Sabtu, 07 Juli 2012

Vagina-logi !



Oleh : Saprillah Syahrir Al-Bayqunie
Vagina! Apa yang muncul di kepala-mu jika kata ini ku-sebutkan. Entahlah! Mungkin sangat ngeres! Atau biasa saja. Lalu apa yang menghalangi-mu dan juga aku untuk menyebutnya dengan gamblang. Moralitas atau ........pornolitas?

Vagina (begitu juga-penis) jika diletakkan dalam makna fisiknya bukanlah sesuatu yang apa-apa, posisinya tidak jauh beda dengan bagian tubuh yang lainnya seperti tangan, kepala, kaki , lidah, bibir dan sebagainya. Namun ketika konstruksi budaya, agama dan sosial telah bermain dibelakangnya maka stigma terhadap vagina mulai muncul. Vagina menjadi arena kuasa dimana tubuh perempuan didisiplinkan dan dilokalisasi dalam sejumlah aturan-aturan yang ketat.

Ia ditabukan, menyebutnya berarti tidak sopan, amoral dan cabul. Karena itulah, vagina kemudian ditampilkan melalui bahasa samaran, bahasa halus. Bahkan pilihan kata vagina-sebagai serapan bahasa asing dan sekaligus dipopulerkan- pun merupakan bentuk penyamaran tekstual, ketimbang menyebut dengan menggunakan bahasa lokal-nya.

Ke –tabu-an vagina ternyata bukan karena eksistensinya tetapi karena kebudayaan yang mengkonstruksinya! Beban vagina sangat berat karena padanya dititipkan keseluruhan kehormatan perempuan. Sedikit saja ternoda, maka habislah martabat perempuan!

Yang menarik adalah bahwa relasi struktural antara lelaki-perempuan ternyata banyak ditentukan dari “perbedaan” jenis kelamin. Lelaki dengan penisnya dan perempuan dengan vaginanya menjadi parameter tersendiri dalam masyarakat tertentu dalam menentukan harga sosial-nya. Vagina perempuan yang memiliki selaput dara (yang mudah robek) menjadi alat ukur tersendiri bagi status sosial seorang perempuan. Perempuan harus pasrah menerima tudingan yang menyakitkan oleh karena selaput daranya telah rusak. Sementara lelaki tidak akan mendapatkan tudingan itu.

Karena kenyataan seperti itu, masyarakat kita cenderung untuk sangat defensif terhadap perempuan meskipun oleh perempuan (ibu) itu sendiri. Aturan yang ketat yang diberlakukan oleh satu keluarga terhadap anak perempuannya adalah merupakan penjabaran lanjut dari logika penis-vagina tadi. Laki-laki diperbolehkan keluar seenaknya sementara perempuan tidak, lelaki bebas perempuan cenderung terikat.

Konstruksi budaya dan agama yang ketat atas vagina, menjadi titik awal dari kontrol atas tubuh perempuan. Perempuan tidak boleh memperlihatkan tubuhnya yang lain kepada laki-laki karena akan menimbulkan kekacauan sosial. Cara berpakaian, cara berdandan dan cara bersikap semuanya dikendalikan oleh budaya sebagai perluasan logika memelihara vagina tadi.

Vagina menjadi menarik karena wacana seksualitas masyarakat kita memang sangat patriarkis. Segala aturan seksualitas bersandar pada standar lelaki. Kata porno misalnya selalu dilekatkan pada perempuan. Bicara tentang ke-porno-an pasti meletakkan perempuan sebagai obyeknya. Penyebutan foto porno, gambar porno, film porno pastilah yang dimaksudkan foto perempuan telanjang, gambar perempuan semi telanjang atau film dengan perempuan sebagai artis utama-nya. Tengok saja kasus VCD tujuh artis telanjang, semua obyeknya adalah perempuan. Jelas menunjukkan arus utama kelelakian, mulai fotografer, kameramen sebagai subyek dan penonton lelaki sebagai konsumen.

Dan karena itulah, rezim seksualitas menjadi lokus kuasa bagi lelaki untuk “memenjarakan” perempuan dalam wilayah “penuh tabu” atau sekaligus mengeksploitasinya. Maka tidak mengherankan jika lalu wacana tentang pornolisasi (goyangan) Inul dimulai dari lelaki (Rhoma Irama) dengan menjadikan standar seksualitasnya sebagai ukurannya. Rhoma menyebut goyangan Inul saat itu membangkitkan birahi lelaki (mungkin yang dimaksud adalah dirinya). Padahal efek seksualitas adalah efek psikologis yang sifatnya individual.

Di belantara wacana seks ada banyak narasi tentang seksualitas yang tidak tunggal dan apresiasi terhadapnya juga beragam. Konsep tentang telanjang adalah porno sangat sulit untuk mencarikan ukurannya. Jika anda berjalan-jalan ke beberapa dusun kecil atau kampung, bertelanjang dada adalah sesuatu yang biasa dan tidak menawarkan efek seksualitas bagi masyarakat (lelaki)-nya, kondisi ini mungkin sangat berbeda dengan daerah lainnya. Sehingga di sinilah letak paradoksnya undang-undang (insya Allah) anti pornografi itu!.

Penulis adalah Peneliti Litbang Agama Makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar