Sabtu, 07 Juli 2012

Vagina-logi !



Oleh : Saprillah Syahrir Al-Bayqunie
Vagina! Apa yang muncul di kepala-mu jika kata ini ku-sebutkan. Entahlah! Mungkin sangat ngeres! Atau biasa saja. Lalu apa yang menghalangi-mu dan juga aku untuk menyebutnya dengan gamblang. Moralitas atau ........pornolitas?

Vagina (begitu juga-penis) jika diletakkan dalam makna fisiknya bukanlah sesuatu yang apa-apa, posisinya tidak jauh beda dengan bagian tubuh yang lainnya seperti tangan, kepala, kaki , lidah, bibir dan sebagainya. Namun ketika konstruksi budaya, agama dan sosial telah bermain dibelakangnya maka stigma terhadap vagina mulai muncul. Vagina menjadi arena kuasa dimana tubuh perempuan didisiplinkan dan dilokalisasi dalam sejumlah aturan-aturan yang ketat.

Ia ditabukan, menyebutnya berarti tidak sopan, amoral dan cabul. Karena itulah, vagina kemudian ditampilkan melalui bahasa samaran, bahasa halus. Bahkan pilihan kata vagina-sebagai serapan bahasa asing dan sekaligus dipopulerkan- pun merupakan bentuk penyamaran tekstual, ketimbang menyebut dengan menggunakan bahasa lokal-nya.

Ke –tabu-an vagina ternyata bukan karena eksistensinya tetapi karena kebudayaan yang mengkonstruksinya! Beban vagina sangat berat karena padanya dititipkan keseluruhan kehormatan perempuan. Sedikit saja ternoda, maka habislah martabat perempuan!

Yang menarik adalah bahwa relasi struktural antara lelaki-perempuan ternyata banyak ditentukan dari “perbedaan” jenis kelamin. Lelaki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya menjadi parameter tersendiri dalam masyarakat tertentu dalam menentukan harga sosial-nya. Vagina perempuan yang memiliki selaput dara (yang mudah robek) menjadi alat ukur tersendiri bagi status sosial seorang perempuan. Perempuan harus pasrah menerima tudingan yang menyakitkan oleh karena selaput daranya telah rusak. Sementara lelaki tidak akan mendapatkan tudingan itu.

Karena kenyataan seperti itu, masyarakat kita cenderung untuk sangat defensif terhadap perempuan meskipun oleh perempuan (ibu) itu sendiri. Aturan yang ketat yang diberlakukan oleh satu keluarga terhadap anak perempuannya adalah merupakan penjabaran lanjut dari logika penis-vagina tadi. Laki-laki diperbolehkan keluar seenaknya sementara perempuan tidak, lelaki bebas perempuan cenderung terikat.

Konstruksi budaya dan agama yang ketat atas vagina, menjadi titik awal dari kontrol atas tubuh perempuan. Perempuan tidak boleh memperlihatkan tubuhnya yang lain kepada laki-laki karena akan menimbulkan kekacauan sosial. Cara berpakaian, cara berdandan dan cara bersikap semuanya dikendalikan oleh budaya sebagai perluasan logika memelihara vagina tadi.

Vagina menjadi menarik karena wacana seksualitas masyarakat kita memang sangat patriarkis. Segala aturan seksualitas bersandar pada standar lelaki. Kata porno misalnya selalu dilekatkan pada perempuan. Bicara tentang ke-porno-an pasti meletakkan perempuan sebagai obyeknya. Penyebutan foto porno, gambar porno, film porno pastilah yang dimaksudkan foto perempuan telanjang, gambar perempuan semi telanjang atau film dengan perempuan sebagai artis utama-nya. Tengok saja kasus VCD tujuh artis telanjang, semua obyeknya adalah perempuan. Jelas menunjukkan arus utama kelelakian, mulai fotografer, kameramen sebagai subyek dan penonton lelaki sebagai konsumen.

Dan karena itulah, rezim seksualitas menjadi lokus kuasa bagi lelaki untuk “memenjarakan” perempuan dalam wilayah “penuh tabu” atau sekaligus mengeksploitasinya. Maka tidak mengherankan jika lalu wacana tentang pornolisasi (goyangan) Inul dimulai dari lelaki (Rhoma Irama) dengan menjadikan standar seksualitasnya sebagai ukurannya. Rhoma menyebut goyangan Inul saat itu membangkitkan birahi lelaki (mungkin yang dimaksud adalah dirinya). Padahal efek seksualitas adalah efek psikologis yang sifatnya individual.

Di belantara wacana seks ada banyak narasi tentang seksualitas yang tidak tunggal dan apresiasi terhadapnya juga beragam. Konsep tentang telanjang adalah porno sangat sulit untuk mencarikan ukurannya. Jika anda berjalan-jalan ke beberapa dusun kecil atau kampung, bertelanjang dada adalah sesuatu yang biasa dan tidak menawarkan efek seksualitas bagi masyarakat (lelaki)-nya, kondisi ini mungkin sangat berbeda dengan daerah lainnya. Sehingga di sinilah letak paradoksnya undang-undang (insya Allah) anti pornografi itu!.

Penulis adalah Peneliti Litbang Agama Makassar

Kamis, 05 Juli 2012

Pribumisasi Islam (Memelihara dan Menggerakkan Tradisi)



Oleh : Muhammad Arif



Nur Kholik Ridwan, seorang penulis buku, tinggal di Yogyakarta menyampaikan materinya di depan peserta Kelas Pemikiran Gusdur di ruang belajar YLKiS di Sorowajan Bantul Yogyakarta, Sabtu (17/06/2012). Makalah yang disampaikan berjudul “Gus Dur, Islam, dan Pribumisasi”

Dalam materinya, ia menceritakan sejumput fenomena gejala “Islamisasi-Arabisasi-Syariatisasi” yang semakin mewabah di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan dominasi penggunaan simbol-simbol Islam di segala bidang kehidupan .

Ia mencontohkan, bagaimana euphoria simbol Islam melalui kebisingan kaset yang meraung-raung di mesjid, Ibadah haji/umrah ke tanah suci Mekah secara berulang ulang, mesjid dibangun sedemikian megah, diwajibkannya jilbab, menjamurnya perguruan tinggi Islam, pendirian bank syari’ah, hingga penamaan nama jalan yang dilekatkan pada penggunaan nama yang berbau Islam (arab).

Sehubungan dengan yang diutarakan Nur Kholik Ridwan, fenomena tersebut penulis coba kaitkan dengan maraknya sejumlah daerah di Indonesia, terutama daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang mengeluarkan regulasi tentang penerapan syariat Islam yang dituangkan dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah).

Contoh kasus, di Aceh misalnya, seluruh remeh temeh kehidupan warganya diarahkan dan dipaksa mengikuti perda syariat yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai ketetapan mutlak yang harus diikuti. Sedangkan di Bulukumba Sulawesi Selatan--- sejak dipimpin bupati Patabai Pabokori, Perda Syariat semakin banyak bermunculan. Seperti Perda No. 2/2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq, dan Shadaqah Dalam Kabupaten Bulukumba, juga Perda No. 6/2003 tentang Pandai Baca Al-Quran Bagi Siswa dan Calon Pengantin Dalam Kabupaten Bulukumba (Depancasilasi Lewat Perda SI, GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006).

Di Kota Tasikmalaya Jawa Barat sendiri, berhembus kabar bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) tengah menyiapkan Perda Syariah No.12/2009 tentang Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Berlandaskan Ajaran Islam dan Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Saat ini aturan yang akan dibuat dalam bentuk peraturan wali kota ini masih dalam tahap penyelesaian. Kabarnya dalam waktu dekat Perda ini akan diterapkan, paling cepat pada Ramadhan mendatang (Perda Syariah, Apanya yang salah ?, Kompasiana (15/06/2012)).

Arabisasi dan Domain negara
Seabrek fenomena penerapan syariat Islam di sejumlah daerah ini menunjukkan kepada kita bahwa gejala “Universalisasi Islam” yang pernah dikritik Kiai Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1980-an, kembali digalakkan oleh segelintir kelompok dengan dukungan legitimasi dari negara.

Negara melakukan pembiaran dengan semakin melegalkan praktek universalisasi Islam yang terjabarkan dalam tiga idiom”Islamisasi-Arabisasi-syariatisasi”. Gejala tersebut semakin mewabah karena lembaga-lembaga keagamaan yang diharapkan menjadi katalisator justru mengalami distorsi dalam menjalankan peran dan fungsinya (contoh: Depag dan MUI ) yang fatwanya kebanyakan mengarah pada---- pengukuhan Islam secara formal. Sehingga berdampak semakin terbukanya ruang yang luas bagi pihak yang ada dibawahnya, untuk menuangkan kebijakan yang meminggirkan kalangan minoritas. Dan parahnya lagi, prosesnya acapkali tidak melalui pertimbangan rasional dan matang sebelum keputusan itu ditetapkan. Mau tidak mau, terjadilah pro-kontra.

Pijakan dasar sehingga konstruk “Arabisasi” ini digalakkan, bersumber dari al-Quran berbunyi “udkhulu fi al- silmi kaffah (QS al-Baqarah [2]: 208. Yang artinya (masuklah kalian ke dalam Islam secara penuh)”. Kata al-silmi (Islam) kemudian disalah tafsirkan oleh penganut pandangan Islam Formal sebagai entitas Islam formal yang kemudian arahnya pada proses tiga kata diatas (Islamisasi, Arabisasi, Syariatisasi).

Seperti telah disebutkan diatas, segelintir kelompok Islam yang lebih moderat membaca ruang sosial menentang pandangan ini, karena akan terjadi proses diskriminasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan lain. Maka kelompok penganut faham legal-formal ini (termasuk oknum-oknum yang ada dalam tubuh pemerintah) mencoba berdalih dengan beranggapan--- bahwa mayoritas jumlah penduduk Indonesia menganut agama Islam. Sehingga asumsi ini dihubungkan dengan paradigma demokrasi (baca:procedural) yang menyatakan bahwa suara mayoritas lah yang mesti didengar.
Selain itu, mereka beranggapan bahwa penerapan peraturan berbasis syariah niscaya akan membawa berkah tersendiri. Dalam asumsinya, perda-perda syariah ini juga akan melindungi perempuan dan laki-laki, muslim maupun non-muslim dari perbuatan maksiat, menjaga moral dan martabat mereka sebagai manusia.

Ironi memang, karena orang-orang yang masuk menjadi perumus dan penentu kebijakan, kebanyakan mereka yang mengenyam pendidikan Islam formalistik yang jauh dari ranah tradisi. Selain itu, mereka juga mayoritas belum begitu memahami kondisi masyarakat kita yang sebenarnya tidak bisa diseragamkan dalam satu payung keagamaan berbentuk---- entitas Islam Formal.

Gagasan Pribumisasi Islam
Menurut Nur Kholik Ridwan, untuk meng-counter paradigma “Islam Formal” yang semakin merengsek dan merusak tatanan kehidupan bangsa, maka diperlukan sebuah gagasan yang pernah dirumuskan oleh Gus Dur---yang dinamakan “Pribumisasi Islam”.

Jika dibedah secara harfiah, ada dua padanan kata yang digabungkan yaitu: Pribumi dan Islam. Kata pribumi dalam kamus bahasa Indonesia diartikan sebagai penduduk asli, atau jika diartikan lebih luas berarti seluruh penduduk yang telah lama menetap dan bermukim di wilayah Nusantara. Mereka hidup, berdiaspora, beranak pinak, dan memiliki cara hidup dan budaya yang masing-masing berbeda. Baik itu yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi dalam peta. Dan mungkin ada yang tidak pernah mengetahui dan tidak mau tahu, bahwa diluar wilayah pemukiman mereka telah disepakati sebuah negara kesatuan yang dinamakan Indonesia.

Sedangkan kata “Islam” sendiri secara etimologi adalah agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Dengan penjabaran yang lebih luas lagi bermakna sebuah ajaran yang mengajarkan kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan. Itulah Islam dalam cara pandang Islam moderat seperti Gus Dur atau penganut faham Ahlusunnah waljamaah an-nahdliyah secara umum.

Asumsi Dasar Pribumisasi Islam
Gus Dur dari tahun ke tahun mengalami keprihatinan yang mendalam atas realitas yang menimpa bangsa Indonesia karena mengalami keterbelakangan di bidang ekonomi dan mayoritas di dalamnya merupakan lokalitas muslim. Keterbelakangan itu kemudian dipersepsikan oleh banyak kalangan baik itu di dunia maupun di Indonesia yang mengutarakan bahwa kondisi tersebut lahir akibat keengganan masyarakat muslim Indonesia untuk berkembang secara ekonomi karena menolak ide-ide modernitas yang ditawarkan ekonom-ekonom barat.

Sehingga, bagi Gus Dur perlu ada sebuah kebangkitan nyata dari umat Islam di Indonesia untuk meninjau ulang wawasan akan realitas yang dialaminya. Kebangkitan itu kemudian di rumuskan dalam satu gerakan yang dinamakan---Dinamisasi, yang selanjutnya memuat -----Pribumisasi Islam.

Dinamisasi sendiri menurut Gus Dur merupakan kreatifitas nyata dari masyarakat secara keseluruhan (agama, suku, dan kelompok mana pun) untuk melakukan upaya kreatif dengan meninggalkan pola lama yang sudah tidak konteks dengan perkembangan zaman. Mengutip tulisan Nurkholik Ridwan, bahwa dinamisasi adalah bagaimana tradisi yang relevan dengan konteks zaman tetap terpelihara (hidup), dan mengganti hal-hal yang sudah tidak relevan dengan konteks zaman. Hal ini tiada lain dalam rangka melakukan perubahan sosial (social change).

Secara lebih jelas, dinamisasi bagaimana menggalakkan nilai-nilai lama yang positif, dan mengganti nilai-nilai hidup lama dengan nilai-nilai baru yang lebih sempurna. Hal inilah yang dimaksud oleh Gus Dur sebagai modernisasi namun bukan westernisasi. Atau (al-muhaafadhatu ala al qaadimish shaalih wal akhdzu bil jaadid al ashlah / memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Bukan Sinkretisme dan Islamisasi
Nah, didalam dinamisasi inilah terdapat “Pribumisasi Islam” yang penguatannya bagaimana menumbuhkan kereligiusan masyarakat muslim dan selanjutnya bersinergi dengan kearifan lokal yang selama ini di warisi dari nenek moyang secara turun temurun.

Gus Dur juga mengingatkan bahwa Pribumisasi Islam bukan berarti praktek sinkretisme yang menumbuhkan romantisme Jawa (Jawanisasi) di seluruh wilayah Nusantara. Pribumisasi merupakan pertalian antara norma dan budaya sesuai konteks lokal di masing-masing tempat. Pribumisasi berupaya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum agama itu sendiri (Nurkholik Ridwan, 2012).

Ada yang menanggapi gagasan Gus Dur ini sebagai cara yang ditempuhnya untuk melakukan proses Islamisasi di Nusantara. Seperti yang diutarakan salah seorang peserta KPG sore itu. Ia berasumsi karena latar belakang beliau berasal dari Islam terlebih lagi dari kultur pesantren, maka ia mencurigai bahwa Gus Dur pada gilirannya nanti menginginkan seluruh penduduk Indonesia seluruhnya masuk ke dalam Islam. Dan menurutnya, cara pandang Gus Dur hampir mirip dengan cara pandang Nurkholis Madjid (Cak Nur).

Asumsi tersebut kemudian coba diluruskan oleh narasumber, bahwasannya tak pernah sekalipun Gus Dur berpandangan demikian (baca: Islamisasi). Ia sejatinya berpedoman pada ayat suci Al-Quran yang secara jelas menerangkan bahwa di bumi ini Allah telah menakdirkan akan kehidupan yang majemuk, dengan berbeda, suku, agama, dan ras, serta budaya hingga hari kiamat kelak. Oleh karena itu, disitulah tugas manusia untuk menjaga persaudaraan di muka bumi ini sebagai khalifatul fil ardh. Sehingga sangat keliru kiranya jika Gus Dur dinilai ingin melakukan proses Islamisasi.

Selanjutnya, Nur Kholik Ridwan kemudian menguraikan persamaan dan perbedaan Gus Dur dengan Cak Nur dalam memaknai proses relasi antara negara, agama dan budaya. Menurutnya, Hal yang membedakan antara kedua tokoh ini, jika Gus Dur dalam mengutarakan gagasannya ia tak pernah sekalipun menggunakan simbol-simbol Islam. Sedangkan Cak Nur masih kerap mempergunakan idiom atau simbol Islam dalam melakukan kerja-kerja intelektualnya.

Sebagai contoh, Gus Dur mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) namun tidak menjadikan entitas Islam sebagai Ideologi Partai. Melainkan beliau menggunakan ideology kebangsaan sebagai respon akan bangsa yang berbhineka Tunggal Ika.
Sedangkan Cak Nur sendiri, meskipun beliau tidak masuk dalam hiruk pikuk politik praktis (termasuk mendirikan partai), tetapi ia mendirikan sebuah perkumpulan para cendikiawan yang seluruhnya muslim---yang ia berinama Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). .

Perangkat Pribumisasi Islam
Adapun perangkat/instrument yang digunakan oleh Gus Dur untuk membumikan antara nilai-nilai yang tertera dalam ajaran Islam dengan Kearifan lokal di masyarakat diantaranya :

1.Pemahaman Ushul Fiqh (menggali isi Qur’an)
Ushul Fiqh atau yurisprudensi Islam penting dalam menerapkan Pribumisasi Islam. Sebab, dalam menterjemahkan konsep ini ke ruang sosial, maka akan banyak hal kontemporer yang dijumpai dan jika itu dihubungkan ke dalam Al-quran acap kali mengalami kekakuan jika hanya diartikan dogmatif-normatif. Melainkan, hendaknya fiqh menjadi konsep aktif-progresif dalam mengkaji masalah sosial.

Contoh : Didalam alquran tidak disebutkan mengenai dibolehkannya beras dijadikan sebagai zakat Fitrah. Namun yang tertera adalah gandum. Oleh karena itu, berdasarkan tinjauan fiqh beras dibolehkan. Karena jenisnya sama.

2.Pemahaman Dasar-dasar Syariat
Adapun yang dimaksudkan dalam dasar-dasar syariat yakni mengenai pengetahuan dasar tentang hukum Islam. Adapun sumber dari hukum Islam dirujuk dari hal-hal yang terdapat dalam Alquran, Hadist, dan Ijtihad. Karena syariat inilah yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Adapun syariat dibagi menjadi dua macam, yaitu asas syara’ dan furu’ syara’ .

Yang dimaksud dengan Asas Syara’ yakni sesuatu yang secara jelas telah terjabarkan dalam alqur’an atau biasa juga di istilahkan dengan Dalil Naqli. Misalnya diwajibkannya sahadat, sholat, puasa, zakat, dan berhaji bagi yang mampu. Sedangkan furu’ syara’ adalah sesuatu yang tidak tercantum secara jelas dalam alquran dan hadist, namun dasarnya tetap ada.

Oleh karena itu, ada yang dinamakan Ijtihad yang kemudian terjabarkan dalam Ijma (kesepakatan para ulama), Qiyas (pengambilan keputusan dengan menghubungkan kemiripan yang sudah jelas hukumnya, seperti perumpamaan gandum dan beras diatas), Marsalah Mursalah (Keputusan berdasarkan pada pertimbangan kemaslahatan ummat), dan Urfa atau kebiasaan-kebiasaan. (untuk lebih jelasnya lihat Wikipedia).

Di dalam pemahaman Ahlusunnah waljamaah an Nahdliyah sendiri, berpedoman pada ketentuan empat Imam mazhab: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i. Namun, yang konteks dengan masyarakat Indonesia yaitu cara pandang yang digunakan oleh Imam Syafi’i.

3.Memahami Persamaan, Keadilan, dan Demokrasi
Persamaan yang dimaksudkan Gus Dur disini yaitu kesetaraan. Pada hakikatnya, posisi manusia di hadapan Tuhan sama, tergantung maqamatnya (ketaqwaannya). Dan yang hanya mampu mengukur derajat ketaqwaan seorang hamba terhadap Khaliknya adalah Tuhan itu sendiri. Sehingga bagi Gus Dur, praktek subordinasi atau diskriminasi terhadap seseorang atau kelompok sangat tidak dibolehkan. Terlebih lagi jika sampai melakukan praktek marjinalisasi, hal itu melanggar prinsip kemanusiaan.

Sedangkan prinsip Keadilan yang dimaksudkan Gus Dur disini yaitu adanya pandangan yang mengatakan bahwa martabat kemanusiaan hanya akan bisa terpenuhi jika terjadi kelayakan dan kepantasan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena bagaimanapun manusia masing-masing memiliki hak asasi yang tidak boleh dikebiri oleh siapapun. Termasuk negara. Namun, realitas acap kali berkata lain, sedikit-banyak terjadi praktek-praktek yang tidak ber-keadilan dan meminggirkan orang atau kelompok tertentu. Sehingga tugas kita untuk menghadirkan rasa keadilan itu dalam bentuk perjuangan.
Demokrasi menjadi kata kunci penting dalam pribumisasi Islam. Namun demokrasi yang dimaksudkan Gus Dur bukan berarti demokrasi procedural terbuka yang lebih mementingkan kepentingan individual (liberal). Demokrasi menurut Gus Dur yaitu bagaimana nilai-nilai (substansi) sosial budaya yang kemudian termanifestasikan untuk menjawab persoalan bangsa. Artinya piranti demokrasi diatur oleh sebuah ketetapan Yurisprudensi---dalam hal ini Pancasila dan UUD 1945.

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, dikhawatirkan akan terjadi “Tirani Mayoritas”. Namun bagi Gus Dur, kekhawatiran itu tidak perlu karena Demokrasi yang dimaksudkan disini lebih pada persoalan bangsa, seperti kesamaan hak dalam bidang politik dan sebagainya. Namun dalam bidang agama, negara terbatas mencampuri, karena agama itu sifatnya otonom. Agama urusan hamba dengan khaliknya.
4. Pertimbangan akan kenyataan lokal (Local Wisdom).

Salah satu yang membedakan Indonesia dengan bangsa-bangsa lain yaitu kebhinekaan yang dimilikinya. Mulai dari suku, ras, agama, dan lain sebagainya. Dari berbagai macam diversity itu, banyak sekali kearifan-kearifan lokal yang dimiliki masing-masing daerah berikut komunitas-komunitas yang hidup di dalamnya. Kearifan lokal itu dianggap sebagai praktek terbaik bagi mereka. Secara filosofi, dengan praktek-praktek inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan Pancasila, UUD 1945, dan prinsip Bhineka Tunggal Ika dan seluruh tata nilai yang beradab. Dengan demikian, kearifan lokal ini mesti digerakkan dan dijadikan sumber gagasan yang dipadukan dengan norma yang kita anut (baca:agama).

Sebagai contoh, pelaksanaan maulid Rasulullah Muhammad SAW yang dirangkaikan dengan pagelaran Saeyyang Pattu’du’ (Kuda menari) di tanah Mandar Sulawesi Barat. Tradisi ini turun temurun dilakukan dan prakteknya anak-anak yang telah tamat khatam Al-Quran diarak keliling kampung dengan menggunakan kuda, sembari diiringi tabuhan rebana yang mendendangkan syi’ir-syi’ir shalawatan. Ada juga peringatan Maulid di Cikoang Takalar Sulawesi Selatan diatas laut dengan menggunakan perahu berikut seluruh penganan yang disediakan, juga dengan diiringi dengan pembacaan shalawat.

Pribumisasi Islam dan Multikulturalisme

Didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat dipastikan akan ada komunitas yang mendominasi (mayoritas) dan sebaliknya ada pula yang minoritas karena jumlahnya sedikit. Kelompok-kelompok minoritas ini juga bisa dipastikan memiliki pola dan cara pandang berbeda dalam memaknai hidup. Terlebih lagi pada saat pemrosesan untuk mendekatkan diri keharibaan zat yang menciptakannya. Mereka memiliki keyakinan yang teguh dan itu dikukuhkan dengan cara mereka dalam melakukan peribadatan.

Di Indonesia sendiri, ratusan bahkan ribuan kelompok minoritas banyak bermukim. Sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kelompok-kelompok ini sudah lebih dulu bermetamorfosa dan memiliki adat-istiadat sendiri-sendiri yang menjadi ikatan kolektif di masing-masing komunitas.

Namun, dibalik dinamika tersebut, acapkali keberadaan mereka oleh kelompok mayoritas dicap sebagai entitas terasing atau liyan. Apalagi, saat bersentuhan dengan kebijakan yang dikeluarkan negara sangat sedikit pemihakan terhadap kelompok minoritas ini bahkan cenderung sangat diskriminatif.

Telah banyak kasus bermunculan. Diantaranya kasus penyerangan jemaah Ahmadiyah di beberapa tempat, karena diwacanakan akan merusak aqidah umat Islam. Ada juga cerita dari komunitas Tengger Bromo di Jawa Timur yang dipaksa memilih agama yang diakui negara (Beragam Agama Satu Budaya, Majalah Desantara, 2005). Sedangkan kasus lain di Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni yang dialami komunitas Kajang di Bulukumba yang harus berhadapan dengan tembok kokoh negara dan korporasi karena tanah leluhur yang selama ini mereka sakralkan dicaplok PT LONSUM (perkebunan karet) yang mendapat dukungan pemerintah daerah (pemda) Bulukumba. Hingga dalam kisahnya, mereka di cap sebagai kelompok animism. (Lihat tulisan: Syamsurijal Adhan, Tanah Toa Kajang di bawah Bayang-bayang Konflik, Desantara 2010). Ada juga komunitas Bissu di Pangkep Sulsel yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam karena dianggap memiliki penyimpangan seksual (Lihat tulisan Halilintar Latif : Bissu, Pergulatannya dengan masyarakat Bugis, Desantara 2004 ).

Di dalam kajian multikulturalisme, kelompok-kelompok seperti ini perlu mendapat pengakuan karena mereka memiliki hak-hak kemanusiaan. Mereka bukan hanya diberikan ruang yang sifatnya affirmative action, melainkan collective rights yang sifatnya permanen. Karena di dalam kajian multikulturalisme ada tiga instrument----pengakuan, penerimaan, dan jaminan hukum.

Didalam pemikiran Gus Dur sendiri tentang pribumisasi Islam. Berangkat dari landasan teologis (tauhid) yang menjadi pijakan beliau dalam bertindak yakni ajaran Islam---- yang mengajarkan cinta dan kasih sayang terhadap sesama, tanpa memandang asal usul dan adat istiadat. Gus Dur berangkat dari ajaran Islam Ahlusunnah waljamaah yang mengajarkan persaudaran sesama manusia (Ukhuwah Basyariah), sesama bangsa (Ukhuwah Wathaniyah), dan sesama Islam (Ukhuwah Islamiyah). Dan yang lebih terpenting lagi menjaga harmonisasi dengan alam (Hablumminalalam) sebagai perwujudan “Islam Rahmatan lil alamin”. Konsep tauhid Gus Dur ini kemudian terjabarkan dalam tindakan nyatanya untuk memberikan ruang bagi kearifan lokal agar lebih berkembang seperti kelompok-kelompok diatas tadi.


Kesimpulan

Pribumisasi Islam dalam konteks Indonesia sangat relevan untuk digalakkan karena cocok dengan konteks. Sebab, nilai-nilai yang dikandung dari gagasan ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa Islam hendaknya dipahami secara substansi bukan tekstual. Oleh karena itu, penulis berusaha menyimpulkan:

a) Pribumisasi Islam tidak menjebak kita dalam pemikiran tekstual-dogmatif terhadap teks Al-Quran dan Hadist, tetapi mengantar kita untuk lebih brpikir kritis dan kontekstual. Artinya gagasan ini sejalan dengan perkembangan zaman.
b) Kemajuan zaman tidak dipahami sebagai sebuah ancaman. Melainkan dapat dijadikan sebagai sebuah strategi yang progresif untuk lebih membangkitkan umat Islam dari keterpurukan tanpa harus tercerabut dari tradisi lokal yang selama ini dijalankannya.
c) Pribumisasi Islam merupakan sebuah gagasan yang sifatnya membebaskan. Artinya, kemampuannya dalam menjawab problem-problem kemanusiaan secara utuh. Karena selama ini banyak praktek dehumanisasi yang melanda masyarakat Indonesia terutama kalangan masyarakat bawah (grass root). Sehingga gagasan ini penting dibumikan, dan dalam pengaplikasiannya tidak memandang dari suku, ras, agama, dan golongan manapun.

Wallahul muwaffieq ila aqwamith tharieq
Wassalam

--Muhammad Arif—
Email: ariekampoeng@rocketmail.com
Fb: Arie Islam Tradisi
Twitter :@arie_LAPAR
HP: 082190247854

Jejak Sehari di Kota Pahlawan




Teks Oleh : Muhammad Arif

Kamis 17 mei 2012, jam di ponsel menunjukkan pukul 20.00 Wita. Malam itu di depan rumah sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, saya ditemani seorang sahabat bernama Rifai sesama mahasiswa Universitas Al-Asyariah mandar (Unasman) Polman Sulawesi Barat. Kebetulan ia yang juga masih ada ikatan keluarga dengan penulis di Mandar tepatnya di kampung Palece, Desa Palece, Kecamatan Limboro. Saya sendiri tinggalnya di Paropo Kecamatan Alu. Jarak kedua kampung ini kurang lebih 30 km dari kota Polewali (Ibukota Kabupaten Polewali Mandar).

Kami berdua bergegas menuju Bandara Internasional Hasanuddin Makassar untuk melakukan check In dan boarding pass karena jadwal pemberangkatan kami ke Surabaya dijadwalkan pukul 21.35.Wita. Dengan menggunakan jasa angkutan “pete-pete” kami berangkat ke sana. Kurang lebih dua puluh menit kami tiba di pintu masuk areal bandara. Tiba di belokan masuk kami berlari mengejar bus yang baru datang mengantar penumpang secara gratis.

Bus itu masih tampak menunggu bus lainnya yang juga masuk mengantar penumpang. Lama menunggu, mengingat waktu semakin mepet, kami berinisiatif menggunakan jasa angkutan taksi agar tak ketinggalan pesawat meskipun harus merogoh kocek sebesar Rp.10.000.

Setibanya di Bandara yang luas nan megah. Kami menuju loket pelayanan pesawat Lion Air jurusan Surabaya. Petugas meminta biaya check in tiket sejumlah Rp.40.000 per-orang. Cukup kaget juga. Maklum, sudah hampir enam bulan kami tidak ke Bandara, sehingga kekurangan informasi mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi, terakhir seingat saya ketika berangkat ke Surabaya beberapa bulan lalu. Biaya check in tidak mencapai angka sebesar itu.

Sesudah menyelesaikan proses ckeck in, kami bergegas menuju gate 4-5 di ruang tunggu penumpang. Lumayan ramai, karena pesawat menuju Jakarta juga akan berangkat yang kurang lebih sama dengan waktu pemberangkatan menuju Surabaya, yakni pukul 21.35 Wita.

Selanjutnya, seluruh penumpang Lion Air jurusan Surabaya menuju Gate 5 karena pengumuman untuk keberangkatan telah diumumkan. Seluruh penumpang dipersilahkan naik ke pesawat.Saya dan Rifai menempati kursi 35 dan 36. Para pramugari dengan paras rupawan tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sembari dengan ramahnya mengingatkan ke seluruh penumpang agar menggunakan sabuk pengaman dan larangan keras untuk tidak mengaktifkan ponsel selama berada pesawat. Selain itu, informasi-informasi penting lainnya yang juga tak luput disampaikan.

Di atas udara, saat pesawat lepas landas, kami disuguhi pemandangan kota Makassar dengan kerlap-kerlip lampu menyerupai lilin yang terbakar. Namun, selang beberapa menit kemudian, pemandangan itu sudah tidak tampak lagi. Yang ada suasana awan gelap-gulita. Dan, terlihat hanya sayap pesawat yang disorot lampu terasa bergerak kala menabrak awan.

Kurang lebih 45 menit berselang, jam di pesawat menunjukkan pukul 22.05 WIB. Pemandangan kota Sidoarjo, Surabaya, dan kota-kota sekitarnya dari balik awan samar-samar terlihat. Agak mirip ketika berada di Makassar. Pemandangannya juga menyerupai lilin yang terbakar. Semakin dekat semakin tampak, lalu lalang kendaraan, lampu penerangan, dan pancaran lampu dari gedung-gedung pencakar langit.

Para pramugari meminta para penumpang memakai sabuk pengaman karena pesawat tidak akan lama lagi akan mendarat di Bandara Internasional Juanda. Setelah pesawat mendarat, maka seluruh penumpang dipersilahkan turun dari pesawat, sembari pramugari nan cantik jelita menyampaikan rasa terima kasih dan berharap bertemu pada penerbangan berikutnya. Kami pun menuju bus yang telah disediakan oleh petugas bandara. Seluruh penumpang naik dan bus pun penuh sesak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk, sehingga memilih untuk berdiri.

Selanjutnya, setelah tiba di ruang tunggu bandara. Kami langsung keluar mencari mesjid untuk ditempati beristirahat sembari mengabari sahabat-sahabat di UIN Sunan Ampel Surabaya mengenai kedatangan kami. Saya kemudian mencoba menghubungi salah seorang pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Surabaya bernama Qodim yang saya dapat nomor ponselnya dari Sapriadi sahabat saya di PMII Cabang Polman.

Saya kemudian mengirimkan short massage service (sms) yang menginformasikan mengenai kedatangan kami. Namun, Qodim malam itu tidak berada di Surabaya. Ia berada di kota Malang. “Aku lagi di Malang ini sahabat, jarak tempuh dari kota Surabaya menuju kota Malang lumayan jauh: 2-3 jam, minta tolong aja ama sahabat lain disitu”.

Qodim kemudian mencoba menghubungi para pengurus Komisariat dan Rayon UIN Sunan Ampel. Ia menyampaikan bahwa sahabat-sahabat lain sudah ia hubungi dan mereka berjanji akan datang menjemput kami. Sembari menunggu jemputan, kami merebahkan diri sejenak, maklum lumayan capek dan ngantuk. sampai dua jam kemudian, jemputan tak kunjung datang.

Mungkin, karena hujan malam itu turun cukup deras, sehingga mereka urung datang. Selain itu kebanyakan yang keluar kota. Ada yang ke Jakarta, Malang, Madura dan Kediri. Kami pun terpaksa tidur di mesjid bandara dengan bermodalkan tas pakaian sebagai bantal. Biasa lah mahasiswa tidur dimana saja tak menjadi soal. Apalagi kami berdua laki-laki. Mungkin lain ceritanya andainya ada perempuan yang ikut serta, kami pasti mengupayakan tempat penginapan. Kasihan juga kalau perempuan tidur di mesjid. Khawatir nanti masuk angin.

Cukup banyak penumpang yang tidur di pelataran mesjid malam itu dan kebanyakan berbahasa Jawa dan Madura. Bahkan, saat itu ada salah seorang berbadan kurus dan berkumis tebal yang datang menghampiri kami dan mengajak ngobrol kalau tak salah ingat dari Pamekasan.. Cukup kental dialek madura-nya. Logat bahasanya mirip penjual sate yang ada di Polewali yang juga asalnya dari Madura,

Kebetulan malam itu, penulis punya beberapa batang rokok (Class Mild) namun tak punya korek. Orang Pamekasan itu kebetulan juga merokok. Saya memanfaatkan kesempatan meminta api, sembari ngobrol-ngobrol. Cuaca dingin sedikit teratasi dengan kehangatan kepulan asap rokok yang kami nikmati berdua. Namun, Rifai tidak merokok, tidak biasa katanya.

“Memang, cuaca di daerah Jawa Timur pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah mas. Jadi ya gini, seringkali hujan datang tiba-tiba” ujar warga Pamekasan yang lupa kami tanyakan namanya itu. Sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup. Tiba-tiba saja awan tersibak dan kabut tebal langsung menerpa dari arah utara. Di atas atap bandara yang berbentuk rumah Joglo mendadak tertutupi kabut tebal itu hingga nyaris tak terlihat.

Jam menunjukkan pukul 1.50 WIB. Kami pun mencoba merebahkan diri hingga subuh menjelang. Sesekali terdengar perbincangan mereka yang kami tak mengerti sama sekali. Saya dan Rifai hanya bisa senyum-senyum kecut.

Saat tiba waktu subuh, adzan pun dikumandangkan. Petugas mesjid membangunkan seluruh orang yang tertidur mengajak untuk sholat berjamaah. Dan, ternyata di mesjid tersebut ada larangan keras bagi orang untuk tidur pada saat tiba waktu sholat.”eh sholat subuh, sholat subuh, disini dilarang tidur-tiduran kalau waktu sholat” ujar penjaga mesjid. Sontak, semua yang berada di pelataran teras mesjid tergerak menuju tempat wudhu di bagian belakang mesjid.

Tak berselang lama, sholat subuh pun dimulai, imam yang memimpin sholat terbilang muda dan rambutnya kelihatan gondrong. Bacaan tajwidnya kedengaran sungguh indah nan merdu. Bacaan-bacaan surah pendek dilantunkannya. Tak terdengar suara apapun kecuali lantunan-lantunan ayat suci itu. Semua jamaah terlihat khusyuk.

Setelah selesai sholat subuh, kami berdua menuju sethel bus bermaksud menunggu Bus Damri. Kami berdua duduk di lobi yang disediakan. Para sopir taksi berulang kali datang menanyakan arah tujuan kami selanjutnya, sembari menawarkan jasa angkutan. “Sampean pengen kemana mas, naik taksi aja ?” ujar para sopir menawarkan diri. Kami mencoba menolak dengan halus, dengan mengatakan bahwa kami sementara menunggu bus Damri.

Tak lama kemudian, Bus Damri pun datang. Saya dan penumpang lain bergegas mengambil tempat duduk yang kosong. Cukup lama juga kami menunggu pengisian penumpang. Sampai kemudian ada yang bertanya kepada kami “Ini bus arahnya, ke Terminal Bungurasih kan ?, soalnya aku mau ke Malang” katanya. Penulis hanya bisa manggut-manggut.

Setelah kursi terisi seluruhnya. Maka bus damri tersebut dijalankan dan dikemudikan oleh sopir yang menggunakan seragam dinas perhubungan sembari kondektur menyerahkan tiket kepada seluruh penumpang. Kocek yang kami keluarkan sebesar Rp. 15.000, yang nantinya berhenti di terminal Bungurasih. Memang agak mahal sih, karena mobilnya full AC.

Jam menunjukkan pukul 06.30 Wib. Cuaca kota Sidoarjo pagi itu sangat sejuk dan masih tampak lengang. Maklum belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Perjalanan menuju terminal Bungurasih memakan waktu sekitar 45 menit. Hingga waktu menunjukkan pukul 07.00. Bunyi bising klakson dan knalpot sudah tidak terhindarkan lagi. Warga sudah ramai menjalani rutinitas pagi. Ada yang menuju ke kantor, pabrik, sekolah, dan lain-lain.

Selain itu, para Pedagang Kaki Lima (PKL) lengkap dengan gerobaknya tampak bersiap menjajakan barang dagangannya. Tak ketinggalan loper koran, dan para pengamen terlihat mangkal di trotoar menunggui bus kota yang akan ditempati mencari nafkah. Itulah pemandangan sudut kota Sidoarjo hingga masuk di pintu gerbang kota Surabaya yang ter-save di memori penulis pagi itu.

Tak berselang lama, bus Damri pun tiba di Terminal Bungurasih (Purabaya) Surabaya. Cukup ramai juga suasana di terminal. Mobil-mobil bus dari jurusan Purwokerto, Solo, Jogja, Semarang, Wonosobo, Malang, Bandung, dan Jakarta berdatangan. Sedangkan dari arah selatan shetel tempat bus kota mangkal juga sangat ramai.

Bus-bus kota masih terparkir dan terlihat masih dipanaskan mesinnya, hanya satu dua saja yang berangkat mengangkut penumpang. Selain itu juga, acapkali para kondektur bus kota tampak sibuk mencari penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan.

Hum…!!!! perut kami mulai keroncongan. Kami berinisiatif mencari warung makan untuk mengisi “lapangan tengah” alias perut. Kami masuk di salah satu warung yang menyediakan menu: mie kuah, mie goreng, nasi goreng, dan nasi rawon. Saya memesan nasi goreng + kopi tubruk. Rifai juga, namun minumnya pake teh hangat khas Surabaya, dan sepertinya kami menjadi pembeli pertama di warung itu.

Setelah menunggu beberapa menit, nasi goreng panas pun dihidangkan di meja. Dengan lahapnya saya menyantap nasi goreng panas yang sebelumnya ditaburi kecap manis. Apalagi, lengkap dengan kerak telor plus cabai rawit biji. “Mararasi sannai’ pua’” bisikku pada Rifai. Mararas Sanna’ artinya sangat pedas dalam bahasa Mandar.

YUK: Yogyakarta Untuk Kebhinekaan


Laporan : Muhammad Arif

Dari kejauhan, tampak ratusan kendaraan bermotor terparkir di sepanjang jalan yang berpapasan dengan traffick-light tepat di depan monumen serangan Umum 1 maret di Yogyakarta. Kerumunan manusia di areal bersejarah itu tampak dari arah selatan antara gedung Bank Nasional Indonesia (BNI) yang corak bangunannya bergaya arsitektur kolonial dengan gedung Bank Indonesia (BI) yang juga arsitekturnya hampir sama. Kedua gedung itu, dalam sepengetahuan penulis merupakan bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian pasca Indonesia merdeka dialihfungsikan menjadi Bank.

Semakin dekat, areal di sepanjang jalan Sultan Agung di depan gedung agung/Istana kepresidenan Yogyakarta tampak berbeda dari biasanya. Lautan manusia memadati perempatan jalan dengan menggunakan kaos berwarna merah dan putih. Disana-sini terlihat banyak sekali alat peraga seperti spanduk, kain, pamplet, dan figura bertuliskan “Dari Yogyakarta untuk Indonesia Bhineka”. Alat peraga tersebut terpasang kebanyakan berwarna merah dan tampak cukup menyala sebab diterpa terik yang siang itu cukup menyengat.

Ya, siang itu, 24 Juni 2012 adalah jadwal “Aksi Budaya Menolak Kekerasan di Yogyakarta” yang telah direncanakan sebelumnya oleh para budayawan, seniman, aktivis, mahasiswa, dan warga. Aksi ini mendapat restu dan support penuh dari Sri Sultan Hamengkubuwono X beserta Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Istri Sri Sultan).

Aksi ini sebagai respon terhadap munculnya sejumlah aksi kekerasan dalam beberapa bulan terakhir di Yogyakarta. Misalnya peristiwa pembubaran diskusi buku “Allah, Liberty, and love” di kantor Yayasan Lembaga kajian Islam dan Transformasi Sosial (YLKiS) beberapa bulan lalu dan peristiwa kerusuhan antar pemuda yang santer diberitakan oleh media lokal Jogja (Tribun Jogja). Yang kemudian, membuat Sri Sultan angkat bicara dengan mengecam aksi-aksi kekerasan tersebut (Sultan Sesalkan pembubaran diskusi Irshad Mandji, Okezone, Jumat (12/5/2012).

Sebelumnya, rencana aksi ini jauh hari telah diinformasikan melalui jejaring media massa seperti di surat kabar dan internet (portal berita, face book, dan twitter). Juga sempat termuat beritanya di suaramandar.net, tiga hari jelang aksi digelar.

Cukup membara semangat kebangsaan peserta yang hadir, karena warna merah- putih begitu mendominasi lengkap dengan riuh pukulan kentongan, tiupan peluit, terompet. Hal itu sebagai penanda/simbol peringatan atau tanda bahaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa saat terjadi keadaan bahaya dan keselamatan warga terancam.

Dan yang paling membuat bulu keduk merinding, disela-sela acara disertai alunan shalawatan yang didendangkan salah satu kelompok Marawis yang digawangi mahasiswa DKI Jakarta yang melakukan pengembaraan ilmu di Yogyakarta.

Tepat di gerbang masuk Kraton, ada panggung setinggi satu meter yang di cat berwarna hitam pekat. Kemudian, dari balik panggung, tampak dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan bertindak menjadi Master of Ceremony (MC). Laki-lakinya tampak bertubuh gempal, berkaca mata bulat, dan mengenakan topi. Disamping kiri-kanan wajahnya, tertutupi kain berwarna hijau bergaris putih dan kuning. Sedangkan perempuannya menggunakan kebaya berwarna merah, dengan hidung mancung menyerupai orang Arab.

Saat penulis, mencoba semakin mendekat ke panggung, samar penulis mengenali wajah si MC laki-laki. Ya, wajah yang sepertinya acap kali ber-lakon ria di acara opera di stasiun TV swasta di negeri ini. Dan ternyata penulis mengenalinya-- Butet Kertarajasa. Seniman sekaligus budayawan pesohor yang biasanya berduet dengan Slamet Raharjo di acara “Sentilan Sentilun” di Metro TV, setiap jumat malam, pukul 23.04 WIB.

Acap kali Butet berperan sebagai--Sentilun yang bekerja sebagai pembantu di rumah majikannya--Sentilan (Slamet Raharjo). Sentilan-Sentilun yang acap disaksikan jutaan pemirsa di negeri ini dengan kritikan-kritikan pedasnya terhadap negara, misalnya kritikan terhadap kinerja pemerintahan SBY yang dinilainya melempem, pemilihan ketua KPK yang sarat dengan nepotisme, perilaku menyimpang DPR kala bersidang, dan kasus korupsi wisma atlet Palembang (kasus Nazaruddin dan Angelina Sondakh) yang sampai hari ini belum menemui titik kulminasinya. Sentilun kerap dengan bahasanya yang khas “menurut analisis saya”.

Siang itu, Butet tidak seperti biasanya saat diminta mementaskan lakon di panggung kala berteater. Dengan menenteng microphone, ia berorasi dengan lantang mengecam praktek kekerasan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir di Yogyakarta.

Menurutnya, Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia, jangan sama sekali dicederai dengan praktek-praktek kekerasan, apalagi sampai menggunakan symbol-simbol agama dan etnis untuk mengoyak moyak permadani kedamaian di bumi Yogyakarta. “Yogyakarta adalah bumi yang damai, jangan dicederai dengan praktek anarki atau kekerasan” teriak Butet sembari massa aksi bertepuk tangan diiringi bunyi-bunyian peluit dan kentongan.

Tak ketinggalan, beberapa turis mancanegara ikut meramaikan aksi itu, jumlahnya terbilang banyak. Ada kemudian yang naik keatas panggung berjoged ria dengan iringan musik odong-odong memakai gaun berwarna merah lengkap dengan kaca mata hitam. Mereka begitu menikmati suasana gembira yang kental dengan nuansa budaya khas Jogja. Selain itu, ada juga pawai budaya yang dilaksanakan warga Jogja dari beberapa kecamatan di kota Jogjakarta. Mulai dari pawai sepeda ontel, barongsai, pameran hasil bumi, dan aksi teaterikal.

Adapun bunyi pernyataan sikap dalam aksi itu diantaranya:

1. Menolak Intimidasi dan aksi kekerasan atas alasan apapun, sebab intimidasi dan aksi kekerasan atas nama perbedaan agama, suku, kelompok, gender, dan ideology, sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan.

2. Mendukung aparat negara untuk menindak berdasarkan hukum, setiap individu ataupun kelompok yang melakukan intimidasi dan aksi kekerasan.

3. Mengajak seluruh masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai kebinekaan, serta tidak membiarkan aksi kekerasan dan intimidasi yang melanggar hak-hak sipil warga.

Tulisan ini pernah dimuat di media online suaramandar.net

Minggu, 01 Juli 2012

Mengenal Sosok "KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) "


Oleh : Muhammad Arif

Berani, independen, percaya diri (confidence), menguasai banyak bahasa, cerdas, jago pidato, dan humoris. Sejumput predikat ini melekat pada diri seorang mantan presiden RI ke empat---- Kiai Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Sosok yang dilahirkan 80 tahun silam, di dusun Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, telah menggemparkan dunia dengan sejumlah gagasan cemerlangnya.

Intelektual-aktivis yang juga mantan ketua umum PBNU ini begitu dielu-elukan, terutama dari kalangan minoritas karena dengan semangat perjuangannya, ia kerap kali melakukan pembelaan terhadap mereka yang mengalami ketertindasan, pengebirian hak, atau lebih umum lagi warga yang dirampas hak-hak kemanusiannya (dehumanisasi).

Kaum-kaum minoritas seperti warga keturunan Tionghoa dan eks yang diduga terlibat PKI, bahkan hal-hal yang dianggap tabu oleh sebagian banyak orang, tak luput dari semangat pembelaannya. Misalnya saja kasus yang pernah dialami pedangdut Inul Daratista yang dikritik publik karena goyang ngebor-nya yang dianggap dapat mengundang syahwat jika menontonnya.

Tak mengherankan, banyak penghargaan pernah disematkan kepada intelektual-aktivis ini. Misalnya saja, penghargaan sebagai bapak Tionghoa pada maret 2004 di Semarang oleh tokoh-tokoh Tionghoa disana. Ada juga penghargaan Mebal Velor, karena kegigihannya membela kaum minoritas serta segudang penghargaan lainnya yang tak mungkin disebutkan satu persatu dalam goresan singkat ini.

Bagi penulis sendiri, sangat pantas kiranya jika Gus Dur layak disejajarkan dengan beberapa tokoh dunia lainnya seperti tokoh kemanusiaan India-- Mahatma Ghandi, Pejuang Apharteid Afrika Selatan---Nelson Mandela, Dalai Lama di Tibet, dan lain-lain.

Namun, bukan berarti pembelaan-pembelaannya itu dapat diterima begitu saja oleh sebagian orang yang tidak sepaham dengannya. Ia kerap diguncang polemik. Sebuah konsekuensi logis dalam sebuah perjuangan kemanusiaan. Ide-idenya acapkali ditanggapi secara negatif oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Gus Dur kerap dituduh keluar dari agama yang dianutnya alias murtad, antek zionis, dan terlibat korupsi.

Keturunan Brawijaya VI dan Pendiri NU

Abdurrahman Addakhil, itulah nama pemberian orang tuanya kala Gus Dur dilahirkan. Ia lahir pada 7 September 1940 di dusun Tebuireng Jombang Jawa Timur. Dusun dimana berdirinya salah satu pondok pesantren termasyhur karena mencetak sejumlah alumni terbaik yang kemudian menjadi ulama-ulama tersohor di Nusantara, tokoh pendidik, dan pahlawan bangsa.

Nama “Abdurrahman Addakhil” sendiri diambil dari nama seorang pemimpin Islam dari bani Umayyah yang pernah menaklukkkan Andalusia (Spanyol). Nama Addakhil jika diartikan secara harfiah kedalam bahasa Indonesia dapat diartikan “sang penakluk”.
Gus Dur dilahirkan di lingkungan keluarga yang religius dan merupakan pewaris trah darah biru di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Bapaknya-- KH. Hasyim Wahid adalah putera kelima sekaligus anak laki-laki pertama dari pendiri NU yakni Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Selain itu, bapaknya juga merupakan menteri agama pertama pada era-pemerintahan Soekarno yang terkenal sebagai salah satu perumus UUD 1945.

Jika dilacak dari silsilah keluarganya, Gus Dur merupakan keturunan raja-raja di pulau Jawa. Dari sejumlah sumber disebutkan bahwa moyangnya berasal dari Maulana Ishaq seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah, kemudian memiliki keturunan bernama Abdul Fattah. Abdul Fattah sendiri mempunyai anak bernama Abdul Azis alias lembu Peteng alias Brawijaya. Kemudian, turun lagi ke Abdurrahman alias Mas Karebet alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya (Raja Kerajaan Pajang). Selanjutnya Abdullah alias Pangeran Benowo, turun ke Abdurrahman alias pangeran Sambo.
Dari pangeran Sambo inilah memiliki keturunan bernama Akhmad dan Abdul Halim. Abdul Halim kemudian memiliki keturunan bernama Abdul Wahid. Hingga akhirnya lahirlah Asy’ari yang selanjutnya dari situ lahirlah Muhammad Hasyim alias Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari. Mbah Hasyim memiliki beberapa anak, salah satunya KH. Hasyim Wahid dari sinilah lahir Gus Dur. ( pada paragrap atas telah dijelaskan).

Minat tinggi terhadap Sastra
Semasa kecil, Gus Dur pernah menjalani hari-harinya di rumah salah seorang tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta sebelum ia menempuh pendidikan pesantren secara penuh. Dari pergumulan inilah, ia kemudian tidak asing dengan kajian yang berbau Islam modernis ala Muhammadiyah. Dari sini pula, ia banyak membaca buku yang kemudian menunjang referensi serta wawasannya di bidang ilmu pengetahuan umum.
Gus Dur memiliki wawasan yang luas karena sejak remaja mengunyah bacaan di luar tradisi pesantren seperti sastra, biografi tokoh dunia, dan buku-buku sosial, ekonomi, politik. Karena dari bacaan-bacaannya itulah ia pernah bercita-cita menjadi seorang sastrawan.

Namun, hingga Gus Dur wafat, tak satu pun goresan-goresan sastranya yang nampak di mata publik. Namun diyakini, minatnya terhadap dunia tersebut ikut andil membentuk dirinya menjadi tokoh yang begitu disegani di bidang sastra karena keseriusanya dalam mengkaji –karya- karya sastra, seperti puisi, cerpen, dan novel.

Diceritakan bahwa Gus Dur acap kali mengkritik karya intelektual tokoh Muhammadiyah----Buya Hamka. Salah satu karya yang pernah dikritik Gus Dur ialah novel Hamka yang berjudul “Dibawah Lindungan Ka’bah” .

Hamka menceritakan seorang pemuda yang mengalami patah hati (broken heart) oleh karena cintanya ditolak gadis yang begitu membuat hatinya bertekuk lutut. Karena cinta yang tak kesampaian. Si pria memutuskan berhijrah menuju tanah suci Mekah dan pada ending cerita pria tersebut dalam ibadahnya meninggal di depan Kabah.
Dalam pandangan Gus Dur, kisah yang diceritakan Hamka dalam novelnya tersebut berbau melankolis alias cengeng karena tidak menyentuh substansi atas sebuah realitas sosial. Hamka dimata Gus Dur, hanya piawai membangun alur cerita dan dialog karya-karyanya.

Menggemari Wayang

Setelah pergumulannya sekian tahun di SMEP, Gus Dur belia kemudian mengikuti pelajaran pesantren secara penuh. Ia menghabiskan masa remajanya dengan nyantri dibeberapa pondok pesantren (ponpes) seperti Tegal Rejo, Magelang, dan Krapyak Yogyakarta.

Berbeda dengan para santri lainnya, di masa itu, Gus Dur juga sangat menggemari cerita pewayangan, bahkan acap kali ia banyak menghabiskan waktunya untuk menyaksikan pementasan wayang kulit, seperti, kisah Mahabrata, Ramayana, dan legenda Gatotkaca.

Menurut Gus Dur, seperti yang diceritakan Hairus Salim, ada hikmah filosofi yang terkandung dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam cerita wayang mengajarkan akan hakikat kehidupan. Didalam cerita pewayangan, semua mahluk tidak ada yang memiliki sifat kesempurnaan. Apakah itu tokoh yang berperan protagonis maupun antagonis. Ibarat dua sisi mata uang, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.

Misalnya saja, dalam cerita pewayangan Ramayana----raja Alengkadiraja yakni “Rahwana” yang selama ini dicitrakan sebagai tokoh jahat ternyata juga memiliki sisi kebaikan. Di Alengkadiraja sendiri Rahwana begitu disanjung oleh rakyatnya. Rahwana tak pernah sekalipun menzalimi rakyatnya. Rakyat sejahtera dan makmur. Dikisahkan pula, Kerajaan Alengkadiraja tak pernah memperlakukan kerajaan-kerajaan disekitarnya sebagai daerah jajahan, meskipun telah ditaklukkannya.

Kemudian Dewi Shinta, tokoh pewayangan yang selama ini diciterakan sebagai wanita religius, taat pada suami, dan berhati mulia. Ternyata juga pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya lantaran tergoda dengan keindahan duniawi. Diceritakan bahwa sang dewi, meminta suaminya Sri Rama untuk mencarikan buruan kijang kencana, padahal jenis kijang tersebut sangat susah dijumpai dalam kehidupan nyata.
Keinginan Dewi Shinta untuk memiliki Kijang langka tersebut, hanya karena terpesona saat melihat di hutan melintas dihadapannya. Padahal kijang tersebut adalah binatang jadia-jadian yang sengaja dimunculkan Rahwana untuk memancing Sri Rama agar meninggalkan dirinya (baca:Dewi Shinta).

Cerita-cerita wayang seperti kisah dalam Ramayana ini yang kemudian banyak menginspirasi cara pandang Gus Dur yang terkenal arif dan bijaksana dalam memaknai hidup. Sekelumit pergumulannya dengan dunia Sastra dan wayang banyak memberikan referensi yang mengajarkan Gus Dur untuk berpandangan bahwa kehidupan mempunyai sejuta teka-teki yang sarat akan makna-makna filosofis.

Setelah kembali ke Jombang, ia juga sempat bercengkrama dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin (IM), karena adik laki-laki ibunya menjadi pengagum gerakan fundamental Islam yang asalnya dari Mesir itu. Bahkan sampai Gus Dur disarankan untuk membentuk cabang IM di kota kelahirannya itu. Namun, pergumulannya tidak berlangsung lama karena tak berselang lama ia kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir.

Bersama Gus Mus (KH. Mustafa Bisri) ia kemudian berangkat. Semenjak berada di Kairo, Gus Dur mulai jenuh dengan paradigma entitas Islam formal karena dianggapnya memiliki pendangkalan arti karena terlalu tekstual dan menolak pembaharuan.

Santai dan Baik hati

Guyonan paling terkenal dari seorang Gus Dur adalah ”gitu aja kok repot”. Sentilan-sentilannya yang terkesan cuek dalam menghadapi sebuah persoalan. Seperti yang diceritakan Haerus Salim dari pengalamannya bercengkrama langsung dengan Gus Dur. Pernah suatu ketika sejumlah aktivis mahasiswa di Yogyakarta mengundangnya di acara nonton bareng (Nobar) pertandingan sepak bola. Dan kala itu Gus Dur didaulat menjadi seorang komentator.
Kala itu, ia ditanya mengenai siapa pemain yang bakal mencetak goal pada pertandingan tersebut. Pertanyaan itu dilontarkan peserta, lantaran Gus Dur dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki ketajaman mata hati dan peng-analisis pertandingan sepak bola yang cukup genius. Maka dengan simpel Gus Dur menjawab “ya, pemain depanlah, gitu aja kok repot”. Sontak seluruh yang hadir disitu tertawa terkekeh-kekeh.

Menurut Gus Dur, strategi yang direncanakan oleh sebuah tim dalam sebuah pertandingan dimana pemain depan (striker) yang pasti difokuskan untuk mencetak goal. Adapun misalnnya, pemain tengah ataupun pemain belakang yang tiba-tiba mencetak goal. Hal itu hanya menjadi bagian dari sebuah pertandingan sepak bola. Setiap pelatih manapun mempunyai strategi sama yakni bagaimana pemain tengah atau belakang memberikan assist kepada pemain depan yang kemudian dikonversi menjadi goal. Karena memang tugas pemain depan menjadi seorang goal gatter atau finisher (penyelesai).

Lebih jauh, Haerus Salim menceritakan bahwa sikap teladan lain yang tidak banyak dimiliki orang kebanyakan dari seorang Gus Dur yaitu kemurahan hatinya dalam meminjamkan buku kepada orang lain. Gus Dur tidak pernah pilih kasih untuk meminjamkan buku-bukunya. Bahkan acap kali ia menawarkan buku kepada orang lain untuk dibaca sebagai bahan referensi. Hal itu murni dengan satu niat---ingin melihat orang itu cerdas dan sukses.

Padahal, acapkali kita menjumpai orang-orang yang mengatakan dirinya pintar dan cerdas, namun ketika diminta untuk berbagi ilmu (meminjam bukunya), sangat jarang atau sangat susah ditemui. Bahkan kadang kala, ada orang yang meminta bayaran ketika diminta berdiskusi karena menganggap dirinya sudah sangat cerdas dan pantas dihargai dengan imbalan materi. Namun, Gus Dur sungguh beda, ia begitu ikhlas berbagi ilmu pengetahuan bagi siapapun.

Berani, Independen, Konsisten
Dalam sebuah kesempatan, KH. Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus) pernah melontarkan sebuah pernyataan menarik tentang Gus Dur. Kiai yang terkenal dengan puisi-puisi penyejuk imannya ini mengemukakan mengenai persamaan dan perbedaannya dengan mantan ketua umum PBNU tersebut.
“Gus Dur seorang Kiai, saya (Gus Mus) juga seorang kiai. Gus Dur cerdas saya juga cerdas. Gus Dur banyak pengikut, saya juga banyak pengikut. Bahkan saya mampu menciptakan puisi, Gus Dur tidak. Tetapi, hanya satu yang dimiliki Gus Dur yang tidak saya miliki----“KEBERANIAN”.

Dari jejak rekam Gus Dur, salah satu keberanian yang pernah dilakukannya yakni semasa menjabat sebagai presiden, seperti yang penulis kutip dari tulisan Hairus Salim yang berjudul “Pembaharuan Abdurrahman Wahid---Gagasan dan Strategi”.
Kala itu, keputusan berani dari seorang Gus Dur untuk melakukan rekonsiliasi nasional dengan mengajukan usulan pencabutan TAP MPRS No XXV Th 1996 mengenai pelarangan terhadap PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.

Menurut Gus Dur, ketetapan ini menjadi hantu menyeramkan bagi para eks Tapol PKI dan orang-orang yang diduga terlibat dengan partai berlambang “palu arit” ini. Ketetapan itu juga membuat seluruh keluarga mereka yang tak memiliki dosa apa-apa mengalami hukuman pewarisan. Sehingga hak-hak asasi mereka dirampas oleh negara atau dikatakan mengalami perlakuan diskriminatif sepanjang ditetapkan TAP MPRS No XXV Th 1996 tersebut.
Diantara perlakuan diskriminatif yang dialami, misalnya keluarga mereka dilarang menjadi PNS, dilarang berpolitik, harus melakukan wajib lapor ke kepolisian, serta mengalami pengucilan di lingkungan masyarakat yang ditinggalinya. Kesemuanya itu membuat Gus Dur terpanggil untuk menghilangkan itu semua.

Penulis mencoba menceritakan kembali pengalaman penulis kala menyaksikan acara Kick Andy di stasiun Metro TV yang diputar di You Tobe tempo hari. Gus Dur kala itu didaulat menceritakan alasan-alasannya, mengapa sebegitu kuat pendiriannya untuk membela eks Tapol dan orang-orang yang diduga terlibat PKI.

Sebagai pemimpin bangsa, ia teguh berpedoman pada perintah UUD 1945 yang memberi perintah melindungi hak asasi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Dan dengan adanya ketetapan diskriminatif tersebut, itu sangat bertentangan dengan UUD 1945 .
Gus Dur juga berpandangan bahwa tugas untuk mengucilkan PKI adalah bukan tugas negara. Jika negara sudah terlampau jauh mengurusi segala hal, berarti gagasan pemisahan agama-negara tidak berjalan sesuai apa yang dikehendaki. Apalagi, para penentang PKI hanya segelintir orang saja, sehingga jika Negara mencampuri akan terjadi hegemoni kolektif di akar rumput untuk ikut-ikutan membenci PKI tanpa tahu sejarah yang sebenarnya.

Seperti kata Gus Dur, bahwa sejak dulu sebelum terbentuknya NKRI sebagai sebuah kesatuan yang utuh dalam bentuk negara. Sudah sejak lama dipraktekkan pengapliaksian nilai-nilai pancasila yang belum dilabeli nama dalam rangka menjaga dinamisasi konteks masyarakat nusantara yang majemuk.

Sehingga, keberanian untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut tercermin dari pemikiran-pemikiran Gus Dur yang kemudian ia tuangkan dalam bentuk kebijakan. Sebuah kerja yang “praksis” dalam bahasa Jurgen Habermas. Dimana, adanya komitmen, antara kata, pikiran, serta tindakan. Meskipun pada akhirnya ia akan berbenturan dengan tembok kepentingan dibalik pencabutan ketetapan itu. Ia tak mengenal rasa gentar, apalagi takut.

Menguasai banyak bahasa
Selain terkenal dengan keberaniannya, Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik. Ia merupakan satu-satunya presiden yang tidak memerlukan penerjamah bahasa. Sehingga, pada saat menjabat sebagai presiden, ia kerap kali berkunjung dari satu negara ke negara lain. Kunjungannya tak lain untuk memberikan pemahaman kepada dunia, bahwa Indonesia merupakan negara yang aman, ramah, dan memberikan ruang bagi keberagaman untuk berdinamisasi.

Menurut Hairus Salim, terkait dengan beragam bahasa yang dikuasai oleh Gus Dur yang jarang dimiliki bagi orang kebanyakan. Kemampuan Gus Dur berkomunikasi dengan mengolah bahasa asing yang diberi bumbu guyonan atau cerita-cerita humoris. Dengan kemampuannya itu, hubungan dengan beberapa kepala negara dan tokoh dunia menjadi lebih cair dan meninggalkan kesan tersendiri.
Jika penulis mencoba mengaitkan pada tulisan di pertengahan paragrap yang menceritakan masa kecil Gus Dur yang saat itu telah banyak mengunyah referensi-referensi asing baik itu yang berbau agama maupun ekosob (ekonomi, sosial, budaya). Sah-sah saja jika kemampuan tersebut pada diri seorang Gus Dur. Ditunjang pergaulannya pada saat menjadi mahasiswa dengan berguru kepada beberapa orang asing dari berbagai negara.

Depsos dan Deppen dibubarkan


Selain pencbutan TAP MPRS No XXV Th 1996. Keputusan penting lain yang pernah ditelorkannya yakni membubarkan dua departemen di kabinet orde baru (orba). Yakni Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen).
Depsos dibubarkan karena dianggap sebagai lumbung praktek korupsi para pejabat. Ibarat lumbung padi, tikus-tikus yang berada disekililingnya telah menguasai seluruh isi yang ada di lumbung itu. Sehingga jalan satu-satunya adalah membakar lumbung agar para tikus tidak semakin meraja lela.

Sedangkan untuk Deppen, langkah pembubaran tersebut dilakukan ini tak lain karena saat orde baru berkuasa, banyak sekali media dan pers yang berseberangan dengan pemerintah--- dibredel. Umum diketahui, pada masa kelam itu, untuk pertelevisian hanya TVRI dan TPI yang dibiarkan beroperasi. Itupun dibawah kontrol pemerintah. Semuanya harus melalui pengawasan dari penguasa orde baru.
Dan kalau untuk radio hanya RRI yang dibiarkan beroperasi, sedangkan yang lain ditutup. Maka tidak mengherankan, nalar berfikir mayoritas warga sebelum Gus Dur menjadi pemimpin seragam. Karena jika ada yang mencoba bersuara, pasti dibungkam oleh penguasa.

Membentuk Departemen Kelautan
Menurut Gus Dur, Indonesia adalah Negara kepulauan yang dominan wilayahnya dikelilingi lautan. Kekuatan maritim diperkuat. Rezim sebelumnya hanya memusatkan perhatian pada kebijakan-kebijakan yang ada didarat (pertanian). Bahkan kadang kala, program-program pemerintah yang berorientasi laut disatukan kedalam kebijakan pertanian (agraris).
Sehingga, kebijakan lebih memberikan peluang yang besar bagi petani, sedangkan untuk nelayan tidak diberikan porsi yang cukup untuk berkembang. Hal ini lah yang dilihat Gus Dur sehingga mempunyai pikiran untuk membentuk departemen kelautan, agar terjadi pemerataan dalam hal penuangan kebijakan yang pro por.

Penutup

Demikian sejumput pengetahuan penulis tentang seorang Gus Dur. Sangat jelas, dari latar belakang keluarga dan kehidupannya yang kemudian banyak berpengaruh membentuk dirinya hingga menjadi pribadi yang cerdas, berani, independen, tegas, dan memiliki lanskap pengetahuan serta wawasan yang begitu luas.
Dari segala sikap yang dimiliki oleh seorang bermuara pada satu tujuan, yaitu bagaimana mewujudkan PERDAMAIAN di muka bumi ini. Gus Dur hadir sebagai pembaharu. Ibarat kanvas lukisan. Ia datang bagai sebuah warna yang melengkapi dasar warna seluruh kanvas lukisan dan menjadikan beragam warna tersebut melebur menjadi satu, hingga melahirkan lukisan yang elok dipandang mata. Itulah Gus Dur, dan akan tetap menjadi dirinya yang akan selalu dikenang sepanjang masa.