Kamis, 05 Juli 2012

Jejak Sehari di Kota Pahlawan




Teks Oleh : Muhammad Arif

Kamis 17 mei 2012, jam di ponsel menunjukkan pukul 20.00 Wita. Malam itu di depan rumah sakit Dr. Wahidin Sudiro Husodo Makassar, saya ditemani seorang sahabat bernama Rifai sesama mahasiswa Universitas Al-Asyariah mandar (Unasman) Polman Sulawesi Barat. Kebetulan ia yang juga masih ada ikatan keluarga dengan penulis di Mandar tepatnya di kampung Palece, Desa Palece, Kecamatan Limboro. Saya sendiri tinggalnya di Paropo Kecamatan Alu. Jarak kedua kampung ini kurang lebih 30 km dari kota Polewali (Ibukota Kabupaten Polewali Mandar).

Kami berdua bergegas menuju Bandara Internasional Hasanuddin Makassar untuk melakukan check In dan boarding pass karena jadwal pemberangkatan kami ke Surabaya dijadwalkan pukul 21.35.Wita. Dengan menggunakan jasa angkutan “pete-pete” kami berangkat ke sana. Kurang lebih dua puluh menit kami tiba di pintu masuk areal bandara. Tiba di belokan masuk kami berlari mengejar bus yang baru datang mengantar penumpang secara gratis.

Bus itu masih tampak menunggu bus lainnya yang juga masuk mengantar penumpang. Lama menunggu, mengingat waktu semakin mepet, kami berinisiatif menggunakan jasa angkutan taksi agar tak ketinggalan pesawat meskipun harus merogoh kocek sebesar Rp.10.000.

Setibanya di Bandara yang luas nan megah. Kami menuju loket pelayanan pesawat Lion Air jurusan Surabaya. Petugas meminta biaya check in tiket sejumlah Rp.40.000 per-orang. Cukup kaget juga. Maklum, sudah hampir enam bulan kami tidak ke Bandara, sehingga kekurangan informasi mengenai biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Apalagi, terakhir seingat saya ketika berangkat ke Surabaya beberapa bulan lalu. Biaya check in tidak mencapai angka sebesar itu.

Sesudah menyelesaikan proses ckeck in, kami bergegas menuju gate 4-5 di ruang tunggu penumpang. Lumayan ramai, karena pesawat menuju Jakarta juga akan berangkat yang kurang lebih sama dengan waktu pemberangkatan menuju Surabaya, yakni pukul 21.35 Wita.

Selanjutnya, seluruh penumpang Lion Air jurusan Surabaya menuju Gate 5 karena pengumuman untuk keberangkatan telah diumumkan. Seluruh penumpang dipersilahkan naik ke pesawat.Saya dan Rifai menempati kursi 35 dan 36. Para pramugari dengan paras rupawan tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sembari dengan ramahnya mengingatkan ke seluruh penumpang agar menggunakan sabuk pengaman dan larangan keras untuk tidak mengaktifkan ponsel selama berada pesawat. Selain itu, informasi-informasi penting lainnya yang juga tak luput disampaikan.

Di atas udara, saat pesawat lepas landas, kami disuguhi pemandangan kota Makassar dengan kerlap-kerlip lampu menyerupai lilin yang terbakar. Namun, selang beberapa menit kemudian, pemandangan itu sudah tidak tampak lagi. Yang ada suasana awan gelap-gulita. Dan, terlihat hanya sayap pesawat yang disorot lampu terasa bergerak kala menabrak awan.

Kurang lebih 45 menit berselang, jam di pesawat menunjukkan pukul 22.05 WIB. Pemandangan kota Sidoarjo, Surabaya, dan kota-kota sekitarnya dari balik awan samar-samar terlihat. Agak mirip ketika berada di Makassar. Pemandangannya juga menyerupai lilin yang terbakar. Semakin dekat semakin tampak, lalu lalang kendaraan, lampu penerangan, dan pancaran lampu dari gedung-gedung pencakar langit.

Para pramugari meminta para penumpang memakai sabuk pengaman karena pesawat tidak akan lama lagi akan mendarat di Bandara Internasional Juanda. Setelah pesawat mendarat, maka seluruh penumpang dipersilahkan turun dari pesawat, sembari pramugari nan cantik jelita menyampaikan rasa terima kasih dan berharap bertemu pada penerbangan berikutnya. Kami pun menuju bus yang telah disediakan oleh petugas bandara. Seluruh penumpang naik dan bus pun penuh sesak. Banyak yang tidak kebagian tempat duduk, sehingga memilih untuk berdiri.

Selanjutnya, setelah tiba di ruang tunggu bandara. Kami langsung keluar mencari mesjid untuk ditempati beristirahat sembari mengabari sahabat-sahabat di UIN Sunan Ampel Surabaya mengenai kedatangan kami. Saya kemudian mencoba menghubungi salah seorang pengurus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Surabaya bernama Qodim yang saya dapat nomor ponselnya dari Sapriadi sahabat saya di PMII Cabang Polman.

Saya kemudian mengirimkan short massage service (sms) yang menginformasikan mengenai kedatangan kami. Namun, Qodim malam itu tidak berada di Surabaya. Ia berada di kota Malang. “Aku lagi di Malang ini sahabat, jarak tempuh dari kota Surabaya menuju kota Malang lumayan jauh: 2-3 jam, minta tolong aja ama sahabat lain disitu”.

Qodim kemudian mencoba menghubungi para pengurus Komisariat dan Rayon UIN Sunan Ampel. Ia menyampaikan bahwa sahabat-sahabat lain sudah ia hubungi dan mereka berjanji akan datang menjemput kami. Sembari menunggu jemputan, kami merebahkan diri sejenak, maklum lumayan capek dan ngantuk. sampai dua jam kemudian, jemputan tak kunjung datang.

Mungkin, karena hujan malam itu turun cukup deras, sehingga mereka urung datang. Selain itu kebanyakan yang keluar kota. Ada yang ke Jakarta, Malang, Madura dan Kediri. Kami pun terpaksa tidur di mesjid bandara dengan bermodalkan tas pakaian sebagai bantal. Biasa lah mahasiswa tidur dimana saja tak menjadi soal. Apalagi kami berdua laki-laki. Mungkin lain ceritanya andainya ada perempuan yang ikut serta, kami pasti mengupayakan tempat penginapan. Kasihan juga kalau perempuan tidur di mesjid. Khawatir nanti masuk angin.

Cukup banyak penumpang yang tidur di pelataran mesjid malam itu dan kebanyakan berbahasa Jawa dan Madura. Bahkan, saat itu ada salah seorang berbadan kurus dan berkumis tebal yang datang menghampiri kami dan mengajak ngobrol kalau tak salah ingat dari Pamekasan.. Cukup kental dialek madura-nya. Logat bahasanya mirip penjual sate yang ada di Polewali yang juga asalnya dari Madura,

Kebetulan malam itu, penulis punya beberapa batang rokok (Class Mild) namun tak punya korek. Orang Pamekasan itu kebetulan juga merokok. Saya memanfaatkan kesempatan meminta api, sembari ngobrol-ngobrol. Cuaca dingin sedikit teratasi dengan kehangatan kepulan asap rokok yang kami nikmati berdua. Namun, Rifai tidak merokok, tidak biasa katanya.

“Memang, cuaca di daerah Jawa Timur pada musim pancaroba sering kali mendadak berubah mas. Jadi ya gini, seringkali hujan datang tiba-tiba” ujar warga Pamekasan yang lupa kami tanyakan namanya itu. Sementara hujan tetap turun dan angin makin kencang bertiup. Tiba-tiba saja awan tersibak dan kabut tebal langsung menerpa dari arah utara. Di atas atap bandara yang berbentuk rumah Joglo mendadak tertutupi kabut tebal itu hingga nyaris tak terlihat.

Jam menunjukkan pukul 1.50 WIB. Kami pun mencoba merebahkan diri hingga subuh menjelang. Sesekali terdengar perbincangan mereka yang kami tak mengerti sama sekali. Saya dan Rifai hanya bisa senyum-senyum kecut.

Saat tiba waktu subuh, adzan pun dikumandangkan. Petugas mesjid membangunkan seluruh orang yang tertidur mengajak untuk sholat berjamaah. Dan, ternyata di mesjid tersebut ada larangan keras bagi orang untuk tidur pada saat tiba waktu sholat.”eh sholat subuh, sholat subuh, disini dilarang tidur-tiduran kalau waktu sholat” ujar penjaga mesjid. Sontak, semua yang berada di pelataran teras mesjid tergerak menuju tempat wudhu di bagian belakang mesjid.

Tak berselang lama, sholat subuh pun dimulai, imam yang memimpin sholat terbilang muda dan rambutnya kelihatan gondrong. Bacaan tajwidnya kedengaran sungguh indah nan merdu. Bacaan-bacaan surah pendek dilantunkannya. Tak terdengar suara apapun kecuali lantunan-lantunan ayat suci itu. Semua jamaah terlihat khusyuk.

Setelah selesai sholat subuh, kami berdua menuju sethel bus bermaksud menunggu Bus Damri. Kami berdua duduk di lobi yang disediakan. Para sopir taksi berulang kali datang menanyakan arah tujuan kami selanjutnya, sembari menawarkan jasa angkutan. “Sampean pengen kemana mas, naik taksi aja ?” ujar para sopir menawarkan diri. Kami mencoba menolak dengan halus, dengan mengatakan bahwa kami sementara menunggu bus Damri.

Tak lama kemudian, Bus Damri pun datang. Saya dan penumpang lain bergegas mengambil tempat duduk yang kosong. Cukup lama juga kami menunggu pengisian penumpang. Sampai kemudian ada yang bertanya kepada kami “Ini bus arahnya, ke Terminal Bungurasih kan ?, soalnya aku mau ke Malang” katanya. Penulis hanya bisa manggut-manggut.

Setelah kursi terisi seluruhnya. Maka bus damri tersebut dijalankan dan dikemudikan oleh sopir yang menggunakan seragam dinas perhubungan sembari kondektur menyerahkan tiket kepada seluruh penumpang. Kocek yang kami keluarkan sebesar Rp. 15.000, yang nantinya berhenti di terminal Bungurasih. Memang agak mahal sih, karena mobilnya full AC.

Jam menunjukkan pukul 06.30 Wib. Cuaca kota Sidoarjo pagi itu sangat sejuk dan masih tampak lengang. Maklum belum banyak kendaraan yang berlalu lalang. Perjalanan menuju terminal Bungurasih memakan waktu sekitar 45 menit. Hingga waktu menunjukkan pukul 07.00. Bunyi bising klakson dan knalpot sudah tidak terhindarkan lagi. Warga sudah ramai menjalani rutinitas pagi. Ada yang menuju ke kantor, pabrik, sekolah, dan lain-lain.

Selain itu, para Pedagang Kaki Lima (PKL) lengkap dengan gerobaknya tampak bersiap menjajakan barang dagangannya. Tak ketinggalan loper koran, dan para pengamen terlihat mangkal di trotoar menunggui bus kota yang akan ditempati mencari nafkah. Itulah pemandangan sudut kota Sidoarjo hingga masuk di pintu gerbang kota Surabaya yang ter-save di memori penulis pagi itu.

Tak berselang lama, bus Damri pun tiba di Terminal Bungurasih (Purabaya) Surabaya. Cukup ramai juga suasana di terminal. Mobil-mobil bus dari jurusan Purwokerto, Solo, Jogja, Semarang, Wonosobo, Malang, Bandung, dan Jakarta berdatangan. Sedangkan dari arah selatan shetel tempat bus kota mangkal juga sangat ramai.

Bus-bus kota masih terparkir dan terlihat masih dipanaskan mesinnya, hanya satu dua saja yang berangkat mengangkut penumpang. Selain itu juga, acapkali para kondektur bus kota tampak sibuk mencari penumpang yang ingin melanjutkan perjalanan.

Hum…!!!! perut kami mulai keroncongan. Kami berinisiatif mencari warung makan untuk mengisi “lapangan tengah” alias perut. Kami masuk di salah satu warung yang menyediakan menu: mie kuah, mie goreng, nasi goreng, dan nasi rawon. Saya memesan nasi goreng + kopi tubruk. Rifai juga, namun minumnya pake teh hangat khas Surabaya, dan sepertinya kami menjadi pembeli pertama di warung itu.

Setelah menunggu beberapa menit, nasi goreng panas pun dihidangkan di meja. Dengan lahapnya saya menyantap nasi goreng panas yang sebelumnya ditaburi kecap manis. Apalagi, lengkap dengan kerak telor plus cabai rawit biji. “Mararasi sannai’ pua’” bisikku pada Rifai. Mararas Sanna’ artinya sangat pedas dalam bahasa Mandar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar