Senin, 11 Februari 2013

Dilema Jami'iah dan Jama'ah NU--(di Sulawesi Barat)





     Oleh : Muhammad Arif 
 (Direktur Cafe Baca Asy'ariah)


Maaf yah, kalau tulisannnya tidak resmi-resmi amat........ndk karuan gitu...soalnya belum di edit.

 Mengutip pendapat Dr. Ali Masykur Musa (2010), bahwa salah satu kekuatan utama NU dalam kancah politik nasional ialah :
- pertama, wilayah POLITIK KERAKYATAN (hal ini termaktub dalam tausyiah Syuriah PBNU di rembang jilid 2). Salah satu wilayah garapannya yaitu melindungi praktik Islam lokal dari kapitalisasi budaya. Sehingga komitmen NU sangat jelas melindungi tradisi dengan pendekatan kesejahteraan, pendidikan, dan budaya (culture)

-kedua, wilayah politik kenegaraan, garapannya dalam merumuskan Pancasila dan UUD 1945

-ketiga, wilayah KEKUASAAN, point ini adalah wilayah terendah dalam implementasi gerakan NU, namun para elit NU sungguh sangat menyukainya (maaf yah, ini kata Bang Ali Masykur..he..he..).

Untuk konteks Sulbar, kita akan lebih banyak membincang point 1 dan 3.

Politik kerakyatan

Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, Sulbar menjadi wilayah sentral penggembosan faham Muhammad Bin Abdul Wahhab atau trend dalam kongkow aktivis NU disebut " faham Wahabi". Faham ini mutlak mengkampanyekan antitesanya terhadap eksistensi  Islam kultural (kampung) yang banyak dianut oleh mayoritas masyarakat Sulbar. Kaum Wahabiyyah menganggap bahwa akulturasi antara agama-budaya merupakan praktek bid'ah, khurafat, dan Takhayul.

Kaum Wahabi dengan berbagai variannya melakukan modus operandi baik secara politik maupun kultural dalam rangka menyebarkan fahamnya. Misalnya, keterlibatan mereka dalam panggung politik praktis dengan menempatkan kader-kadernya di eksekutif, yudikatif dan lebih getol lagi di  legislatif.

Sedangkan di wilayah kultur, mereka menyebarkan kader-kader militannya untuk menguasai kantung (enclave) jamaah NU, misalnya menjadi imam atau pengurus mesjid di pelosok. Menjadi tenaga pengajar di sekolah-sekolah, menguasai pusat-pusat informasi di pasar tradisional. Cara kerjanya sangat sistematis, terukur, dan massif.

Kekuasaan

Tak dapat dipungkiri, hubungan timbal balik antara NU dan PKB  sangat tidak bisa dipisahkan. PKB merupakan kekuatan partai politik yang membawa aspirasi kaum Nahdliyyin. Selain sebagai kantung aspirasi, PKB juga dianggap sebagai partai yang dalam istilah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)---kembali ke rumah sendiri.

Dalam konteks Sulawesi Barat, PKB dianggap mengalami "impotensi" dalam perebutan kekuasaan (Strungle of power). Banyak pihak (baik internal maupun eksternal) menilai bahwa NU-PKB tidak menemukan titik kejelasan rekonsiliasi dalam rangka menentukan masa depan politik warga Nahdliyyin.

Faktanya memang bisa disaksikan, banyak warga Nahdliyyin kebingungan dan akhirnya memilih menyalurkan aspirasi politiknya melalui parpol-non NU. Informasinya bisa kita saksikan di posisi parlemen baik itu di level  kabupaten dan provinsi di Sulbar.

Yang lebih Ironi, banyak jama'ah karena kepolosannya dan ketidaktahuannya  ikut andil membantu kerja-kerja kaum Wahabiah dalam bidang politik. Karena memang, seperti yang penulis ungkapkan tadi, bahwa cara kerja kaum Wahabiah sangat sistematis dan halus, sehingga kebanyakan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kekeluargaan--yang memang menjadi karakter masyarakat Sulbar secara umum yang tidak formal-formal amat.

--Bersambung--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar