Jumat, 08 Juni 2012

Rahasia di Balik Kenyataan Sebuah Materi




Oleh : Muhammad Aco Rifai

Manusia telah dibiasakan sejak awal kehidupannya untuk memandang tempat dia hidup memiliki wujud materi yang absolut. Sehingga tumbuh dewasa dibawah pengaruh pengkondisian ini dan menjalani hidupnya dengan cara pandang ini.

Akan tetapi, penemuan ilmu pengetahuan modern memperlihatkan sebuah kenyataan yang sangat berbeda. Semua informasi yang kita punyai tentang materi sampai kepada kita melalui pancara indera. Materi yang kita fahami terjadi menurut apa yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dicium oleh hidung, dirasakan oleh lidah, disentuh oleh tangan.

Manusia bergantung hanya pada kelima indera tersebut itulah mengapa hanya dapat mengetahui materi cuma sebatas apa yang diberikan oleh indera. Tetapi penelitian ilmiah tentang indra kita telah mengungkapkan kenyataan yang sangat berbeda tentang apa yang disebut materi dan kenyataan ini telah membongkar rahasia yang sangat penting tentang hakikat materi.

Pernyataan sejumlah ilmuwan bahwa manusia adalah gambar, segala yang dirasakan bersifat sementara dan tipuan, alam semesta hanyalah bayangan telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan di zaman ini.Agar kita lebih memahami apa yang ada dibalik materi marilah kita fahami tentang indra penglihatan yang memberi kita lebih banyak informasi tentang materi.

Proses melihat terjadi secara bertahap, pada saat melihat kumpulan cahaya yng disebut foton bergerak dari benda menuju mata dan menembus lensa mata dimana foton ini dibelokkan dan difokuskan ke retina dibelakang mata. Disini cahaya dirubah jadi sinyal-sinyal listrik yang kemudian dilanjutkan oleh sel-sel saraf ke pusat penglihatan dibagian belakang otak.

Proses melihat sesungguhnya terjadi diotak. Semua pemandangan yang kita saksikan di dunia dan peristiwa yang kita alami sebenarnya kita rasakan di dalam otak .Pemandangan tanpa batas yang kita lihat semuanya ada di dalam tempat yang kecil berukuran beberapa sentimeter ini.

Sekarang marilah kita cermati informasi ini dengan lebih seksama ketika kita berkata, ketika kita melihat sesungguhnya efek yang ditimbulkan pada otak kita oleh cahaya yang sampai ke mata, dengan merubahnya sebagai sinyal listrik. Ketika kita berkata, sebenarnya menyaksikan sinyal sinyal listrik pada otak kita.

Disamping itu, ada hal lain yang perlu diingat otak tertutup rapat dari masuknya cahaya dan bagian dalamnya gelap gulita. Selanjutnya, karena dia takkan mungkin berhubungan dengan cahaya kita dapat menjelaskan hal ini dengan sebuah contoh.

Anggaplah dihadapan kita ada sebuah lilin yang menyala dan kita melihat cahaya lilin ini selama kita melihat cahaya lilin bagian dalam otak dan tengkorak kita sama sekali gelap cahaya lilin tak pernah menerangi otak maupun pusat penglihatan kita.

Namun, kita melihat dunia yang terang dan berwarna warni dalam otak kita yang gelap. Hal yang sama pula terjadi pada indera kita yang lain suara sentuhan rasa dan bau semuanya dirasakan dalam otak sebagai sinyal- sinyal listrik.

Jadi otak kita sepanjang hidup tidak berhubugan langsung dengan materi sesungguhnya yang ada diluar kita melainkan sekedar tiruan berupa sinyal listrik dari materi tersebut yang terbentuk didalam otak kita. Disinilah kita tertipu ketika menganggap tiruan ini sebagai materi sesungguhnya .

Kenyataan ini mengantarkan kita pada kesimpulan yang tak perlu diperdebatkan lagi, bahwa semua yang kita lihat sentuh, dengar, dan dirasakan sebagai materi dunia atau alam semesta hanyalah sinyal sinyal listrik dalam otak.

Hal lain yang perlu dicermati disini adalah perasaan tentang jarak misalnya benda benda yg terlihat sangat jauh ternyata adalah sejumlah bayangan yang terkumpul pada satu titik dalam otak seperti seseorang yang menyaksikan bintang bintang dilangit dan beranggapan bahwa mereka berjarak jutaaan tahun perjlanan cahaya darinya.

Padahal bintang bintang ini ada dalam dirinya sendiri di pusat penglihatan pada otaknya. Ketika sedang membaca tulisan ini anda sebenarnya tidak berada dalam ruangan sebagai mana yang anda yakini sebaliknya ruangan tersebut berada dalam diri dan penglihatan anda terhadap tubuh, sehingga beranggapan anda berada di dalamnya namun harus ingat tubuh anda adalah bayangan yang terbentuk dalam otak juga.

Kita meyakini materi hanya melihat dan menyentuhnya. Materi dimunculkan pada kita oleh gambaran yang kita buat sendiri namun gambaran itu hanyalah sekedar gambaran dalam otak kita. Jadi materi yang terekam tidak lebih hanyalah sekedar penampakan dan gambaran ini hakikatnya adalah tidak ada kecuali dalam otak.

Semua ini hanya ada dalam otak maka ini berarti kita telah tertipu ketika kita membayangkan bahwa alam dan segala sesuatunya memilki wujud di luar otak untuk membayangkan bahwa materi memiliki wujud di luar otak adalah tipuan belaka. Penampakan yang kita saksikan sangat mungkin berasal dari sumber tiruan.

Kita tak pernah menyadari bahwa kita hanya terdiri dari otak, sangat mudah kita terkecoh dan mempercayai penampakan yang tanpa disertai wujud materi sebagai hal yang nyata inilah sebenarnya juga yang terjadi dalam mimpi kita.
Bagi anda sesuatu yang nyata adalah yang dapat disentuh oleh tangan dan dilihat dengan mata. Dalam mimpi anda kita pula dapat menyentuh dengan tangan dan melihat dengan mata.

Namun, kenyataannya anda tidak memiliki tangan atau mata. Tidak adapun sesuatu yang disentuh ataupun lihat sehingga ketika mempercayai apa yang anda rasakan dalam mimipi sebagai keberadaan secara materi anda telah tertipu. kendatipun penampakan yang tidak memiliki wujud materi pengalaman dari mimpi terasa sangat nyata.

Hanya ketika terbangun dari mimpilah baru ia menyadari semua ini penampakan jika kita bisa hidup lebih muda dalam semua mimpi kita maka hal yang sama dapat berlaku dalam dunia yang kita huni.

Ketika kita terbangun dari mimpi tidak ada alas an logis untuk tidak berfikir bahwa kita memasuki mimpi yang lebih panjang yang kita sebut kehidupan nyata alasan kita menganggap mimpi kita sebagai khayalan sedangkan dunia sebagai alam nyata hanyalah akibat kebiasaan dan prasangka kita.
Hal ini menunjukan mungkin saja terbangun dari kehidupan di bumi yang kita anggap sedang kita jalani saat ini persis sebagaimana ketika kita terbangun dari mimpi.

Setelah semua kenyataan materi ini terungkap kini muncul pertanyaan yang paling penting. Jika peristiwa di alam materi yang kita ketahui pada hakikatnya sekedar penampakan bagaimana dengan otak kita oleh karena otak kita adalah sebuah materi sebagaimana lengan kita kaki atau benda lain yang mesti juga sekedar penampakan sebagaimana benda lainnya.

Lalu kehendak apakah yang melihat, merasakan, dan mendengar semua indra lain jika bukan otak. Siapakah dia yang melihat mendengar , meraba, merasakan rasa dan bau. Siapakah wujud ini yang berfikir beralasan memiliki perasaan dan bahkan berkata saya adalah saya, kau adalah kau dan mereka bukan aku.

Sejak zaman Yunani, para ahli filsafat telah mempertayakan tentang hantu dalam mesin dan manusia dalam manusia dan lain sebagainya. Dimanakah saya seseorang yang menggunakan otaknya siapakah dia yang melakukan perbuatan mengetahui sebagai mana pernyatan oleh salah seorang filsuf bahwa apa yang kita cari adalah sesuatu yang maha melihat.

Ternyata wujud gaib yang menggunakan otak yang melihat dan merasakan ini adalah ruh. Apa yang kita lihat di alam materi adalah sekumpulan yang dirasakan dan dilihat oleh ruh sebagaimana tubuh yang kita punyai dan alam materi yang kita lihat dalam mimpi tidak memiliki wujud fisik.

Wujud absolut ini adalah ruh materi yang hanya terdiri dari penampakan dan dilihat oleh ruh. Begitulah kendati pun kita beranggapan bahwa yang menyusun kehidupan ini adalah materi hukum-hukum fisika kimia dan biologi mengantarkan bahwa materi terbentuk dari khayalan dan pada kenyataan tentang adanya wujud ghaib. Inilah hakikat dibalik materi. Kenyataan ini adalah pasti sehingga menghawatirkan kaum materialisme yang meyakini materi sebagai wujud absolut.

Semua fakta ini telah memperhadapkan kita pada sebuah pertanyaan. Jika sesuatu yang kita yakini sebagai alam materi hanyalah sebuah khayalan berupa gambaran gambaran yang dirasakan oleh ruh kita, jadi apakah sumber penampakan itu ?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus berfikir bahwa alam ini tak ada dengan sendirinya melainkan ada sebuah kekuatan yang menciptakan dibalik materi semua ini lebih dari itu penciptaan itu harus terus menerus jika tidak maka materi akan musnah begitu saja. Sangat jelas bahwa ada pencipta yang maha agung menciptakan materi yakni keseluruhan penampakan yang terus menerus menciptakan tanpa henti.

Karena pencipta ini memperlihatkan ciptaan yang luar biasa dia pasti memiliki kekuatan dan kebesaran abadi. Semua penampakan ini ia ciptakan sekehendaknya dan dia berkuasa atas segala yang diciptakannya, setiap saat pencipta itu adalah Allah Swt. Wujud absolut sesungguhnya adalah Allah segala sesuatu selainnya adalah bayangan yang dia ciptakan karenanya wujud yang paling dekat dengan manusia adalah Allah.

Selama Allah menjadikan kita melihat gambar dan merasakan apa yang ada di dunia ini kita masih akan terus hidup ketika ia menghentikan gambar dan rasa terhadap dunia ini dan menampakkan malaikat maut pada kita kemudian menampakkan dimensi lain itu menandakan kita telah meninggal dunia. Hari kebangkitan alam akhirat surga dan neraka akan diciptakan dengan cara yang sama untuk kita.

(Tulisan ini pernah dimuat di media online seputarsulawesi.com)


Penulis adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Al- Asyariah Mandar (Unasman.Merupakan warga Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Polman. Sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris Ikatan Alumni Ponpes Pesantren Nuhiyah, Pambusuang Polman. Sebelumnyaa menjabat sebagai sekretaris Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Unasman.

Kamis, 07 Juni 2012

Menumbuhkan Minat Baca melalui Bazar Buku Murah



Citizen Report


Mohammad Holid Melaporkan dari Jombang Jawa Timur



Sesuatu yang senantiasa harus di syukuri; seiring berjalannya waktu, pemahaman akan pentingnya membaca dan minat terhadap buku terus meningkat. Di Pondok Pesanteren Tebuireng misalnya, bukan hanya santri putra, putri atau intelektual muda mahasiswa yang gemar membaca atau mengoleksi buku (sekalipun tidak semua, karena sungkan atau karena dasar keterpaksaan).

Para ibu muslimat NU pun tak ingin ketinggalan berebut membeli buku-buku best seller. Hal itu bisa kita amati di stand LKiS di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang di kelola oleh Ustadz Hamdan Sudrajat.

Kesadaran akan pentingnya buku, tak terlepas dari kerja keras dan dorongan spirit dari berbagai pihak, terutama pengasuh pondok pesantren yang tak henti-hentinya menssuport para santri untuk lebih giat membaca dan menulis.



Para Pembina santri sebagai perpanjangan dari pengasuh semakin giat memberikan contoh dengan pemanfaatan majalah dinding atau tembok-tembok pondok berupa artikel atau cerpen yang kemudian di kirim ke beberapa media massa baik itu skala lokal maupun nasional. Mereka tanpa pamrih dengan caranya masing-masing; menempelkan pamflet-pamflet di tempat-tempat keramaian yang isinya berupa ajakan untuk lebih giat lagi membaca.

Sejalan dengan itu, para penerbit buku pun tidak tinggal diam, melalui beragam cara mereka berusaha untuk menekan harga buku agar lebih terjangkau. Karena, di dalam masyarakat yang minat bacanya baru berkembang, terutama dalam hal membeli buku, mereka masih mempersoalkan harga. Tidak sedikit dari mereka yang suka, butuh dan mau membeli, urung setelah melihat harga yang tak terjangkau oleh kocek mereka.

Dengan situasi demikian, penerbit pun semakin intens mengupayakan ide-ide kreatif dengan memberikan kemudahan bagi para konsumen. Misalnya, pihak PT LKiS menerjemahkannya dalam bentuk Bazar Buku Murah di pesantren-pesantren terkhusus lagi di Ponpes Tebuireng.

Terkait bazar buku murah, banyak yang memberikan respon positif. Seperti yang diungkapkan Ibu Sholehah-- salah satu pengurus Muslimat NU Ngoro Jombang.

"saya sangat terbantu dengan adanya bazar buku murah ini, karena mengurangi pengeluaran belanja bulanan saya" ungkapnya kepada penulis.

Selain itu pula, ibu paruh baya tersebut juga mengungkapkan bahwa seiring perkembangan zaman, keruwetan atau dinamika hidup semakin kompleks, sehingga pihaknya semakin di tuntut untuk lebih giat mencari referensi agar mampu menjawab persoalan-persoalan yang ada pada masyarakat, khususnya; kaum perempuan.

"Sekalipun saya sudah tua, saya tidak mau kalah dengan anak muda, karena yang tua harus memberi contoh kepada yang muda” Ujar salah satu pengurus lain yang tak mau menyebutkan namanya.

Selanjutnya, Mang Safrudin salah satu penggiat pendidikan di Jombang juga menyampaikan apresiasi positifnya kepada pengelola staand hbuku, agar sesering mungkin diadakan bazar buku murah. Sehingga, siapapun yang berkunjung bisa di pastikan akan membeli buku-buku tersebut karena harganya yang terjangkau.(ar)

Pesantren Tebuireng Jombang Juni 2012




Mohamad Holid adalah alumni Ponpes Tebuireng Jombang Jawa Timur (Jatim). Saat ini menjadi karyawan bagian pemasaran di PT. LKiS Bumi Pelangi Aksara Yogyakarta.

Rabu, 06 Juni 2012

Bedah Film “Max Haveelar” di Warkop Mata Kopi



Yogyakarta—Max Haveelar, seorang asisten Resident Vereenigde Oostindische Compagnie atau popular disebut VOC Belanda, mencoba menyuarakan keadilan bagi penduduk di kadipaten Lebak Banten, yang selama ini mengalami ketertindasan oleh adipatinya sendiri.

Kala itu, penduduk dipaksa menyerahkan upeti kepada pemerintah kadipaten Lebak yang berkongsi dengan kepala Resident VOC di Banten, baik itu dalam bentuk uang ataupun ternak (kerbau).

Tahun 1836, masa pendudukan VOC di Nusantara. Penduduk Nusantara secara khusus lagi di Lebak mengalami hari-hari penuh penderitaan. Max Havelaar datang menjadi pahlawan yang berniat mengakhiri derita penduduk Lebak dengan mengadili siapa pun yang melakukan tindakan sewenang-wenang, termasuk adipati dan seluruh kroninya.

Naas, perjuangannya harus berakhir di balik jeruji besi karena kalah bersaing dengan kepala Resident Banten selaku atasannya yang lebih mendapat kepercayaan di mata Gubernur Jendral VOC di Bogor.

Demikian narasi singkat dalam film “Max Haveelar” pada acara bedah film yang digelar di Warkop “Mata Kopi” di Lembah Sorso, Jeruk Legi-RT 13B RW 35 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, kamis (05/06) pukul 20.00--22.00 WIB. Kegiatan ini merupakan agenda rutin yang diinisiasi pengelola Warkop Mata Kopi, Komunitas Mata Pena, kelompok musik Genk Cobra, dan Fachrurozzy Foundation Yogyakarta.

Muhammad Arif, dari Komunitas Café Baca Asyariah Sulawesi Barat, saat diminta memberikan apresiasi mengemukakan bahwa tokoh Max Haveelar sempat membuatnya terkesima karena ternyata masih ada orang-orang idealis VOC yang ingin menyuarakan keadilan di Lebak yang notabene menjadi tanah jajahan VOC.

Namun, ia masih meragukan penciteraan Max Haveelar yang seolah sangat idealis karena garapan film tersebut disuteradarai oleh orang Belanda.

Kemudian, Accung salah seorang penggiat Budaya di Yogyakarta berkomentar bahwa cerita dalam film ini masih perlu dikaji lebih mendalam karena kesan yang ditunjukkan sangat Leiden (Belanda) dan ada penegasan bahwa penduduk Jawa terkotak-kotakkan menjadi tiga golongan yakni priyayi, abangan, dan santri.

“Hal yang menjadi sorotan dalam film yakni kesan yang ditampilkan sangat Leiden , sehingga dalam alur ceritanya sangat menonjolkan tokoh-tokoh VOC yang terkesan idealis seperti Haveelar dan Gubernur Jenderal VOC yang diceritakan jujur dan religius. Selain itu, ceritanya juga memberikan penegasan tentang pengkotak-kotakan penduduk Jawa menjadi tiga golongan: priyayi, abangan, dan santri” ujar Accung.

Muh. Kholid karyawan PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta pada sesi akhir menyampaikan apresiasi positifnya kepada pihak pengelola karena acara bedah film ini menjadi agenda rutin. Sehingga siapapun yang berkunjung atau mampir di Warkop Mata Kopi akan meninggalkan kesan menarik karena nuansa intelektual yang senantiasa disajikan.

Turut hadir dalam acara bedah film itu, Ahmad Fikri AF (Pimpinan PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta), sejumlah perwakilan Himpunan Mahasiswa Tangerang (Himata) wilayah Yogyakarta, PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga, puluhan penggiat budaya di kota Yogyakarta, serta warga sekitar.(ar)

Selasa, 05 Juni 2012

Agenda
















Internal

- Sekolah Filsafat (Sementara berlangsung)

Sub Kajian :

1. 7 Teori Sosial
2. Teori Sosial Modern
3. Neo Marxis
4. Mazhab Frankfurt
5. Post Struktural
6. Post-Modern
7. Post-Kolonial
8. Analisis Wacana

(Penanggung Jawab: M. Rahmat)

- Sowan ke Ulama sekaligus Ziarah Makam Para Wali dan Ulama di Sulawesi Barat
- Latihan Riset dan Menulis Berbasis Etnografi (tahap Perencanaan)

Ekternal


1. Pameran Buku dengan menghadirkan sejumlah penerbit dari Makassar
2. Pelatihan Moderator bagi pemula (Mahasiswa Semester 1 & 3)(Tahap Perencanaan)
3. Diskusi Budaya dirangkaikan Bazar Buku kerjasama Penerbit Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta (Direncanakan)

Perpustakaan Café Baca Asy’ariah
















Perpustakaan Café Baca “Asy’ariah” berfungsi untuk mendukung aktivitas Komunitas Café Baca Asyariah dalam pengembangan minat baca bagi seluruh kalangan terutama pelajar dan mahasiswa. Perpustakaan Café Baca Asyariah berisi koleksi buku, majalah, koran, referensi, ensiklopedi dan kamus, terutama berbahasa Indonesia, dan Inggris. Secara lebih khusus, perpustakaan Café Baca Asyariah menyediakan koleksi yang terdiri dari koleksi bertema Islam, Filsafat, Manajemen, Pendidikan, Ilmu Sosial, Sastra, Gender dan Sosial Budaya—yang selama ini menjadi fokus perhatian Komunitas Café Baca Asyariah.

Koleksi
1.Koleksi referensi, berfungsi sebagai sumber informasi yang bersifat sekunder: ensiklopedi, kamus, dll.
2.Koleksi buku teks dari berbagai disiplin ilmu, terutama yang berkaitan dengan bidang sosial, filsafat, dan Islam.
3.Koleksi serial yang terdiri dari berbagai jurnal, majalah, koran dan sebagainya.
4.Laporan penelitian dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan mahasiswa

Layanan
1. Foto Copy. Layanan ini diberikan kepada semua pengguna untuk mem-fotocopy semua buku dan referensi yang dibutuhkan.
2.Baca di tempat. Layanan ini diberikan kepada semua pengguna Perpustakaan Café Baca Asyariah.


Fasilitas
1.Ruang baca dan diskusi
2.Kursi-kursi yang terletak di Halaman Café Baca
3.Papan tulis dan spidol

Jl. Budaya, No 2 Manding, Polman, Sulawesi Barat.Email:cafebacaasyariah@rocketmail.com

HP. 082190247 854/081998574591
Contact Person: Hamzah 081998574591 Yahya 085342255829

Solidaritas Buat "JENNE"

Citizen Report:






Imesh FArm
(Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Makassar.

Ketik Doa kirim ke SURGA, Ketik DONASI kirim ke Rek. PAPT




Makassar---Tadi subuh adinda kita pendarahan berat, matanya sudah sempat memutih dan lidahnya menjulur. Beruntung, sekalipun lambat ditangani pihak rumah sakit, namun nyawanya masih tertolong. Dengan pendarahan yang hebat, hati siapa yang tidak sakit. Sangat miris melihat kondisi Jenne, bocah asal Toraja.

Luka pada bagian leher dan kepala sudah berulat/belatung. Kemudian puluhan belatung tersebut dikeluarkan dari luka di leher dan luka di kepala. Sedangkan dari telinga saja ada 7 belatung sebesar belatung pada kotoran kerbau, lebih besar dari belatung pada buah nangka.

Kita hanya dapat berdoa dan berusaha yang maksimal dan memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada para dokter dan tenaga medis yang merawat adinda kita “Jenne”. Dan terus memberikan dukungan morIl kepada keluarga yangc tetap setia mendampingi dan membantu semaksimal mungkin.


Salama' sikamali' siangkaran sirande sia sipakatana banuari na sikambela tondok ri na sitoyangan apa iya tu inaya tontong sikala' rambu ruaya.



CELOTEH AYAM
















Oleh : M. Rivai

Kita berceloteh bersama
Sambil menarikan lidah
dalam kungkungan kandang ayam
menyatukan konsep dan gagasan

kita bukanlah ayam
menggaruk-garuk tanah
menggali
mematuk
mencari cacing

jangan biarkan tuan
melemparkan benih jagung
di sekitar kita

setelah kandang terbuka
kita lepas
Melepas segalanya

Tahan!
Ini belum saatnya merayu
Sebab musim kawin belum datang
Mengertilah ayam

Tuan
Tangkaplah semua ayam
Masukkan kembali ke kandang

Manding, 05 Januari 2012


M. Rivai adalah mahasiswa Bahasa Indonesia FKIP Unasman. Aktif di Komunitas Sastra Padepokan Sastra Mpu Tantular

Merefleksikan Islam dari Sudut Kampung

Nuansa “Pammunuang” di Si’iang





Oleh: Muhammad Arif

Pagi itu, terdengar sayup lantunan puja dan puji di sebuah surau berukuran 14x20 m di kampung yang jarang disambangi orang kebanyakan karena letaknya berada jauh di pedalaman. Kampung berpenghuni 40 Kepala Keluarga (KK), sungguh sangat bersuka cita menyambut momen datangnya bulan kebahagiaan yakni bulan Pammunuang (Maulid) yang dimulai pada penanggalan 12 Rabiul awal Tahun Hijriah.

Bulan dimana lahirnya tokoh panutan tertinggi yang diyakini segenap umat Muslim sedunia sebagai Nabi pembawa rahmat dan magfirah. Khalifatul Fil Ardh--- siapa lagi kalau bukan “Rasulullah Muhammad SAW” sang manusia paripurna yang sungguh mustahil jika ada mahluk Allah SWT yang kuasa menyamainya.

Lantunan shalawat “Allahumma Shalli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad” terdengar jelas dari corong speaker surau pagi itu. Untaian syahdu, jernih nan indah diiringi kekompakan tabuhan rebana dari sekelompok remaja berpakaian putih yang sengaja didatangkan dari kampung para ulama tersohor tanah Mandar: Pambusuang.

Si’iang demikian nama kampung itu. Perkampungan yang acap kali di streotipe-kan orang luar sebagai kampung “Texas” karena entah musabab apa sehingga dipersepsikan demikian. Letak Si’iang berada di desa Adolang II, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene. Jarak dari ibukota kabupaten yakni kota Majene sejauh 30 km, hanya mampu ditapaki dengan menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor).
Si’iang: Santun, Religius, dan Damai

Si’iang pagi itu menceritakan dirinya sebagai kampung yang santun, religius, dan penuh kedamaian. Warga begitu larut dalam kerinduan dan kecintaan, sembari isak tangis haru menyelimuti di sela-sela lantunan demi lantunan ayat suci Alqur’an, zikir serta shalawat. Isak tangis itu seolah menjadi penanda bahwa warga Si’iang tak kuasa lepas dari mihrab batin yang menyelami telaga kasih dalam rangka pencarian hakikat diri sebagai hamba Allah.

Tampak pagi itu, beberapa remaja puteri duduk berjejer mengenakan baju lengan panjang putih berkerah dan rok panjang hitam dengan jilbab menghiasi wajah mereka. Sedangkan bagi remaja putera, begitu gagah mengenakan baju gamis rapi berwarna putih lengkap dengan sarung bercirikan khas--- Islam kampung serta peci putih dan hitam. Sarung yang dikenakan kebanyakan bergaris kotak-kotak, ada pula yang berwarna hitam polos dan putih.

Mereka tampak duduk bersila menemani para sepuh kampung dan para undangan yang hadir dengan khidmatnya mengikuti alunan shalawat yang didendangkan para remaja puteri. Kedengarannya sungguh sangat syahdu, menapaki selaksa ruang qalbu, fuad dan Sirr. “Memang selama satu minggu lamanya mereka dilatih khusus untuk melantunkan syair-syair shalawatan” ungkap pak tua yang tepat duduk disamping penulis di dalam surau.

Tak luput dari ruang pandang penulis---- Annangguru (maaf namanya enggan disebutkan) atau kiai asal Pambusuang yang umurnya masih terbilang muda—kelahiran 1975. Ia tampak khusyuk memanjatkan doa bagi sejumlah bayi sekaligus melakukan pengguntingan pertama rambut malaikat-malaikat kecil yang digendong oleh ibunya.
Ritual tersebut dikenal dengan--- sebutan Akeka’ atau Hakikah. Para ibu yang telah lama menunggu kedatangan si kiai datang menggendong bayinya seolah tak rela untuk ketinggalan mengguntingkan rambut anaknya yang disertai doa sang kiai yang sangat diyakini akan kemustajabannya. Memang, acara “Pammunuang” itu juga dirangkaikan dengan acara akeka’ (akikah) bagi warga yang belum meng-akikah bayinya.

Kehadiran sang kiai sepertinya membawa “Barakka’” tersendiri bagi kampung yang dikelilingi areal perbukitan itu. Semenjak bercengkrama dengan warga, nuansa keIslaman terasa semakin kental. Ia dapat dengan mudah diterima oleh warga karena pribadi sang kiai yang humoris, nyentrik, dan dikenal sangat perhatian. Ia datang bagai sebuah warna yang melengkapi dasar warna seluruh kanvas lukisan di kampung itu.

Namun, bukan berarti Si’iang selama ini sama sekali tidak bernuansa Islami. Kehadiran sang kiai seolah menjadi pelengkap akan kebutuhan spritual warga disana. Hingga kini, ia aktif membimbing warga dengan pengajian rutin, ziarah ke makam para Aulia, peringatan bulan Assyura, dan ritual keagamaan lainnya.

Perpaduan Islam dan Tradisi Lokal
Di pagi itu juga, ada pemandangan menarik yang terekam dalam memori penulis. Ada seonggok batang pisang setinggi dua meter dipasang di tengah ruang surau, lengkap dengan beberapa tusuk telur dan uang seribuan. Di bagian bawah, terdapat songkol (lemper) yang dibungkus daun pisang muda yang acap mengundang lidah untuk mencicipinya.

Kesemuanya itu, sebagai bentuk kecintaan dan kerinduan terhadap Rasulullah SAW. Dalam sepengetahuan penulis, itulah ciri khas Islam yang terdapat di kampung-kampung di Tanah Mandar. Nilai-nilai agama berpadu dengan kearifan lokal masyarakat. Islam yang tidak kaku dan akrab menyapa lokalitas pemeluknya. Sehingga beragam cara digunakan untuk menggambarkan kecintaan ummat kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW.

Muhammad Ali (40), warga Si’iang bercerita:
“Mua’ iyami’ mattasserei di’o ponna loka o, iyau mo di’o simbol na Rasulullah SAW. Ia tu’u di’o ponna loka, I’dai makarras batannna, bassa tomi tu’u sipa’na Rasulullah SAW. Ia tu’u anna manyamang dipessusuang tama pesusu’ tallo. Iya mo di’o pesusu’ tallo dirapangammi Umma’na Rasulullah Muhammad SAW iyya metta’e lao di pappasanna Rasulullah SAW i toma lumu nyawa anna tomacoa kero. Apa’ sitinayanna, tomalumu kero anna tomacoa nyawa topa tu’ tia narummunngi tau. Ia mo di’o tallo’, loka, sokkol, anna’ anggannana dio apa-apa--- ia mo barakka’. Sawa’ peppolena anu nawawa to dipetta’ei iyamo tonasalipurri pammase anna barakka,”

(Kalau saya memaknai, batang pisang itu merupakan penggambaran Rasulullah SAW. Pohon pisang itu tidak keras batangnya, begitupun sifat Rasulullah SAW. Sehingga dengan mudahnya tusuk telur itu tertancap. Tusuk telur itu dapat disimbolkan sebagai ummat (pengikut) Rasulullah Muhammad SAW yang menyandarkan segala sesuatunya kepada tuntunannya yang memiliki perangai lemah lembut. Karena hanya orang yang berperangai lemah lembutlah yang akan dikerumuni orang. Sedangkan telur, pisang, lemper, dan sebagainya sebagai berkah karena yang ditempati bersandar merupakan insan yang diliputi rahmat dan berkah).

Sangguh sangat filosofi apa yang diutarakan salah seorang warga Siiang diatas. Penulis pun sempat terkesima mendengar ungkapan yang jarang diutarakan orang kebanyakan. Penulis jadi teringat kalimat penuh makna--- mantan menteri Agama Prof. Malik Fajar. Kala itu, Prof Malik menyarankan agar “agama dikembalikan kepada pemeluknya”.

Ungkapan pak mantan menteri dalam tafsiran penulis seolah mengajak kita untuk lebih mencoba merefleksikan ajaran agama Islam melalui perspektif orang kampung. Secara lebih spesifik lagi, bahwa Islam di mata pemeluknya, hendaknya disesuaikan dengan konteks orang-orang yang menjalankannya. Karena konteks yang dibincang dalam tulisan ini adalah pemeluk Islam yang ada di kampung Si’iang. Maka pernyataan pak menteri sangatlah tepat untuk mensinergikan dengan konteks Islam yang ada disana.

Dalam cara pandang Islam formalistik-simbolik, pemeluk Islam yang berada di pelosok kampung, acap kali disematkan sebagai kelompok penganut Bid’ah ,Takhayul, dan semacamnya. Karena kebanyakan orang kampung masih menggunakan ritual tradisi lokal dalam menjalankan ibadahnya. Sehingga dalam cara pandang mereka penganut Islam yang ada di kampung-kampung mesti disadarkan atau dibaiat ulang.

Tak terkecuali Si’iang. Kampung kecil ini sering kali didatangi kelompok keagamaan yang berbeda dengan cara pandang warga memaknai Islam. Tidak etis bagi penulis jika menyebutkan namanya secara gamblang dalam goresan pendek ini. Mereka seringkali berdakwah di surau dan dari “sapo” ke “sapo” (rumah ke rumah) mengajak warga untuk beribadah. Namun, kehadiran mereka tidak bertahan lama karena warga disana menanggapinya secara dingin, cuek dan tidak ingin ambil pusing

Menurut pendapat beberapa warga, hal-hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran nenek moyang mereka mesti dipertimbangkan untuk diikuti. Tetapi, kehadiran mereka tetap dihargai sebagai penghargaan tuan rumah terhadap tamunya. Hingga pada akhirnya, kelompok keagamaan tersebut keluar dengan sendirinya dari kampung tersebut.

Seperti wawancara penulis dengan salah seorang warga yang juga enggan disebutkan namanya:

“iyau tu’u iyami’ mappegurui mesa pahang, parallu tu’u dissang pole innai perru’dusanna. Mua’ andang memangi jelas perru’dusanna, andangi tu’u mala ditarima buta-buta. Andang toi tia salah, tapi’ andangi ta’ iyami’ mala diola”
(Kalau kami mempelajari suatu paham, perlu kami lacak silsilahnya dari mana. Jika silsilah ajarannya sudah tidak jelas, kami enggan menerimanya secara gamblang. Sebenarnya apa yang diajarkan mereka tidak salah, namun kami tak kuasa menjalankannya)

Bagi pribadi penulis, ada kesamaan cara pandang penulis dengan pernyataan warga diatas. Mempelajari sebuah faham keagamaan semestinya terlebih dahulu dilacak asal usul (nasab) keberadaannya. Misalnya dari Rasulullah SAW, kemudian diwariskan ke Sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) dan seterusnya hingga sampai kepada kita. Jika dari silsilahnya sudah tidak jelas, ada keraguan bagi kita untuk mengikutinya apalagi menyebarkannya ke orang lain.
Demikian catatan kecil dari jejak penulis di kampung Si’iang. Catatan ini bagi diri penulis mempunyai makna yang begitu luhur dan menggugah. Setidaknya, pengalaman berharga ini memperkaya khazanah referensi penulis tentang keluhuran nilai-nilai Islam yang dianut para pendahulu kita di tanah Mandar, terutama mereka yang berada di kampung-kampung. Keluhuran nilai-nilai Islam tersebut berpadu dengan kekayaan kearifan lokal masyarakat, sehingga Islam itu sangat mudah diterima.
Selain itu, segala rutinitas yang mengitarinya sarat akan makna-makna hakiki yang jika ditelusuri lebih dalam lagi semakin membuat bulu kuduk merinding akibat getaran dari dalam sanubari. Dan itu kebanyakan kita jumpai di kampung-kampung. Namun, penulis menyadari bahwa pengalaman yang didapatkan penulis diatas belum bisa memewakili kampung Si’iang secara keseluruhan. Hal ini tak terlepas dari faktor innocently (kekurangan penulis) dalam menafsirkan berbagai fenomena yang didapat oleh penulis disana, apalagi waktu yang cukup terbatas. Selebihnya, terserah pembaca memaknai pengalaman singkat ini. Wassalam !!!!