Minggu, 25 Desember 2011

Pacaran: Antara Cinta, Tradisi, atau Komitmen,..


Oleh : Muhammad Alfian

Kita mungkin sering mendengar, atau bahkan mengalami sendiri sebuah proses yang diawali dengan mengekspresikan rasa suka kepada lawan jenis, kemudian rasa itu tersambut tanpa bertepuk sebelah tangan, ditindaklanjuti dengan perilaku-perilaku romantis, dan selanjutnya mendapatkan pengakuan publik bahwa mereka telah berpacaran. Mungkin ada juga yang urutan prosesnya tidak seperti demikian, tapi secara teknis seperti itulah kira-kira proses terjalinnya sebuah hubungan yang sekarang kita kenal dengan istilah pacaran. Rasa-rasanya memang pacaran sudah menjadi hal yang lazim, mulai dari anak-anak sampai kalangan lansia, dari hiruk pikuk kota sampai kepelosok-pelosok desa, semuanya telah memahami apa itu pacaran. Dalam bahasa yang sederhana, bolehlah kita mengatakan bahwa pacaran merupakan hubungan spesial yang terjalin oleh sepasang kekasih sebelum masuk ke jenjang pernikahan.

Secara etimologi, pacaran ternyata berasal dari kata pacar (daun pacar), kalau dalam bahasa bugis dikenal dengan nama “pacci”. Menurut sejarah, dahulunya di masyarakat Melayu khususnya, ada budaya memakaikan pacar air (masyarakat Melayu biasa menyebutnya inai) pada dua orang muda mudi yang ‘ketahuan’ saling tertarik oleh keluarganya. Biasanya sang pemuda mengirimkan ‘sinyal’ tertariknya dengan mengirim ‘tim’ pembaca pantun untuk sang gadis pujaannya, tim tadi akan berpantun tepat di depan halaman rumah sang gadis. Mirip serenada dalam budaya Meksiko. Nah, jika si gadis menyambut pantun sang pemuda dan keduanya ingin meneruskan hubungan mereka maka orangtua keduanya memberikan pacar air di tangan keduanya. Inai tersebut sebagai tanda bahwa keduanya telah memiliki hubungan.. Inai yang ada di tangan akan hilang selama tiga bulan dan selama waktu itulah sang pemuda mempersiapkan segala kebutuhan untuk melamar sang gadis. Jika sampai inai di tangan mereka hilang dan belum juga ada lamaran atau konfirmasi lebih lanjut maka si gadis berhak untuk memutuskan hubungan tersebut dan menerima pinangan lelaki lain.

Dari sejarah melayu, kita coba melihat ke sejarah munculnya istilah pacaran (dating) di inggris. Tepatnya Antara tahun 1830 ke awal 1900 yang merupakan masa kekuasaan ratu Victoria. Di rentan waktu itu jugalah terjadinya revolusi industri di inggris. Ada kebiasaan yang sering dilakukan oleh bangsawan inggris yaitu mengadakan pertemuan yang dirangkaikan dengan pesta bersama keluarga bangsawan lain yang diundang. Dipertemuan itulah sering terjadi pembicaraan perjodohan antar anak-anak para bangsawan. Pada proses selanjutnya, muda-mudi yang dijodohkan tersebut diberikan ruang oleh keluarga masing-masing untuk saling mengenal melalui pertemuan-pertemuan formal. Jika kedua pasangan yang dijodohkan tersebut merasa cocok, maka akan disepakatilah waktu pernikahan oleh kedua keluarga mereka. Dari momen-momen pertemuan itulah kemudian dikenallah istilah dating. Kisah-kisah romantis seperti ini banyak dikisahkan dalam novel, tapi mungkin yang tragis tapi terkenal ada dalam karangan William Shakespeare yang terkenal lewat film romeo dan Juliet.

Namun, Revolusi industry memberikan pengaruh yang besar terhadap proses dating yang terjadi di eropa. Efek Revolusi industry menyibukkan para pengusaha dengan membangun infrastruktur dan mengumpulkan kekayaan. Pada saat itulah, terjadi budaya hidup bermewah-mewah dan bersenang-senang. Timbul kesenjangan kekayaan antara bangsawan. Bermunculan kebiasan-kebiasan baru di setiap dating, seperti pasangan berkeliling taman yang diberi wilayah privasi, pesta dansa secara bebas, minum teh, dan banyak lagi variasi-variasi pesta lainnya. pada akhirnya, pertemuan-pertemuan formal perjodohan dengan tujuan pertemuan garis perasaan cinta secara serius, akhirnya kabur maknanya.

Lalu bagaimana dengan pacaran di zaman modern?
Sepertinya tidaklah ringkas jika hendak diurai tentang paradigma apa yang terbangun saat ini di dalam proses pacaran. Di berbagai media, baik cetak maupun elektronik bisa kita jumpai berbagai slogan-slogan cinta dalam pacaran yang banyak dipelopori oleh para artis. Walaupun pada akhirnya tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian dan pernikahan beberapa kali. Dalam konteks ini, sepertinya pacaran merupakan tradisi. Tapi di lain tempat, kita menjumpai kemesraan jalinan hubungan yang dicontohkan oleh AA Gym beserta istri barunya, walaupun banyak dicemooh oleh berbagai pihak yang menentang poligami. Mungkin dalam konteks itu ada yang mengatakan bahwa pacaran itu adalah cinta dan komitmen,… karena ritus-ritus pacarannya justru dilakukan setelah pernikahan.


Well,…
Entah mana yang benar dan mana yang salah,..
Sebab jika kita mencoba melihat kehidupan percintaan Rasulullah SAW bersama istri-istrinya,..

I just wanna say,.
Be a kind man if you wanna get a kind girl,
And for the girl,..
Be a kind girl if you wanna get a kind man,…

penulis adalah ketua umum komisariat PMII Universitas Negeri Makassar

Kembali ke Etos Budaya

Oleh : Hendra Djafar



Todilaling atau I Manyambungi merupakan kepala pemerintahan Kerajaan Balanipa Mara’dia. Mulai pertama memerintah sekitar tahun 1440. I Manyambungi pertama-tama meletakkan dasar-dasar sitem budaya politik kepada rakyat kecil. Beliau mengatur Formasi dan pengelompokan peranan-peranan yang saling berintraksi. Pengaturan peranan dan pengelompokan tersebut menempatkan kerajaan analog dengan sebuah perahu “ ana’ kodzai mara’dia banua kaiyangngi toilopi” raja adalah pemegang kekuasaan ekskutif tertinggi di bantu oleh mara’dia matoa dan anggota ada’. Akan tetapi banua kaiyang yang terdiri dari Napo, Samasundu, Mosso dan Todang-todang, yang dibantu 12 orang banua, sebagai perwakilan seluruh rakyat, memegang kekuasaan pengawasan. Banua kaiyang berhak mengangkat dan menurunkan raja. Ketetapan banua kaiyang ini bersifat mutlak tak dapat di ganggu gugat, seperti yang di rumuskan dalam hukum adat “ laweangi tandi wali, mappaui tandi simbong” ( berucap tak tersanggah. Penetapannya tak terbantah). Prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi acuan raja dan puang Dirano sebagai Pappuangan Napo yang juga merangkap sebagai pemimpin banua kaiyang ( baca: pemimpin lembaga perwakilan) di tuangkan dalam stateman politik yang antar lain berbunyi sebagai berikut (penegasan puang Dirano) “upakaingo,upakaraya, marondong duambongi anna : a.mara’ba ra’bao petawung (tuan merusak pematang) b. mambotu bottuo bassi’ ( tuan memotong genting pelurus) c.marattassoo uwake ( tuan memotong akar kehidupan dan akar orang banyak) d. marappao batu-batu (tuan telah memecah batu kecil, menindas orang kecil) e.marussao alewuang ( tuan merusak kesatuan dan persatuan) f.mambu’eo alewuang.(tuan meninggalkan janji kesepakatan).

Cerminan yang dapat diambil dari peristiwa ini bahwa nilai-nilai luhur budaya yang telah di wariskan oleh para leluhur tidak mengenal kata angkuh, sombong, mementikang diri sendiri, berat tangan, tidak menghargai, pemalas, tidak percaya diri, tidak bercerai berai, ketergantungan, tidak santun dan tidak sopan. Malahan sebaliknya leluhur Mandar mencerminkan keramahan, sopan dan santun, suka menolong, ringan tangan, rajin bekerja, toleran, solidaritas, familier, kekerabatan dan keluargaan yang tinggi jujur dan tulus ikhlas. Tak heran kalau puang sodo pernah mengungkapkan “ mua’ ditami balimbungannna azda, tuomi tau tammate, mapia takkazdae, apa metturundungi tau di barimbing, mettullung diropo uwe, mua tadami tau lao di olona andenami tau bicaran na, issinna parabue’na,apa nayya azda, takkeanai, takkeappoi, tammariwai tammakaleppei, tale napilletei diwatang makambu, tale namipasenderi di ayumate” ( apabila kita telah melihat rumahnya adat, berarti kematian telah terhindar, kebaikan menyongsong, keburukan terkikis, karena kita bernaung di bawah pohon rindang, dan lebatnya rumpung rotan. Apabila kita berada di hadapan adat maka kita menyerahkan diri untuk menjadi bahan persidangannya, dan isi ketetapannya,karena seorang adat tak bakal mementingkan anak, tak mengutakan cucu, tak bakal ada di pangku, tak ada bakal di momong, tak akan menitikan pada jembatan kayu sudah lapuk, tak bakal bersandar pada dahan yang telah mati).

Pertanyaannya sekarang masihkah ungkapan Puang Sodo itu tercermin dalam masyarakat kita,dalam pemerintah kita dan proses kepemimpinan kita di Indonesia dan tanah Mandar ( Sulawesi Barat) pada khususnya? Kitalah yang akan menilai itu dan merasakannya?

Memudarnya penghayatan dan mengalaman nilai-nilai budaya mengakibatkan negeri kian terpuruk dalam segala bidang kehidupan baik ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, Kondisi ini melanda pada setiap tataran mulai dari tataran kepemimpinan tingkat bawah sampai pada tingkat atas, masyarakat selalu merasa tak aman, tidak percaya atas keputusan keputusan pemerintah. Dalam ranah hukum masyakat kecil selalu di titikan pada jembatan yang lapuk dan di sandarkan pada kayu yang telah meranggas.

Kemajuan dan keunggulan sangat di tentukan oleh karakter bangsanya. Sehubungan dengan itu program pemndidikan karakter bangsa tidak dapat di tawar menawar lagi. Bangsa yang sudah luntur karakter/ budi pengerti aslinya kehilangan jati dirinya akan terus menerus dalam keterpurukan. Bila ini terus menerus terjadi maka, kewaspadaan Mahatma Ghandi tetang tujuh dosa yang mematikan bisa menjadi kenyataan di negeri tercinta ini pada umumnya dan di Sulewesi Barat pada khususnya. Tujuh dosa itu yakni merebahnya nilai-nilai dan perilaku “kekayaan tanpa bekerja, kesenangan tanpa hati nurani, pengetahuan tanpa karakter, bisnis tanpa moralitas, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, agama tanpa pengorbanan, politik tanpa prinsip.

Sejarah telah membuktikan bahwa Mandar telah memiliki karakter/budi pengerti yang kuat yang telah diwariskan oleh para pendahulu seperti Todilaling, To Mepayung, Puang Sodo, Puang Chazdia, dan yang paling muda yang paham tetang karakter dalam ranah Hukum adalah Prof. Baharuddin Lopa dll. Karakter kuat dan unggul dari pendahulu ini tampaknya terabaikan, terlunturkan karena pengaruh globalisasi yang kuat. Padahal Karena arus globalisasi yang kuat ini seharusnya karakter/budi pengerti harus lebih kuat pula supaya tidak terbawah arus globalisasi itu. Penyimpangan-penyimpangan yang belaku seperti korupsi, money politik, komplik social dan politik, saling mencela, saling sikat, merasa diri yang paling benar dan layak jadi pemenang, pemerkosaan dan pembunuhan adalah perilaku yang menyimpang etika moral yang merupakan tanda-tanda, melemahnya karkter /budipengerti anak negeri.

Memperhatikan penyimpangan-penyimpangan di atas, maka pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh pemuda, sudah waktunya memerankan ketokohannya, untuk membangun karakter bila tidak, jangan maharap Sulawesi barat akan sampai pada iconnya “mala’bi”. Pertanyaannya kemudian bagaiman membangun kembali karakter Mandar yang sudah hampir kabur ini? Para pendahulu kita telah menanamkan etos budaya yang di sebut “siri’”.

Siri’ yang pada dasarnya adalah tolak ukur tentang harkat,martabat dan harga diri, keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara tanggung jawab dan kepatuhan, seseorang yang bertugas dan berwenang meluruskan yang bengkok, tetapi tidak dapat dan tidak berani melakukannya , berarti siri’ orang tersebut telah pudar. Demikian juga apabila seseorang membiarkan hak pribadinya di langgar dan di injak-injak di luar hukum etika dan norma kebiasaan, juga berarti, Siri’ atau harkat dan martabat orang tersebut telah pudar. Para guru Dosen yang tidak masuk mengajar pada jadwal dengan alasan yang tidak jelas patut di pertanyan tentang siri’, dan pemuda yang hanya mampu memperbincangkan kejelekan orang lain juga patut di pertanyakan tentang siri’nya.

Sebab dengan siri’ itulah yang mendorong keberanian dan ketegaran para pemimpin appe banua kayyang menurunkan Daeng Rioso’ dari Raja. Siri’ itu pulalah yng mendorong Raja Mandar mendukung Pammarica, untuk menolak permintaan Gubernur Belanda, serta Siri’ pulalah yang mendorong puang Cazdia untuk secara tegas tanpa ragu-ragu merelakan I Ka’useng, anak kandungnya sendiri menajalani hukuman mati di pangkuannya. Husni jamaluddin mengemukakan pandangannya tentang siri’ dalam sebuah seminar bahwa siri’ adalah surat izin untuk berada di atas tanah. Orang tidak ada siri’nya tidak punya izin tinggal diatas tanah. Di bawah tanah saja. Dan ini budaya Mandar.

Untuk mewujudkan Sulawesi Barat yang Bala’bi mulai sekarang kita kembali kepada etos budaya siri’ dengan menanamkan dalam diri kita sebagai pijakan awal pesan To dilaling “ inna ri tia sobai totondo zdaimu, pakarayai sipattummu, sayangngi totondo naungmu” ( yang lebih baik adalah ta’atai atasanmu, hargai rekan rekan sejawatmu, sayangi bahawanmu”



Jakarta 25 Desember 2011

Jumat, 23 Desember 2011

SENANDUNG DALAM GERAKAN, PERNAPASAN DAN GESTUR


Oleh: Syuman Saeha


Antonin Artaud; Aku membutuhkan aktor-aktor, yang pertama adalah makhluk-makhluk. Yaitu bila mereka berada diatas pentas, mereka tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, yaitu luka karena pisau (Ledakan Dan Bom. 142), tentu saja pengakuan ini tidak bermaksud menghalalkan pembunuhan secara sungguhan lantaran tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, pun mungkin bukan itu tujuannya dalam memberi penegasan terhadap aktor dan garapan teaternya. Sekalipun kita semua tahu, actor menurut Artaud, “haruslah seorang gila, yang hidupnya dihantui, dibahayakan dan diancam” (170).

Demikian pula bahwa tidak sedikitpun maksud untuk menyamakan (tapi kalau dapat kenapa tidak) setiap takaran dari sederet pertunjukan oleh kelompok seni sekolah SMA dalam Festival Teater Putih Abu II yang dilaksanakan di Kampus Unasman walaupun pada kenyataan tidak persis dengan apa yang diingini oleh Artaud dalam teater garapannya. Hal inilah kemudian yang menuntut kita untuk membuka mata selebar-lebarnya, memandang berbagai sisi atas pertunjukan tersebut, siapa dan kapan mengenalnya serta fasilitasnya apa, juga tak kalah pentingnya penyelenggaraanya bagaimana.

Berangkat dari kesadaran atas berbagai sisi pandang ini akan melabuhkan kita pada titik muara keresahan sekaligus mencoba menguatkan hati untuk menerima kelemahan yang mengepung disegala arah, sebab yang menjadi tujuan bersama adalah, bahwa teater harus ada dan hadir di tanah Mandar, (baca sulbar) dan di Polewali Mandar pada khususnya, meski harus secara terus-menerus cemburu terhadap kondisi serta kemampuannya.

Tulisan ini juga tidak bermaksud mengupas tuntas terlebih mencincang sampai kedalam isi perutnya tentang bagaimana pertunjukan itu berlangsung selama empat malam yang diawali oleh pementasan “Sanggar Layonga Mandar” SMA Neg.I Tinambung, kamis malam, 25 November 2010 dengan “Matahari Di Jalan Kecil” yang ditulis seniman sebesar (Arifin C Noer). Dalam pada itu malam berikutnya “Sanggar Pujangga” dari SMA Neg. I Wonomulyo mementaskan “Para Jahanam” adaptasi cerpen “LAMPOR” (Joni Arya Dinata), scenario (Zulfikri Sasma). disusul “Kartini Berdarah” scenario (Amanatia Junda S.) oleh “Sanggar Merah Putih. SMK Muhammadiah Wonomulyo. malam ketiga Festival Teater Putih Abu II pertunjukan dibuka SMA Neg. I Polewali ”Figura” karya (Enda Sukaputri). Dan ditutup “Aku Masih Perawan” dari “Teater TERBIG” SMK BIGES Polewali. Sedang malam keempat yakni malam terakhir pertunjukan peserta Festival Teater Putih Abu II menampilkan tiga peserta yaitu “Sanggar Palapa” SMKN Tapango “Bunga Desa” (D. Suradji) juga “Kebebasan Abadi” (Sebuah Tragedi Kepahlawanan) Karya (C.M. Nas) SMA Neg.I Wonomulyo dan “Sanggar Todilaling” SMK Neg. I Tinambung “Cinta Dan Laut” Karya (Dalif Palipoi) sebab seperti yang sudah disampaikan diatas kita tidak hanya semata bertolak pada kelemahan serta kekurangannya tapi lebih kepada bagaimana bisa hadir dan terus ditekuni tidak hanya berupa hiburan belaka, tapi juga sebagai tempat memahami ilmu pengetahuan.
Sungguhpun demikian tentu kita akan coba bersepakat meski dalam keadaan yang berat, bahwa melewatkan satu peristiwa berlalu begitu saja didepan mata tanpa berusaha “bertukar sapa” dengan cara apa dan bagaimanapun, tentu itu bukan satu cara sikap hidup yang baik.

Pertunjukan teater yang diramaikan delapan kelompok seni sekolah se-Polewali Mandar ini, bila ditinjau dari segi garapannya (konvensional) kesemuanya dibawa rata-rata, itu terlihat dari tidak adanya ketegasan secara maksimal terhadap ruang dan waktu yang meliputi kapan dan dimana terjadinya peristiwa itu. Belum lagi kita dihadapkan pada actor aktrisnya, secara keseluruhan belum menyentuh wilayanya sebagai laku yang meruang, yang tercipta dari gerak dan gesture yang meyakinkan, dan tentu saja disana juga ada nafas sebagai kehidupan, yang kesemuanya akan membingkai pertunjukan itu menjadi bukan hanya semata sebuah pementasan tapi sebagai peristiwa teater di atas pentas.

Mungkin saja dikarenakan belum terpahaminya secara memadai bahan-bahannya, disamping kurangnya waktu latihan untuk lebih membumikan secara cukup sebagai elemen yang akan mengusung terjadinya peristiwa teater tersebut, disinilah pentingnya melaksanakan kepekaan untuk merangsang sedemikian rupa kecemburuan terhadap kelemahan-kelemahan itu. Mungkin juga tidak begitu tepat bila hal ini kita ajukan sebagai pertanyaan serius terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan terkhusus Pemkab Polewali Mandar, sudah sejauh mana mengarahkan keakraban tentang keberadaan kelompok-kelompok seni, apakah itu di Sekolah, di Kampus, atau diluar keduanya demi berlangsungnya kehidupan seni dan budaya itu sendiri.

Alhasil Festival Teater Putih Abu II yang sudah dua tahun ini dilaksanakan oleh Kosaster SIIN Unasman (Komunitas Sastra dan Teater SIIN Universitas Al-Asy’ariah Mandar) patut kita sirami perhatian secara serius, sekaligus berharap sangat dapat melahirkan manusia cerdas lagi jujur serta memiliki kehalusan akal budi selaras dengan cita-cita Sulbar Mala’bi. Amin……

Manding, 28 November 2010.


Penulis adalah Pimpinan Komunitas Panggung Palatto Pambusuang.

Minggu, 18 Desember 2011

Peranan Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pembangunan Perdamaian

Add caption

Oleh : Muhammad Subair Sunar

"Saya tidak bersedih kalau saya tidak dikenal masyarakat,

Tapi saya akan sangat sedih jika saya tidak mengenal masyarakat"

(Bikkhu Dhamma Subo)



Pengantar.

Pernah dalam sebuah seminar tentang syariat Islam di Makassar, seorang panelis menyebut "jawa" sebagai factor penentu sukses tidaknya gerakan penegakan syariat Islam. Menurutnya, kemunduran orang-orang Bugis dan Makassar diakibatkan oleh dominasi Jawa, bahwa suplai beras dan hasil-hasil bumi Sulawesi lebih banyak di angkut ke Jawa. Orang-orang Bugis dan Makassar tidak memperoleh imbalan yang memadai. Mereka dinomorduakan dalam pembangunan, dan lebih mengutamakan masuknya dominasi asing menguasai kekayaan alam mereka. Dan pada akhir pemaparannya, Panelis tersebut menyebut perlunya syariat Islam ditegakkan, karena Bugis dan Makassar sejak dulu identik dengan Islam.

Sang panelis diatas menggunakan bahasa etnisitas atau kesukuan untuk memperkuat argumen "perlunya penegakan syariat islam di Sulawesi Selatan". Wacana ini hampir sama dengan isu "Sulawesi Merdeka" yang pernah muncul di Makassar tahun 1999 ketika Habibie terganjal dalam sidang umum MPR 1999 untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Wacana yang dipergunakan adalah isu kesukuan "Sulawesi versus Jawa".

Kampanye dari dua kasus wacana diatas tampaknya tidak akan mencapai tujuannya tanpa"meminggirkan" unsur yang disebut yang lain, yang didefenisikan sebagai "Jawa"(belakangan muncul) "Cina", "Amerika", "Jepang" dan lain-lain yang tergambar melalui pemberitaan media dengan memunculkan aksi-aksi sweeping terhadap warga asing.

Sengaja saya mengutip dua peristiwa diatas dengan titik kesamaan yakni sama-sama menggunakan bahasa kesukuan untuk memperkuat argumen mereka. Dan bukan sama sekali untuk membicarakan pro dan tidaknya kita pada gerakan penegakan syariat Islam yang mereka bangun. Kutipan kasus wacana diatas menjadi penting ketika kita mendiskusikan perihal kearifan lokal. Diskusi mengenai kearifan lokal, berarti mendiskusikan "nilai budaya" dalam konteks ke"suku"an atau salah satu suku.

Lalu apa arti suku atau etnisitas? Dalam kajian ilmu politik, etnisitas suku selalu diidentikkan dengan pemicu konflik dalam satu Negara kebangsaan. Dalam kajian sosiologi, ke"suku"an seringkali diidentikkan dengan pemicu keresahan social,seperti yang tergambar dalam konflik antar kampong atau perkelahian antar warga di kota-kota besar. Dan konflik suku Dayak dan pendatang di Kalimantan beberapa tahun lalu ikut, memperkaya makna politik etnik sebagai pemicu konflik berdarah.

Mungkin dalam konteks pariwisata dan seni hiburan, "suku" tidak dimaknai sebagai pemicu konflik, tapi dipahami sebagai barang komoditas yang bisa diperdagangkan dan diperjual belikan. Sehingga sudah sangat lazim kita menemukan pernik-pernik etnik kesukuan menjadi unsur penambah selera komsumsi. Dipihak lainnya (kitabaca dikoran-koran saat sekarang ini, menjelang Pemilu) sangat banyak orang melakukan perburuan gelar-gelar adat dan silaturrahmi antar komunitas suku.Kesemuanya itu adalah model perdagangan baru untuk mendapatkan dukungan pada Pemilu yang akan datang.

Pemosisian Tradisi dan Kearifan Lokal Untuk perdamaian.

Penyebutan suku atau etnik, terkadang mencerminkan hal-hal yang serba kurang dan terkesan disudutkan. Ketika orang menyebut, "suku", yang terbayang adalah orang-orang Dayak yang menenteng Mandau, orang-orang Papua yang memakai koteka dan lain sebagainya. Akhirnya penyebutan "suku" secara berlebihan pada masa Soehartodicurigai sebagai SARA. Dan pada saat bersamaan "keragaman suku dan budaya"dirayakan sebagai identitas bangsa, identitas "manusia indonesia seutuhnya",sedang identitas kesukuan tidak dipandang sesuatu melainkan SARA. Sungguh suatu hal yang kontroversial.

Lantas dimana kearifan local budaya dari setiap suku bangsa harus diposisikan dalam membangun perdamaian? Pendekatan suku dalam membangun perdamaian telah menemukan hasilnya di Ambon, seperti model pelagandong. Adakah nilai budaya yang kita miliki yang bisa dipergunakan untuk membangun perdamaian? Dan Syarat-syarat budaya apa yang harus dibangun,sehingga kearifan lokal dari seiap budaya kita memberi sumbangsih untuk membangun perdamaian di daerah kita?

Pertama; Memahami nilai kebudayaan danidentitas masing-masing ke"suku"an kita dan ke"suku"an orang lain dari sudutpandang pelaku budaya itu sendiri dan bukan dari pihak lain atau orang lain.Disini pemahaman atas nilai suatu budaya tidak sekedar "mengetahui"nya, tapijuga mengalami proses pembatinan, proses refleksi untuk pengendapan nilai.Sehingga membutuhkan keterlibatan diri secara subyektif, karena itu prosesmemahaminyapun harus berguru pada orang yang melakoninya secara subyektif, danbukan pada orang lain yang hanya menjadi "pengamat" budaya atau penulis budaya.Bagi orang Mandar bergurulah pada kasus I Kauseng yang mati terhukum di paha ibunya demi kehormatan dan keadilan, sebaliknya tidak menjadi benar ketika orang mandar berguru pada sesamanya mandar tentang orang bugis, karena akan menimbulkan pemahaman negative dan apriori terhadap (ma'af) orang bugis, paande be,do, mandar pandoti-doti dan semacamnya. Singkatnya, Memahami nilai budaya dari sudut pandang pelaku budaya itu sendiri akan menjauhkan dari "bentukan" (konstruk) pemahaman keliru tentang suatu budaya, melainkan memahami budaya secara faktual dan nyata.

Kedua; Biasanya sebutan suku, budaya dansemacamnya muncul dalam konteks penghadapan antara tradisi dan modernitas,antara yang lama dan yang baru. Kesukuan dan kebudayaan dibicarakan tidak sekedar mewakili tradisi yang lama, tetapi diperbincangkan sebagai sesuatu yangniscaya dirawat, sebagai sesuatu yang hidup, bangkit dan dinamis. Memperlakukan budaya sebagai suatu yag dinamis dan terus mengispirasi pencitraan diri warganya. Perlakuan budaya seperti inilah yang akan terus mendorong setiap orang (suku) memberi penghargaan setara pada sesamanya manusia sebagai makhluk berkebudayaan dan beradab dan tidak membangun relasi kemanusiaan atas dasar"kepentingan" dan dominasi. Singkatnya,"bukan karena penghargaan setara atas sesama, sehingga kita disebut berkebudayaan, melainkan karena berkebudayaanlah sehingga kita menghargai pada sesama.

Ketiga; Mentransformasikan masa depan denganmengubah kesadaran manusia tentang masa depan. Kesadaran tentang masa depanmenurut versi budaya masing-masing, seperti tertuang dalam rumusan masa depanpencitraan diri seorang "raja" dalam nilai budaya mandar; marondong dumbongi anna matea, da'moannai dari mjnari mara'dia mua Tania tonama asayanngi lita' ..... dst. Disni terungkap impian masa depan tentang pencitraan seorang raja yang harus adil, jujur dan mengutamakan kepentingan hajat hidup orang banyak. Dan sangat berbeda dengan impian masa depan versi liberalis yang mengkonotasikannya dengan "kekuasaan".

Penutup

Damai adalah tidak takut, tidak heran, tidak terkejut, tapi cerah, anggun dan sumeleh.

Penulis adalah Pemerhati sosial
dan staf pengajar di Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) Sulbar.

Ayo Menulis


Oleh : Saprillah Syahrir

Menemukan Posisi Diri

Menulis adalah tindakan untuk perubahan. Keren memang kedengarannya, tapi seperti itu-lah seharusnya! Kita perlu menemukan posisi kita dalam struktur sosial sebelum jauh melibatkan diri dalam kegiatan tulis-menulis. Pilihannya jelas, memihak kepada kelas penguasa dan kawan-kawannya atau kepada rakyat yang tak punya ruang untuk bersuara. Keberpihakan selanjutnya menentukan apakah tulisan yang dihasilkan punya makna perubahan atau tidak.

Suara perubahan biasanya hanya muncul dari ruang pengap yang bernama situasi kemiskinan dan ketertindasan. Penguasa dan kaum borjuis biasanya sangat tidak menyukai perubahan. Mereka menyenangi stabilitas untuk mengamankan kekuasaan dan kenyamanan mereka sebagai kelas penindas. Menulis untuk perubahan adalah salah satu mode perlawanan terhadap penguasa yang semena-mena dan serakah. Menulis sebagai idiom anti kemapanan!

Menulis dengan demikian bukanlah peristiwa biasa, bukan sekedar mendaftar huruf-huruf di atas kertas yang membentuk deretan kata menjadi kalimat dan paragraf yang kemudian menjadi essay, makalah, paper, atau buku, tetapi untuk melahirkan makna! Pada gilirannya melahirkan semangat perlawanan. Menulis adalah alat politik untuk memperjuangkan suara-suara rakyat yang bisu di sudut peradaban yang dikuasai sepenuhnya oleh penguasa dan pemilik modal. Jika anda menulis hanya untuk kepentingan menulis apalagi hanya untuk membenarkan tindakan penguasa, maka segeralah berhenti menulis!



Memulai dengan Imajinasi

Saya sangat yakin bahwa semua penulis yang kita anggap hebat adalah penghayal tingkat tinggi. Mereka memiliki kemampuan untuk menjelajahi alam imajinasi yang tanpa batas dan mengambilnya sebagai inspirasi untuk menulis. Imajinasi adalah anugerah ilahi. Ia sangat unik, anti-realita, tapi sungguh sangat mengasyikkan. Tanpa batas dan tanpa larangan. Anda bisa terbang dengan superman, bercinta dengan bidadari, berkawan dengan iblis, berbicara dengan Tuhan, menjadi raja, dan menjadi apa-pun dalam dunia imajinasi anda. Tidak ada hukuman dan sanksi bagi imajinasi. Semuanya bebas!

(ber) imajinasi sangat dibutuhkan dalam berkarya apa-pun itu termasuk menulis. Imajinasi dapat melahirkan cerpen, novel, film, musik, patung, diorama, dan sebagainya. Imajinasi pun dapat menjadikan karya tulis yang kita sebut ilmiah atau non-fiksi memiliki daya tarik. Imajinasi dapat memunculkan cita-rasa yang membantu kita menemukan rangkaian kata-kata yang memiliki padu-padan yang indah. Orang yang memiliki imajinasi tinggi bisa dipastikan akan melahirkan karya-karya yang monumental. Film Harry Poter, Avatar, Jurrasic Park, Lasykar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Candi Borobudur, Taj Mahal, Great Wall China, adalah karya monumental yang dilahirkan oleh orang-orang dengan imajinasi yang tinggi.

Jangan takut untuk berimajinasi. Jangan takut disebut penghayal. Semakin anda menjadi penghayal semakin besar potensi anda untuk menjadi penulis atau kreator kebudayaan yang handal. Dunia imajinasi bukan satu fase kekanak-kanakan kita. Ia adalah keseluruhan hidup kita. Imajinasi juga bukan sesuatu yang berada di luar struktur kesadaran kita. Ia ada dalam diri kita. Ketika anda memejamkan mata dan berbagai bayangan liar muncul dalam alam pikiran anda, maka imajinasi anda sedang bekerja. Ketika anda tidur dan menemukan orang yang anda cintai di satu tempat yang sangat indah, maka imajinasi anda sedang bekerja. Pelihara-lah itu. Berimajinasi-lah dengan sadar, lalu pelan-pelan turunkan ke dalam pikiran sistemik anda, dan mulai-lah menulis.



Selanjutnya Memperbanyak Pengalaman


Imajinasi tentu tidak cukup. Kita membutuhkan satu pendekatan lain yaitu pengalaman. Pengalaman itu unik bagi setiap orang. Proses pembentukannya pun tidak seragam. Pengalaman adalah proses interaksi intensif seseorang dengan realitas sosial. Perspektif dan keberpihakan nantinya terbangun dari proses pengalaman seseorang dengan realitas sosialnya. Seorang yang setiap hari melihat ibunya tertindas dan dipukuli oleh ayahnya akan memunculkan perspektif tentang lelaki yang berbeda dengan seorang lain yang setiap hari melihat ibunya disayangi oleh ayahnya. Pengalaman sebagai mahasiswa yang aktivis tentu berbeda dengan mahasiswa yang bukan aktivis. Memperbanyak pengalaman membantu untuk menentukan posisi sosial kita dan akan memudahkan proses kita menulis.

Pengalaman dibutuhkan karena kegiatan menulis adalah peristiwa yang historis. Seseorang tidak mungkin menulis sesuatu yang tidak memiliki keterkaitan sejarah dengan dirinya, meski itu hanya tulisan fiksi yang sumber utamanya berasal dari imajinasi. Novel Harry Potter sangat imajinatif. Apa-kah itu berarti J.K Rowling hampa sejarah (a-histori) ketika menulis Harry Potter? Tentu saja tidak. Para pembaca Harry Potter tidak menemukan gambaran tentang hantu versi Indonesia (sundel bolong, kuntilanak) atau nama-nama versi Indonesia dalam cerita itu. Ini karena J.K Rowling tidak memiliki basis pengalaman historis tentang Indonesia. J.K. Rowling menghadirkan imajinasi tentang dunia sihir sebagai orang Inggeris dan itu berarti sangat historis. Andrea Hirata sangat fasih menceritakan secara detil kehidupan anak-anak Belitong dalam novel Lasykar Pelangi karena dia orang Belitong. Tokoh-tokoh yang diceritakan pun adalah dirinya dan teman-temannya. Habiburrahman sangat baik menghadirkan latar Mesir dalam novel Ayat-Ayat Cinta karena dia kuliah di sana. Menulis sesuatu yang kita alami lebih mudah daripada yang kita tidak alami. Perbanyaklah meng-alam-i sesuatu, lalu hadirkan dalam imajinasi, turunkan dalam pikiran sistemik anda, lalu mulai-lah menulis!



Berdamai dengan penjara struktur bahasa

Menghayal-mengalami-berfikir-berbicara-menulis adalah sirkuit yang dilalui dalam menghadirkan tulisan. Menghayal paling mudah karena bebas struktur. Yang tersulit adalah menulis. Apa yang dihayalkan, dialami, dipikirkan, dan dibicarakan tidak serta merta dapat dituliskan. Dunia tulis menulis terikat dengan aturan bahasa. Aturan gramatikal yang tidak membebaskan kata-kata dideretkan begitu saja. Rangkaian kata-kata itu harus memiliki makna (kebahasaan) dan harus memenuhi standar struktur bahasa yang baik dan benar. Tidak boleh meletakkan tanda baca di sembarang tempat karena akan memengaruhi makna. Celakanya, standar gramatikal ini kadang-kadang menjadi ukuran tertinggi dalam menilai suatu tulisan baik atau tidak. Belum lagi tetek bengek aturan menulis karya tulis ilmiah. Ini yang saya sebut sebagai penjara struktur bahasa.

Proses menulis tidak bisa mengelak dari penjara struktur bahasa, tetapi kita bisa berdamai dengan itu. Salah satunya dengan mendekonstruksi kategori “tulisan baik” dan “tulisan jelek”. Bagi saya, tidak ada yang disebut tulisan baik dan tulisan jelek. Seluruh proses menulis sama dan melalui sirkuit yang sama. Yang membedakan, ada orang yang telah sering menulis, ada yang jarang menulis, dan ada yang baru mulai menulis. Hasilnya bisa berbeda, tetapi tidak berarti harus dijustifikasi baik dan jelek. Tulisan orang yang baru menulis tentu tidak bisa disandingkan dengan tulisan orang yang sudah sering menulis. Itu tidak fair, karena standarnya berbeda.

Kata jelek adalah penjara bagi penulis yang baru ingin memulai masuk ke dalam dunia tulis menulis. Padahal, yang dimaksud “jelek” sangat multidimensional. Semua tergantung pada “konteks” pembaca-nya. Tulisan tentang barzanji sebaik apa-pun tetap dianggap tidak baik oleh kelompok Islam puritan. Tulisan tentang tambang yang dibuat oleh orang perusahaan, selalu dianggap “penipuan” oleh aktivis. Orang ahli bahasa selalu menilai tulisan dari ketepatan penggunaan ejaan dan gramatika. Semua tulisan yang tidak memenuhi standar EYD dan struktur gramatika pasti jatuh harga. Intinya, baik dan jelek adalah persoalan standar. Jika standarnya berubah maka nilainya juga berubah. Standar itu bisa berasal dari mekanisme bahasa, selera, aliran, dan (bahkan) ideologi.

Tulisan pada prinsipnya memuat dua hal, bentuk dan isi. Bentuk, berarti tentang sistematika, prosedur, dan standar formal bahasa yang diakhiri dengan situasi keterbacaan. (Konon) Essay Goenawan Muhammad dalam Caping (Catatan Pinggir) adalah salah satu contoh tulisan dengan “bentuk” yang baik. Ia sangat pandai memainkan kata-kata yang canggih nan memukau. Isi, berarti tentang ide, gagasan, dan subtansi yang ingin disampaikan. Ada banyak tulisan dengan bentuk yang baik tapi gagasannya kering. Ada pula tulisan yang memiliki ide yang brilian tetapi dengan bentuk yang kurang baik. Pencapaian terhadap dua titik ini secara bersamaan tentu saja dibutuhkan proses yang panjang. Proses yang dimulai dengan melatih diri menulis (bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diri sendiri), memanfaatkan semua media yang ada. Jika tulisan yang anda hasilkan telah berbentuk dan memiliki ide yang jelas, maka tulisan anda pasti bagus!

Tapi ingat! Pencapaian pada dua titik itu tidak akan berarti bila tidak memenuhi standar ketiga yaitu pengaruh. Jika harus menentukan tulisan itu baik atau jelek, maka saya lebih memilih standar ketiga ini. Tulisan harus memiliki pengaruh kepada pembacanya. Setidaknya pada dua hal; menggugah atau menginspirasi. Tulisan yang menggugah berarti memiliki kekuatan pada bentuk dan format bahasanya. Puisi, cerpen, novel bisa sangat menggugah pembaca hingga emosinya dinamis sesui dengan alur. Tulisan yang menginspirasi memiliki kekuatan pada ide dan gagasannya sehingga menggerakkan pembaca untuk melakukan sesuatu. Semua terserah anda, ayo menulis!

Penulis adalah peneliti pada Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Makassar

KOSASTER BUTUH ‘SINAR*


Oleh : Hendra Djafar

(Sebuah catatan kecil komunitas seni sastra dan teater siin unasman serta untuk perbandingan lembaga-lembaga kemahasiswaan)

Seorang ibu lumpuh yang ditinggalkan suaminya, merantau entah kemana dan tak ada kabar, hanya bisa terbaring di tengah lima anaknya yang masih terbilang belia, anak-anak yang masih butuh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya, tapi sekali lagi bapak anak-anak itu merantau dan tidak ada kabar sedang ibunya lumpuh hingga tidak bisa memasak, mencuci, mencari nafkah, dan sentuhan lain untuk pertumbuhannya.

Di daerah terpencil, Desa Riso di sebuah rumah panggung tanpa sinar listrik disanalah ibu yang lumpuh itu tinggal bersama anak-anaknya. Sejak dua tahun lebih ia menderita demikian, dan sejak itu pula ibu itu ditinggalkan suaminya merantau. Lantas, bagainmana nasib anak-anaknya, siapa yang mengurusnya?
Untuk menjawab pertanyaan diatas, perlu disadari bahwa mengurus keluarga (baca: anak-anak) tidaklah sekedar mengurus akan tetapi lebih pada bagaimana menghidupkan, dan itu memerlukan energy yang lebih, perhatian yang serius, peran yang maksimal, tanggung jawab penuh serta keikhlasan sebab Jangankan mengurus keluarga, mengurus diri sendiri pun adalah hal yang sangat sulit. Namunpun demikian, bahwa sangat penting untuk disadari pula bahwa ketika roda kehidupan harus dan terus berjalan, sebuah tanggungjawab yang disertai keikhlasan penuh sangat dibutuhkan, tanpa menapikan pengertian kita bahwa hidup bukanlah jebakan untuk menjadikan dunia sebagai tempat keluhan, kepedihan, akan tetapi dunialah yang menjadi tempat mengenal Tuhan dengan keadilan-Nya, kebesaran-Nya serta kasih dan sayang-Nya, AR-RAHMAN AR-RAHIM. Tuhan akan menjawab setiap derita yang dialami hambanya, bagi mereka yang ingin berbuat dalam kehidupan dan ingin berbagi dengan saudara-saudaranya maka Tuhan akan menghempaskan cinta-Nya, tak terkecuali kepada ibu yang lumpuh dengan memberi kekuatan pada bocah salah satu anak dari ibu yang lumpuh tersebut untuk memberi pencerahan bahwa di balik kelemahan ada kekuatan di luar diri yang selalu teraktualisasi dan menyimak kehidupan manusia yang senantiasa menolong manusia lainnya selama manusia itu ingin berperan dan bertanggung jawab terhadap perannya.

Bocah yang di percayakan oleh Tuhan untuk berperan dan mengambil alih peran-peran ibu yang lumpuh tersebut bernama Sinar yang menjadi sinar di rumahnya yang tanpa listrik tapi Sinar lebih terang dari listrik. Bocah yang berusia kurang lebih tujuh tahun.

Sinarlah yang menjadi jawaban atas pertanyaan siapa yang mengurus keluraga ibu yang lumpuh tersebut, Sinar yang terbilang lemah dan dalam jeratan ketidak mampuan baik dari segi pisik ataupun yang lainnya. Sinar menjalani hari-harinya yang keras tanpa keluh kesah, memasak, mencuci, mengurus ibu dan adik-adiknya, intinya adalah Sinar mengorbankan masa kecilnya untuk bermain seperti anak-anak sebayanya. Sinar dewasa sebelum waktunya, Sinar membentuk dunianya sendiri, Sinar adalah sinaran di rumahnya.

Mungkin kita akan bertanya bila memang dalam keluarga Sinar ada campur tangan Tuhan? Mengapa Tuhan harus memilih Sinar, bocah yang masih duduk di bangku SD? Padahal Tuhan bisa saja mengetuk pintu hati bapak Sinar untuk pulang, bisa juga ibu sinar yang lumpuh di sembuhkan, bisa juga Tuhan mengetuk pintu hati keluarga atau tentangga Sinar untuk membantu Sinar dan keluarganya. (Renungi saja sendiri ya…penulis kurang ajar gitu hahaha)

Jelasnya Sinar menjalankan peran-perannya dengan penuh tanggung jawab meski sinar belum tahu apa arti dari tanggung jawab itu. dan dari tanggung jawab itu, ternyata selalu melahirkan inisiatif, semangat dan kasih sayang, untuk mengurus keluarga Sinar, hingga keluraga dari daerah terpencil ini terkabarkan pada dunia mengundang media local maupun nasional, ST 12 (band papan atas Indonesia) Bupati, pemerintah dan komnas anak tersentuh serta hendra terharuh ( hendra penulis rekeng hahaha) dan banyak hendra-hendra yang lain ikut terharuh menatap cermin kehidupan sinar. Yang jadi pertanyaan kemudian hal apa dan kekuatan apa bocah SD itu membuat banyak orang terundang ke rumahnya di daerah yang sangat terpencil itu hanya untuk bertemu Sinar ? kekuatan apasih yang dimiliki Sinar hingga mampu mengabarkan pada Dunia tentang kehidupannya? ( berpikir lagi ya…hahaha)

Sinar adalah anggota keluarga yang the best of the best karena mampu bertindak di saat-sast tidak ada lagi yang bisa di harap dalam keluarganya. Sinar berdiri di tengah-tengah kelurganya yang menjalankan roda kehidupan dengan tertatih-tatih, keluarga yang mungkin bila kita menengok mata kuliah dan pelajaran di kampus akan menjadi hal yang mustahil bocah seumuran Sinar mampu memutar roda kehidupan dalam keluarganya. Mata kuliah di kampus akan mendustakan realitas kehidupan Sinar, tapi Sinar nyata dan ada di tengah-tengah masyarakat Polman, lalu apa yang terjadi dengan mata kuliah kita? Bukankah setelah kita selesai dari kampus kita akan terjun ke masyarakat untuk mengaplikasikan ilmu yang rasional yang kita telah dapatkan di Universitas? Tapi kehidupan Sinar tidak rasional? Kira-kira apa yang salah? Apa Sinar yang salah atau pelajaran dan mata kuliah kita yang salah? ( berfikir menandakan kau manusia maka berfikirlah…pesan penulis…hahaha)

Dari sini mari kita mengembara ( uwis..mengembara) ke keluarga besar kita KOASSTER SIIN UNASMAN, sejak keluarga ini berdiri terkalender masehi 03 Oktober 2003, telah merekrut banyak anggota keluarga yang mungkin bila di laporkan ke dinas catatan sipil akan di tolak sebelum matang karena akan terlalu banyak menggunakan blangko anggota keluarga ( terus apa urusannya ini sampai ke capil? Tanya budi!) penulis dalam hal ini hendra lengkapnya hendra djafar hanya ingin menyampaikan saja sakin banyaknya anggota keluarga kosaster siin ( ohh gitu… sahut budi!) ingat ohh gitu adalah tanda kita mengerti dan pengertian adalah harapan dan Cuma harapan yang banyak membuat orang bertahan hidup, dan hidup itu adalah yang nyata dan yang nyata inilah yang perlu diurus untuk menjadi pengurus. Kita harus berperan dan setelah berperan kita harus bertanggung jawab terhadap peran kita.

Lihat sinar yang mengerti perannya sebagai anggota rumah tangga dan bertanggung jawab terhadap perannya, terangkatlah keluarga sinar, membuat Indonesia penasaran pada keluarganya. Dan datanglah orang-orang bertamu padanya, membuat bangga Indonesia punya sinar, bocah yang memiliki semangat hidup yang tinggi. (tidak jadi nih… kita bahas kosaster…) siapa bilang tidak jadi, ini kita bahas kosaster kok… dari awal tulisan ini membahas tentang kosaster. “masa kita bahas kosaster dari awal yang kita bahas kan cuman keluarga sinar, hingga sampai pada ujung tulisan ini masih bahas sinar… bang… ” (oh gitu ini menandakan bahwa aku sudah mengerti ketidak mengertianmu, makanya aku katakan oh… ghitu) (okey kita tengok lagi dari awal tulisan ini, baca ulangmi dari awal lagi he..he…he…)

Dari awal tulisan ini sudah dikatakan seorang ibu yang lumpuh, kita ibaratkan saja dengan pengurus kosaster yang tidak aktif atau tidak on line (maaf saja pengaruh FB). Bapak yang merantau adalah anggota kosaster yang pergi entah kemana, anak-anak yang perlu diurus adalah anggota baru, yang ingin bertahan dikosaster dan perlu diurus, dalam artian diberi pengajaran. Lalu siapa sinar dalam kosaster??? Yang akan mengabarkan pada dunia, bahwa keluarga kosaster SIIN ada.
Semua anggota kosaster bisa menjadi sinar selama anggota menyadari, bahwa menjadi anggota kosaster berarti menghidupkan keluarga kosaster, tentu saja dalam hal ini setiap anggota, memerlukan energy yang lebih, peran yang maksimal, bakat khusus, siap berkorban, bertanggung jawab, ikhlas dan kasih sayang serta melebur diri dari aku menjadi kami. (maksudnya bang dari aku menjadi kami) bila suatu keluarga dan dalam keluarganya itu masih aku tetap aku, dan kau tetap kau, maka keluarga itu tidak akan pernah mendapatkan damai, sebab aku tetap aku dan kau tetap kau, adalah perbedaan selamanya.

Kedamaian apa bila kita membesar-besarkan perbedaan. Bagus kalau perbedaan itu seperti warna-warni pelangi, berbeda-beda tapi menawarkan keindahan, tapi warna-warni tak kan terlihat tanpa ada sinar. Lagian pelangi tidak menonjolkan perbedaan warnanya tapi menonjolkan pelanginya. (tidak usah membahas pelangi bang, bahas tentang caranya aku menjadi kami) “baik” cara untuk menghilangkan aku tetaplah aku dan kau tetaplah kau, hanya dengan peran dan bertanggung jawab terhadap peran. Dengan adanya tanggung jawab hubungan aku dan kau menjadi kami, dari kami inilah yang akan melahirkan hidup bersesama (berinteraksi).

Dan juga dari kami inilah, yang akan melahirkan hidup bersama (interaksi) setelah mampu menghidupkan hidup bersama dan bersesama maka tidak akan ada lagi bahasa anggota yang mengatakan, “ aku tidak dipanggil dalam kegiatan kosaster” mengapa muncul bahasa seperti ini, karena kita tidak memahami peran-peran sebagai anggota kosaster ketika tidak memahami peran maka tanggung jawab tidak akan tumbuh, ketika tanggung jawab tidak tumbuh maka inisiatif tidak akan lahir. Ketika inisiatif mati berarti matilah kreatifitas, ketika kreatifitas mati maka kita tidak mampu memunculkan kasih sayang, cinta, pengorbanan dan semangat. Ketika tidak ada semangat maka akan lahir pesimistis dan ketika pesimistis maka akan gampang diintervensi. Ketika terintervensi maka hilang ideology, ketika kita hilang ideology maka kita dan tujuan kita adalah balon-balon sabun. Ingat ideology, tidak terbangun dari aku tetap aku tapi dengan kami, yang artinya hidup bersama dan bersesama.

Seiring perjalanan waktu kosaster tetap eksis pada tujuan keberadaannya yakni bergerak diwilayah kesenian dari tujuan ini, anggota mereka-reka saya harus berperan apa? Untuk menghidupkan kesenian dan kebudayaan dalam keluarga kosaster SIIN pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bukan kosaster yang akan menghidupkan kita, tapi kita yang harus menghidupkan kosaster. Tentu saja kita memiliki peran setelah menjadi anggota paling tidak peran anggota dapat hadir disetiap kegiatan kosaster, walaupun hanya duduk dalam setiap rapat-rapat kosaster dan menerima keputusan rapat.

Kosaster sudah mencapai umur 6 tahun masa berdirinya tapi masih belum memuaskan hidup kesesamaan dan kebersamaannya sebagai satu keluarga. Ini bisa dilihat ketika pengurus atau yang pernah menjadi pengurus yang selalu menjadi ujung tombak dan penginsiatif disetiap kegiatan kosaster, coba kita bayangkan andai pengurus dan mantang pengurus adalah ibunya sinar yang lumpuh? Maka akan bagaimanakah kosaster, dan umpamanya hari ini kanda Arifin, kanda Hakim, Ari Saputra, Akram, Mislia, Ardimansyah dan senior yang lain semua lumpuh.

Tidak bisa dipungkiri mereka adalah anak-anak kosaster yang selalu memberi nafas kepada kosaster, mereka adalah sinar didalam rumah kosaster, mereka selalu berusaha keras untuk mengabarkan pada dunia bahwa kosaster ada. Kosaster SIIN adalah keluarga yang besar itu sangat disadari oleh anggota kosaster tetapi harus juga disadari tahun terakhir ini kosaster hanya mampu menyalakan lampu kamar devisi teater, sedang kosaster masih mempunyai kamar-kamar devisi yang lain yang lampunya masih redup seperti tari, sastra, musik, rupa dan produksi.

Kamar-kamar devisi ini perlu dinyalakan lampunya dan yang akan menyalakan lampu perdevisi adalah anggota kosaster yang menjadi Sinar yang memehami perannya dan bertanggung jawab terhadap perannya. Anggota keluarga yang telah memilih devisi tari harus serius didevisi tari, banyak membaca referensi tari, demikian juga anggota devisi-devisi lainya, harus banyak melakukan workshop, latihan dan berinisiatif sendiri dan senantiasa harus menjadi Sinar saat orang tuanya lumpuh.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menjadi bahan renungan buat keluarga besarku di kosaster SIIN, marilah kita menjadi sinar, sebab kosaster butuh SINAR, yakinlah ketika kita akan berbuat, Tuhan tidak angkuh sekedar melihat kita, dibalik ketidak berdayaan hamba yang bertanggung jawab terhadap perannya. Tuhan tidak sudi mendengar keluhnya, selama peran dan tanggung jawab selama kita berbagi dengan saudara-saudara kita.

Catatan: perubahan hanya bisa terwujud diatas pondasi yang memadai
Bukan dari kelemahan yang di tutup-tutupi.
Pambusuang, Januari 2010.


Hendra Djafar
mantan ketua Kosaster Siin Unasman

Senin, 12 Desember 2011

Kursi dan Duduk


oleh : Askar Darwis

Kursi,,, Kata ini memang sederhana,,, Dan cukup dekat setiap orang....
Dia bukanlah apa-apa,,, tidak lebih dari sekedar tempat untuk duduk……

Duduk… Yach duduk,,,, suatu kegiatan untuk mengistirahatkan diri, setelah seharian berjalan dan berdiri,,, atau bila ingin melakukan sesuatu yang harus dikerjakan di tempat dengan tenang,,,,, menulis, membaca, atau sekedar mengobrol….
Kursi dan duduk adalah pasangan yang ideal,,,,, kursi akan dicari bila seseorang ingin duduk, mengaso, atau melakukan sesuatu,,,, duduk sangat memerlukan kehadiran kursi,,, kursipun tak berarti apa-apa bila duduk tak ada,,,, Keduanya bak ROMI dan JULI, RAMADHAN dan RAMONA, ROJALI dan JULEHA, atau bahkan KACO dan CICCI’,,,,,,,
Hampir setiap saat,, mereka bergandengan tangan ke mana-mana,,, seolah mereka tak ingin dipisahkan oleh apapun,,,,, Kata orang yang dilanda ASMARA,,,, ini yang disebut “Sehidup-semati”,,,
Kursi dan duduk,,, memang bukan apa-apa,,,, Namun, mereka menjadi istimewa bagi seseorang,,, yang membutuhkannya,,, Ada saat-saat tertentu manusia menjadi mencari-cari,,, bahkan kadang memperebutkan mereka,,, manusia tega melakukan apapun untuk memperoleh “KURSI dan KE-DUDUK-AN,,, Menyikut saudara, memfitnah sahabat, mengingkari janji dengan teman-teman……….
“KURSI dan KE-DUDUK-AN,,,” ternyata sungguh “Empuk”, bagi siapapun yang merasakannya,,,
begitu empuk dan nyamannya,,, mereka yang mendapatkan “Ke-duduk-an”,,, kadang lupa berdiri, lupa siapa yang ada di sampingnya, lupa orang-orang yang membantunya, sehingga dapat merasakan “Kursi” yang empuk…..
Duduk dan Kursi,,, ternyata bisa menjadi malapetaka,,, bagi orang2 yang terlanjur merasakan nimmatnya, empuknya “duduk” di “kursi”,,,…..
Apa kabarmu,,, “Duduk” dan “Kursi”,,, masihkan saudaraku di sana terlelap, ,,,,,
Apa kabarmu,,, “Duduk” dan “Kursi”,,, tolong bangunkan saudaraku,,, beritahu kalau dia sudah sangat lama terlelap di pangkuanmu,,, dia lupa akan tugasnya mengurusi orang2 yang kelaparan, putus sekolah, si sakit yang tak punya biaya berobat,,, mereka menunggu saudaraku Terjaga dari lelapnya,,,,,

Sudut Timoer KOTA MAKASSAR,,,,
Ahad, 11 Desember 2011

Penulis adalah Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Dan Pengembangan Inisiatif Masyarakat (LAPIS) Sulawesi Barat

Kamis, 01 Desember 2011

Virus Tekhnologi Merasuki Tradisi

Oleh : Sabri Hamid (Abhy’)


Dalam kehidupan kita, ilmu teknologi sudah menjadi konsumsi masyarakat luas dan tidak dapat di pungkiri ilmu teknologi adalah ilmu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari – hari pada masyarakat.

Dalam persepsi kehidupan, teknologi sudah sangat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, tetapi masyarakat awam tidak pernah menyadari bahwa ada dampak negatif dalam ilmu teknologi, dan tidak mungkin pereadaban budaya yang masih sangat kental di daerah kita khususnya di daerah Polewali mandar (Polman) bisa terkikis oleh hal – hal yang berbau kemoderen – moderenan. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui sisi – sisi dimana kita bisa mengunakan teknologi dengan baik dan bisa bermamfaat bagi kita terutama lagi untuk kemaslahatan bersama.

Berbicara tentang pengaruh ilmu teknologi, telah banyak budaya di daerah Polman yang sudah di kikis oleh kecanggihan ilmu teknologi tersebut. Semisal pelaut di mandar sebut saja masyarakat Kampung Karama Desa Karama Kecamatan Tinambung. Di sana, sudah banyak yang tidak menggunakan perahu kebanggaan masyarakat mandar yaitu “Lopi Sandeq” yang sudah di kenal mendunia dan mempunyai kecepatan yang luar biasa. Perahu tersebut, tidak menggunakan mesin, perahu ini hanya memanfaatkan tiupan angin.

Karena pengaruh teknologi, masyarakat di daerah karama sudah mengganti apa yang sudah mereka pakai sejak dulu dengan perahu mesin / bermotor, karena menurut mereka jika kita menggunakan mesin pekerjaan akan semakin mudah dan akan lebih cepat pula pekerjaan akan selesai, secara tidak sadar masyarakat yang dikenal masih sangat kental dengan budayanya sudah terkikis oleh kehebatan teknologi, yang menawarkan kemudahan dan kemewahan.
Lopi Sandeq yang saya kenal dulu tidak bisa lagi berlayar menemani sang pelaut gagah yang tangguh di terjang ombak, sekarang perahu Sandeq cuman menjadi pajangan di tepi – tepi pesisir pantai kampung Karama, dan cuma akan berlayar lagi jika ada perlombaan yang digelar pihak pemerintah daerah (Pemda) Polman maupun Sulbar.
Teknologi sudah menjadi virus dalam tradisi, virus dalam artian merusak keaslian pelaut mandar, walaupun berguna dan memudahkan tetapi ada dan sangat besar dampak negatif yang di akibatkan oleh teknologi itu. Jangan sampai kita terlalu terjebak oleh teknologi, kita harus tau apa dampak positif dan negatif dari teknologi tersebut. kita juga tidak harus menyalahkan teknologi seutuhnya karena mau tidak mau teknologi adalah buatan manusia itu sendiri.

Sekedar menjadi pesan penulis, bahwasannya penting kita mengetahui dan mempelajari teknologi. Tetapi, sebagai masyrakat yang masih memegang kultur/tradisi. Ada baiknya, jika pengetahuan teknologi yang kita miliki jangan sampai merusak tatanan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita. Karena bagaimanapun, satu-satunya instrument yang mampu membuat sebuah peradaban bertahan, karena selalu memelihara tradisi lokal sebagai wujud identitasnya.

Wallahu muwaffieq ila aqwamith tharieq
Wassalam


Penulis adalah mahasiswa pada
jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu Komputer (FIKOM) Unasman.
Selain itu, terdaftar sebagai warga PMII Polman, dan banyak berkiprah di SOLIT Community dan Café Baca Asy'ariah.

“Kamar Mandi” Tempat Berfikir, Ber-ekspresi dan Mencari Inspirasi

Oleh : Hasbi Baharuddin (Bochek)


.


Kamar mandi. Tentunya, ketika kita mendengar dua penggalan kata tersebut, pasti yang melintas dalam benak kita adalah tempat untuk mandi. Sehingga kebanyakan orang mendefinisikan fungsi utama dari dua penggalan kata itu adalah untuk sekedar mandi saja.

Melihat dari pendefenisian yang di ungkapkan oleh banyak orang tersebut di atas. Tampaknya ada segelintir orang yang membantah hal tersebut, bahwa kamar mandi itu bukan untuk mandi toh saja. Tetapi kamar mandi juga merupakan salah satu wadah untuk membuka cakrawala berfikir sebagian orang dengan asumsi bahwa kamar mandi adalah salah satu tempat yang dapat melahirkan sebuah gagasan atau tempat berpikir, berekspresi dan mencari inspirasi baru.

Melihat asumsi tersebut di atas, tampaknya asumsi itu di perkuat dengan pendapat beberapa artis atau selebriti, seperti: Melly goeslaw, mengaku bahwa banyak inspirasi dan karya cipta (lagu), hasil dari berinspirasi di kamar mandi” Termasuk juga bintang rock Indonesia, vocalis dari band Saint Loco, menjadikan kamar mandi sebagai salah satu tempat latihan untuk mengolah vocalnya, termasuk teriakan-teriakan rockernya.

Itulah beberapa gambaran dari keajaiban kamar mandi yang dialami oleh selebriti Indonesia. Melihat dari pernyataan di atas, berpikir atau mencari inspirasi pada saat mandi boleh-boleh saja, berbeda pada saat buang air, karna dalam agama, berbicara saja pada saat BAB itu di larang, apalagi sampai memikirkan banyak hal terutama sampai memikirkan ayat al-quran dan hadist nabi, hal demikian itu sangat dilarang oleh agama.

Demikian pula, dari pemahaman masyarakat kultur mandar juga menafsirkan bahwa, berfikir ber-inspirasi pada saat BAB itu tidak baik atau pemali (pamali), pasalnya, ketika kita memikirkan sesuatu semisal pelajaran, pelajaran itu akan hilang selamanya atau keluar dari ingatan bersamaan dengan keluarnya kotoran di perut.
Makanya, dapat diambil pelajaran bahwa, jika ingin melupakan sesuatu atau apapun yang tak ingin diingat lagi, ingat dan fikirkan lah pada saat buang air besar. Dalam hal ini, masalah apapun akan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Dan pemahaman ini sangat diyakini oleh masyarakat kultur mandar sampai sekarang ini.

Berdasarkan pernyataan diatas, dapat di simpulkan bahwa, mencari inspirasi di kamar mandi, tak kalah hebatnya dengan duduk diatas puncak gunung, melihat sunset (matahari terbenam), keindahan pantai, dan panorama alam lainnya.

Banyak yang mengakui keajaiban di dalam kamar mandi, bukan hanya sederet lapisan masyarakat biasa, tapi juga kalangan artis- artis papan atas. Asal saja jangan melakukan hal-hal tersebut di atas pada saat BAB.

Penulis adalah mahasiswa Unasman, merupakan warga PMII Polman.
Selain itu, banyak aktif di Solidaritas Peduli Teknologi Informasi(SOLIT Community)

Kearifan Lokal "Vis a Vis" Modernisme

Sebuah Refleksi Kritis

Oleh: Muhammad Yahya



Perlu kita pahami bahwa, terjadinya evolusi (perubahan lambat/tidak terasa) pada tradisi/budaya lokal (local wisdom) itu akibat dari lemahnya implementasi atau tidak mampu mensejajarkan antara nilai produk lokal masyarakat kultur dalam bersitatap dengan tradisi modern sebagai produk elite kapitalisme yang melahirkan pemikiran dan pola hidup bergaya liberal.

Salah satu perilaku masyarakat kultur yang menjadi sasaran amuk ideology oleh aktor modernis (orang-orang modern) yang berorientasi pada penyeragaman budaya modern secara universal (menyeluruh) adalah upaya untuk meruntuhkan sikap kolektifitas (kerjasama) masyarakat kultur yang masih mengimplementasikan tradisi dan budaya.

Seperti halnya di tanah mandar dengan konsep tradisi "Sikalu-kalulu" (gotong royong). Sikalu-kalulu itu merupakan tradisi masyarakat mandar tempo dulu yang mana bentuk sikalu-kalulunya itu sangat tidak menginginkan tetangga atau kerabatnya berada dalam kondisi kesusahan. Sehingga, yang terbangun pada waktu itu adalah prilaku kolektif dalam segala aktifitas sosial.

Misalnya. Tomambue’ Boyang (mendirikan sebuah rumah), pasti masyarakat lain akan datang dengan satu tujuan bisa membantu proses Mappake’de’ Boyang (mendirikan rumah) sedangkan para wanita itu datang untuk membantu memberikan pelayanan konsumsi dengan membawa sembako mentah maupun yang siap saji, dan mereka akan datang meskipun tidak di minta. Tradisi ini bisa di temukan di kampung halaman penulis tepatnya di kampung Rattekallang, desa Pullewani, kecamatan Tubbi Taramanu, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Inilah salah satu tradisi-budaya lokal mandar yang kemudian perlahan bergeser sejak masuknya berbagai faham yang seolah menghipnotis untuk kemudian saling memasang wibawa. Inikan bisa di kategorikan sebagai permulaan lahirnya konsep hidup individualistik yang di sodorkan oleh kaum modernis kapitalis yang sudah renyah di konsumsi oleh masyarakat perkotaan.

Dari fenomena tersebut itulah sehingga lahir dua faktor sebagai fakta nyata yang telah mengantarkan sebagian masyarakat untuk menanggalkan identitasnya, yang kemudian mendorong penulis untuk mengangkat topik mengenai Kearifan Lokal "Vis a vis" Liberalisme sebagai akibat dari peralihan pola interaksi kolektif menjadi individualistik dan konsumtif.

Perlu kita fahami bahwa munculnya pola fikir konsumtif dan individualistik itu merupakan dampak perilaku (pemikiran) baru pada masyarakat yang tidak mampu mensejajarkan antara nilai tradisi dan nilai modern, dalam hal ini masyarakat lebih cenderung pada kemudahan dari produk ke-moderenan. Sehingga, pola fikir konsumtif lahir sebagai efek dari perkembangan industri yang lebih cenderung menyediakan berbagai kebutuhan secara universal, dan ber-efek pada perubahan negatif terhadap tanggung jawab sosial yang perlahan terabaikan dan melahirkan pola interaksi masyarakat saling membatasi.

Selanjutnya, pola fikir individualistik pada masyarakat itu di dominasi oleh kemudahan – kemudahan yang di sajikan negara kapital melalui ilmu teknologi atau perkembangan globalisasi. Sehingga, membuat masyarakat merasa tidak lagi membutuhkan kolektifitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Nah, pola fikir yang di perlihatkan oleh aktor modernis terkait dengan upaya penyeragaman nilai secara universal, tentu hal tersebut akan berorientasi pada perubahan sosial budaya pada masyarakat tradisional demi menciptakan nilai – nilai (fisik, material, sosial) yang bersifat universal rasional (dapat di terima oleh akal) dan fungsional (sesuai fungsunya) dengan asumsi untuk membangkitkan tatanan kehidupan modern atau mensejajarkan basis pengetahuan dan pemahaman pada masyarakat yang masih memperthankan nilai substansi tradisi dan budaya. Namun pada hakikatnya upaya tersebut adalah untuk mengikis nilai –nilai tradisi lokal untuk menciptakan kehidupan konsumtif guna menanamkan pola hidup liberalisme (faham kebebasan)

Dampak Perubahan Sosial Budaya
Dampak pemikiran yang di hasilkan dari proses yang berorientasi pada perubahan sosial budaya itu secara tidak sadar akan berimbas pada hilangnya tradisi dan budaya sebagai identitas yang merupakan kekuatan kemandirian suatu kelompok. Sehingga, ketika system sosial budaya yang terdapat pada suatu kelompok itu terkikis tentu akan berimbas pada hilnagnya citra kelompok tersebut di mata kelompok yang lain.

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi pergeseran nilai kultur, pertama faktor innovation yaitu temuan-temuan baru yang di gagas oleh kaum modernis degan asumsi untuk mensejajarkan substansi nilai yang mencakup secara keseluruhan.
Kedua, pengaruh kebudayaan masyarakat lain (defusi). dalam hal ini di pengaruhi oleh pola interaksi yang kebarat-baratan yang perlahan mengikis identitas melalui periklanan dan perkembangan globalisasi yang sangat mengancam keberadaan nilai kultur. sebab, pergeseran nilai kultur yang masih percaya pada perilaku yang berlatar belakang megik, mistik dan ritual itu akan menjadi rasional dengan pendekatan yang memiliki kekuatan rasional dari faham moderni kapitalis yang perlahan menghapus nilai Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat (TBC).

Ketika kita berbicara mengenai dampak yang di hasilkan dari pengimplementasian nilai liberal yang perlahan mendorong paradigma eksistensi ideology kapital. Tentu dampak yang akan terjadi adalah ketidak kolektifan yang memaksa masyarakat tidak saling membutuhkan sehingga kepedulian terhapus dan berujung pada tindakan radikal. Seperti yang di persembahkan di berbagai media elektronik maupun media cetak yang tidak jarang menampilkan peristiwa pembunuhan, penganiayaan, penipuan, pelecehan seksual, perampasan hak dan sebagainya.

Dengan melihat peristiwa tersebut yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat, tentu peristiwa demikian itu adala akibat dari kurangnya kerjasama dalam menjalani kehidupan. Sehingga ada yang merasa tersingkirkan atau terkucilkan dengan ketidak mampuan untuk menjalin pola interaksi elite seperti halnya dengan orang-orang kaya yang di manjakan oleh pemikiran elite kapitalisme yang meniupkan doktrin modernisme dengan asumsi untuk mesejajarkan basis ideology untuk menyingkirkan eksistensi tradisi dan budaya yang pada akhirnya menimbulkan konplik atau yang lebih populernya Perampokan dan Pencurian akibat ketidak pedulian pada kaum menengah kebawah.

Selain itu, problem yang terjadi akibat kurangnya solidaritas masyarakat adalah akibat implementasi “isme” modernis yang mengalir pada liberalisme yang kemudian melahirkan pola hidup individualistik adalah tidak terbangun pola interaksi yang saling memahami (mengenal). Itu terbukti ketika penulis mencari salah seorang dosen kemudian menanyakannya kepada salah seoang masyarakat dan dia menjawab “disini tidak ada nama yang anda maksud” padahal mereka adalah bertetangga. Menggiurkan bukan???

Melihat fenomena maupun fakta yang terjadi dalam tatanan masyarakat, itu merupakan suatu kekhawatiran yang boleh jadi akan semakin memudarkan tradisi dan budaya sebagai identitas yang membedakan kita dengan bangsa lain. Seingga yang menjadi kesimpulan dalam goresan yang mengandung sejuta filu oleh masyarakat yang cinta akan kedamaian dengan implementasi tradisi dan budaya, setidaknya Bisa memberikan solusi konkrit dalam proses eksistensi tradisi-budaya dalam kehidupan bermasyarakat dengan kolektifitas yang tinggi. Sehingga, citra yang dulunya terpancar jelas sebagai kekuatan kemandirian bisa kembali memancarkan citra kita sebagai rakyat Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya.

Penyataan demikian bukan untuk menelorkan doktrin anti kapitalis dalam hal ini penganut faham modernis kedalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimanapun perkembangan globalisasi yang di motori oleh para elite kapitalis itu menyimpan dua nilai. Positif dan negative.

Pertama, perubahan progresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik dan menuju pada kemajuan. Maksudnya adalah, kemajuan itu hanya akan terealisasi sebagai kemajuan ketika masyarakat kultur bisa mensejajarkan antara substansi nilai tradisi lokal dengan nilai perilaku modern.

Kedua, perubahan regresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih buruk di bandingkan sebelumnya. Maksudnya adalah sepanjang masyarakat mengkonsumsi pola interaksi modern dengan meninggalkan tradisi-budaya sebagai identitas kelompok itu sendiri.


Penulis adalah Mahasiswa Unasman-asal Rattekallang, Tutar
pada jurusan Bahasa Indonesia FKIP.
Selain itu, merupakan warga PMII Pol-Man
dan saat ini berproses di Café Baca Asy’ariah.

Senin, 28 November 2011

Romantisme Ala Akademika

Oleh : Ilham



Pada hakikatnya, lingkungan akademik sangat berbeda dengan lingkungan masyarakat lain. jika ingin ditinjau dari tipografi kata dari akademik itu sendiri tentunya kita akan berbicara mengenai perguruan tinggi. Dimana, pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di dalamnya sudah tidak lagi dinamai siswa atau murid, melainkan mahasiswa. Gelar sebagai mahasiswa ini tentunya memiliki nilai plus tersendiri. Salah satunya yakni diberi gelar sebagai kaum intelektual oleh kalangan masyarakat luas. Namun terkadang mahasiswa ini pun tak sadar dengan apa yang menjadi beban dengan nilai kata MAHA yang digelarnya. Sudah banyak fakta yang terjadi di depan mata kita sendiri. Begitu dominannya sikap dan prilaku mahasiswa yang sangat tidak mencerminkan nilai keiintelektualannya itu. Sikap yang dimana, Mahasiswa sudah tidak dapat dibedakan dengan sikap dan prilaku orang yang tidak pernah sekolah. Ironis bukan?

Mungkin ada beberapa alasan mengapa gelar keintelektualan yang diberikan masyarakat terhadap kita selaku mahasiswa ini. Salah satunya berawal dari pandangan hidup dan tujuan mahasiswa yang berbeda dengan orang yang bukan mahasiswa. sepakat bukan? Namun pernahakah kita menyadari, bahwa sesuatu yang membuaikan kita maka itu pula yang akan membutakan kita.
Salah satu fakta yang terjadi di ruang lingkup akademik yang dapat dijadikan sampel atas kekeliruan kita memaknai arti keintelektualan itu. Hampir semua mahasiswa yang berpacaran sudah tidak lagi menggunakan gaya pacaran ala kaum intelektual. Mengapa tidak, banyak dari mahasiswa terutama kaum perempuan atau yang lazim disebut mahasiswi ini telah keliru menanggapi arti bercinta. Sudah beberapa kejadian yang ditemukan dilapangan. Tak jarang salah satu pasangan cerita memiliki keluhan dari pengembaraan kisah romantisnya. Ada yang beranggapan bahwa pacarnya terlalu mengungkungnya. Ke mana pun harus melapor. Jika tak dizinkan, yah apa boleh buat kita sepakat-sepakat saja. Kasihannya, semua itu berimbas pada masa depan perkuliahnnya sendiri. Ada yang cuti, ada yang malas masuk kuliah, hanya karena persoalan dua kata “Sakit Hati“. Jadi pertanyaannya kemudian, apa bedanya kita dengan cara pacaran dengan anak-anak layangan di luar akademik?

Memang kekeliruan memahami cinta itu tidak sepenuhnya dapat diamini. Tapi kalau kita mau menelisik kembali tentang makna gelar kita selaku kaum intelektual, tentunya kita akan sepakat dan mensahkan pendapat itu. Andai kita ingin mencoba mengkupas satu persatu paradigma pelaku-pelaku romantisme akademik ini, tentunya kita akan banyak menemukan kekeliruan. Sebab apa yang menjadi mainstream berfikir kita sekarang mungkin terlalu terhegemoni oleh budaya-budaya import dan lokal kita sendiri.

Di suatu universitas, lazim terjadi jumlah wanita lebih dominan dibanding jumlah kaum lelaki. Pada akhirnya perempuan yang dilahirkan memang sebagai jawaban dari suatu pertanyaan seakan berlomba-lomba untuk mencari siapa yang akan membuat dirinya kelepak-kelepak. Maka berlomba-lomba pulalah mereka untuk menyodorkan kemolekan tubuh dan cantik paras yang dimilikinya. Kedengarannya mungkin sedikit lucu, tapi memang hal itu sudah lazim terjadi dari kalangan wanita-wanita perguruan tinggi. Mungkin jika kita ingin berbicara benar salahnya, kita tidak akan semerta-merta mengklaim itu salah maupun benar. Tapi pada prinsipnya, jika ditinjau dari sisi yang lain tentu semuanya itu memiliki banyak kekeliruan.

Mungkin kekeliruan mendasar yang terjadi dikalangan wanita-wanita intlek, itu pula yang terjadi pada kaum lelaki. Namun pemberian kesannya mungkin sedikit berbeda. Umumnya yang sering dipandang mata, begitu banyaknya mahasiswa yang pola fikir dalam menggait wanita itu sudah tidak dikategorikan kaum intelektual lagi. Mengapa tidak, tak jarang mahasiswa yang mengandalkan harta dan wajahnya saja untuk mencuri hati para wanita. Maka wajar-wajar saja jika ada satu kalimat mandar yang berbunyi “ Silambi’ to kasusu anna’ to parallu “. Cukup menyedihkan bukan?

Sangat diakui, mencari pasangan cerita alias pacar itu hal yang wajar-wajar saja. Sebab kita ini sadar, kita tentunya tak mau dikategorikan menjadi orang-orang yang tak sehat bukan? Tapi satu hal yang kita harus ingat sebagai kaum intelek yang hidup dalam lingkup akademik. Segala tingkah laku yang kita mesti lemparkan pada setiap orang itu harus mencerminkan kepribadian kita tentunya. Sama halnya berpacaran, kita seyogyanya menjalani suatu hubungan yang membedakan kita dengan cara berpacaran orang-orang yang bukan mahasiswa.

Sebenarnya banyak jalan yang mudah ditempuh untuk semua itu. Salah satunya mungkin dapat dimulai dari kalangan mahasiswi akademika. Jangan sekali-sekali membumikan difikiran anda untuk mencari lelaki yang hanya mengandalkan fisiklinya saja. Sebab anda pun telah mamahami bahwa ketampanan itu tidak ada yang abadi.

Coba direnungkan, jika hanya fisikli lelaki saja jadi ukuran maka sama halnya anda akan menjerumuskan diri anda untuk mencapai titik kebosanan atau kejenuhan berpacaran. Jadi, mungkin ada baiknya sebagai kaum intelektual, wanita seharusnya mencari lelaki yang mempunyai kapabiliti yang bagus. Toh, anda sendiri tentunya sepakat, tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tak menginginkan masa depan yang dipenuhi lampu-lampu pijar penerang jalan.

Problem yang kedua tentunya dari kaum lelaki itu sendiri. Masih membuminya pola fikir yang keliru akibat kungkungan modernisme yang menjajah pengetahuan mahasiswa. Faktanya, sekarang betapa sukarnya kita membedakan mana BoyBand dan yang mana mahasiswa. Yang di mana, kita tak bisa mendengar trend-trend apa yang gaul dan marak diperbincangkan untuk kita populerkan juga. Demi kelancaran dan keberlangsungan kita untuk menggaet para wanita. Amat disayangkan, jika pemikiran-pemikiran seperti itu terjadi secara terus menerus pada diri kita selaku pelopor bangsa. Semestinya kita selaku mahasiswa yang sering berdiskusi dan mengkaji mengenai anti kemamapanan ini seyogyanya merasa resah bagaimana langkah yang harus kita tempuh agar memiliki pengetahuan dan kecerdasan yang tinggi.

Maka langkah awal kita, marilah kita mencoba menumbuhkan rasa kemauan kita untuk mengisi dan mengisi otak kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang akan menguatkan kapabiliti kita sebagai agen of changes di muka bumi ini. lalu kapabiliti kita itulah yang dijadikan amunisi untuk merampok hati para kaum hawa di lingkungan masyarakat dan ruang lingkup akademik kita sendiri. Dan apabila budaya-budaya berpacaran seperti itu kita lakoni dengan intens, pasti semuanya akan terasa indah dan bermakna. Ingat friend, kemampuan yang hanya mengandalkan deruman knalpot kendaraan itu sudah tidak jaman lagi. Apalagi ketampanan dan kekayaan yang kita andalkan selama ini hanya bagaikan seonggok daging tempat perlindungan untuk bersembunyi di balik ketidak mampuan kita.

Kesimpulannya, mulai dari detik ini kita harus mencoba menanamkan difikiran kita bahwa kita ini mahasiswa yang lebih tinggi derajatnya dari kaum-kaum pelajar yang lain. Mahasiswa yang telah diberi gelar sebagai kaum intelektualis di dalam masyarakat. Maka cara berpacaran pun harus mencerminkan kepribadian kita sebagai kaum intelektual. Sederhananya, model berpacaran ala kaum intelektualislah.
Akhir kata, pikirkan dan renungkanlah..............!!!!!!!! Hidup Mahasiswa!

Penulis adalah Warga PMII Polman.
Saat ini menjabat sebagai mandataris
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia (Gemabina)
FKIP Unasman periode 2011-2012.
Selain itu, aktif di Padepokan Sastra Mpu Tantular.

Celana Robek Tapi…..????

Oleh : Ahmadi Haenur (Kancil)



Di kalangan mahasiswa, pengembangan kapasitas pengetahuan adalah hal terpenting. Sebab, output ketika menjadi sarjana, otomatis itu akan dipertanggung jawabkan. Karena mau tidak mau kita dituntut demikian.

Proses pembelajaran dalam kelas tidak memungkinkan sebahagian mahasiswa mendapatkan pengetahuan yang layak. Kenapa penulis mengatakan hal tersebut..? pertanyaan ini dapat kita kembalikan pada birokrasi kampus karena mereka lah yang lebih tahu tentang problem itu, terkhusus lagi bagi para dosen yang memang digaji untuk mencerdaskan mahasiswa. Bukan justru sebaliknya, membungkam daya kritis mahasiswa karena cara mengajarnya yang tidak mendidik.

Jadi jangan heran ketika ada mahasiswa ling-lung pada saat ujian. Bagaimana tidak, mahasiswa berangkat ke kampus hanya 3D (Datang, Duduk, dan Diam). kemudian seperti yang dibahasakan para sahabat; dosen asal-asalan, mahasiswa senggol-senggolan. Kemudian mahasiswa pun seakan-akan acuh tak acuh dengan kuliahnya. Dan ini fakta.
Namun tidak semua mahasiswa sama dengan fakta diatas. Karena ada juga mahasiswa secara style (Celana robek), sama sekali tidak mencerminkan sebagai seorang mahasiswa atau seorang terpelajar. Akan tetapi di bidang kapasitas pengetahuan mereka memiliki itu.

Pentingnya kita merefleksi bahwa tidak semua apa yang kita lihat itu benar, karena secara simbolitas (karakter tampilan) memang kita dapat terjebak, tampilan luar bisa saja berwarna hitam namun belum tentu yang didalam, siapa yang tahu didalam warnanya putih terus diluarnya hitam.

Ini salah satu problem yang perlu diketahui oleh dosen, sebab perspektif dosen kepada mahasiswa yang berpakaian urakan, seakan-akan dianggap mahasiswa preman yang tidak beretika dan tidak mempunyai kapasitas apa-apa. Tetapi perlu dosen kembali menganalisis, di dalam diri manusia terdapat akal pikiran dan perasaan yang tidak dapat dilihat, siapa yang tahu jika mahasiswa itu berhati “Tawadhu’”.
Analisis penulis mengenai beberapa dosen, sama sekali kurang melihat psykologi mahasiswa, sehingga terkadang dosen merasa tidak dihargai ketika tampilan mahasiswa berpakaian robek.

Dinamika kampus akhir-akhir ini, seakan-akan menenggelamkan budaya intelektual apalagi di koridor akademik, sebab masih kurangnya perhatian mahasiswa terhadap pengembaraan----ilmupengetahuan. Kita bisa lihat di hari-hari biasanya, betapa lumranya mahasiswa berkeliaran di lingkungan kampus ketimbang membaca buku dan berdiskusi di areal kampus.

Di lingkungan kampus Unasman sendiri, fenomena yang patut kita teladani bersama, dimana masih ada mahasiswa yang resah yang kemudian membentuk komunitas-komunitas kecil, untuk menfasilitasi sahabat-sahabatnya dalam menggali ilmu pengetahuan, tanpa penulis harus menyebut kelompok mana. Tetapi, yang terpenting tradisi tersebut akan membangkitkan semangat mahasiswa sehingga akan terbentuk kesadaran tentang apa sebenarnya hakikat mahasiswa.

Dan lucunya, yang berinisiatif membentuk kegiatan-kegiatan kecil ini, adalah mahasiswa yang dianggap preman oleh sebagian dosen. Jadi disini kita dapat merefleksi bahwa pakaian robek atau seronok, bukanlah simbolitas sebagai seorang bajingan, penjahat, preman dll. Tetapi, sejatinya ukuran menagapa dia dikatakan mahasiswa, sebab ada kesadaran yang terbangun pada dirinya bahwa menjadi seorang mahasiswa adalah bagaimana menuntut ilmu pengetahuan setinggi-tingginya , kemudian mengimplementasikannya pada ruang sosial. Maka, membaca, persentase, diskusi, dan menulislah, Insya Allah cita-cita luhur tersebut akan kita gapai.

Wallahul muwaffieq ila aqwamith tharieq
Penulis adalah warga PMII Polman.
Saat ini berproses di Café Baca Asyariah
dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus. Selain itu, terdaftar sebagai warga Padepokan Sastra Mpu Tantular

PMII Di Tengah Pusaran Arus Islam Ekstrem

Catatan Diskusi Malam Café Baca Asy’ariah, Selasa 22 Nopember 2011


Oleh : Muhammad Sikin

Membincang tentang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tentunya kita takkan pernah lepas dari paham Ahlusunnah Waljamaah ( asawajah ) yang senantiasa memperjuangkan Islam berlandaskan atas Al Qur’an dan Sunnah Rasul serta mencoba memadukan khazanah lokalitas masyrakat. “PMII ditengah pusaran arus Islam ekstrem” merupakan tema yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. Topik ini diangkat dari judul buku yang ditulis Abdul Muiz Syaerozie, salah satu aktivis PMII cabang Jogja yang saat ini sebagai peneliti Cires (Center For Interelegius Studies), Lingkar Tradisi Yogyakartadan Rumah Kitab ; Kitab Kuning Research Center.

PMII sampai saat ini masih tetap konsisten mencetak para pemikir Islam yang progresif dengan ikon pemikiran yang berkarakter tauhid, social, serta senantiasa mempertahankan eksistensi kebudayaan berbasis lokalitas. Ada dua paradigma yang senantiasa dibangun PMII dalam upayanya mencounter paham-paham transnasional yaitu paradigma “menggiring arus” dan “melawan arus”.

Konsep menggiring arus jika diuraikan dalam konteks globalisasi yakni bagaimana mencoba menerima masuknya paham baru dengan menkontekstualkan paham itu dengan kehidupan masyrakat kita. Kalau suatu paham tidak memberikan kontribusi positif untuk tujuan kemaslahatan, maka hal tersebut di upayakan agar tidak teraktualisasikan dalam pola hidup masyrakat. Sedangkan paradigma melawan arus adalah bagaimana PMII memberikan dogmatisasi perlawanan terhadap apapun bentuk paham yang bisa mengancam eksistensi negara, bangsa dan masyarakat.

Salah satu kendala yang melanda masyarakat pesantren di masa lampau yaitu adanya anggapan yang dialamatkan terhadap pesantren bahwa tumbuhnya ajaran ASWAJA dalam piraktek keagamaan di pesantern sifatnya hanya mengawan-awan. Dalam artian tidak adanya upaya membenturkan paham-paham tersebut dengan relitas masyrakat. Makanya para pemikir intelektual PMII dirasa perlu membumikan paham itu dengan menkontekstualkan pola kehidupan masyrakat kita. Bisa kita contohkan, dalam masyrakat pesantren sangat jarang di rasuki ajaran-ajaran di luar iklim pesantren. Lahirnya pemikir intelektual merupakan usaha untuk menepis asumsi yang disebutkan sebelumnya dengan tujuan agar pesantren tidak terjebak dengan paham-paham tekstual.
Perlu dijelaskan pula bahwa pola relasi yang dibangun penyebar agama Islam yang berhaluan ASWAJA semenjak masuknya ke Indonesia dengan cara memadukan ajaran agama Islam dengan pola-pola atau praktek kehidupan masyrakat. Di jawa misalnya, masyrakat pada masa itu sangat fanatik dengan “wayang<

Nah, jalan yang ditempuh adalah menggunakan instrument wayang dalam menyebarkan agama Islam. Salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menggelar petunjukan wayang yang diperuntukkan bagi ummat muslim dan jikalau belum menganut agama Islam tetap di luaskan masuk asalkan didahului dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Begitupun di tanah Mandar, bagaimana Islam senantiasa mencoba melakukan syiar yang memakai instrument khazanah local. Salah satu cara yang ditempuh ialah “ mua tamma bando’o mangaji naupinggulilingo’o ditangnga kappung massaeayang” artinya kalau kamu ( anak ) tamat mengaji saya akan mengarak kamu mengelilingi kampung mnggunakan kuda. Inilah salah satu upaya yang dilakukan suatu masyarakat atau penyebar agama Islam masa lalu.

Di tengah gempuran globalisasi, PMII harus mampu memberikan sikap terhadap dampak semakin merengsek masuknya paham-paham transnasional ke dalam ruang masyarakat kita. Paham fundamentral atau tekstual yang dipahami oleh kelompok ini mencoba melakukan penyeragaman pemahaman dalam masyarakat kita, hingga tak jarang kita mendedngar anggapan yang mengatakan ke-arab-arab-an, kalau sampai hal ini membumi sebagai paham yang diyakini masyarakat maka akan sangat menciderai nilai-nilai keberagaman serta subtansi agama Islam itu sendiri.

Gerakan radikalisme yang dilakukan dalam melakukan penyebaran pahamnya justru tidak sejalan dengan nilai nilai ajaran islam yang mengedepankan aspek kedamaian, menghargai perbedaan, dan saling menaghormati. Tapi perlu juga kita pahami, yang menjadi kelemahan masyarakat kita saat ini yaitu terbangunnya paradigma bahwa Islam itu adalah Islam. Walaupun sesungguhnya paham yang masuk kedalam ruang masyarakat kita itu adalah sebuah konspirasi yang didesain sedemikian rapinya untuk menghabisi praktek keagamaan masyrakat cultural, seperti halnya wahda Islamiah, Wahabi dan sebagainya.

Betapa masyarakat kita terjebak pada simbolitas Islam yang hanya melihat dari materi belaka..Perlu dijabarkan bahwa Islam tektual itu menjadikan landasan kebenaran itu pada al Qur’an dan hadist, dan praktek atau pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan paham mereka itu adalah sesuatu yang tidak benar. Sungguh sebuah tantangan besar bagi PMII kedepan.

Mayoritas penganut agama moderat dan penganut agama terbesar di dunia adalah Indonedia. Islam yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah islam moderat, toleran, inklusif terhadap segala perbedaan. Maka diwacanakanlah suatu paham bahwa Islam yang benar itu adalah islam yang ada di arab. Kenapa agama moderat perlu dikikis eksistensinya karena hanya akan menghambat masuknya paham tekstual fundamental yang bersenggama dengan faham liberal ala barat.
Nah bagaimana kita memberikan satu solusi yang paling konkret terkait dengan upaya kita untuk menqounter paham yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyrakat kita.

Pertama, memuliakan mesjid, kenapa, karena di sebagian mesjid dijadikan sebagai sasaran atau basis pergerakan dan tidak jarang dari mereka menjadi orang terpenting dalam mesjid tersebut. Salah satu fakta juga bahwa pada hakikatnya mesjid dijadikan sebagai tempat untuk membicarakan banyak persoalan ummat akan tetapi terjadi semacam disfungsi ketika orang selesai melaksanakan shalat, selanjutnya akan ditutup untuk kepentingan atau aktifitas yang lain yang menyangkut persoalan ummat. Selain itu terdapat begitu banyak terdapat tempat-tempat strategis lain yang bisa dijadikan sebagai wadah penyebar dogma ajarannya tersebut.

“Tangan terkepal dan maju kemuka “
Wallahul muwaffieq ila aqwamit thariq


Penulis adalah warga PMII Polman,
dan saat ini aktif di Café Baca Asyariah
dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus.


Sabtu, 26 November 2011

Melacak Mandar di Kappung Lette, Migrasi dan Pergolakan

Teks oleh : Muhammad Arif

RABU sekitar pukul 11.30 19 Desember 2010, awal pertama saya menapakkan kaki di Lorong 09 RW 05 Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Makassar. Di sana, kening saya dikerutkan oleh pemandangan pemukiman penduduk setengah kumuh, rumah-rumah berhimpitan, jalan-jalan kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Tak luput, coretan-coretan menghiasi tembok lorong masuk perkampungan.

Selain rumah berdempetan dan jalan sempit, mata saya juga disuguhi pemandangan gerobak para PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terparkir pada sebidang tanah tak berpenghuni. Disekitarnya terdapat puing-puing rumah panggung seperti habis terbakar api. Dan ternyata benar anggapan saya, tanah kosong tersebut adalah sisa bangunan rumah yang beberapa bulan lalu naas dilalap si jago merah.

Tak jarang, saya juga menyaksikan dari kejauhan kerumunan ibu-ibu asyik ngerumpi dengan tetangganya sembari sesekali melayangkan tatapan dengan sorot mata yang tajam ke arah saya. Tatapan itu seolah menyiratkan tanya tentang siapa gerangan orang asing yang datang ke tempat mereka, tetapi ada pula yang terlihat acuh seolah tidak mau ambil pusing.

Menjelang sore dan magrib saat adzan di kumandangkan, saya menyaksikan warga berbondong tengah itikaf di mesjid seluas 15 x 20 m. Warga Lette menamakannya “Mesjid Darul Hijrah”. Mesjid ini terletak disudut kiri pertigaan perkampungan.

Kebanyakan dari mereka yang berdatangan itu, adalah para orang tua dan ibu-ibu. Sedang beberapa anak muda hanya terlihat duduk santai di sekitar mesjid sambil menghisap dalam rokoknya bahkan sesekali tampak memainkan kepulan asapnya.

Pemandangan seperti ini tidak jauh beda dengan situasi tanah kelahiran saya, di kampung Paropo Polewali Mandar Sulawesi Barat. Saat tiba waktu sholat, para orang tua menghentikan segala aktifitasnya guna menunaikan sholat berjamaah di mesjid, sedangkan anak muda asyik nimbrung (berkumpul) di area mesjid.

Seratus meter sebelah utara mesjid, berdiri bangunan pasar tempat warga sekitar melakukan aktifitas jual beli. Pada pagi hari, pasar akan terlihat ramai hingga menjelang siang, dan tampak lengang pada sore hari. Situasi ini berlangsung setiap harinya, dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, pasar tersebut banyak yang menamainya pasar “ Lette”.

Menurut cerita Pak Ahmad Imran (56) warga lorong 10 RW 05, dulunya pasar itu bukanlah merupakan pasar seperti yang ada hari ini, melainkan hanya pemukiman warga. Tetapi pada saat terjadi kebakaran dahsyat yang melanda pasar di kompleks Patompo, maka para pedagang sayur dan ikan yang ada di sana mencari tempat yang layak untuk ditempati berjualan, karena tenda-tenda sebelumnya yang mereka tempati ludes terbakar.

Para pedagang ini akhirnya memilih tempat jualan di lorong 10 RW 05 sebagai tempat yang dianggapnya strategis dalam menjajakan barang dagangannya. Akhirnya, lama kelamaan banyak pembeli yang datang berkunjung dan membeli. Situasi ini berlangsung setiap hari dan seiring berjalannya waktu, akhirnya tempat itu dijadikan sebagai pasar seperti yang kita jumpai sekarang.

Sahdan, pada tahun 90-an, keberadaan pasar tersebut juga sempat menuai kontroversi dari Pemerintah Kota Makassar. Pasar Lette ini pernah ingin digusur oleh petugas Satpol PP karena dianggap mengganggu ketertiban kota. Penggusuran itu atas perintah Walikota yang saat itu masih dijabat oleh H. Amiruddin Maula. Tetapi waktu itu, warga melakukan perlawanan dengan menyiramkan cabai yang sudah dihaluskan terhadap petugas yang hendak melakukan penertiban. Mereka memilih bertahan di tempat yang mereka jadikan tempat mengais rezeki sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya niat penertiban pun dibatalkan.

Mengungsi akibat Pergolakan DI/TII di Tanah Mandar

Sore itu, saya juga menyempatkan waktu untuk berbincang dengan salah seorang warga lain sebut saja—Pak Razak. Menurut penuturan Pak Razak, mayoritas warga yang bermukim di Kelurahan Lette ini adalah para pendatang yang awalnya mengungsi dari daerah Mandar, seperti Majene, Polman, dan Mamuju. Mereka mengungsi lantaran terjadi pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pada kurun waktu 1950 sampai dengan 1965 yang juga merajalela di tanah Mandar. Kala itu, pertempuran sengit antara pasukan DI/TII dengan pasukan Batalion 710 pimpinan Andi Selle dari Pinrang.

Peristiwa inilah yang mengilhami terciptanya lagu Mandar “Diwattu Tallo’be’na (sesaat sebelum kebakaran itu terjadi) ciptaan Masud Abdullah yang kemudian dipopulerkan oleh A.Syaiful Sinrang yang kini almarhum. Rekaman dengan lirk memilukan tersebut, merupakan penggambaran kehidupan yang tidak pasti.

Terbakarnya sebagian daerah Mandar itu terjadi bertepatan Mandar berada dalam masa suram ketika DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Muzakkar melakukan perlawanan terhadap pemerintah NKRI pada pertengahan tahun 50-an sampai awal tahun 60-an. (Suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah dan Kebudayaan Mandar edisi ke 2, 2005).

Nah, berangkat dari cerita Pak Razak yang juga asli Baruga Majene inilah kemudian yang menggugah semangat saya untuk mengetahui lebih jauh asal muasal perkampungan ini. Ditambah lagi dengan diskusi saya sebelumnya, dengan Pak Daud dan Ibu Raehang yang juga adalah tetangga Pak Razak. Menarik sebab kedua pasangan suami istri yakni Pak Daud dan Ibu Raehang tadi juga mengaku merasakan betul pahit getirnya pergolakan yang berujung terbakarnya rumah dan harta benda mereka di tanah Mandar dan terpaksa harus ia tinggalkan.

Banyak pengalaman berharga dari kunjungan saya kesana. Pertama, sejauh ini belum secarik kertas pun saya dapati baik itu melalui buku, artikel, atau jurnal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Mandar yang mendiami kota Makassar itu. Kedua, sebagai orang Mandar untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa di sudut kota Makassar terdapat perkampungan Mandar yang rasanya tak begitu keliru jika dikategorikan berstatus menengah ke bawah. Ya, mereka yang merupakan korban peristiwa politik masa lalu yang terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya dan ber-diaspora dengan kehidupan tak menentu di kota terbesar di wilayah Indonesia timur ini. (s)

Penulis adalah Pengelola Cafe Baca Asy'ariah

Demokrasi Bukan Suatu Keadaan, Refleksi Pilbup Majene dan Indonesia


Oleh : M. Ma’ruf Muchtar

Demokrasi Adalah Suatu Keadaan Masyarakat
(Alexis de Tocquiville)

Saya memulai tulisan ini dengan satu adagium pemikir demokrasi modern Amerika Serikat (AS) yang terkenal; de Tocquiville yang menulis Demokrasi Amerika pada abad ke 19. Ini tentu tak berlebihan sebab masyarakat Majene sebentar lagi akan kembali malalui PILKADA secara langsung untuk memilih sekaligus mengangkat Pemimpin Daerahnya untuk yang kedua kalinya; suatu tahap seleksi evolusi sosial untuk mencari “Sang Manusia Setengah Dewa” (pen. Pemimpin masa depan ) untuk Majene, atau sekedar uforia pelaksanaan prosedur demokrasi modern untuk mengembalikan Majene pada tampuk kekuasaan para aristokrat, oligarkian dan juga para birokrat daerah yang kita tahu bersama sangat “jauh” dari masyarakatnya ( the society) atau rakyatnya (the people).

Baiklah, marilah kita mencermati keadaan Majene yang kurang lebih pada bulan Mei nanti akan melaksanakan Prosedur Demokrasi. Mungkin banyak yang tidak puas dengan proses kepemimpinan Daerah saat ini yaitu duel Kalma Katta dan Itol Syaiful Tonra, dengan berbagai komentar miring yang saat ini mungkin bisa dianggap sebagai isu black champain. Namun tentu banyak juga yang puas dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Kalma Katta sudah cukup baik dan visible, tentu juga dengan berbagai komentar yang lebih banyak bersifat memuji dan apologetik. Akan tetapi, demokrasi tentu tidak sesederhana itu; keberhasilan demokrasi dalam satu daerah dan sebuah bangsa akan sangat muskil jika diukur lewat term opposition binner (puas/tidak puas-berhasil/gagal) semata.

Yang paling penting dilihat adalah bagaimana cara masyarakat Majene menilai kesuksesan dan kegagalan pemimpin yang dipilihnya sendiri dan bagaimana paradigma mereka dalam menentukan pilihan dalam aspirasi politiknya. Kegagalan Kalma-Itol bagi satu pihak saat ini hanya akan diukur karena mungkin saja, jalan disekitar kampungnya tidak diaspal atau bolong-bolong, atau jatah proyek fisik yang kurang atau tidak ada sama sekali bagi para kontraktor, dana pengajuan proposal yang tidak sesuai harapan, mutasi jabatan yang mengorbankan pegawai rendahan, jatah PNS yang tak kunjung datang dan lain sebagainya. Bagi yang puas dengan Kalma-Itol tentu akan berpikir sebaliknya.

Apabila alasan ini yang menjadi dasar untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan demokrasi, maka masyarakat Majene dan pemimpinnya tentu salah kaparah dalam menilai demokrasi. Sebab tanpa demokrasi pun jalan, proyek, pencairan proposal dan sebagainya juga bisa didapatkan oleh rakyat. Cobalah kita tengok negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, dan Jepang yang masih berbentuk aristokrat (monarki) dan tidak begitu demokratis seperti Indonesia ternyata mampu membangun bangsanya dan keluar dari Krisis sosial dan kebudayaan dibanding Indonesia yang demokrasinya dianggap nomor satu. Atau lihatlah negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Suriah, Arab Saudi yang notabene dipimpin oleh rezim diktator, mampu membangun gedung-gedung indah dan jalan-jalan kota yang kuat bak kota surga bagi rakyatnya; yang lagi-lagi tak demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya. Bahkan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Austria cikal-bakal lahirnya pradaban modernd_ sampai hari ini negara mereka masih berbentuk Kerajaan (aristokrat) yang sama sekali tak mencerminkan keberhasilan demokrasi modern, namun orang tak akan menutup mata atas pengaruh ketiga Negara besar itu di Dunia sampai saat ini, dan sekali lagi ketiga negara itu, tak begitu demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya.

Deskripsi diatas janganlah membuat kita berkecil hati; sebab masyarakat Majene tidak sedang mengalami itu. Lebih jauh, masyarakat Majene justru sedang meangalami shouck Culture akibat sistem demokrasi pancasila ala Indonesia yang salah kaparah. Masyarakat Majene cukup mengetahui dan mahami demokrasi dari poster-poster, baliho dan benner yang menampilkan gambar para CABUP dan CAWABUP yang berpenampilan elegan dan dengan senyum yang dibuat-buat; yang akan bertarung dalam Pilkada. Kedua, demokrasi bagi mereka hanyalah sekedar nyoblos di TPS yang ditunjukkan oleh para Team Sukses, ketiga, demokrasi adalah partai-partai yang mengorganisir mereka dimana simbol-simbol dan jargonnya tak pernah mereka pahami, keempat, demokras adalah ikatan primordial karena calon yang maju ada ikatan darah dan keturunan (calon yang maju itu keluargaku ces..! pilih ki na..!) kelima dan yang paling parah, demokrasi adalah berapa duit dan lebih tinggi nilai duit engkau beri maka pilihanku jatuh ke Anda. Di Indonesia dan Majene-nya masyarakat hanya merasakan demokrasi melalui uang yang bersumber dari proses moneyy politic, satu-satunya senjata ampuh bagi para calon untuk memenangkan Pilkada, sekali lagi aturan dibuat untuk selalu dilanggar.

Sejenak Membaca Demokrasi

Marilah sejenak kita berbicara tentang makhluk ini (demokrasi.pen). Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang(wikipedia). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM (Rosseau, 87.124)

Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia dengan ciri-ciri pemerintahan; seperti adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), kedua; adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, ketiga; adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, dan keempat; adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Demokrasi Yunani dikenal sebagai demokrasi Kaum Elite yang jauh dari konstitusi rakyat seperti yang kita tahu di zaman modernd, sehingga demokrasi Yunani bersifat medioker dan anarkis, Itulah alasanya mengapa Plato sangat membenci demokrasi saat itu, karena bagi Plato demokrasi hanya akan mengacaukan sistem pemerintahan, sehingga Plato lebih memilih bentuk pemerintahan diktator ala Sparta (negara tetangga Athena) yang prinsip pemerintahannya dibangun dalam bentuk militer, dan Plato selalu membuktikan kecerdasannya, Athena runtuh akibat persaingan politik para elitenya, sementara Sparta sukses mempertahankan Negaranya dari serangan Raja Xexers Persia yang terkenal; meski pada akhirnya Alexander The Great dari Macedonia mampu menaklukkan Sparta lewat aksi keroyokan.

Demokrasi Yunani hilang ditelan zaman, dan Eropa dalam cengkraman Imperium Romawi mengalami zaman kegelapan pengetahuan selama 1000 tahun sampai akhirnya pada akhir abad ke 15 M menjelang abad ke 16 M (Amstrong: 2001.120), datanglah zaman Renecine (pencerahan) di Eropa yang melahirkan pemikir demokrasi Modernd sepert Jone Locke dan Thomas Hobbes dan David Hume J. Jasque Rosseau, (Russel:1999-57) pada abad ke 18 M yang kemudian melahirkan gagasan social contract (kontrak sosial) dimana demokrasi sebuah bangsa sepenuhnya berpijak pada konstitusi yang disepakati oleh rakyat yang bebas dari penindasan para elite dan kelompok tertentu.

Apapun bentuknya, demokrasi di Eropa tak pernah seindah yang kita bayangkan. Sejak bangkitnya zaman renecine (modernd) pada abad ke 17 M yang mencapai puncaknya pada aba ke 20 M, The Blue Land (julukan benua Eropa) tak pernah berhenti diwarnai oleh perang dan pertumpahan darah. Sampai akhirnya, orang tak pernah memprediksi sebelumnya_bahwa sebuah bangsa disebelah barat Eropa; berada diseberang Samudera Atlantik, tempat para imigran Eropa kulit putih (mayoritas Anglo Sakson mantan begal dan patologi social), tepat disebelah utara bagian tengah benua Amerika, demokrasi menjadi sistem yang begitu mapan dan modern sampai akhirnya mampu mempengaruhi seluruh dunia hingga hari ini.

Yah, semua orang terkejut, justru di negeri para imigran Eropa itulah (Amerika Serikat) demokrasi muncul untuk pertama kali dalam pengertian modern. Sejak kesuksesan Revolusi AS pada abad ke 18 M, Revolusi Rakyat AS dalam melawan penjajahan Spanyol dan Inggris selama hampir 260 tahun, sejak itu pula Konstitusi Sosial telah menjadi pijakan demokrasi AS dalam membentuk Nation State-nya. Eropa boleh berbangga karena memiliki tokoh-tokoh pemikir besar seperti Karl Marx, Hegel, Montesquie dan Adam Smith, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa hanya di AS pemikiran mereka bisa diterapkan.

Alexis de Tocquiville (pemikir Prancis yang datang ke Amerika Serikat) menjelaskan bahwa demokrasi menjadi kuat dan liberal di AS karena beberapa faktor. Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat keunggulan demokrasi AS. Di negeri Eropa ketiga faktor ini tidak ada, dan inilah yang membedakannya dari absolutisme dan anarkisme Eropa. Yang pertama adalah kondisi geografis; AS tidak pernah terdesak karena lahan yang terbatas, AS adalah Negara continental (daratan) yang sangat luas sehingga pada saat demokrasinya tumbuh, AS tidak terdesak oleh keadaan geografis. Sehingga konflik antar Negara tetangga dan rakyatnya jarang terjadi (kecuali konflik antar ras, kulit putih, Indian dan Negroid). Hal ini berbeda dengan Negara-negara Eropa yang memiliki lahan sempit dan bertetangga dekat. Sepanjang sejarah Eropa sekali lagi yang kita lihat adalah sejarah peperangan.
Faktor kedua, adanya pemerintahan lokal. Yang utama dilihat Tocqueville di Amerika adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal, bahwa rakyat AS individual itu tidak sepenuhnya. Satu hal yang patut di cermati bahwa di AS orangtua selalu mengantar anaknya ke sekolah dan mengikuti rapat. Hal ini berlaku umum dan wajar di sana, bahkan aneh kalau orangtua tidak ikut rapat(Mallarangen: 2009.9).

Faktor ketiga yang paling penting. Yakni adat-istiadat dan agama yang muncul pada kaum imigran Amerika saat itu. Partisipasi yang tinggi ini didorong oleh sesuatu hal yakni agama protestan yang puritan. Selain itu, karena kondisi alam yang keras, mereka didorong untuk berani. Ini yang membuat kehendak untuk bebas menjadi sangat kuat. Dorongan untuk bekerja sama dan bekerja keras itu ada. Ini akan ditulis lagi oleh Weber 50 tahun kemudian tentang kapitalisme lahir dari semangat kerja keras protestan.

Tapi Tocqueville lebih awal menjelaskan ini, Agama merupakan salah satu perekat yang universal. Artinya agama adalah suatu counter balance terhadap elemen demokrasi yang suatu saat bisa destruktif dan menghancurkan dirinya sendiri. Amerika mungkin sangat sosial, patriotik—bahkan mungkin lebih dari kita (meski sudah belajar PKN di sekolah). The land of the brave, the land of the free. Tanahnya kaum pemberani, tanahnya kaum yang bebas. Itulah lirik lagu kebangsaan AS yang nampaknya membuatnya menjadi bangsa congkak hari ini.

Deskripsi diatas menjelaskan bahwa Demokrasi Liberal AS adalah demokrasi yang berpijak dan berproses dalam ketiga faktor diatas, pendeknya; demokrasi AS adalah demokrasi yang sepenuhnya bersumber dari basis kesadaran masyarakat bawah, yang sadar akan nasib bangsanya. Sejarah mencatat, Goerge Washintong, Thomas Jeferson dan Abraham Licoln telah menjadi “manusia setengah dewa” memimpin dan membesarkan AS dengan pijakan demokrasi modernd Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Majene (demokrasi untuk [si] apa.. ?

Derivasi demokrasi Modernd perjalanan AS diatas pada akhrinya sedang mencari momentum geraknya di Indonesa. Sejak pemilihan umum yang dilaksanakan begitu liberal pada tahun 1955, kemudian demokrasi pancasila pada tahun 1959, demokrasi terpimpin wujud sikap diktator Soekarno berakhir 1966, demokrasi Pancasila tafsir otoritarianisme-fasis gaya Soeharto yang berakhir pada tahun 1998 sampai kembalinya demokrasi pancasila gaya reformasi saat ini, demokrasi selalu berupa produk politik yang dihadirkan oleh para elite (kuasa-modal) yang berjalan melahirkan sistem rekayasa sosial baru, yang tak pernah memberi batasan kekuasaan pada negara untuk rakyatnya. Rakyat Indonesia membutuhkan sebuah negara dan pemimpinnya sebagai Institusi tertinggi yang melindungi kepentingan rakyat, sehingga Konstitusi dan sistem demokarasi adalah keniscayaan untuk membatasi kekuasaan Negara dan para elitenya agar tidak sewenang-wenang pada rakyatnya sebagai konstituante tertinggi.

Di Indonesia dan Majenenya keinginan itu tak pernah terjadi, sebab konstitusi dan demokrasi hanya sebatas alat untuk membagi kekuasaan. Demokrasi Pancasila salah kaprah menjadi alat untuk pembagian kekuasan melalui jalur politik yang tak dipahami oleh rakyat Indonesia dan Majene-nya. Demokrasi pada akhirnya hanya sekedar situasi formal dan penyelesaian prosedur belaka, PEMILU, PILKADA, partai politik, KPU dan atribut politik lainnya itulah demokrasi yang dipahami oleh Rakyat Indonesia.

Lalu bisakah demokrasi melalui pilkada ini melahirkan satu duet “manusia setengah dewa” yang bisa memimpin Majene kemasa depan? Apakah para kandidat Kalma-Massiara, Rizal-Rusbi, A.Syukri- Syahriah, Arifin-Rizal memiliki talenta dan gaya kepemimpinan yang bisa membesarkan Majene, atau mereka hanyalah orang-orang yang memiliki logistik cukup untuk bertaruh nasib dalam pilkada yang lebih nampak seperti casino legal. ini bukan pertanyaan mudah; untuk menjawabnya, kita bisa memulai suatu analisis meminjam pemikiran beberapa tokoh diatas, sehingga kita akan melihat bahwa demokrasi bukanlah the most success system in the world.

Jika kesimpulan Tocquiville bahwa demokrasi adalah suatu keadaan masyarakat; itu berarti demokrasi adalah suatu partisipasi dan kesadaran penuh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan penjelasan Tocquiville yang bersumber dari konteks sosial masyarakat AS ini, tak pernah terjadi di Majene. Sebab demokrasi melalui pilkada adalah rekayasa sosial yang datang dari atas (elite) dimana rakyat Majene adalah rakyat yang paling tidak mau berpartisipasi tanpa pamrih untuk negaranya, rakyat yang paling senang dengan janji-janji birokratnya, rakyat yang berpenghasilan rendah dan dalam kondisi ekonomi terbatas, rakyat yang tidak pernah bersatu dan tentunya rakyat yang tak pernah punya kesadaran dan sejarah demokrasi.

Boleh saja demokrasi begitu maju di AS; akan tetapi Majene hanyalah satu kabupaten kecil yang ber-PAD 5 M/tahun(sangat menyedihkan), yang terletak di sebelah barat pulau Sulawesi berada dalam gugus 17 ribu pulau di Indonesia yang kondisi geografisnya berbentuk Archipelago (Negara Kepulauan) berbeda 380⁰ dari AS yang berbentuk Kontinental. Majene hanyalah satu kabupaten yang memiliki lahan sempit dan bertanah gersang yang sulit dan tidak bisa menjadi lahan pertanian maju.

Mayoritas rakyat Majene harus mencari rejeki dengan cara bertarung dengan ombak Selat Makassar yang terkenal ganas, atau pasrah menunggu giliran menjadi PNS, atau yang beruntung bisa berdagang kecil-kecilan, membuka mini-market, bisnis on-line seperti warnet, berdagang pulsa, ber-kontraktor dan usaha jasa lainnya. Dan yang paling penting Majene adalah salah-satu kabupaten termiskin di Indonesia (54,24% bps), hal ini sangat kontras dengan prilaku gaya hidup para birokrat daerah dan legislatifnya yang hidup dalam keadaan mewah, sehingga Majene juga termasuk Daerah yang pejabatnya berpotensi besar melakukan korupsi. Bisakah demokrasi hidup dalam kondisi geografis dan keadaan demografis seperti ini? Bukan tidak mungkin, pasca pilkada Majene akan disibukkan oleh konflik perbutan lahan.

Pemerintahan lokal tak pernah ada di Majene, sebab kita tahu bersama bahwa otonomi daerah dan pemekaran daerah, bukanlah suatu perubahan yang lahir dari kepentingan dan semangat rakyat di arus bawah. Tetapi otonomi daerah dan pemerkarannya sekedar kebijakan yang menguntungkan para elite ketika mereka kalah bertarung dalam power level yang lebih tinggi.

Sejak kerajaan Majannang (kerajaan pertama dan asal Kata nama Majene ) di abad 12 berdiri dan membangun persekutuan dengan Kerajaan Majapahit (pararaton:leiden.43), kemudian pada abad ke 16 muncul Banggae bersama dengan Balanipa dan beberapa kerajaan lainnya membentuk Pitu Ba’ba Binanga yang bersekutu dengan kerajaan Gowa, menjadi Ibu Kota Distrik Afdeling Mandar di Zaman Kolonial Belanda, sampai menjadi Kabupaten dalam rahim Ibu Pertiwi, sejak itu pula rakyat Majene tidak pernah tahu apa itu Negara dan pemerintahan (State and Govermance), mereka hanya tahu bahwa sejak dulu mereka dipimpin oleh para Raja yang bergelar Mara’dia dan Para Pa’bicara yang mengangkat Raja. Dimasa lalu, rakyat Majene percaya bahwa pemimpin mereka adalah pilihan Deata’ (istilah Ketuhanan Mandar Kuno) dan yang paling tahu tentang itu adalah para Pa’bicara keturunan to manurung yang mendapat ilham dari Deata’ untuk mengangkat seorang Raja.

Sampai saat ini kesadaran ini masih mengakar, setiap hari kita masih mendengar banyak orang yang dipangil dengan sebutan Dzaeng/Daeng (pangilan untuk Mara’dia Mandar Kuno) dan Puang (Panggilan untuk Pa’bicara Mandar Kuno), meski kita tahu bahwa mereka yang dipangil itu tak pernah diangkat menjadi Mara’dia dan tak pernah melanjutkan amanah Pa’bicara. Pada akhirnya Feodalisme modern menemukan momennya dan rakyat Mejene tak perlu lagi menunggu pemimpin yang dipilih oleh Deata’; mereka (rakyat Majene) yang tak pernah mengenal apa itu kekuasaan, kepemimpinan, politik, dan pemerintahan, kini punya hak yang sama untuk memilih pemimpinnya, dan semua punya kesempatan menjadi kandidat asal memiliki ambisi dan logistik yang cukup untuk membiayai pemilihannya.

Greand Narasi dan Imagined Community

Melihat kondisi hiostoris dan tipikal masyarakatnya, demokrasi di Majene adalah sebuah fakta yang ahistoris. Demokrasi datang dengan semangat antroposentrisme Eropa yang kemudian menjadi greand narasi (nasrasi besar)_meminggirkan diskursus politik dan kepemimpinan lokal yang telah lama mengakar dalam mind-set masyarakat Majene, dalam kondisi ini, masyarakat Majene (dan Seluruh Indonesia) menerima sistem Demokrasi daratan ala Eropa itu sebagai keharusan agar mereka bisa menjadi masyarakat, dewasa, maju dan modern seperti Eropa. Pada saat bersamaan, mainstream demokrasi yang datang dari kepala Eropa ini, mengunci alam bawah sadar masyarakat sehingga masyarakat Majene berada dalam represi psikotik (Freude: 2004.245) yang membuat mereka percaya sekaligus tidak percaya pada pilkada Majene dalam ruang dan waktu bersamaan. Kedua, masyarakat majene diikat oleh identitas etnis Mandar, namun dalam kehidupan sehari-hari tak pernah ada nilai-nilai kultur Mandar yang mereka jalankan; jika itu persoalan berkelahi, perkawinan dan harga diri_mereka sangat mengaku Mandar, akan tetapi jika itu menyangkut uang, jabatan, gaya hidup, dan image sosial_mereka sudah lupa dengan orang Mandarnya. Keadaan ini-lah yang membuat masyarakat Majene berada dalam kondisi apa yang disebut oleh Derrida de apporia exemplarity dimana masyarakat Majene berusaha melupakan identitasnya yang berkesadaran tradisional dan menggantinya dengan yang lain, sementara kesadaran mereka tak pernah berajak. Pada akhirnya demokrasi bagi mereka hanya untuk kebesaran orang lain. Ketiga, akibat keadaan bawah sadar yang serba tak menentu itu, masyarakat Majene mewujud menjadi orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai “yang lain” (the others) dan “liyan” (Lacan:2003.96) yang tak pernah PD (percaya diri), berpikir apa adanya, wawasan sempit, dan takut akan tantangan, maka apapun yang akan anda perbuat pada Majene hendaknya dipikirkan dulu; sebab masyarakat Majene adalah masyarakat yang paling cepat bosan dengan hal baru, Demokrasi dan Pilkada adalah hal baru, sebentar lagi masyarakat akan segera bosan dengan itu.

Demokrasi modern tak mungkin sukses pada masyarakat yang memiliki limitasi kesadaran seperti ini; sementara kita tahu bahwa Demokrasi Modern lahir dari konteks masyarakat yang sejak awal bebas (anarki) dan tidak diperintah oleh mekanisme kekuasaan apapun (masyarakat AS memiliki konteks ini).

Kondisi historis dan metanarasi inilah yang menjadikan_pilkada selalu menghasilkan konflik horisontal yang berujung pada tidak stabilnya pemerintahan daerah. Sebab asumsi pembangunan daerah tidak berpijak pada prinsip good governance sebagaimana tujuan pilkada. Akan tetapi, sistem pemerintahan daerah lebih jauh menjadi ajang perebutan lahan proyek daerah jangka pendek untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Hasilnya, keuntungan akan diperoleh bagi mereka yang mendapat kue lebih, dan yang mendapat jatah kurang atau tidak sama sekali akan berpotensi mengacaukan program-program daerah atau bahkan menggalkannya, hasilnya rakyat yang telah memilih kembali menjadi tak terperhatikan, dan bagi pejabat terpilih pasti bisa melenggang dan memberi alasan klasik “kan masyarakat dah dibayar biar milih saya, sekarang waktunya kembali modal”, rakyat dah diberi haknya “didepan,” sekarang pejabat butuh haknya dipenuhi” itulah fakta yang terjadi. Wajar saja wacana sentaralisasi kebijakan daerah kini mulai bergulir dengan alasan klasik bahwa daerah tidak pernah siap untuk menerima kebijakan otoda.

Itulah pilkada Majene, pilkada yang datang dari elite, oleh elite dan untuk elite juga, masyarakat Majene adalah mereka yang sedang mengalami sindroma imagine community, masayarakat yang membayangkan bahwa mereka sedang dilindungi oleh kepentingan mereka sendiri, padahal itu tak pernah mereka temukan, (Anderson.1999-178) itu hanya terjadi di angan-angan. Hasil pilkada mungkin terlalu cepat mereka rasakan melalui amplop yang berisi duit bernilai Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, Rp 150 ribu atau bahkan lebih dari itu. Jika kesadaran, paradigma, dan sikap masyarakat Majene masih dengan mudah dibeli dan tidak selektif dalam memilih, dan begitu mudah terbuai dengan janji-janji politik_maka perubahan untuk Majene tak akan terjadi, sebab para elite yang terpilih akan sibuk menguras uang dari khas daerah melalui KKN sebab merasa kehabisan modal, sementara elite yang kalah akan sibuk membuat kerusuhan dan kekacauan karna merasa bangkrut dikibuli oleh rakyat dan tidak menerima kekalahan, intinya pilkada tak pernah sukses menghadirkan the zoo politichos yang siap kalah dan menang dalam politik_ yang hanya mengenal no Enemmy Permanent and no Freand Permanent. Dan mustahil mengharap hadirnya “manusia setengah dewa” untuk memimpin Majene kedepan. (s)

M. Ma'ruf Muchtar :
Direktur, Lembaga Studi Agama dan Budaya Nusantara (eLSABaN) Tinggal di Majene.