Rabu, 23 November 2011

Multikulturalisme Wonomulyo di Bawah Bayang - bayang Konflik

Oleh : Muhammad Arif
Mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Al-Asyariah Mandar
& Aktivis PMII Polman




“Keanekaragaman membawa perbedaan
dan dapat berujung pada konflik “

(Ruslan Ibrahim)



Mendengar istilah konflik, sudah pasti ingatan kita disuguhi peristiwa konflik ATM (singkatan untuk kecamatan Aralle, Tabulahan, dan Mambi) di Kabupaten Mamasa Sulawesi Barat. Ada banyak pendapat meyakini bahwa kekerasan tersebut muncul karena terindikasi pertentangan etnis dan agama akibat pembentukan kabupaten Mamasa dengan menempatkan Aralle, Tabulahan, dan Mambi yang mayoritas beragama Islam sebagai cakupan wilayahnya. Peleburan ini mendapat reaksi penolakan dari komuntas Islam yang ada di daerah ATM karena pembentukan Kabupaten ini lebih banyak menguntungkan komunitas Kristen. Benarkah kemunculan konflik berdarah ini murni disebabkan karena persoalan etnis dan agama ?.

Tanpa mempersoalkan, apakah konflik ini ada hubungannya dengan apa yang penulis maksudkan diatas, ataukah ada relasi kuat antara investor, birokrat lokal, dan militer yang ditengarai ingin melakukan pengerukan hasil bumi (tambang) di daerah pegunungan antara perbatasan Polewali Mandar dan Mamasa ini. Seperti yang pernah dikemukakan oleh George Junus Aditjonro (2004) . Tetapi, secara jelas dan kasat mata, subjek (pelaku) dalam peristiwa kekerasan ini melibatkan dua komunitas agama terbesar yaitu Islam di Mambi dan Kristen di Mamasa.

Sesudah peristiwa tersebut, banyak pakar menilai bahwa peristiwa demikian bisa saja muncul di daerah-daerah Polewali Mandar (selanjutnya disingkat Polman), terutama di wilayah yang mayoritas di isi oleh beragam suku dan populasi paling besar dari kedua agama ini.

Nah, kekhawatiran oleh para pakar tersebut bisa menjadikan Kecamatan Wonomulyo sebagai daerah yang paling rawan akan terjadinya konflik SARA (suku, agama, dan ras), mengingat Wonomulyo merupakan daerah yang sangat multikultur dan tingkat persaingan ekonomi masyarakatnya bisa dikatakan cukup tinggi.

Oleh karenanya, tulisan dalam essay ini akan menceritakan sejarah singkat Wonomulyo, dan mencoba membedah potensi kemunculan konflik yang ada di daerah kantong (enclave) tempat bercampur baurnya ragam etnis dan agama yang berbeda ini, serta juga konflik antar sesama penganut agama Kristen akibat sengketa lahan bangunan gereja apabila dibiarkan berlarut bisa melibatkan pemeluk agama lain yang berdiam di sekitar pemukiman tersebut. Selain itu, ada pula pendidikan multikultur sebagai solusi alternatif.

Sekilas Tentang Wonomulyo

Jejak historis menceritakan bahwa Kecamatan Wonomulyo pada zaman dulu adalah hamparan hutan yang luas dan hampir tidak didapati bukit dan areal pegunungan. Penamaan Wonomulyo secara etimology berasal dari term bahasa Jawa yaitu Wono dan Mulyo. “Wono” berarti hutan sedangkan “Mulyo” berarti mulia. Dan ketika digabungkan memiliki arti “Hutan yang Mulia” ..

Jika mengacu pada sejarah masa lalu, dahulunya pada tahun 1934 daerah ini dibuka oleh para transmigran dari Jawa yang diasingkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Bisa juga dikatakan Wonomulyo merupakan tempat pembuangan orang-orang yang ada di pulau Jawa dalam rangka Kolonisasi.

Kecamatan Wonomulyo secara resmi terbentuk pada tahun 1937 dan berstatus distrik. Namun pada awalnya bernama Distrik Colonie kemudian berubah menjadi Wonomulyo. .. Para migran Jawa yang dibuang ini kemudian memulai kehidupan baru di tengah hutan. Tidak diketahui secara pasti berapa jumlah orang yang diasingkan. Tetapi, cikal bakal daerah ini tak bisa dilepaskan dari kontribusi para etnis Jawa yang kemudian menyulap hutan menjadi areal bercocok tanam. Hal ini tak lepas dari proyek yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda untuk membuka lahan-lahan pertanian dan perkebunan sebagai langkah menata daerah jajahan di berbagai penjuru Nusantara. Maka sedikit lumrah, banyak orang yang menamai Wonomulyo dengan sebutan “Kampung Jawa” karena di huni mayoritas orang Jawa, meskipun letaknya berada dalam wilayah geografis etnis Mandar.

Secara geografi, Wonomulyo merupakan dataran rendah dan dekat dengan laut. Kecamatan ini terletak sekitar 10 km dari ibukota kabupaten yaitu Polewali, dan 130 km dari ibukota Provinsi Sulawesi Barat yaitu kota Mamuju. Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Mapilli, sebelah selatan selat Makassar, sebelah timur kecamatan Matakali, sebelah utara Kecamatan Tapango.

Dengan wilayah hamparan sawah yang luas, banyak yang memprediksi daerah ini akan menjadi sebuah kota besar sepuluh atau dua puluh tahun kedepan. Sebagian areal persawahan ini kini mulai disulap menjadi pusat perniagaan. Hal ini menandakan bahwa tingkat konsumsi masyarakat Wonomulyo kian berkembang pesat, terlihat dalam beberapa tahun terakhir ini bangunan-bangunan seperti hotel, ruko sudah banyak terbangun. Selain itu, peningkatan jumlah kendaraan baik umum dan pribadi juga sangat meningkat.

Jika didengar dari penggunaan katanya, nama kelurahan dan desa ataupun dusun yang ada di Kecamatan Wonomulyo umumnya menggunakan kosa kata dari bahasa Jawa. Dari kedengarannya sangat jelas seperti Sugihwaras, Sumberjo, Bumi ayu, Bumi Mulyo, Sidodadi, Kebun Sari, Sidorejo, Campurjo, dan Arjo Sari, wilayah-wilayah ini umumnya diisi oleh mayoritas etnis Jawa. Sedangkan daerah-daerah yang ditempati oleh etnis Mandar dan Bugis menggunakan kosa kata yang mencirikan nama dari kedua etnis ini, seperti dusun Ugi Baru Kelurahan Sidodadi (bugis dari Pinrang), Ujung Baru juga masih dalam wilayah Sidodadi (kebanyakan Bugis dari Sidrap), Galeso', dan Nepo (Bugis Pangkep yaitu daerah Labakkang), dan Tumpiling (Bugis dari daerah Sengkang).

Perkampungan dengan nama Banua Baru, Bakka-bakka, kampung Palece, kampung Todang-todang (keduanya masih dalam wilayah kelurahan Sidodadi) dan dusun Simbang di huni oleh orang-orang Mandar sebagai penduduk asli. Tak ketinggalan suku Toraja dan Mamasa yang menyatu di kelurahan Sidodadi dan membentuk perkampungan tersendiri, sehingga orang-orang kemudian menamai perkampungan mereka dengan sebutan “kampung Tator”. Lain halnya dengan penduduk dari etnis Makassar tampak menyebar dan bermukim di pinggiran pasar yang juga masih dalam areal Sidodadi dengan rumah yang relatif sederhana (kumuh) dan umumnya mereka bekerja sebagai tukang becak dan buruh bangunan.

Di Jantung kota Wonomulyo, terdapat Jalan R.Soeparman. Nama jalan tersebut untuk mengenang jasa bapak R. Soeparman yang berasal dari etnis Jawa. Konon, bapak ini merupakan orang yang ditokohkan pada saat pertama kali membuka kawasan ini. Tetapi kenyataan berkata lain, sekarang ini di sepanjang jalan tersebut justru yang lebih menonjol adalah bangunan ruko para pedagang dari Bugis dan Cina, dan satu dua orang saja orang Mandar. Di sepanjang jalan tersebut berderet ruko penjualan seperti toko bangunan, toko pakaian, alat-alat elektronik, meubel, dan sebagainya.

Memang, jika ditinjau dari segi ekonomi, kecamatan ini bisa dikatakan jauh lebih maju dibandingkan dengan kota Polewali. Di sana, ada sekian bank tempat warga untuk menyimpan uangnya, seperti bank Danamon dan bank swasta lainnya seperti yang dimiliki oleh pengusaha konstruksi ternama H. Asli Kaduppa. Kedua bank ini telah ada dan itu tidak kita jumpai di kota Polewali. Pusat perbelanjaannya pun terlihat lebih megah dan lengkap jika dibandingkan dengan pusat perbelanjaan yang ada di kota Polewali. Mulai dari toko-toko yang berdiri megah, ditambah pasar yang ramai setiap harinya. Dan ketika tiba hari pasar yaitu hari minggu dan Rabu akan terjadi kemacetan di sepanjang ruas-ruas jalan menuju pusat perbelanjaan.

Jika melihat persebarannya, Kecamatan Wonomulyo merupakan daerah yang banyak dihuni oleh beragam etnis dan penganut dua agama terbesar yaitu Islam dan Kristen. Data yang sempat dihimpun oleh penulis, diketahui bahwa jumlah pemeluk agama Islam yang tersebar di beberapa Kelurahan dan Desa. Di Kelurahan Sidodadi berjumlah (9.968 jiwa), Desa Arjosari (1.915 Jiwa), Bakka-bakka (2.172 Jiwa), Bumi Ayu (2.757 jiwa), Sidorejo (3.139 jiwa), Sugihwaras (451 jiwa), Sumberjo (2.669 jiwa), Nepo (2.266 jiwa), Kebun Sari (1.776 jiwa), Campurjo (2.237 jiwa), Galeso (2.2667 jiwa), dan Tumpiling (2.210 jiwa). Sedangkan pemeluk Kristen tercatat, di kelurahan Sidodadi (300 jiwa), Bumi Ayu (141 jiwa), Kebun Sari (80 jiwa), Campurjo (16 jiwa), Sumberjo (12 jiwa), Sugihwaras (3 jiwa), Sidorejo (13 jiwa). Yang terakhir agama Katolik hanya sekitar (80 jiwa) yang tersebar di dua wilayah yaitu kelurahan Sidodadi (55 jiwa), dan (Bumi Ayu 25). Selain itu, jumlah rumah ibadah seperti mesjid dan gereja. Di kelurahan Sidodadi tercatat jumlah mesjid ada (11), Bakka-bakka (5), Bumi Ayu (6), Bumi Mulyo (6), Tumpiling (4), Galeso (5), Kebun Sari (5), Sugihwaras (6), Sidorejo (5), Sumberjo (10), Nepo (3), Banua Baru (2), Arjo sari (2). sedangkan gereja di kelurahan Sidodadi (2), Bumi Ayu (2), Kebun Sari (1) .

Sejak dulu, telah banyak pendatang masuk dan bermukim di Wonomulyo. Ada yang berasal dari Jawa, Bugis, Makassar, Mamasa, Cina dan Toraja, tak terkecuali etnis Mandar sebagai penduduk asli (pribumi) yang berada di pinggiran hutan. Masuknya para pendatang dari berbagai suku dan agama ini menjadikan Wonomulyo sebagai daerah yang sangat multikultur dan sangat rawan timbulnya benih-benih konflik, terkhusus lagi konflik etnis dan agama.

Bayang-bayang Konflik

Rentannya kemunculan konflik yang banyak diprediksi oleh para pakar adalah bukan sesuatu yang mustahil. Sejak daerah ini mulai menjadi sentra perekonomian yang berkembang pesat, keberagaman etnis dan kelompok keagamaan semakin bertambah.

Rumah-rumah ibadah dengan jarak cukup dekat seperti yang terlihat di kelurahan Sidodadi. Bangunan gereja ini berdekatan dengan bangunan mesjid karena perkampungan para penganut Kristen juga berdekatan dengan para penganut Islam yang ada di sana.

Lebih lanjut, kepemilikan tanah juga banyak diprediksi akan menjadi sumber konflik mengingat ketimpangan struktur sosial antara komunitas pendatang dan penduduk lokal juga semakin memperlihatkan tingkat subordinasinya. Kepemilikan tanah yang berlebihan dan umumnya dikuasai oleh para pengusaha menjadikan warga yang umumnya kelas bawah memilih tinggal ke daerah pinggiran, hal ini juga yang membuat harga tanah di Wonomulyo semakin meningkat tajam.

Potensi yang dimiliki oleh daerah ini semakin membuat ekspansi para pebisnis dari luar untuk menanamkan investasi di kota kecil ini. Hal demikian pun diamini oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Polman karena dianggap dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ini terbukti dengan melihat dengan mudahnya pihak Pemkab mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) terhadap para pengusaha. Para pengusaha ini memanfaatkan kemudahan itu dengan mendirikan bangunan-bangunan sesuai kehendaknya, tanpa memperdulikan implikasi yang bakal terjadi dengan bangunan yang mereka dirikan.

Ironinya, birokrat lokal dan pengusaha ini mengabaikan suara kelas bawah yang terkena imbas dari kemunculan bangunan ini. Hal inilah yang dikhawatirkan, mengakibatkan orang-orang Mandar dan Jawa yang terpinggirkan tadi dapat dengan mudah disulut dengan isu konflik melalui provokasi dengan isu kebencian etnis akibat dominasi dari para pengusaha Bugis dan Cina.

Salah satu Konflik yang sempat menyeruak ke permukaan adalah konflik antara jemaat GMII dan GTM seperti yang pernah dimuat oleh Radar Sulbar, 23 Juli 2010. Berita tentang lembaga keagamaan kristiani, setidaknya intensitas kemunculan berita tentang Jemaat GTM dan GMII ini muncul beberapa kali di media lokal Radar dan Polewali Pos, baik itu Upacara Ceremonial Jemaat PWGTM maupun perseteruan horizontal antara umat beragama kristen yaitu Jemaat Gereja Toraja Mamasa (GTM) dan Gereja Masehi Injil Indo (GMII) di kelurahan Sidodadi Polewali Mandar.

Tetapi, yang menarik dan menjadi isu sentral serta entry point adalah Perseteruan yang tak kunjung usai oleh kedua pihak (GTM dan GMII) yang dibuat di kedua (Radar Sulbar dan Polewali Pos) media lokal pada tanggal 27 Juli 2010, dimana pertentangan ini dipicu oleh perebutan lahan dan aset gereja yang dituduhkan kepada Jemaat gereja GTM oleh GMII. Tuduhan ini dibantah oleh Ari (Jemaat GTM) bahwa kepemilikan gereja di Sidodadi telah disepakati untuk dibagi dua sesuai kesepakatan bersama yang dimediasi oleh pemerintah kabupaten Polewali Mandar. Seperti kutipan di bawah ini :

“ Kami minta supaya DPRD berkordinasi dengan kepolisian untuk memberhentikan penyelidikan kasus tersebut karena hal tersebut meresahkan dan mengkriminalisasi internal GTM


Hal yang paling memprihatinkan dalam konflik antar agama ini konflik ini belum menemui titik terang soal penyelesaian. Padahal konflik ini telah berlangsung bertahun-tahun. Belum ada mediasi yang pernah dilakukan oleh pemkab dan DPRD dalam menyelesaikan kasus ini. Seperti yang diutarakan oleh ketua DPRD Polman dalam menyikapi kasus ini, Abdullah Tato pada saat itu meminta kepada kedua belah pihak untuk bisa menahan diri dan tidak emosional dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Dari sekelumit fakta-fakta diatas yang dikhawatirkan akan membuat masyarakat Wonomulyo menjadi mudah diprovokasi dan konflik tidak akan terhindarkan. Meskipun, hari ini belum secara nyata muncul pertentangan antara pemeluk agama Islam dan Kristen. Tetapi, pada tahun-tahun mendatang dikhawatirkan hal tersebut akan terjadi.

Alasannya adalah tingkat persaingan ekonomi dan juga semakin bermunculannya faham-faham serta aliran kebatinan baik itu yang fundamental maupun radikal yang menghendaki adanya penyeragaman. Kesemuanya ini dapat mengancam khazanah multikultural yang ada di Wonomulyo. Munculnya faham seperti Wahabi yang memahami agama Islam secara teks (nalar Bayani) dan ini dipelopori oleh Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), aliran keagamaan ini mayoritas dianut oleh komunitas Jawa yang ada di daerah pinggiran.

Fenomena yang lebih ekstrim lagi, pernah suatu waktu seorang mantan pendeta yang memilih menjadi Muallaf dalam hal ini Prof. Yahya Waloni. Ia berceramah di mesjid besar Wonomulyo seakan menyuruh umat muslim untuk memusuhi komunitas Kristen dengan cara menceritakan kejelekan-kejelekan bekas agamanya itu. Ceramah-ceramah yang disampaikannya sangat keras dan dapat memancing kemarahan pemeluk agama lain (baca;Kristen). Padahal, kalau di fahami secara bijak, Islam mengajarkan persaudaraan meskipun berbeda akidah (Islam Rahmatan Lil Alamin). Sesuai yang tertera dalam surah Al Kafirun ayat 6 “ Bagiku agamaku, dan bagimu agamamu”.

Ironi, jika itu sampai menjadi buah bibir, akan timbul persepsi negatif di Masyarakat terutama pemeluk agama yang tersinggung dan jika itu berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Akan menimbulkan konflik baik itu horizontal atau vertikal.

“Pendidikan Multikultur” upaya mencegah Konflik

Konflik lahir akibat adanya perbedaan, tetapi tidak selamanya konflik diakibatkan oleh perbedaan. Ternyata ungkapan diatas ada benarnya juga. Di dalam masyarakat plural, perbedaan perspektif sulit dihindarkan. Sehingga seabrek perbedaan tersebut perlu diperbincangkan secara bersama dalam rangka mencapai kesepahaman dan sikap toleransi.

Meneropong lebih jauh kondisi sosial yang ada di Wonomulyo, hanya segelintir kecil saja orang yang mahfum dan peduli dengan situasi yang berlangsung saat ini disana. Padahal gejala-gejala konflik sudah mulai tampak. Disinilah pendidikan multikultural sangat penting, misalnya membuka ruang-ruang dialog antar pemeluk agama berbeda serta dari kelompok etnis yang berbeda pula.

Dengan mengacu beberapa fakta seperti yang disebutkan diatas, maka disinilah diperlukan peran penting pemerintah, LSM, Mahasiswa, tokoh lintas agama, tokoh pemuda, dan seluruh stack holder terkait untuk selalu saling mengingatkan akan pentingnya menjaga mozaik ke-Multikultural-an ini.

Mengutip pendapat Jusran D Mokolanot dalam essaynya yang berjudul “Pluralisme dan Konflik Sosial” bahwa dalam kehidupan keberagaman agama dan etnis harus senantiasa mampu melihat kerangka fungsi-fungsi agama sebagai dialog sosial antar pemeluknya . Pendapat tersebut juga dikuatkan oleh pandangan Alwi Sihab yang menyimpulkan bahwa ada dua hal yang harus dikedepankan dalam melakukan dialog pertama toleransi dan yang kedua yaitu pluralisme . Untuk melahirkan kehidupan yang harmonis, toleran dan saling menghargai atas perbedaan masyarakat, pendidikan multicultural juga membutuhkan dialogical consensus yang memuat paling tidak tiga hal penting, yaitu negosiasi, kompromi, dan konsensus (M. Amin Abdullah, 2005). Implikasi positif dari ketiganya adalah lahirnya perasaan empati dan simpati terhadap sesama manusia tanpa membedakan gender, agama, hak minoritas dengan mayoritas ..

Penutup
Sebagai catatan penutup, sekelumit lontaran fakta dan gagasan yang diungkapkan oleh penulis sekiranya dapat menjadi pemicu para penentu kebijakan agar lebih peka dalam melihat perkembangan yang terjadi di Wonomulyo hari ini dan pada hari-hari berikutnya. Baik itu ditinjau dari perspektif ekonomi, politik, dan social budaya. Terminimalisirnya konflik sangat tergantung bagaimana kita melihat benih-benih yang muncul dan upaya tanggap kita bersama dalam mencegah kemunculannya.


Sumber :

1 Lihat Adi Tjondro “Bergerilya di Tengah-Tengah Kawanan Serigala:Tantangan bagi Gerakan Pro-Demokrasi di Indonesia, 2004

2 Wawancara dengan Aswan Achsa warga Jl. Padi Unggul kelurahan Sidodadi dan Pak Sudiarto serta Suaib Sahibu warga dusun Camba-camba Kecamatan Limboro , pernah lama menetap di. Jl.R.Soeparman Wonomulyo


3 Lihat Wikipedia tentang Wonomulyo.

4 Sumber: Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Wonomulyo tahun 2011.

5 Analisis media lokal di Sulbar yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Rakyat (JARAK) Sulawesi Barat bulan Juni 2010

6 Jusran D Mokolanot, Pluralisme dan Konflik Sosial (Geliat Pemikiran PMII, 2004)

7 Alwi shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama (Mizan,Bandung,1997)hal 41

8 Ruslan Ibrahim, Pendidikan Multikultural : Upaya Meminimalisir Konflik Dalam Era Pluralitas Agama 2005

1 komentar:

  1. dari dulu orang mandar sangat toleran terhdap perbedaan dan karena orang mandar sangat toleran maka tidak perlu di ajari faham plural karena mengkampanyekan pluralisme justru bisa melahirkan konflik

    BalasHapus