Kamis, 05 Juli 2012

YUK: Yogyakarta Untuk Kebhinekaan


Laporan : Muhammad Arif

Dari kejauhan, tampak ratusan kendaraan bermotor terparkir di sepanjang jalan yang berpapasan dengan traffick-light tepat di depan monumen serangan Umum 1 maret di Yogyakarta. Kerumunan manusia di areal bersejarah itu tampak dari arah selatan antara gedung Bank Nasional Indonesia (BNI) yang corak bangunannya bergaya arsitektur kolonial dengan gedung Bank Indonesia (BI) yang juga arsitekturnya hampir sama. Kedua gedung itu, dalam sepengetahuan penulis merupakan bangunan peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang kemudian pasca Indonesia merdeka dialihfungsikan menjadi Bank.

Semakin dekat, areal di sepanjang jalan Sultan Agung di depan gedung agung/Istana kepresidenan Yogyakarta tampak berbeda dari biasanya. Lautan manusia memadati perempatan jalan dengan menggunakan kaos berwarna merah dan putih. Disana-sini terlihat banyak sekali alat peraga seperti spanduk, kain, pamplet, dan figura bertuliskan “Dari Yogyakarta untuk Indonesia Bhineka”. Alat peraga tersebut terpasang kebanyakan berwarna merah dan tampak cukup menyala sebab diterpa terik yang siang itu cukup menyengat.

Ya, siang itu, 24 Juni 2012 adalah jadwal “Aksi Budaya Menolak Kekerasan di Yogyakarta” yang telah direncanakan sebelumnya oleh para budayawan, seniman, aktivis, mahasiswa, dan warga. Aksi ini mendapat restu dan support penuh dari Sri Sultan Hamengkubuwono X beserta Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Istri Sri Sultan).

Aksi ini sebagai respon terhadap munculnya sejumlah aksi kekerasan dalam beberapa bulan terakhir di Yogyakarta. Misalnya peristiwa pembubaran diskusi buku “Allah, Liberty, and love” di kantor Yayasan Lembaga kajian Islam dan Transformasi Sosial (YLKiS) beberapa bulan lalu dan peristiwa kerusuhan antar pemuda yang santer diberitakan oleh media lokal Jogja (Tribun Jogja). Yang kemudian, membuat Sri Sultan angkat bicara dengan mengecam aksi-aksi kekerasan tersebut (Sultan Sesalkan pembubaran diskusi Irshad Mandji, Okezone, Jumat (12/5/2012).

Sebelumnya, rencana aksi ini jauh hari telah diinformasikan melalui jejaring media massa seperti di surat kabar dan internet (portal berita, face book, dan twitter). Juga sempat termuat beritanya di suaramandar.net, tiga hari jelang aksi digelar.

Cukup membara semangat kebangsaan peserta yang hadir, karena warna merah- putih begitu mendominasi lengkap dengan riuh pukulan kentongan, tiupan peluit, terompet. Hal itu sebagai penanda/simbol peringatan atau tanda bahaya yang biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa saat terjadi keadaan bahaya dan keselamatan warga terancam.

Dan yang paling membuat bulu keduk merinding, disela-sela acara disertai alunan shalawatan yang didendangkan salah satu kelompok Marawis yang digawangi mahasiswa DKI Jakarta yang melakukan pengembaraan ilmu di Yogyakarta.

Tepat di gerbang masuk Kraton, ada panggung setinggi satu meter yang di cat berwarna hitam pekat. Kemudian, dari balik panggung, tampak dua orang, satu laki-laki dan satu perempuan bertindak menjadi Master of Ceremony (MC). Laki-lakinya tampak bertubuh gempal, berkaca mata bulat, dan mengenakan topi. Disamping kiri-kanan wajahnya, tertutupi kain berwarna hijau bergaris putih dan kuning. Sedangkan perempuannya menggunakan kebaya berwarna merah, dengan hidung mancung menyerupai orang Arab.

Saat penulis, mencoba semakin mendekat ke panggung, samar penulis mengenali wajah si MC laki-laki. Ya, wajah yang sepertinya acap kali ber-lakon ria di acara opera di stasiun TV swasta di negeri ini. Dan ternyata penulis mengenalinya-- Butet Kertarajasa. Seniman sekaligus budayawan pesohor yang biasanya berduet dengan Slamet Raharjo di acara “Sentilan Sentilun” di Metro TV, setiap jumat malam, pukul 23.04 WIB.

Acap kali Butet berperan sebagai--Sentilun yang bekerja sebagai pembantu di rumah majikannya--Sentilan (Slamet Raharjo). Sentilan-Sentilun yang acap disaksikan jutaan pemirsa di negeri ini dengan kritikan-kritikan pedasnya terhadap negara, misalnya kritikan terhadap kinerja pemerintahan SBY yang dinilainya melempem, pemilihan ketua KPK yang sarat dengan nepotisme, perilaku menyimpang DPR kala bersidang, dan kasus korupsi wisma atlet Palembang (kasus Nazaruddin dan Angelina Sondakh) yang sampai hari ini belum menemui titik kulminasinya. Sentilun kerap dengan bahasanya yang khas “menurut analisis saya”.

Siang itu, Butet tidak seperti biasanya saat diminta mementaskan lakon di panggung kala berteater. Dengan menenteng microphone, ia berorasi dengan lantang mengecam praktek kekerasan yang terjadi selama beberapa bulan terakhir di Yogyakarta.

Menurutnya, Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia, jangan sama sekali dicederai dengan praktek-praktek kekerasan, apalagi sampai menggunakan symbol-simbol agama dan etnis untuk mengoyak moyak permadani kedamaian di bumi Yogyakarta. “Yogyakarta adalah bumi yang damai, jangan dicederai dengan praktek anarki atau kekerasan” teriak Butet sembari massa aksi bertepuk tangan diiringi bunyi-bunyian peluit dan kentongan.

Tak ketinggalan, beberapa turis mancanegara ikut meramaikan aksi itu, jumlahnya terbilang banyak. Ada kemudian yang naik keatas panggung berjoged ria dengan iringan musik odong-odong memakai gaun berwarna merah lengkap dengan kaca mata hitam. Mereka begitu menikmati suasana gembira yang kental dengan nuansa budaya khas Jogja. Selain itu, ada juga pawai budaya yang dilaksanakan warga Jogja dari beberapa kecamatan di kota Jogjakarta. Mulai dari pawai sepeda ontel, barongsai, pameran hasil bumi, dan aksi teaterikal.

Adapun bunyi pernyataan sikap dalam aksi itu diantaranya:

1. Menolak Intimidasi dan aksi kekerasan atas alasan apapun, sebab intimidasi dan aksi kekerasan atas nama perbedaan agama, suku, kelompok, gender, dan ideology, sesungguhnya tidak sesuai dengan prinsip kebhinekaan.

2. Mendukung aparat negara untuk menindak berdasarkan hukum, setiap individu ataupun kelompok yang melakukan intimidasi dan aksi kekerasan.

3. Mengajak seluruh masyarakat untuk saling menghormati dan menghargai kebinekaan, serta tidak membiarkan aksi kekerasan dan intimidasi yang melanggar hak-hak sipil warga.

Tulisan ini pernah dimuat di media online suaramandar.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar