan itu berlangsung selama empat malam yang diawali oleh pementasan “Sanggar Layonga Mandar” SMA Neg.I Tinambung, kamis malam, 25 November 2010 dengan “Matahari Di Jalan Kecil” yang ditulis seniman sebesar (Arifin C Noer). Dalam pada itu malam berikutnya “Sanggar Pujangga” dari SMA Neg. I Wonomulyo mementaskan “Para Jahanam” adaptasi cerpen “LAMPOR” (Joni Arya Dinata), scenario (Zulfikri Sasma). disusul “Kartini Berdarah” scenario (Amanatia Junda S.) oleh “Sanggar Merah Putih. SMK Muhammadiah Wonomulyo. malam ketiga Festival Teater Putih Abu II pertunjukan dibuka SMA Neg. I Polewali ”Figura” karya (Enda Sukaputri). Dan ditutup “Aku Masih Perawan” dari “Teater TERBIG” SMK BIGES Polewali. Sedang malam keempat yakni malam terakhir pertunjukan peserta Festival Teater Putih Abu II menampilkan tiga peserta yaitu “Sanggar Palapa” SMKN Tapango “Bunga Desa” (D. Suradji) juga “Kebebasan Abadi” (Sebuah Tragedi Kepahlawanan) Karya (C.M. Nas) SMA Neg.I Wonomulyo dan “Sanggar Todilaling” SMK Neg. I Tinambung “Cinta Dan Laut” Karya (Dalif Palipoi) sebab seperti yang sudah disampaikan diatas kita tidak hanya semata bertolak pada kelemahan serta kekurangannya tapi lebih kepada bagaimana bisa hadir dan terus ditekuni tidak hanya berupa hiburan belaka, tapi juga sebagai tempat memahami ilmu pengetahuan.
Sungguhpun demikian tentu kita akan coba bersepakat meski dalam keadaan yang berat, bahwa melewatkan satu peristiwa berlalu begitu saja didepan mata tanpa berusaha “bertukar sapa” dengan cara apa dan bagaimanapun, tentu itu bukan satu cara sikap hidup yang baik.

Pertunjukan teater yang diramaikan delapan kelompok seni sekolah se-Polewali Mandar ini, bila ditinjau dari segi garapannya (konvensional) kesemuanya dibawa rata-rata, itu terlihat dari tidak adanya ketegasan secara maksimal terhadap ruang dan waktu yang meliputi kapan dan dimana terjadinya peristiwa itu. Belum lagi kita dihadapkan pada actor aktrisnya, secara keseluruhan belum menyentuh wilayanya sebagai laku yang meruang, yang tercipta dari gerak dan gesture yang meyakinkan, dan tentu saja disana juga ada nafas sebagai kehidupan, yang kesemuanya akan membingkai pertunjukan itu menjadi bukan hanya semata sebuah pementasan tapi sebagai peristiwa teater di atas pentas.

Mungkin saja dikarenakan belum terpahaminya secara memadai bahan-bahannya, disamping kurangnya waktu latihan untuk lebih membumikan secara cukup sebagai elemen yang akan mengusung terjadinya peristiwa teater tersebut, disinilah pentingnya melaksanakan kepekaan untuk merangsang sedemikian rupa kecemburuan terhadap kelemahan-kelemahan itu. Mungkin juga tidak begitu tepat bila hal ini kita ajukan sebagai pertanyaan serius terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan terkhusus Pemkab Polewali Mandar, sudah sejauh mana mengarahkan keakraban tentang keberadaan kelompok-kelompok seni, apakah itu di Sekolah, di Kampus, atau diluar keduanya demi berlangsungnya kehidupan seni dan budaya itu sendiri.

Alhasil Festival Teater Putih Abu II yang sudah dua tahun ini dilaksanakan oleh Kosaster SIIN Unasman (Komunitas Sastra dan Teater SIIN Universitas Al-Asy’ariah Mandar) patut kita sirami perhatian secara serius, sekaligus berharap sangat dapat melahirkan manusia cerdas lagi jujur serta memiliki kehalusan akal budi selaras dengan cita-cita Sulbar Mala’bi. Amin……

Manding, 28 November 2010.


Penulis adalah Pimpinan Komunitas Panggung Palatto Pambusuang.

Minggu, 18 Desember 2011

Peranan Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pembangunan Perdamaian

Add caption

Oleh : Muhammad Subair Sunar

"Saya tidak bersedih kalau saya tidak dikenal masyarakat,

Tapi saya akan sangat sedih jika saya tidak mengenal masyarakat"

(Bikkhu Dhamma Subo)



Pengantar.

Pernah dalam sebuah seminar tentang syariat Islam di Makassar, seorang panelis menyebut "jawa" sebagai factor penentu sukses tidaknya gerakan penegakan syariat Islam. Menurutnya, kemunduran orang-orang Bugis dan Makassar diakibatkan oleh dominasi Jawa, bahwa suplai beras dan hasil-hasil bumi Sulawesi lebih banyak di angkut ke Jawa. Orang-orang Bugis dan Makassar tidak memperoleh imbalan yang memadai. Mereka dinomorduakan dalam pembangunan, dan lebih mengutamakan masuknya dominasi asing menguasai kekayaan alam mereka. Dan pada akhir pemaparannya, Panelis tersebut menyebut perlunya syariat Islam ditegakkan, karena Bugis dan Makassar sejak dulu identik dengan Islam.

Sang panelis diatas menggunakan bahasa etnisitas atau kesukuan untuk memperkuat argumen "perlunya penegakan syariat islam di Sulawesi Selatan". Wacana ini hampir sama dengan isu "Sulawesi Merdeka" yang pernah muncul di Makassar tahun 1999 ketika Habibie terganjal dalam sidang umum MPR 1999 untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Wacana yang dipergunakan adalah isu kesukuan "Sulawesi versus Jawa".

Kampanye dari dua kasus wacana diatas tampaknya tidak akan mencapai tujuannya tanpa"meminggirkan" unsur yang disebut yang lain, yang didefenisikan sebagai "Jawa"(belakangan muncul) "Cina", "Amerika", "Jepang" dan lain-lain yang tergambar melalui pemberitaan media dengan memunculkan aksi-aksi sweeping terhadap warga asing.

Sengaja saya mengutip dua peristiwa diatas dengan titik kesamaan yakni sama-sama menggunakan bahasa kesukuan untuk memperkuat argumen mereka. Dan bukan sama sekali untuk membicarakan pro dan tidaknya kita pada gerakan penegakan syariat Islam yang mereka bangun. Kutipan kasus wacana diatas menjadi penting ketika kita mendiskusikan perihal kearifan lokal. Diskusi mengenai kearifan lokal, berarti mendiskusikan "nilai budaya" dalam konteks ke"suku"an atau salah satu suku.

Lalu apa arti suku atau etnisitas? Dalam kajian ilmu politik, etnisitas suku selalu diidentikkan dengan pemicu konflik dalam satu Negara kebangsaan. Dalam kajian sosiologi, ke"suku"an seringkali diidentikkan dengan pemicu keresahan social,seperti yang tergambar dalam konflik antar kampong atau perkelahian antar warga di kota-kota besar. Dan konflik suku Dayak dan pendatang di Kalimantan beberapa tahun lalu ikut, memperkaya makna politik etnik sebagai pemicu konflik berdarah.

Mungkin dalam konteks pariwisata dan seni hiburan, "suku" tidak dimaknai sebagai pemicu konflik, tapi dipahami sebagai barang komoditas yang bisa diperdagangkan dan diperjual belikan. Sehingga sudah sangat lazim kita menemukan pernik-pernik etnik kesukuan menjadi unsur penambah selera komsumsi. Dipihak lainnya (kitabaca dikoran-koran saat sekarang ini, menjelang Pemilu) sangat banyak orang melakukan perburuan gelar-gelar adat dan silaturrahmi antar komunitas suku.Kesemuanya itu adalah model perdagangan baru untuk mendapatkan dukungan pada Pemilu yang akan datang.

Pemosisian Tradisi dan Kearifan Lokal Untuk perdamaian.

Penyebutan suku atau etnik, terkadang mencerminkan hal-hal yang serba kurang dan terkesan disudutkan. Ketika orang menyebut, "suku", yang terbayang adalah orang-orang Dayak yang menenteng Mandau, orang-orang Papua yang memakai koteka dan lain sebagainya. Akhirnya penyebutan "suku" secara berlebihan pada masa Soehartodicurigai sebagai SARA. Dan pada saat bersamaan "keragaman suku dan budaya"dirayakan sebagai identitas bangsa, identitas "manusia indonesia seutuhnya",sedang identitas kesukuan tidak dipandang sesuatu melainkan SARA. Sungguh suatu hal yang kontroversial.

Lantas dimana kearifan local budaya dari setiap suku bangsa harus diposisikan dalam membangun perdamaian? Pendekatan suku dalam membangun perdamaian telah menemukan hasilnya di Ambon, seperti model pelagandong. Adakah nilai budaya yang kita miliki yang bisa dipergunakan untuk membangun perdamaian? Dan Syarat-syarat budaya apa yang harus dibangun,sehingga kearifan lokal dari seiap budaya kita memberi sumbangsih untuk membangun perdamaian di daerah kita?

Pertama; Memahami nilai kebudayaan danidentitas masing-masing ke"suku"an kita dan ke"suku"an orang lain dari sudutpandang pelaku budaya itu sendiri dan bukan dari pihak lain atau orang lain.Disini pemahaman atas nilai suatu budaya tidak sekedar "mengetahui"nya, tapijuga mengalami proses pembatinan, proses refleksi untuk pengendapan nilai.Sehingga membutuhkan keterlibatan diri secara subyektif, karena itu prosesmemahaminyapun harus berguru pada orang yang melakoninya secara subyektif, danbukan pada orang lain yang hanya menjadi "pengamat" budaya atau penulis budaya.Bagi orang Mandar bergurulah pada kasus I Kauseng yang mati terhukum di paha ibunya demi kehormatan dan keadilan, sebaliknya tidak menjadi benar ketika orang mandar berguru pada sesamanya mandar tentang orang bugis, karena akan menimbulkan pemahaman negative dan apriori terhadap (ma'af) orang bugis, paande be,do, mandar pandoti-doti dan semacamnya. Singkatnya, Memahami nilai budaya dari sudut pandang pelaku budaya itu sendiri akan menjauhkan dari "bentukan" (konstruk) pemahaman keliru tentang suatu budaya, melainkan memahami budaya secara faktual dan nyata.

Kedua; Biasanya sebutan suku, budaya dansemacamnya muncul dalam konteks penghadapan antara tradisi dan modernitas,antara yang lama dan yang baru. Kesukuan dan kebudayaan dibicarakan tidak sekedar mewakili tradisi yang lama, tetapi diperbincangkan sebagai sesuatu yangniscaya dirawat, sebagai sesuatu yang hidup, bangkit dan dinamis. Memperlakukan budaya sebagai suatu yag dinamis dan terus mengispirasi pencitraan diri warganya. Perlakuan budaya seperti inilah yang akan terus mendorong setiap orang (suku) memberi penghargaan setara pada sesamanya manusia sebagai makhluk berkebudayaan dan beradab dan tidak membangun relasi kemanusiaan atas dasar"kepentingan" dan dominasi. Singkatnya,"bukan karena penghargaan setara atas sesama, sehingga kita disebut berkebudayaan, melainkan karena berkebudayaanlah sehingga kita menghargai pada sesama.

Ketiga; Mentransformasikan masa depan denganmengubah kesadaran manusia tentang masa depan. Kesadaran tentang masa depanmenurut versi budaya masing-masing, seperti tertuang dalam rumusan masa depanpencitraan diri seorang "raja" dalam nilai budaya mandar; marondong dumbongi anna matea, da'moannai dari mjnari mara'dia mua Tania tonama asayanngi lita' ..... dst. Disni terungkap impian masa depan tentang pencitraan seorang raja yang harus adil, jujur dan mengutamakan kepentingan hajat hidup orang banyak. Dan sangat berbeda dengan impian masa depan versi liberalis yang mengkonotasikannya dengan "kekuasaan".

Penutup

Damai adalah tidak takut, tidak heran, tidak terkejut, tapi cerah, anggun dan sumeleh.

Penulis adalah Pemerhati sosial
dan staf pengajar di Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) Sulbar.

Ayo Menulis


Oleh : Saprillah Syahrir

Menemukan Posisi Diri

Menulis adalah tindakan untuk perubahan. Keren memang kedengarannya, tapi seperti itu-lah seharusnya! Kita perlu menemukan posisi kita dalam struktur sosial sebelum jauh melibatkan diri dalam kegiatan tulis-menulis. Pilihannya jelas, memihak kepada kelas penguasa dan kawan-kawannya atau kepada rakyat yang tak punya ruang untuk bersuara. Keberpihakan selanjutnya menentukan apakah tulisan yang dihasilkan punya makna perubahan atau tidak.

Suara perubahan biasanya hanya muncul dari ruang pengap yang bernama situasi kemiskinan dan ketertindasan. Penguasa dan kaum borjuis biasanya sangat tidak menyukai perubahan. Mereka menyenangi stabilitas untuk mengamankan kekuasaan dan kenyamanan mereka sebagai kelas penindas. Menulis untuk perubahan adalah salah satu mode perlawanan terhadap penguasa yang semena-mena dan serakah. Menulis sebagai idiom anti kemapanan!

Menulis dengan demikian bukanlah peristiwa biasa, bukan sekedar mendaftar huruf-huruf di atas kertas yang membentuk deretan kata menjadi kalimat dan paragraf yang kemudian menjadi essay, makalah, paper, atau buku, tetapi untuk melahirkan makna! Pada gilirannya melahirkan semangat perlawanan. Menulis adalah alat politik untuk memperjuangkan suara-suara rakyat yang bisu di sudut peradaban yang dikuasai sepenuhnya oleh penguasa dan pemilik modal. Jika anda menulis hanya untuk kepentingan menulis apalagi hanya untuk membenarkan tindakan penguasa, maka segeralah berhenti menulis!



Memulai dengan Imajinasi

Saya sangat yakin bahwa semua penulis yang kita anggap hebat adalah penghayal tingkat tinggi. Mereka memiliki kemampuan untuk menjelajahi alam imajinasi yang tanpa batas dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk menulis. Imajinasi adalah anugerah ilahi. Ia sangat unik, anti-realita, tapi sungguh sangat mengasyikkan. Tanpa batas dan tanpa larangan. Anda bisa terbang dengan superman, bercinta dengan bidadari, berkawan dengan iblis, berbicara dengan Tuhan, menjadi raja, dan menjadi apa-pun dalam dunia imajinasi anda. Tidak ada hukuman dan sanksi bagi imajinasi. Semuanya bebas!

(ber) imajinasi sangat dibutuhkan dalam berkarya apa-pun itu termasuk menulis. Imajinasi dapat melahirkan cerpen, novel, film, musik, patung, diorama, dan sebagainya. Imajinasi pun dapat menjadikan karya tulis yang kita sebut ilmiah atau non-fiksi memiliki daya tarik. Imajinasi dapat memunculkan cita-rasa yang membantu kita menemukan rangkaian kata-kata yang memiliki padu-padan yang indah. Orang yang memiliki imajinasi tinggi bisa dipastikan akan melahirkan karya-karya yang monumental. Film Harry Poter, Avatar, Jurrasic Park, Lasykar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Candi Borobudur, Taj Mahal, Great Wall China, adalah karya monumental yang dilahirkan oleh orang-orang dengan imajinasi yang tinggi.

Jangan takut untuk berimajinasi. Jangan takut disebut penghayal. Semakin anda menjadi penghayal semakin besar potensi anda untuk menjadi penulis atau kreator kebudayaan yang handal. Dunia imajinasi bukan satu fase kekanak-kanakan kita. Ia adalah keseluruhan hidup kita. Imajinasi juga bukan sesuatu yang berada di luar struktur kesadaran kita. Ia ada dalam diri kita. Ketika anda memejamkan mata dan berbagai bayangan liar muncul dalam alam pikiran anda, maka imajinasi anda sedang bekerja. Ketika anda tidur dan menemukan orang yang anda cintai di satu tempat yang sangat indah, maka imajinasi anda sedang bekerja. Pelihara-lah itu. Berimajinasi-lah dengan sadar, lalu pelan-pelan turunkan ke dalam pikiran sistemik anda, dan mulai-lah menulis.



Selanjutnya Memperbanyak Pengalaman


Imajinasi tentu tidak cukup. Kita membutuhkan satu pendekatan lain yaitu pengalaman. Pengalaman itu unik bagi setiap orang. Proses pembentukannya pun tidak seragam. Pengalaman adalah proses interaksi intensif seseorang dengan realitas sosial. Perspektif dan keberpihakan nantinya terbangun dari proses pengalaman seseorang dengan realitas sosialnya. Seorang yang setiap hari melihat ibunya tertindas dan dipukuli oleh ayahnya akan memunculkan perspektif tentang lelaki yang berbeda dengan seorang lain yang setiap hari melihat ibunya disayangi oleh ayahnya. Pengalaman sebagai mahasiswa yang aktivis tentu berbeda dengan mahasiswa yang bukan aktivis. Memperbanyak pengalaman membantu untuk menentukan posisi sosial kita dan akan memudahkan proses kita menulis.

Pengalaman dibutuhkan karena kegiatan menulis adalah peristiwa yang historis. Seseorang tidak mungkin menulis sesuatu yang tidak memiliki keterkaitan sejarah dengan dirinya, meski itu hanya tulisan fiksi yang sumber utamanya berasal dari imajinasi. Novel Harry Potter sangat imajinatif. Apa-kah itu berarti J.K Rowling hampa sejarah (a-histori) ketika menulis Harry Potter? Tentu saja tidak. Para pembaca Harry Potter tidak menemukan gambaran tentang hantu versi Indonesia (sundel bolong, kuntilanak) atau nama-nama versi Indonesia dalam cerita itu. Ini karena J.K Rowling tidak memiliki basis pengalaman historis tentang Indonesia. J.K. Rowling menghadirkan imajinasi tentang dunia sihir sebagai orang Inggeris dan itu berarti sangat historis. Andrea Hirata sangat fasih menceritakan secara detil kehidupan anak-anak Belitong dalam novel Lasykar Pelangi karena dia orang Belitong. Tokoh-tokoh yang diceritakan pun adalah dirinya dan teman-temannya. Habiburrahman sangat baik menghadirkan latar Mesir dalam novel Ayat-Ayat Cinta karena dia kuliah di sana. Menulis sesuatu yang kita alami lebih mudah daripada yang kita tidak alami. Perbanyaklah meng-alam-i sesuatu, lalu hadirkan dalam imajinasi, turunkan dalam pikiran sistemik anda, lalu mulai-lah menulis!



Berdamai dengan penjara struktur bahasa

Menghayal-mengalami-berfikir-berbicara-menulis adalah sirkuit yang dilalui dalam menghadirkan tulisan. Menghayal paling mudah karena bebas struktur. Yang tersulit adalah menulis. Apa yang dihayalkan, dialami, dipikirkan, dan dibicarakan tidak serta merta dapat dituliskan. Dunia tulis menulis terikat dengan aturan bahasa. Aturan gramatikal yang tidak membebaskan kata-kata dideretkan begitu saja. Rangkaian kata-kata itu harus memiliki makna (kebahasaan) dan harus memenuhi standar struktur bahasa yang baik dan benar. Tidak boleh meletakkan tanda baca di sembarang tempat karena akan memengaruhi makna. Celakanya, standar gramatikal ini kadang-kadang menjadi ukuran tertinggi dalam menilai suatu tulisan baik atau tidak. Belum lagi tetek bengek aturan menulis karya tulis ilmiah. Ini yang saya sebut sebagai penjara struktur bahasa.

Proses menulis tidak bisa mengelak dari penjara struktur bahasa, tetapi kita bisa berdamai dengan itu. Salah satunya dengan mendekonstruksi kategori “tulisan baik” dan “tulisan jelek”. Bagi saya, tidak ada yang disebut tulisan baik dan tulisan jelek. Seluruh proses menulis sama dan melalui sirkuit yang sama. Yang membedakan, ada orang yang telah sering menulis, ada yang jarang menulis, dan ada yang baru mulai menulis. Hasilnya bisa berbeda, tetapi tidak berarti harus dijustifikasi baik dan jelek. Tulisan orang yang baru menulis tentu tidak bisa disandingkan dengan tulisan orang yang sudah sering menulis. Itu tidak fair, karena standarnya berbeda.

Kata jelek adalah penjara bagi penulis yang baru ingin memulai masuk ke dalam dunia tulis menulis. Padahal, yang dimaksud “jelek” sangat multidimensional. Semua tergantung pada “konteks” pembaca-nya. Tulisan tentang barzanji sebaik apa-pun tetap dianggap tidak baik oleh kelompok Islam puritan. Tulisan tentang tambang yang dibuat oleh orang perusahaan, selalu dianggap “penipuan” oleh aktivis. Orang ahli bahasa selalu menilai tulisan dari ketepatan penggunaan ejaan dan gramatika. Semua tulisan yang tidak memenuhi standar EYD dan struktur gramatika pasti jatuh harga. Intinya, baik dan jelek adalah persoalan standar. Jika standarnya berubah maka nilainya juga berubah. Standar itu bisa berasal dari mekanisme bahasa, selera, aliran, dan (bahkan) ideologi.

Tulisan pada prinsipnya memuat dua hal, bentuk dan isi. Bentuk, berarti tentang sistematika, prosedur, dan standar formal bahasa yang diakhiri dengan situasi keterbacaan. (Konon) Essay Goenawan Muhammad dalam Caping (Catatan Pinggir) adalah salah satu contoh tulisan dengan “bentuk” yang baik. Ia sangat pandai memainkan kata-kata yang canggih nan memukau. Isi, berarti tentang ide, gagasan, dan subtansi yang ingin disampaikan. Ada banyak tulisan dengan bentuk yang baik tapi gagasannya kering. Ada pula tulisan yang memiliki ide yang brilian tetapi dengan bentuk yang kurang baik. Pencapaian terhadap dua titik ini secara bersamaan tentu saja dibutuhkan proses yang panjang. Proses yang dimulai dengan melatih diri menulis (bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri), memanfaatkan semua media yang ada. Jika tulisan yang anda hasilkan telah berbentuk dan memiliki ide yang jelas, maka tulisan anda pasti bagus!

Tapi ingat! Pencapaian pada dua titik itu tidak akan berarti bila tidak memenuhi standar ketiga yaitu pengaruh. Jika harus menentukan tulisan itu baik atau jelek, maka saya lebih memilih standar ketiga ini. Tulisan harus memiliki pengaruh kepada pembacanya. Setidaknya pada dua hal; menggugah atau menginspirasi. Tulisan yang menggugah berarti memiliki kekuatan pada bentuk dan format bahasanya. Puisi, cerpen, novel bisa sangat menggugah pembaca hingga emosinya dinamis sesui dengan alur. Tulisan yang menginspirasi memiliki kekuatan pada ide dan gagasannya sehingga menggerakkan pembaca untuk melakukan sesuatu. Semua terserah anda, ayo menulis!

Penulis adalah peneliti pada Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Makassar

KOSASTER BUTUH ‘SINAR*


Oleh : Hendra Djafar

(Sebuah catatan kecil komunitas seni sastra dan teater siin unasman serta untuk perbandingan lembaga-lembaga kemahasiswaan)

Seorang ibu lumpuh yang ditinggalkan suaminya, merantau entah kemana dan tak ada kabar, hanya bisa terbaring di tengah lima anaknya yang masih terbilang belia, anak-anak yang masih butuh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi sekali lagi bapak anak-anak itu merantau dan tidak ada kabar sedang ibunya lumpuh hingga tidak bisa memasak, mencuci, mencari nafkah, dan sentuhan lain untuk pertumbuhannya.

Di daerah terpencil, Desa Riso di sebuah rumah panggung tanpa sinar listrik disanalah ibu yang lumpuh itu tinggal bersama anak-anaknya. Sejak dua tahun lebih ia menderita demikian, dan sejak itu pula ibu itu ditinggalkan suaminya merantau. Lantas, bagainmana nasib anak-anaknya, siapa yang mengurusnya?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu disadari bahwa mengurus keluarga (baca: anak-anak) tidaklah sekedar mengurus akan tetapi lebih pada bagaimana menghidupkan, dan itu memerlukan energy yang lebih, perhatian yang serius, peran yang maksimal, tanggung jawab penuh serta keikhlasan sebab Jangankan mengurus keluarga, mengurus diri sendiri pun adalah hal yang sangat sulit. Namunpun demikian, bahwa sangat penting untuk disadari pula bahwa ketika roda kehidupan harus dan terus berjalan, sebuah tanggungjawab yang disertai keikhlasan penuh sangat dibutuhkan, tanpa menapikan pengertian kita bahwa hidup bukanlah jebakan untuk menjadikan dunia sebagai tempat keluhan, kepedihan, akan tetapi dunialah yang menjadi tempat mengenal Tuhan dengan keadilan-Nya, kebesaran-Nya serta kasih dan sayang-Nya, AR-RAHMAN AR-RAHIM. Tuhan akan menjawab setiap derita yang dialami hambanya, bagi mereka yang ingin berbuat dalam kehidupan dan ingin berbagi dengan saudara-saudaranya maka Tuhan akan menghempaskan cinta-Nya, tak terkecuali kepada ibu yang lumpuh dengan memberi kekuatan pada bocah salah satu anak dari ibu yang lumpuh tersebut untuk memberi pencerahan bahwa di balik kelemahan ada kekuatan di luar diri yang selalu teraktualisasi dan menyimak kehidupan manusia yang senantiasa menolong manusia lainnya selama manusia itu ingin berperan dan bertanggung jawab terhadap perannya.

Bocah yang di percayakan oleh Tuhan untuk berperan dan mengambil alih peran-peran ibu yang lumpuh tersebut bernama Sinar yang menjadi sinar di rumahnya yang tanpa listrik tapi Sinar lebih terang dari listrik. Bocah yang berusia kurang lebih tujuh tahun.

Sinarlah yang menjadi jawaban atas pertanyaan siapa yang mengurus keluraga ibu yang lumpuh tersebut, Sinar yang terbilang lemah dan dalam jeratan ketidak mampuan baik dari segi pisik ataupun yang lainnya. Sinar menjalani hari-harinya yang keras tanpa keluh kesah, memasak, mencuci, mengurus ibu dan adik-adiknya, intinya adalah Sinar mengorbankan masa kecilnya untuk bermain seperti anak-anak sebayanya. Sinar dewasa sebelum waktunya, Sinar membentuk dunianya sendiri, Sinar adalah sinaran di rumahnya.

Mungkin kita akan bertanya bila memang dalam keluarga Sinar ada campur tangan Tuhan? Mengapa Tuhan harus memilih Sinar, bocah yang masih duduk di bangku SD? Padahal Tuhan bisa saja mengetuk pintu hati bapak Sinar untuk pulang, bisa juga ibu sinar yang lumpuh di sembuhkan, bisa juga Tuhan mengetuk pintu hati keluarga atau tentangga Sinar untuk membantu Sinar dan keluarganya. (Renungi saja sendiri ya…penulis kurang ajar gitu hahaha)

Jelasnya Sinar menjalankan peran-perannya dengan penuh tanggung jawab meski sinar belum tahu apa arti dari tanggung jawab itu. dan dari tanggung jawab itu, ternyata selalu melahirkan inisiatif, semangat dan kasih sayang, untuk mengurus keluarga Sinar, hingga keluraga dari daerah terpencil ini terkabarkan pada dunia mengundang media local maupun nasional, ST 12 (band papan atas Indonesia) Bupati, pemerintah dan komnas anak tersentuh serta hendra terharuh ( hendra penulis rekeng hahaha) dan banyak hendra-hendra yang lain ikut terharuh menatap cermin kehidupan sinar. Yang jadi pertanyaan kemudian hal apa dan kekuatan apa bocah SD itu membuat banyak orang terundang ke rumahnya di daerah yang sangat terpencil itu hanya untuk bertemu Sinar ? kekuatan apasih yang dimiliki Sinar hingga mampu mengabarkan pada Dunia tentang kehidupannya? ( berpikir lagi ya…hahaha)

Sinar adalah anggota keluarga yang the best of the best karena mampu bertindak di saat-sast tidak ada lagi yang bisa di harap dalam keluarganya. Sinar berdiri di tengah-tengah kelurganya yang menjalankan roda kehidupan dengan tertatih-tatih, keluarga yang mungkin bila kita menengok mata kuliah dan pelajaran di kampus akan menjadi hal yang mustahil bocah seumuran Sinar mampu memutar roda kehidupan dalam keluarganya. Mata kuliah di kampus akan mendustakan realitas kehidupan Sinar, tapi Sinar nyata dan ada di tengah-tengah masyarakat Polman, lalu apa yang terjadi dengan mata kuliah kita? Bukankah setelah kita selesai dari kampus kita akan terjun ke masyarakat untuk mengaplikasikan ilmu yang rasional yang kita telah dapatkan di Universitas? Tapi kehidupan Sinar tidak rasional? Kira-kira apa yang salah? Apa Sinar yang salah atau pelajaran dan mata kuliah kita yang salah? ( berfikir menandakan kau manusia maka berfikirlah…pesan penulis…hahaha)

Dari sini mari kita mengembara ( uwis..mengembara) ke keluarga besar kita KOASSTER SIIN UNASMAN, sejak keluarga ini berdiri terkalender masehi 03 Oktober 2003, telah merekrut banyak anggota keluarga yang mungkin bila di laporkan ke dinas catatan sipil akan di tolak sebelum matang karena akan terlalu banyak menggunakan blangko anggota keluarga ( terus apa urusannya ini sampai ke capil? Tanya budi!) penulis dalam hal ini hendra lengkapnya hendra djafar hanya ingin menyampaikan saja sakin banyaknya anggota keluarga kosaster siin ( ohh gitu… sahut budi!) ingat ohh gitu adalah tanda kita mengerti dan pengertian adalah harapan dan Cuma harapan yang banyak membuat orang bertahan hidup, dan hidup itu adalah yang nyata dan yang nyata inilah yang perlu diurus untuk menjadi pengurus. Kita harus berperan dan setelah berperan kita harus bertanggung jawab terhadap peran kita.

Lihat sinar yang mengerti perannya sebagai anggota rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap perannya, terangkatlah keluarga sinar, membuat Indonesia penasaran pada keluarganya. Dan datanglah orang-orang bertamu padanya, membuat bangga Indonesia punya sinar, bocah yang memiliki semangat hidup yang tinggi. (tidak jadi nih… kita bahas kosaster…) siapa bilang tidak jadi, ini kita bahas kosaster kok… dari awal tulisan ini membahas tentang kosaster. “masa kita bahas kosaster dari awal yang kita bahas kan cuman keluarga sinar, hingga sampai pada ujung tulisan ini masih bahas sinar… bang… ” (oh gitu ini menandakan bahwa aku sudah mengerti ketidak mengertianmu, makanya aku katakan oh… ghitu) (okey kita tengok lagi dari awal tulisan ini, baca ulangmi dari awal lagi he..he…he…)

Dari awal tulisan ini sudah dikatakan seorang ibu yang lumpuh, kita ibaratkan saja dengan pengurus kosaster yang tidak aktif atau tidak on line (maaf saja pengaruh FB). Bapak yang merantau adalah anggota kosaster yang pergi entah kemana, anak-anak yang perlu diurus adalah anggota baru, yang ingin bertahan dikosaster dan perlu diurus, dalam artian diberi pengajaran. Lalu siapa sinar dalam kosaster??? Yang akan mengabarkan pada dunia, bahwa keluarga kosaster SIIN ada.
Semua anggota kosaster bisa menjadi sinar selama anggota menyadari, bahwa menjadi anggota kosaster berarti menghidupkan keluarga kosaster, tentu saja dalam hal ini setiap anggota, memerlukan energy yang lebih, peran yang maksimal, bakat khusus, siap berkorban, bertanggung jawab, ikhlas dan kasih sayang serta melebur diri dari aku menjadi kami. (maksudnya bang dari aku menjadi kami) bila suatu keluarga dan dalam keluarganya itu masih aku tetap aku, dan kau tetap kau, maka keluarga itu tidak akan pernah mendapatkan damai, sebab aku tetap aku dan kau tetap kau, adalah perbedaan selamanya.

Kedamaian apa bila kita membesar-besarkan perbedaan. Bagus kalau perbedaan itu seperti warna-warni pelangi, berbeda-beda tapi menawarkan keindahan, tapi warna-warni tak kan terlihat tanpa ada sinar. Lagian pelangi tidak menonjolkan perbedaan warnanya tapi menonjolkan pelanginya. (tidak usah membahas pelangi bang, bahas tentang caranya aku menjadi kami) “baik” cara untuk menghilangkan aku tetaplah aku dan kau tetaplah kau, hanya dengan peran dan bertanggung jawab terhadap peran. Dengan adanya tanggung jawab hubungan aku dan kau menjadi kami, dari kami inilah yang akan melahirkan hidup bersesama (berinteraksi).

Dan juga dari kami inilah, yang akan melahirkan hidup bersama (interaksi) setelah mampu menghidupkan hidup bersama dan bersesama maka tidak akan ada lagi bahasa anggota yang mengatakan, “ aku tidak dipanggil dalam kegiatan kosaster” mengapa muncul bahasa seperti ini, karena kita tidak memahami peran-peran sebagai anggota kosaster ketika tidak memahami peran maka tanggung jawab tidak akan tumbuh, ketika tanggung jawab tidak tumbuh maka inisiatif tidak akan lahir. Ketika inisiatif mati berarti matilah kreatifitas, ketika kreatifitas mati maka kita tidak mampu memunculkan kasih sayang, cinta, pengorbanan dan semangat. Ketika tidak ada semangat maka akan lahir pesimistis dan ketika pesimistis maka akan gampang diintervensi. Ketika terintervensi maka hilang ideology, ketika kita hilang ideology maka kita dan tujuan kita adalah balon-balon sabun. Ingat ideology, tidak terbangun dari aku tetap aku tapi dengan kami, yang artinya hidup bersama dan bersesama.

Seiring perjalanan waktu kosaster tetap eksis pada tujuan keberadaannya yakni bergerak diwilayah kesenian dari tujuan ini, anggota mereka-reka saya harus berperan apa? Untuk menghidupkan kesenian dan kebudayaan dalam keluarga kosaster SIIN pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bukan kosaster yang akan menghidupkan kita, tapi kita yang harus menghidupkan kosaster. Tentu saja kita memiliki peran setelah menjadi anggota paling tidak peran anggota dapat hadir disetiap kegiatan kosaster, walaupun hanya duduk dalam setiap rapat-rapat kosaster dan menerima keputusan rapat.

Kosaster sudah mencapai umur 6 tahun masa berdirinya tapi masih belum memuaskan hidup kesesamaan dan kebersamaannya sebagai satu keluarga. Ini bisa dilihat ketika pengurus atau yang pernah menjadi pengurus yang selalu menjadi ujung tombak dan penginsiatif disetiap kegiatan kosaster, coba kita bayangkan andai pengurus dan mantang pengurus adalah ibunya sinar yang lumpuh? Maka akan bagaimanakah kosaster, dan umpamanya hari ini kanda Arifin, kanda Hakim, Ari Saputra, Akram, Mislia, Ardimansyah dan senior yang lain semua lumpuh.

Tidak bisa dipungkiri mereka adalah anak-anak kosaster yang selalu memberi nafas kepada kosaster, mereka adalah sinar didalam rumah kosaster, mereka selalu berusaha keras untuk mengabarkan pada dunia bahwa kosaster ada. Kosaster SIIN adalah keluarga yang besar itu sangat disadari oleh anggota kosaster tetapi harus juga disadari tahun terakhir ini kosaster hanya mampu menyalakan lampu kamar devisi teater, sedang kosaster masih mempunyai kamar-kamar devisi yang lain yang lampunya masih redup seperti tari, sastra, musik, rupa dan produksi.

Kamar-kamar devisi ini perlu dinyalakan lampunya dan yang akan menyalakan lampu perdevisi adalah anggota kosaster yang menjadi Sinar yang memehami perannya dan bertanggung jawab terhadap perannya. Anggota keluarga yang telah memilih devisi tari harus serius didevisi tari, banyak membaca referensi tari, demikian juga anggota devisi-devisi lainya, harus banyak melakukan workshop, latihan dan berinisiatif sendiri dan senantiasa harus menjadi Sinar saat orang tuanya lumpuh.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi bahan renungan buat keluarga besarku di kosaster SIIN, marilah kita menjadi sinar, sebab kosaster butuh SINAR, yakinlah ketika kita akan berbuat, Tuhan tidak angkuh sekedar melihat kita, dibalik ketidak berdayaan hamba yang bertanggung jawab terhadap perannya. Tuhan tidak sudi mendengar keluhnya, selama peran dan tanggung jawab selama kita berbagi dengan saudara-saudara kita.

Catatan: perubahan hanya bisa terwujud diatas pondasi yang memadai
Bukan dari kelemahan yang di tutup-tutupi.
Pambusuang, Januari 2010.


Hendra Djafar
mantan ketua Kosaster Siin Unasman

Senin, 12 Desember 2011

Kursi dan Duduk


oleh : Askar Darwis

Kursi,,, Kata ini memang sederhana,,, Dan cukup dekat setiap orang....
Dia bukanlah apa-apa,,, tidak lebih dari sekedar tempat untuk duduk……

Duduk… Yach duduk,,,, suatu kegiatan untuk mengistirahatkan diri, setelah seharian berjalan dan berdiri,,, atau bila ingin melakukan sesuatu yang harus dikerjakan di tempat dengan tenang,,,,, menulis, membaca, atau sekedar mengobrol….
Kursi dan duduk adalah pasangan yang ideal,,,,, kursi akan dicari bila seseorang ingin duduk, mengaso, atau melakukan sesuatu,,,, duduk sangat memerlukan kehadiran kursi,,, kursipun tak berarti apa-apa bila duduk tak ada,,,, Keduanya bak ROMI dan JULI, RAMADHAN dan RAMONA, ROJALI dan JULEHA, atau bahkan KACO dan CICCI’,,,,,,,
Hampir setiap saat,, mereka bergandengan tangan ke mana-mana,,, seolah mereka tak ingin dipisahkan oleh apapun,,,,, Kata orang yang dilanda ASMARA,,,, ini yang disebut “Sehidup-semati”,,,
Kursi dan duduk,,, memang bukan apa-apa,,,, Namun, mereka menjadi istimewa bagi seseorang,,, yang membutuhkannya,,, Ada saat-saat tertentu manusia menjadi mencari-cari,,, bahkan kadang memperebutkan mereka,,, manusia tega melakukan apapun untuk memperoleh “KURSI dan KE-DUDUK-AN,,, Menyikut saudara, memfitnah sahabat, mengingkari janji dengan teman-teman……….
“KURSI dan KE-DUDUK-AN,,,” ternyata sungguh “Empuk”, bagi siapapun yang merasakannya,,,
begitu empuk dan nyamannya,,, mereka yang mendapatkan “Ke-duduk-an”,,, kadang lupa berdiri, lupa siapa yang ada di sampingnya, lupa orang-orang yang membantunya, sehingga dapat merasakan “Kursi” yang empuk…..
Duduk dan Kursi,,, ternyata bisa menjadi malapetaka,,, bagi orang2 yang terlanjur merasakan nimmatnya, empuknya “duduk” di “kursi”,,,…..
Apa kabarmu,,, “Duduk” dan “Kursi”,,, masihkan saudaraku di sana terlelap, ,,,,,
Apa kabarmu,,, “Duduk” dan “Kursi”,,, tolong bangunkan saudaraku,,, beritahu kalau dia sudah sangat lama terlelap di pangkuanmu,,, dia lupa akan tugasnya mengurusi orang2 yang kelaparan, putus sekolah, si sakit yang tak punya biaya berobat,,, mereka menunggu saudaraku Terjaga dari lelapnya,,,,,

Sudut Timoer KOTA MAKASSAR,,,,
Ahad, 11 Desember 2011

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Dan Pengembangan Inisiatif Masyarakat (LAPIS) Sulawesi Barat

Kamis, 01 Desember 2011

Virus Tekhnologi Merasuki Tradisi

Oleh : Sabri Hamid (Abhy’)


Dalam kehidupan kita, ilmu teknologi sudah menjadi konsumsi masyarakat luas dan tidak dapat di pungkiri ilmu teknologi adalah ilmu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari – hari pada masyarakat.

Dalam persepsi kehidupan, teknologi sudah sangat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, tetapi masyarakat awam tidak pernah menyadari bahwa ada dampak negatif dalam ilmu teknologi, dan tidak mungkin pereadaban budaya yang masih sangat kental di daerah kita khususnya di daerah Polewali mandar (Polman) bisa terkikis oleh hal – hal yang berbau kemoderen – moderenan. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui sisi – sisi dimana kita bisa mengunakan teknologi dengan baik dan bisa bermamfaat bagi kita terutama lagi untuk kemaslahatan bersama.

Berbicara tentang pengaruh ilmu teknologi, telah banyak budaya di daerah Polman yang sudah di kikis oleh kecanggihan ilmu teknologi tersebut. Semisal pelaut di mandar sebut saja masyarakat Kampung Karama Desa Karama Kecamatan Tinambung. Di sana, sudah banyak yang tidak menggunakan perahu kebanggaan masyarakat mandar yaitu “Lopi Sandeq” yang sudah di kenal mendunia dan mempunyai kecepatan yang luar biasa. Perahu tersebut, tidak menggunakan mesin, perahu ini hanya memanfaatkan tiupan angin.

Karena pengaruh teknologi, masyarakat di daerah karama sudah mengganti apa yang sudah mereka pakai sejak dulu dengan perahu mesin / bermotor, karena menurut mereka jika kita menggunakan mesin pekerjaan akan semakin mudah dan akan lebih cepat pula pekerjaan akan selesai, secara tidak sadar masyarakat yang dikenal masih sangat kental dengan budayanya sudah terkikis oleh kehebatan teknologi, yang menawarkan kemudahan dan kemewahan.
Lopi Sandeq yang saya kenal dulu tidak bisa lagi berlayar menemani sang pelaut gagah yang tangguh di terjang ombak, sekarang perahu Sandeq cuman menjadi pajangan di tepi – tepi pesisir pantai kampung Karama, dan cuma akan berlayar lagi jika ada perlombaan yang digelar pihak pemerintah daerah (Pemda) Polman maupun Sulbar.
Teknologi sudah menjadi virus dalam tradisi, virus dalam artian merusak keaslian pelaut mandar, walaupun berguna dan memudahkan tetapi ada dan sangat besar dampak negatif yang di akibatkan oleh teknologi itu. Jangan sampai kita terlalu terjebak oleh teknologi, kita harus tau apa dampak positif dan negatif dari teknologi tersebut. kita juga tidak harus menyalahkan teknologi seutuhnya karena mau tidak mau teknologi adalah buatan manusia itu sendiri.

Sekedar menjadi pesan penulis, bahwasannya penting kita mengetahui dan mempelajari teknologi. Tetapi, sebagai masyrakat yang masih memegang kultur/tradisi. Ada baiknya, jika pengetahuan teknologi yang kita miliki jangan sampai merusak tatanan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Karena bagaimanapun, satu-satunya instrument yang mampu membuat sebuah peradaban bertahan, karena selalu memelihara tradisi lokal sebagai wujud identitasnya.

Wallahu muwaffieq ila aqwamith tharieq
Wassalam


Penulis adalah mahasiswa pada
jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Unasman.
Selain itu, terdaftar sebagai warga PMII Polman, dan banyak berkiprah di SOLIT Community dan Café Baca Asy'ariah.

“Kamar Mandi” Tempat Berfikir, Ber-ekspresi dan Mencari Inspirasi

Oleh : Hasbi Baharuddin (Bochek)


.


Kamar mandi. Tentunya, ketika kita mendengar dua penggalan kata tersebut, pasti yang melintas dalam benak kita adalah tempat untuk mandi. Sehingga kebanyakan orang mendefinisikan fungsi utama dari dua penggalan kata itu adalah untuk sekedar mandi saja.

Melihat dari pendefenisian yang di ungkapkan oleh banyak orang tersebut di atas. Tampaknya ada segelintir orang yang membantah hal tersebut, bahwa kamar mandi itu bukan untuk mandi toh saja. Tetapi kamar mandi juga merupakan salah satu wadah untuk membuka cakrawala berfikir sebagian orang dengan asumsi bahwa kamar mandi adalah salah satu tempat yang dapat melahirkan sebuah gagasan atau tempat berpikir, berekspresi dan mencari inspirasi baru.

Melihat asumsi tersebut di atas, tampaknya asumsi itu di perkuat dengan pendapat beberapa artis atau selebriti, seperti: Melly goeslaw, mengaku bahwa banyak inspirasi dan karya cipta (lagu), hasil dari berinspirasi di kamar mandi” Termasuk juga bintang rock Indonesia, vocalis dari band Saint Loco, menjadikan kamar mandi sebagai salah satu tempat latihan untuk mengolah vocalnya, termasuk teriakan-teriakan rockernya.

Itulah beberapa gambaran dari keajaiban kamar mandi yang dialami oleh selebriti Indonesia. Melihat dari pernyataan di atas, berpikir atau mencari inspirasi pada saat mandi boleh-boleh saja, berbeda pada saat buang air, karna dalam agama, berbicara saja pada saat BAB itu di larang, apalagi sampai memikirkan banyak hal terutama sampai memikirkan ayat al-quran dan hadist nabi, hal demikian itu sangat dilarang oleh agama.

Demikian pula, dari pemahaman masyarakat kultur mandar juga menafsirkan bahwa, berfikir ber-inspirasi pada saat BAB itu tidak baik atau pemali (pamali), pasalnya, ketika kita memikirkan sesuatu semisal pelajaran, pelajaran itu akan hilang selamanya atau keluar dari ingatan bersamaan dengan keluarnya kotoran di perut.
Makanya, dapat diambil pelajaran bahwa, jika ingin melupakan sesuatu atau apapun yang tak ingin diingat lagi, ingat dan fikirkan lah pada saat buang air besar. Dalam hal ini, masalah apapun akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Dan pemahaman ini sangat diyakini oleh masyarakat kultur mandar sampai sekarang ini.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat di simpulkan bahwa, mencari inspirasi di kamar mandi, tak kalah hebatnya dengan duduk diatas puncak gunung, melihat sunset (matahari terbenam), keindahan pantai, dan panorama alam lainnya.

Banyak yang mengakui keajaiban di dalam kamar mandi, bukan hanya sederet lapisan masyarakat biasa, tapi juga kalangan artis- artis papan atas. Asal saja jangan melakukan hal-hal tersebut di atas pada saat BAB.

Penulis adalah mahasiswa Unasman, merupakan warga PMII Polman.
Selain itu, banyak aktif di Solidaritas Peduli Teknologi Informasi(SOLIT Community)

Kearifan Lokal "Vis a Vis" Modernisme

Sebuah Refleksi Kritis

Oleh: Muhammad Yahya



Perlu kita pahami bahwa, terjadinya evolusi (perubahan lambat/tidak terasa) pada tradisi/budaya lokal (local wisdom) itu akibat dari lemahnya implementasi atau tidak mampu mensejajarkan antara nilai produk lokal masyarakat kultur dalam bersitatap dengan tradisi modern sebagai produk elite kapitalisme yang melahirkan pemikiran dan pola hidup bergaya liberal.

Salah satu perilaku masyarakat kultur yang menjadi sasaran amuk ideology oleh aktor modernis (orang-orang modern) yang berorientasi pada penyeragaman budaya modern secara universal (menyeluruh) adalah upaya untuk meruntuhkan sikap kolektifitas (kerjasama) masyarakat kultur yang masih mengimplementasikan tradisi dan budaya.

Seperti halnya di tanah mandar dengan konsep tradisi "Sikalu-kalulu" (gotong royong). Sikalu-kalulu itu merupakan tradisi masyarakat mandar tempo dulu yang mana bentuk sikalu-kalulunya itu sangat tidak menginginkan tetangga atau kerabatnya berada dalam kondisi kesusahan. Sehingga, yang terbangun pada waktu itu adalah prilaku kolektif dalam segala aktifitas sosial.

Misalnya. Tomambue’ Boyang (mendirikan sebuah rumah), pasti masyarakat lain akan datang dengan satu tujuan bisa membantu proses Mappake’de’ Boyang (mendirikan rumah) sedangkan para wanita itu datang untuk membantu memberikan pelayanan konsumsi dengan membawa sembako mentah maupun yang siap saji, dan mereka akan datang meskipun tidak di minta. Tradisi ini bisa di temukan di kampung halaman penulis tepatnya di kampung Rattekallang, desa Pullewani, kecamatan Tubbi Taramanu, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Inilah salah satu tradisi-budaya lokal mandar yang kemudian perlahan bergeser sejak masuknya berbagai faham yang seolah menghipnotis untuk kemudian saling memasang wibawa. Inikan bisa di kategorikan sebagai permulaan lahirnya konsep hidup individualistik yang di sodorkan oleh kaum modernis kapitalis yang sudah renyah di konsumsi oleh masyarakat perkotaan.

Dari fenomena tersebut itulah sehingga lahir dua faktor sebagai fakta nyata yang telah mengantarkan sebagian masyarakat untuk menanggalkan identitasnya, yang kemudian mendorong penulis untuk mengangkat topik mengenai Kearifan Lokal "Vis a vis" Liberalisme sebagai akibat dari peralihan pola interaksi kolektif menjadi individualistik dan konsumtif.

Perlu kita fahami bahwa munculnya pola fikir konsumtif dan individualistik itu merupakan dampak perilaku (pemikiran) baru pada masyarakat yang tidak mampu mensejajarkan antara nilai tradisi dan nilai modern, dalam hal ini masyarakat lebih cenderung pada kemudahan dari produk ke-moderenan. Sehingga, pola fikir konsumtif lahir sebagai efek dari perkembangan industri yang lebih cenderung menyediakan berbagai kebutuhan secara universal, dan ber-efek pada perubahan negatif terhadap tanggung jawab sosial yang perlahan terabaikan dan melahirkan pola interaksi masyarakat saling membatasi.

Selanjutnya, pola fikir individualistik pada masyarakat itu di dominasi oleh kemudahan – kemudahan yang di sajikan negara kapital melalui ilmu teknologi atau perkembangan globalisasi. Sehingga, membuat masyarakat merasa tidak lagi membutuhkan kolektifitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Nah, pola fikir yang di perlihatkan oleh aktor modernis terkait dengan upaya penyeragaman nilai secara universal, tentu hal tersebut akan berorientasi pada perubahan sosial budaya pada masyarakat tradisional demi menciptakan nilai – nilai (fisik, material, sosial) yang bersifat universal rasional (dapat di terima oleh akal) dan fungsional (sesuai fungsunya) dengan asumsi untuk membangkitkan tatanan kehidupan modern atau mensejajarkan basis pengetahuan dan pemahaman pada masyarakat yang masih memperthankan nilai substansi tradisi dan budaya. Namun pada hakikatnya upaya tersebut adalah untuk mengikis nilai –nilai tradisi lokal untuk menciptakan kehidupan konsumtif guna menanamkan pola hidup liberalisme (faham kebebasan)

Dampak Perubahan Sosial Budaya
Dampak pemikiran yang di hasilkan dari proses yang berorientasi pada perubahan sosial budaya itu secara tidak sadar akan berimbas pada hilangnya tradisi dan budaya sebagai identitas yang merupakan kekuatan kemandirian suatu kelompok. Sehingga, ketika system sosial budaya yang terdapat pada suatu kelompok itu terkikis tentu akan berimbas pada hilnagnya citra kelompok tersebut di mata kelompok yang lain.

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi pergeseran nilai kultur, pertama faktor innovation yaitu temuan-temuan baru yang di gagas oleh kaum modernis degan asumsi untuk mensejajarkan substansi nilai yang mencakup secara keseluruhan.
Kedua, pengaruh kebudayaan masyarakat lain (defusi). dalam hal ini di pengaruhi oleh pola interaksi yang kebarat-baratan yang perlahan mengikis identitas melalui periklanan dan perkembangan globalisasi yang sangat mengancam keberadaan nilai kultur. sebab, pergeseran nilai kultur yang masih percaya pada perilaku yang berlatar belakang megik, mistik dan ritual itu akan menjadi rasional dengan pendekatan yang memiliki kekuatan rasional dari faham moderni kapitalis yang perlahan menghapus nilai Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat (TBC).

Ketika kita berbicara mengenai dampak yang di hasilkan dari pengimplementasian nilai liberal yang perlahan mendorong paradigma eksistensi ideology kapital. Tentu dampak yang akan terjadi adalah ketidak kolektifan yang memaksa masyarakat tidak saling membutuhkan sehingga kepedulian terhapus dan berujung pada tindakan radikal. Seperti yang di persembahkan di berbagai media elektronik maupun media cetak yang tidak jarang menampilkan peristiwa pembunuhan, penganiayaan, penipuan, pelecehan seksual, perampasan hak dan sebagainya.

Dengan melihat peristiwa tersebut yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat, tentu peristiwa demikian itu adala akibat dari kurangnya kerjasama dalam menjalani kehidupan. Sehingga ada yang merasa tersingkirkan atau terkucilkan dengan ketidak mampuan untuk menjalin pola interaksi elite seperti halnya dengan orang-orang kaya yang di manjakan oleh pemikiran elite kapitalisme yang meniupkan doktrin modernisme dengan asumsi untuk mesejajarkan basis ideology untuk menyingkirkan eksistensi tradisi dan budaya yang pada akhirnya menimbulkan konplik atau yang lebih populernya Perampokan dan Pencurian akibat ketidak pedulian pada kaum menengah kebawah.

Selain itu, problem yang terjadi akibat kurangnya solidaritas masyarakat adalah akibat implementasi “isme” modernis yang mengalir pada liberalisme yang kemudian melahirkan pola hidup individualistik adalah tidak terbangun pola interaksi yang saling memahami (mengenal). Itu terbukti ketika penulis mencari salah seorang dosen kemudian menanyakannya kepada salah seoang masyarakat dan dia menjawab “disini tidak ada nama yang anda maksud” padahal mereka adalah bertetangga. Menggiurkan bukan???

Melihat fenomena maupun fakta yang terjadi dalam tatanan masyarakat, itu merupakan suatu kekhawatiran yang boleh jadi akan semakin memudarkan tradisi dan budaya sebagai identitas yang membedakan kita dengan bangsa lain. Seingga yang menjadi kesimpulan dalam goresan yang mengandung sejuta filu oleh masyarakat yang cinta akan kedamaian dengan implementasi tradisi dan budaya, setidaknya Bisa memberikan solusi konkrit dalam proses eksistensi tradisi-budaya dalam kehidupan bermasyarakat dengan kolektifitas yang tinggi. Sehingga, citra yang dulunya terpancar jelas sebagai kekuatan kemandirian bisa kembali memancarkan citra kita sebagai rakyat Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya.

Penyataan demikian bukan untuk menelorkan doktrin anti kapitalis dalam hal ini penganut faham modernis kedalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimanapun perkembangan globalisasi yang di motori oleh para elite kapitalis itu menyimpan dua nilai. Positif dan negative.

Pertama, perubahan progresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik dan menuju pada kemajuan. Maksudnya adalah, kemajuan itu hanya akan terealisasi sebagai kemajuan ketika masyarakat kultur bisa mensejajarkan antara substansi nilai tradisi lokal dengan nilai perilaku modern.

Kedua, perubahan regresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih buruk di bandingkan sebelumnya. Maksudnya adalah sepanjang masyarakat mengkonsumsi pola interaksi modern dengan meninggalkan tradisi-budaya sebagai identitas kelompok itu sendiri.


Penulis adalah Mahasiswa Unasman-asal Rattekallang, Tutar
pada jurusan Bahasa Indonesia FKIP.
Selain itu, merupakan warga PMII Pol-Man
dan saat ini berproses di Café Baca Asy’ariah.