Selasa, 05 Juni 2012

Merefleksikan Islam dari Sudut Kampung

Nuansa “Pammunuang” di Si’iang





Oleh: Muhammad Arif

Pagi itu, terdengar sayup lantunan puja dan puji di sebuah surau berukuran 14x20 m di kampung yang jarang disambangi orang kebanyakan karena letaknya berada jauh di pedalaman. Kampung berpenghuni 40 Kepala Keluarga (KK), sungguh sangat bersuka cita menyambut momen datangnya bulan kebahagiaan yakni bulan Pammunuang (Maulid) yang dimulai pada penanggalan 12 Rabiul awal Tahun Hijriah.

Bulan dimana lahirnya tokoh panutan tertinggi yang diyakini segenap umat Muslim sedunia sebagai Nabi pembawa rahmat dan magfirah. Khalifatul Fil Ardh--- siapa lagi kalau bukan “Rasulullah Muhammad SAW” sang manusia paripurna yang sungguh mustahil jika ada mahluk Allah SWT yang kuasa menyamainya.

Lantunan shalawat “Allahumma Shalli Ala Muhammad Wa Ali Muhammad” terdengar jelas dari corong speaker surau pagi itu. Untaian syahdu, jernih nan indah diiringi kekompakan tabuhan rebana dari sekelompok remaja berpakaian putih yang sengaja didatangkan dari kampung para ulama tersohor tanah Mandar: Pambusuang.

Si’iang demikian nama kampung itu. Perkampungan yang acap kali di streotipe-kan orang luar sebagai kampung “Texas” karena entah musabab apa sehingga dipersepsikan demikian. Letak Si’iang berada di desa Adolang II, kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene. Jarak dari ibukota kabupaten yakni kota Majene sejauh 30 km, hanya mampu ditapaki dengan menggunakan kendaraan roda dua (sepeda motor).
Si’iang: Santun, Religius, dan Damai

Si’iang pagi itu menceritakan dirinya sebagai kampung yang santun, religius, dan penuh kedamaian. Warga begitu larut dalam kerinduan dan kecintaan, sembari isak tangis haru menyelimuti di sela-sela lantunan demi lantunan ayat suci Alqur’an, zikir serta shalawat. Isak tangis itu seolah menjadi penanda bahwa warga Si’iang tak kuasa lepas dari mihrab batin yang menyelami telaga kasih dalam rangka pencarian hakikat diri sebagai hamba Allah.

Tampak pagi itu, beberapa remaja puteri duduk berjejer mengenakan baju lengan panjang putih berkerah dan rok panjang hitam dengan jilbab menghiasi wajah mereka. Sedangkan bagi remaja putera, begitu gagah mengenakan baju gamis rapi berwarna putih lengkap dengan sarung bercirikan khas--- Islam kampung serta peci putih dan hitam. Sarung yang dikenakan kebanyakan bergaris kotak-kotak, ada pula yang berwarna hitam polos dan putih.

Mereka tampak duduk bersila menemani para sepuh kampung dan para undangan yang hadir dengan khidmatnya mengikuti alunan shalawat yang didendangkan para remaja puteri. Kedengarannya sungguh sangat syahdu, menapaki selaksa ruang qalbu, fuad dan Sirr. “Memang selama satu minggu lamanya mereka dilatih khusus untuk melantunkan syair-syair shalawatan” ungkap pak tua yang tepat duduk disamping penulis di dalam surau.

Tak luput dari ruang pandang penulis---- Annangguru (maaf namanya enggan disebutkan) atau kiai asal Pambusuang yang umurnya masih terbilang muda—kelahiran 1975. Ia tampak khusyuk memanjatkan doa bagi sejumlah bayi sekaligus melakukan pengguntingan pertama rambut malaikat-malaikat kecil yang digendong oleh ibunya.
Ritual tersebut dikenal dengan--- sebutan Akeka’ atau Hakikah. Para ibu yang telah lama menunggu kedatangan si kiai datang menggendong bayinya seolah tak rela untuk ketinggalan mengguntingkan rambut anaknya yang disertai doa sang kiai yang sangat diyakini akan kemustajabannya. Memang, acara “Pammunuang” itu juga dirangkaikan dengan acara akeka’ (akikah) bagi warga yang belum meng-akikah bayinya.

Kehadiran sang kiai sepertinya membawa “Barakka’” tersendiri bagi kampung yang dikelilingi areal perbukitan itu. Semenjak bercengkrama dengan warga, nuansa keIslaman terasa semakin kental. Ia dapat dengan mudah diterima oleh warga karena pribadi sang kiai yang humoris, nyentrik, dan dikenal sangat perhatian. Ia datang bagai sebuah warna yang melengkapi dasar warna seluruh kanvas lukisan di kampung itu.

Namun, bukan berarti Si’iang selama ini sama sekali tidak bernuansa Islami. Kehadiran sang kiai seolah menjadi pelengkap akan kebutuhan spritual warga disana. Hingga kini, ia aktif membimbing warga dengan pengajian rutin, ziarah ke makam para Aulia, peringatan bulan Assyura, dan ritual keagamaan lainnya.

Perpaduan Islam dan Tradisi Lokal
Di pagi itu juga, ada pemandangan menarik yang terekam dalam memori penulis. Ada seonggok batang pisang setinggi dua meter dipasang di tengah ruang surau, lengkap dengan beberapa tusuk telur dan uang seribuan. Di bagian bawah, terdapat songkol (lemper) yang dibungkus daun pisang muda yang acap mengundang lidah untuk mencicipinya.

Kesemuanya itu, sebagai bentuk kecintaan dan kerinduan terhadap Rasulullah SAW. Dalam sepengetahuan penulis, itulah ciri khas Islam yang terdapat di kampung-kampung di Tanah Mandar. Nilai-nilai agama berpadu dengan kearifan lokal masyarakat. Islam yang tidak kaku dan akrab menyapa lokalitas pemeluknya. Sehingga beragam cara digunakan untuk menggambarkan kecintaan ummat kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW.

Muhammad Ali (40), warga Si’iang bercerita:
“Mua’ iyami’ mattasserei di’o ponna loka o, iyau mo di’o simbol na Rasulullah SAW. Ia tu’u di’o ponna loka, I’dai makarras batannna, bassa tomi tu’u sipa’na Rasulullah SAW. Ia tu’u anna manyamang dipessusuang tama pesusu’ tallo. Iya mo di’o pesusu’ tallo dirapangammi Umma’na Rasulullah Muhammad SAW iyya metta’e lao di pappasanna Rasulullah SAW i toma lumu nyawa anna tomacoa kero. Apa’ sitinayanna, tomalumu kero anna tomacoa nyawa topa tu’ tia narummunngi tau. Ia mo di’o tallo’, loka, sokkol, anna’ anggannana dio apa-apa--- ia mo barakka’. Sawa’ peppolena anu nawawa to dipetta’ei iyamo tonasalipurri pammase anna barakka,”

(Kalau saya memaknai, batang pisang itu merupakan penggambaran Rasulullah SAW. Pohon pisang itu tidak keras batangnya, begitupun sifat Rasulullah SAW. Sehingga dengan mudahnya tusuk telur itu tertancap. Tusuk telur itu dapat disimbolkan sebagai ummat (pengikut) Rasulullah Muhammad SAW yang menyandarkan segala sesuatunya kepada tuntunannya yang memiliki perangai lemah lembut. Karena hanya orang yang berperangai lemah lembutlah yang akan dikerumuni orang. Sedangkan telur, pisang, lemper, dan sebagainya sebagai berkah karena yang ditempati bersandar merupakan insan yang diliputi rahmat dan berkah).

Sangguh sangat filosofi apa yang diutarakan salah seorang warga Siiang diatas. Penulis pun sempat terkesima mendengar ungkapan yang jarang diutarakan orang kebanyakan. Penulis jadi teringat kalimat penuh makna--- mantan menteri Agama Prof. Malik Fajar. Kala itu, Prof Malik menyarankan agar “agama dikembalikan kepada pemeluknya”.

Ungkapan pak mantan menteri dalam tafsiran penulis seolah mengajak kita untuk lebih mencoba merefleksikan ajaran agama Islam melalui perspektif orang kampung. Secara lebih spesifik lagi, bahwa Islam di mata pemeluknya, hendaknya disesuaikan dengan konteks orang-orang yang menjalankannya. Karena konteks yang dibincang dalam tulisan ini adalah pemeluk Islam yang ada di kampung Si’iang. Maka pernyataan pak menteri sangatlah tepat untuk mensinergikan dengan konteks Islam yang ada disana.

Dalam cara pandang Islam formalistik-simbolik, pemeluk Islam yang berada di pelosok kampung, acap kali disematkan sebagai kelompok penganut Bid’ah ,Takhayul, dan semacamnya. Karena kebanyakan orang kampung masih menggunakan ritual tradisi lokal dalam menjalankan ibadahnya. Sehingga dalam cara pandang mereka penganut Islam yang ada di kampung-kampung mesti disadarkan atau dibaiat ulang.

Tak terkecuali Si’iang. Kampung kecil ini sering kali didatangi kelompok keagamaan yang berbeda dengan cara pandang warga memaknai Islam. Tidak etis bagi penulis jika menyebutkan namanya secara gamblang dalam goresan pendek ini. Mereka seringkali berdakwah di surau dan dari “sapo” ke “sapo” (rumah ke rumah) mengajak warga untuk beribadah. Namun, kehadiran mereka tidak bertahan lama karena warga disana menanggapinya secara dingin, cuek dan tidak ingin ambil pusing

Menurut pendapat beberapa warga, hal-hal yang bertentangan dengan ajaran-ajaran nenek moyang mereka mesti dipertimbangkan untuk diikuti. Tetapi, kehadiran mereka tetap dihargai sebagai penghargaan tuan rumah terhadap tamunya. Hingga pada akhirnya, kelompok keagamaan tersebut keluar dengan sendirinya dari kampung tersebut.

Seperti wawancara penulis dengan salah seorang warga yang juga enggan disebutkan namanya:

“iyau tu’u iyami’ mappegurui mesa pahang, parallu tu’u dissang pole innai perru’dusanna. Mua’ andang memangi jelas perru’dusanna, andangi tu’u mala ditarima buta-buta. Andang toi tia salah, tapi’ andangi ta’ iyami’ mala diola”
(Kalau kami mempelajari suatu paham, perlu kami lacak silsilahnya dari mana. Jika silsilah ajarannya sudah tidak jelas, kami enggan menerimanya secara gamblang. Sebenarnya apa yang diajarkan mereka tidak salah, namun kami tak kuasa menjalankannya)

Bagi pribadi penulis, ada kesamaan cara pandang penulis dengan pernyataan warga diatas. Mempelajari sebuah faham keagamaan semestinya terlebih dahulu dilacak asal usul (nasab) keberadaannya. Misalnya dari Rasulullah SAW, kemudian diwariskan ke Sahabat (Abu Bakar, Umar, Usman, Ali) dan seterusnya hingga sampai kepada kita. Jika dari silsilahnya sudah tidak jelas, ada keraguan bagi kita untuk mengikutinya apalagi menyebarkannya ke orang lain.
Demikian catatan kecil dari jejak penulis di kampung Si’iang. Catatan ini bagi diri penulis mempunyai makna yang begitu luhur dan menggugah. Setidaknya, pengalaman berharga ini memperkaya khazanah referensi penulis tentang keluhuran nilai-nilai Islam yang dianut para pendahulu kita di tanah Mandar, terutama mereka yang berada di kampung-kampung. Keluhuran nilai-nilai Islam tersebut berpadu dengan kekayaan kearifan lokal masyarakat, sehingga Islam itu sangat mudah diterima.
Selain itu, segala rutinitas yang mengitarinya sarat akan makna-makna hakiki yang jika ditelusuri lebih dalam lagi semakin membuat bulu kuduk merinding akibat getaran dari dalam sanubari. Dan itu kebanyakan kita jumpai di kampung-kampung. Namun, penulis menyadari bahwa pengalaman yang didapatkan penulis diatas belum bisa memewakili kampung Si’iang secara keseluruhan. Hal ini tak terlepas dari faktor innocently (kekurangan penulis) dalam menafsirkan berbagai fenomena yang didapat oleh penulis disana, apalagi waktu yang cukup terbatas. Selebihnya, terserah pembaca memaknai pengalaman singkat ini. Wassalam !!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar