Minggu, 01 Juli 2012

Mengenal Sosok "KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) "


Oleh : Muhammad Arif

Berani, independen, percaya diri (confidence), menguasai banyak bahasa, cerdas, jago pidato, dan humoris. Sejumput predikat ini melekat pada diri seorang mantan presiden RI ke empat---- Kiai Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Sosok yang dilahirkan 80 tahun silam, di dusun Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, telah menggemparkan dunia dengan sejumlah gagasan cemerlangnya.

Intelektual-aktivis yang juga mantan ketua umum PBNU ini begitu dielu-elukan, terutama dari kalangan minoritas karena dengan semangat perjuangannya, ia kerap kali melakukan pembelaan terhadap mereka yang mengalami ketertindasan, pengebirian hak, atau lebih umum lagi warga yang dirampas hak-hak kemanusiannya (dehumanisasi).

Kaum-kaum minoritas seperti warga keturunan Tionghoa dan eks yang diduga terlibat PKI, bahkan hal-hal yang dianggap tabu oleh sebagian banyak orang, tak luput dari semangat pembelaannya. Misalnya saja kasus yang pernah dialami pedangdut Inul Daratista yang dikritik publik karena goyang ngebor-nya yang dianggap dapat mengundang syahwat jika menontonnya.

Tak mengherankan, banyak penghargaan pernah disematkan kepada intelektual-aktivis ini. Misalnya saja, penghargaan sebagai bapak Tionghoa pada maret 2004 di Semarang oleh tokoh-tokoh Tionghoa disana. Ada juga penghargaan Mebal Velor, karena kegigihannya membela kaum minoritas serta segudang penghargaan lainnya yang tak mungkin disebutkan satu persatu dalam goresan singkat ini.

Bagi penulis sendiri, sangat pantas kiranya jika Gus Dur layak disejajarkan dengan beberapa tokoh dunia lainnya seperti tokoh kemanusiaan India-- Mahatma Ghandi, Pejuang Apharteid Afrika Selatan---Nelson Mandela, Dalai Lama di Tibet, dan lain-lain.

Namun, bukan berarti pembelaan-pembelaannya itu dapat diterima begitu saja oleh sebagian orang yang tidak sepaham dengannya. Ia kerap diguncang polemik. Sebuah konsekuensi logis dalam sebuah perjuangan kemanusiaan. Ide-idenya acapkali ditanggapi secara negatif oleh pihak-pihak yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Gus Dur kerap dituduh keluar dari agama yang dianutnya alias murtad, antek zionis, dan terlibat korupsi.

Keturunan Brawijaya VI dan Pendiri NU

Abdurrahman Addakhil, itulah nama pemberian orang tuanya kala Gus Dur dilahirkan. Ia lahir pada 7 September 1940 di dusun Tebuireng Jombang Jawa Timur. Dusun dimana berdirinya salah satu pondok pesantren termasyhur karena mencetak sejumlah alumni terbaik yang kemudian menjadi ulama-ulama tersohor di Nusantara, tokoh pendidik, dan pahlawan bangsa.

Nama “Abdurrahman Addakhil” sendiri diambil dari nama seorang pemimpin Islam dari bani Umayyah yang pernah menaklukkkan Andalusia (Spanyol). Nama Addakhil jika diartikan secara harfiah kedalam bahasa Indonesia dapat diartikan “sang penakluk”.
Gus Dur dilahirkan di lingkungan keluarga yang religius dan merupakan pewaris trah darah biru di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Bapaknya-- KH. Hasyim Wahid adalah putera kelima sekaligus anak laki-laki pertama dari pendiri NU yakni Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari. Selain itu, bapaknya juga merupakan menteri agama pertama pada era-pemerintahan Soekarno yang terkenal sebagai salah satu perumus UUD 1945.

Jika dilacak dari silsilah keluarganya, Gus Dur merupakan keturunan raja-raja di pulau Jawa. Dari sejumlah sumber disebutkan bahwa moyangnya berasal dari Maulana Ishaq seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah, kemudian memiliki keturunan bernama Abdul Fattah. Abdul Fattah sendiri mempunyai anak bernama Abdul Azis alias lembu Peteng alias Brawijaya. Kemudian, turun lagi ke Abdurrahman alias Mas Karebet alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya (Raja Kerajaan Pajang). Selanjutnya Abdullah alias Pangeran Benowo, turun ke Abdurrahman alias pangeran Sambo.
Dari pangeran Sambo inilah memiliki keturunan bernama Akhmad dan Abdul Halim. Abdul Halim kemudian memiliki keturunan bernama Abdul Wahid. Hingga akhirnya lahirlah Asy’ari yang selanjutnya dari situ lahirlah Muhammad Hasyim alias Hadratus Syekh KH. Hasyim Asyari. Mbah Hasyim memiliki beberapa anak, salah satunya KH. Hasyim Wahid dari sinilah lahir Gus Dur. ( pada paragrap atas telah dijelaskan).

Minat tinggi terhadap Sastra
Semasa kecil, Gus Dur pernah menjalani hari-harinya di rumah salah seorang tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta sebelum ia menempuh pendidikan pesantren secara penuh. Dari pergumulan inilah, ia kemudian tidak asing dengan kajian yang berbau Islam modernis ala Muhammadiyah. Dari sini pula, ia banyak membaca buku yang kemudian menunjang referensi serta wawasannya di bidang ilmu pengetahuan umum.
Gus Dur memiliki wawasan yang luas karena sejak remaja mengunyah bacaan di luar tradisi pesantren seperti sastra, biografi tokoh dunia, dan buku-buku sosial, ekonomi, politik. Karena dari bacaan-bacaannya itulah ia pernah bercita-cita menjadi seorang sastrawan.

Namun, hingga Gus Dur wafat, tak satu pun goresan-goresan sastranya yang nampak di mata publik. Namun diyakini, minatnya terhadap dunia tersebut ikut andil membentuk dirinya menjadi tokoh yang begitu disegani di bidang sastra karena keseriusanya dalam mengkaji –karya- karya sastra, seperti puisi, cerpen, dan novel.

Diceritakan bahwa Gus Dur acap kali mengkritik karya intelektual tokoh Muhammadiyah----Buya Hamka. Salah satu karya yang pernah dikritik Gus Dur ialah novel Hamka yang berjudul “Dibawah Lindungan Ka’bah” .

Hamka menceritakan seorang pemuda yang mengalami patah hati (broken heart) oleh karena cintanya ditolak gadis yang begitu membuat hatinya bertekuk lutut. Karena cinta yang tak kesampaian. Si pria memutuskan berhijrah menuju tanah suci Mekah dan pada ending cerita pria tersebut dalam ibadahnya meninggal di depan Kabah.
Dalam pandangan Gus Dur, kisah yang diceritakan Hamka dalam novelnya tersebut berbau melankolis alias cengeng karena tidak menyentuh substansi atas sebuah realitas sosial. Hamka dimata Gus Dur, hanya piawai membangun alur cerita dan dialog karya-karyanya.

Menggemari Wayang

Setelah pergumulannya sekian tahun di SMEP, Gus Dur belia kemudian mengikuti pelajaran pesantren secara penuh. Ia menghabiskan masa remajanya dengan nyantri dibeberapa pondok pesantren (ponpes) seperti Tegal Rejo, Magelang, dan Krapyak Yogyakarta.

Berbeda dengan para santri lainnya, di masa itu, Gus Dur juga sangat menggemari cerita pewayangan, bahkan acap kali ia banyak menghabiskan waktunya untuk menyaksikan pementasan wayang kulit, seperti, kisah Mahabrata, Ramayana, dan legenda Gatotkaca.

Menurut Gus Dur, seperti yang diceritakan Hairus Salim, ada hikmah filosofi yang terkandung dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam cerita wayang mengajarkan akan hakikat kehidupan. Didalam cerita pewayangan, semua mahluk tidak ada yang memiliki sifat kesempurnaan. Apakah itu tokoh yang berperan protagonis maupun antagonis. Ibarat dua sisi mata uang, masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan.

Misalnya saja, dalam cerita pewayangan Ramayana----raja Alengkadiraja yakni “Rahwana” yang selama ini dicitrakan sebagai tokoh jahat ternyata juga memiliki sisi kebaikan. Di Alengkadiraja sendiri Rahwana begitu disanjung oleh rakyatnya. Rahwana tak pernah sekalipun menzalimi rakyatnya. Rakyat sejahtera dan makmur. Dikisahkan pula, Kerajaan Alengkadiraja tak pernah memperlakukan kerajaan-kerajaan disekitarnya sebagai daerah jajahan, meskipun telah ditaklukkannya.

Kemudian Dewi Shinta, tokoh pewayangan yang selama ini diciterakan sebagai wanita religius, taat pada suami, dan berhati mulia. Ternyata juga pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya lantaran tergoda dengan keindahan duniawi. Diceritakan bahwa sang dewi, meminta suaminya Sri Rama untuk mencarikan buruan kijang kencana, padahal jenis kijang tersebut sangat susah dijumpai dalam kehidupan nyata.
Keinginan Dewi Shinta untuk memiliki Kijang langka tersebut, hanya karena terpesona saat melihat di hutan melintas dihadapannya. Padahal kijang tersebut adalah binatang jadia-jadian yang sengaja dimunculkan Rahwana untuk memancing Sri Rama agar meninggalkan dirinya (baca:Dewi Shinta).

Cerita-cerita wayang seperti kisah dalam Ramayana ini yang kemudian banyak menginspirasi cara pandang Gus Dur yang terkenal arif dan bijaksana dalam memaknai hidup. Sekelumit pergumulannya dengan dunia Sastra dan wayang banyak memberikan referensi yang mengajarkan Gus Dur untuk berpandangan bahwa kehidupan mempunyai sejuta teka-teki yang sarat akan makna-makna filosofis.

Setelah kembali ke Jombang, ia juga sempat bercengkrama dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin (IM), karena adik laki-laki ibunya menjadi pengagum gerakan fundamental Islam yang asalnya dari Mesir itu. Bahkan sampai Gus Dur disarankan untuk membentuk cabang IM di kota kelahirannya itu. Namun, pergumulannya tidak berlangsung lama karena tak berselang lama ia kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir.

Bersama Gus Mus (KH. Mustafa Bisri) ia kemudian berangkat. Semenjak berada di Kairo, Gus Dur mulai jenuh dengan paradigma entitas Islam formal karena dianggapnya memiliki pendangkalan arti karena terlalu tekstual dan menolak pembaharuan.

Santai dan Baik hati

Guyonan paling terkenal dari seorang Gus Dur adalah ”gitu aja kok repot”. Sentilan-sentilannya yang terkesan cuek dalam menghadapi sebuah persoalan. Seperti yang diceritakan Haerus Salim dari pengalamannya bercengkrama langsung dengan Gus Dur. Pernah suatu ketika sejumlah aktivis mahasiswa di Yogyakarta mengundangnya di acara nonton bareng (Nobar) pertandingan sepak bola. Dan kala itu Gus Dur didaulat menjadi seorang komentator.
Kala itu, ia ditanya mengenai siapa pemain yang bakal mencetak goal pada pertandingan tersebut. Pertanyaan itu dilontarkan peserta, lantaran Gus Dur dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki ketajaman mata hati dan peng-analisis pertandingan sepak bola yang cukup genius. Maka dengan simpel Gus Dur menjawab “ya, pemain depanlah, gitu aja kok repot”. Sontak seluruh yang hadir disitu tertawa terkekeh-kekeh.

Menurut Gus Dur, strategi yang direncanakan oleh sebuah tim dalam sebuah pertandingan dimana pemain depan (striker) yang pasti difokuskan untuk mencetak goal. Adapun misalnnya, pemain tengah ataupun pemain belakang yang tiba-tiba mencetak goal. Hal itu hanya menjadi bagian dari sebuah pertandingan sepak bola. Setiap pelatih manapun mempunyai strategi sama yakni bagaimana pemain tengah atau belakang memberikan assist kepada pemain depan yang kemudian dikonversi menjadi goal. Karena memang tugas pemain depan menjadi seorang goal gatter atau finisher (penyelesai).

Lebih jauh, Haerus Salim menceritakan bahwa sikap teladan lain yang tidak banyak dimiliki orang kebanyakan dari seorang Gus Dur yaitu kemurahan hatinya dalam meminjamkan buku kepada orang lain. Gus Dur tidak pernah pilih kasih untuk meminjamkan buku-bukunya. Bahkan acap kali ia menawarkan buku kepada orang lain untuk dibaca sebagai bahan referensi. Hal itu murni dengan satu niat---ingin melihat orang itu cerdas dan sukses.

Padahal, acapkali kita menjumpai orang-orang yang mengatakan dirinya pintar dan cerdas, namun ketika diminta untuk berbagi ilmu (meminjam bukunya), sangat jarang atau sangat susah ditemui. Bahkan kadang kala, ada orang yang meminta bayaran ketika diminta berdiskusi karena menganggap dirinya sudah sangat cerdas dan pantas dihargai dengan imbalan materi. Namun, Gus Dur sungguh beda, ia begitu ikhlas berbagi ilmu pengetahuan bagi siapapun.

Berani, Independen, Konsisten
Dalam sebuah kesempatan, KH. Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus) pernah melontarkan sebuah pernyataan menarik tentang Gus Dur. Kiai yang terkenal dengan puisi-puisi penyejuk imannya ini mengemukakan mengenai persamaan dan perbedaannya dengan mantan ketua umum PBNU tersebut.
“Gus Dur seorang Kiai, saya (Gus Mus) juga seorang kiai. Gus Dur cerdas saya juga cerdas. Gus Dur banyak pengikut, saya juga banyak pengikut. Bahkan saya mampu menciptakan puisi, Gus Dur tidak. Tetapi, hanya satu yang dimiliki Gus Dur yang tidak saya miliki----“KEBERANIAN”.

Dari jejak rekam Gus Dur, salah satu keberanian yang pernah dilakukannya yakni semasa menjabat sebagai presiden, seperti yang penulis kutip dari tulisan Hairus Salim yang berjudul “Pembaharuan Abdurrahman Wahid---Gagasan dan Strategi”.
Kala itu, keputusan berani dari seorang Gus Dur untuk melakukan rekonsiliasi nasional dengan mengajukan usulan pencabutan TAP MPRS No XXV Th 1996 mengenai pelarangan terhadap PKI dan ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.

Menurut Gus Dur, ketetapan ini menjadi hantu menyeramkan bagi para eks Tapol PKI dan orang-orang yang diduga terlibat dengan partai berlambang “palu arit” ini. Ketetapan itu juga membuat seluruh keluarga mereka yang tak memiliki dosa apa-apa mengalami hukuman pewarisan. Sehingga hak-hak asasi mereka dirampas oleh negara atau dikatakan mengalami perlakuan diskriminatif sepanjang ditetapkan TAP MPRS No XXV Th 1996 tersebut.
Diantara perlakuan diskriminatif yang dialami, misalnya keluarga mereka dilarang menjadi PNS, dilarang berpolitik, harus melakukan wajib lapor ke kepolisian, serta mengalami pengucilan di lingkungan masyarakat yang ditinggalinya. Kesemuanya itu membuat Gus Dur terpanggil untuk menghilangkan itu semua.

Penulis mencoba menceritakan kembali pengalaman penulis kala menyaksikan acara Kick Andy di stasiun Metro TV yang diputar di You Tobe tempo hari. Gus Dur kala itu didaulat menceritakan alasan-alasannya, mengapa sebegitu kuat pendiriannya untuk membela eks Tapol dan orang-orang yang diduga terlibat PKI.

Sebagai pemimpin bangsa, ia teguh berpedoman pada perintah UUD 1945 yang memberi perintah melindungi hak asasi seluruh warga negara tanpa terkecuali. Dan dengan adanya ketetapan diskriminatif tersebut, itu sangat bertentangan dengan UUD 1945 .
Gus Dur juga berpandangan bahwa tugas untuk mengucilkan PKI adalah bukan tugas negara. Jika negara sudah terlampau jauh mengurusi segala hal, berarti gagasan pemisahan agama-negara tidak berjalan sesuai apa yang dikehendaki. Apalagi, para penentang PKI hanya segelintir orang saja, sehingga jika Negara mencampuri akan terjadi hegemoni kolektif di akar rumput untuk ikut-ikutan membenci PKI tanpa tahu sejarah yang sebenarnya.

Seperti kata Gus Dur, bahwa sejak dulu sebelum terbentuknya NKRI sebagai sebuah kesatuan yang utuh dalam bentuk negara. Sudah sejak lama dipraktekkan pengapliaksian nilai-nilai pancasila yang belum dilabeli nama dalam rangka menjaga dinamisasi konteks masyarakat nusantara yang majemuk.

Sehingga, keberanian untuk mempertahankan nilai-nilai tersebut tercermin dari pemikiran-pemikiran Gus Dur yang kemudian ia tuangkan dalam bentuk kebijakan. Sebuah kerja yang “praksis” dalam bahasa Jurgen Habermas. Dimana, adanya komitmen, antara kata, pikiran, serta tindakan. Meskipun pada akhirnya ia akan berbenturan dengan tembok kepentingan dibalik pencabutan ketetapan itu. Ia tak mengenal rasa gentar, apalagi takut.

Menguasai banyak bahasa
Selain terkenal dengan keberaniannya, Gus Dur juga dikenal menguasai beberapa bahasa asing. Bahasa Inggris, Prancis, Arab, Jerman, dan lainnya dikuasai secara baik. Ia merupakan satu-satunya presiden yang tidak memerlukan penerjamah bahasa. Sehingga, pada saat menjabat sebagai presiden, ia kerap kali berkunjung dari satu negara ke negara lain. Kunjungannya tak lain untuk memberikan pemahaman kepada dunia, bahwa Indonesia merupakan negara yang aman, ramah, dan memberikan ruang bagi keberagaman untuk berdinamisasi.

Menurut Hairus Salim, terkait dengan beragam bahasa yang dikuasai oleh Gus Dur yang jarang dimiliki bagi orang kebanyakan. Kemampuan Gus Dur berkomunikasi dengan mengolah bahasa asing yang diberi bumbu guyonan atau cerita-cerita humoris. Dengan kemampuannya itu, hubungan dengan beberapa kepala negara dan tokoh dunia menjadi lebih cair dan meninggalkan kesan tersendiri.
Jika penulis mencoba mengaitkan pada tulisan di pertengahan paragrap yang menceritakan masa kecil Gus Dur yang saat itu telah banyak mengunyah referensi-referensi asing baik itu yang berbau agama maupun ekosob (ekonomi, sosial, budaya). Sah-sah saja jika kemampuan tersebut pada diri seorang Gus Dur. Ditunjang pergaulannya pada saat menjadi mahasiswa dengan berguru kepada beberapa orang asing dari berbagai negara.

Depsos dan Deppen dibubarkan


Selain pencbutan TAP MPRS No XXV Th 1996. Keputusan penting lain yang pernah ditelorkannya yakni membubarkan dua departemen di kabinet orde baru (orba). Yakni Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen).
Depsos dibubarkan karena dianggap sebagai lumbung praktek korupsi para pejabat. Ibarat lumbung padi, tikus-tikus yang berada disekililingnya telah menguasai seluruh isi yang ada di lumbung itu. Sehingga jalan satu-satunya adalah membakar lumbung agar para tikus tidak semakin meraja lela.

Sedangkan untuk Deppen, langkah pembubaran tersebut dilakukan ini tak lain karena saat orde baru berkuasa, banyak sekali media dan pers yang berseberangan dengan pemerintah--- dibredel. Umum diketahui, pada masa kelam itu, untuk pertelevisian hanya TVRI dan TPI yang dibiarkan beroperasi. Itupun dibawah kontrol pemerintah. Semuanya harus melalui pengawasan dari penguasa orde baru.
Dan kalau untuk radio hanya RRI yang dibiarkan beroperasi, sedangkan yang lain ditutup. Maka tidak mengherankan, nalar berfikir mayoritas warga sebelum Gus Dur menjadi pemimpin seragam. Karena jika ada yang mencoba bersuara, pasti dibungkam oleh penguasa.

Membentuk Departemen Kelautan
Menurut Gus Dur, Indonesia adalah Negara kepulauan yang dominan wilayahnya dikelilingi lautan. Kekuatan maritim diperkuat. Rezim sebelumnya hanya memusatkan perhatian pada kebijakan-kebijakan yang ada didarat (pertanian). Bahkan kadang kala, program-program pemerintah yang berorientasi laut disatukan kedalam kebijakan pertanian (agraris).
Sehingga, kebijakan lebih memberikan peluang yang besar bagi petani, sedangkan untuk nelayan tidak diberikan porsi yang cukup untuk berkembang. Hal ini lah yang dilihat Gus Dur sehingga mempunyai pikiran untuk membentuk departemen kelautan, agar terjadi pemerataan dalam hal penuangan kebijakan yang pro por.

Penutup

Demikian sejumput pengetahuan penulis tentang seorang Gus Dur. Sangat jelas, dari latar belakang keluarga dan kehidupannya yang kemudian banyak berpengaruh membentuk dirinya hingga menjadi pribadi yang cerdas, berani, independen, tegas, dan memiliki lanskap pengetahuan serta wawasan yang begitu luas.
Dari segala sikap yang dimiliki oleh seorang bermuara pada satu tujuan, yaitu bagaimana mewujudkan PERDAMAIAN di muka bumi ini. Gus Dur hadir sebagai pembaharu. Ibarat kanvas lukisan. Ia datang bagai sebuah warna yang melengkapi dasar warna seluruh kanvas lukisan dan menjadikan beragam warna tersebut melebur menjadi satu, hingga melahirkan lukisan yang elok dipandang mata. Itulah Gus Dur, dan akan tetap menjadi dirinya yang akan selalu dikenang sepanjang masa.

1 komentar: