Sabtu, 28 April 2012

Kebudayaan Dalam Sudut Pandang Antropologi


Judul : Mazhab- Mazhab Antropologi
Penulis : Dr. Nur Syam
Pengantar: Prof. Dr. H. M. Ridwan Nasir, MA
Penerbit : LKIS Yogyakarta
ISBN : 979-97853-5-9
Cetakan : Pertama 2007
Halaman : 230 halaman




Dalam bidang ilmu pengetahuan apapun itu, tak bisa dilepaskan dari latar belakang paradigma yang mempengaruhinya. Seperti ilmu-ilmu humaniora, sosiologi, hukum, sastra, dan sebagainya pasti selalu berkaitan dengan suatu paradigma atau lebih keren lagi disebut sebagai mazhab. Tak terkecuali antropologi, sebagai sebuah disiplin ilmu yang banyak mempelajari tentang perkembangan manusia dan kebudayaannya, itu senantiasa dipengaruhi oleh berbagai aliran yang kemudian secara eksplisit menjelaskan pola perkembangan manusia dari jaman dulu hingga sekarang.

Sejarah perkembangannya, ilmu antropologi merupakan sebuah doktrin ilmu pengetahuan yang menggantikan keberadaan “Tuhan” sebagai diskursus dominan, ini berkembang sekitar abad ke 19. Sejak saat itulah, maka rasa ingin tahu yang begitu besar terhadap perkembangan manusia menimbulkan aliran- aliran pemikiran yang dengan sendirinya membentuk pola pikir bangsa barat dalam memandang bangsa timur dengan kacamata yang digunakannya. Antropologi lahir dari penggabungan antara human progresivitas history (sejarah perkembangan manusia) dengan pengumpulan data etnografi.

Jika mendedah satu persatu antropologi dari beberapa perspektif, dan dalam buku ini secara jelas menggambarkan bagaimana perspektif mengkaji dari sisi tokoh, sasaran kajian, dan metodenya. Dan dalam beberapa perspektif ini saling kait mengkait (more or les).

Pertama, yang akan kita urai adalah aliran tertua dalam ilmu antropogi yaitu aliran evolusionis yang terinspirasi dari teori evolusi ala Charles Darwin. Nama-nama tenar seperti E.B. Tylor, JJ. Bachoven, J.G. Frazer, R.R. Marret, dan Andrew Lang, adalah beberapa tokoh yang banyak menuangkan ide dan gagasannya dalam sub-bidang kajian antropologi ini.

Menurut pandangan evolusionis, proses perubahan manusia dari masa ke masa dan dari waktu ke waktu, mengikuti cara hidup binatang yang biasanya dalam aliran ini disebut sebagai fase pro-miskuitas. Setelah itu, berlanjut lagi pada fase diferensiasi, hingga pada fase eksogami dan indogami. Dan konsep dasar perubahan yang dimaksud dalam pendekatan ini adalah perubahan perlahan namun pasti mengikuti siklus alam yang berlangsung secara terus menerus.

Aliran evolusionis dalam melacak dan memaknai kebudayaan manusia, menggunakan tiga asumsi dasar. Pertama, kebudayaan sebagai cultural system. Gagasan, pikiran, konsep, nilai-nilai, norma, pandangan, dan undang-undang yang terdapat dalam kerangka ide disebutnya sebagai tata budaya kelakuan yang sifatnya abstrak. Kedua, system sosial yang ditandai sebagai kelakuan dan bersifat konkret seperti upacara-upacara dan sebagainya. Sedangkan yang ketiga adalah material culture, dimana kita ketahui bersama bahwa perwujudan kelakuan manusia dalam bentuk benda seperti artefacs adalah hasil dari karya manusia itu sendiri dalam menjalani kehidupannya. Intinya adalah proses perubahan kebudayaan dari tradisional (primitive) menuju modern (canggih).

Kedua, aliran fungsionalisme struktural. Pandangan ini mengutarakan bahwa kebudayaan manusia dipengaruhi oleh subsistem-subsistem yang saling berhubungan. Misalnya bagaimana agama mempengaruhi perkembangan ekonomi. Para pemikir (tokoh) yang berpengaruh dalam aliran ini seperti Williams James, Branislaw Malinowski, JJ. Frazer, A.R Radiclife Brown (sangat dipengaruhi oleh pemikiran Durkheim) dan Leslie White.

Seperti yang disebutkan tadi diatas, kebudayaan lahir dari keterkaitan antara subsistem yang sifatnya mempengaruhi. Kebudayaan yang dimaksud disini adalah kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi abstrak yang termanifestasikan dalam perilaku kesehariannya.

Ditinjau dari aspek metedologi, aliran ini menggunakan corak sistemik. Hal ini berarti, ada eksplorasi antar pertalian struktur-struktur dan fungsi suatu masyarakat sehingga menjadi kesatuan yang utuh. Dalam pandangan ini, sangat dihindari yang namanya konflik. Karena jika terjadi konflik subsistem-subsistem tadi tidak akan dapat bekerja dengan baik.

Mengacu pada analisis Durkheim. Menurutnya, system sosial yang terbangun tak ubahnya seperti anatomi tubuh manusia. Dimana setiap bagian-bagian tubuh mempunyai fungsi masing-masing jika salah satunya tidak berfungsi maka akan terganggu bagian-bagian yang lain dalam menjalankan fungsinya.

Durkheim, dalam menjelaskan agama (salah satu unsur penting terciptanya kebudayaan) tidak pernah mempertanyakan tentang apa asal-usul dari agama itu. Melainkan, bagaimana fungsi sosial dari agama tersebut. seperti yang dicontohkan, fungsi bagi orang-orang yang melakukan sholat apakah itu mempengaruhi kehidupan ekonominya (kaya) ataukah justru sebaliknya malah semakin miskin.

Ketiga, adalah aliran kognitif. Pandangan ini mengkaji tentang pola relasi bahasa, kebudayaan, dan kognisi (pikiran). Kebudayaan dipandang sebagai kognisi dari manusia. Pemikir yang paling banyak menyumbang ide-ide segarnya dalam subdisiplin ilmu ini adalah Ward. H. Goudenough, Ben Anderson, dan Niels Mulder.

Hal mendasar yang menjadi pusat perbincangan dari antropologi simbolik adalah hal-hal fundamental dari individu kehidupan anggota masyarakat. Seperti misal bagaimana seseorang memaknai karya seni rupa seperti patung. Bagaimana memandang peristiwa-peristiwa alam yang terjadi, atau dengan kata lain bagaimana ia memaknai kehidupannya tanpa ada campur tangan dari luar dirinya. Oleh karena itu pandangan ini sangat subjektif bagi pelaku.

Keempat, aliran strukturalisme. Sub-disiplin antropologi ini lahir akibat imbas dari corak pemikiran positivistik yang beranggapan bahwa budaya suatu etnis lebih tinggi dari pada etnis lain. Pandangan positivistik ini dipengaruhi oleh teori rasialis yang beranggapan bahwa diantara berbagai ras manusia terdapat saling perbedaan sehingga suatu ras akan lebih digdaya dibandingkan ras lain. Seperti contoh pada saat kepemimpinan Adolf Hitler di Jerman. Hitler meyakini bahwa hanya bangsa Arya lah yang paling mulia diantara bangsa-bangsa lainnya di dunia. Oleh karenanya, cara pandang Hitler tersebut mengobarkan semangat nasionalisme yang berlebihan. Pandangan positivistik seperti ini dikritik habis oleh Claude Levi- Strauss sebagai tokoh utama dalam aliran strukturalisme. Menurutnya, keanekaragaman kebudayaan adalah sebuah keniscayaan dan setiap kebudayaan mempunyai kelebihan tersendiri dan terkadang mempunyai kesamaan.

Dalam buku ini, Levi Strauss menjelaskan bahwa tujuan mendasar dalam mempelajari antropologi adalah menemukan pola atau model bukan pada pengulangan perilaku, tetapi melalui struktur. Struktur itu dikatakannya dapat ditemukan melalui pandangan para ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dikajinya.

Beberapa pemikir yang mempengaruhi pemikiran Levi strauss dalam mengkaji kebudayaan adalah Mauss, dan Ferdinand de Sausurrre. Saussure memberikan sumbangsih pemikiran terhadap Levi strauss tentang Signified (tinanda) dan signifier (penanda), form (bentuk) dan content (isi), language (bahasa), parole (ujaran), sinchronic (sinkronik), dan diachronic (diakronik), syntagmatik (sintagmatik) dan associate (paradigmatik.r

Oleh karena itu, sangat penting untuk membaca buku ini, terutama para mahasiswa yang ingin berkonsentrasi dalam mengkaji kebudayaan. Karena buku ini dapat memberikan beberapa perbandingan perspektif yang akan semakin memperkaya refensi kita dalam memberikan pengertian: seperti apa itu sebenarnya Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar