Rabu, 06 Juni 2012

Bedah Film “Max Haveelar” di Warkop Mata Kopi



Yogyakarta—Max Haveelar, seorang asisten Resident Vereenigde Oostindische Compagnie atau popular disebut VOC Belanda, mencoba menyuarakan keadilan bagi penduduk di kadipaten Lebak Banten, yang selama ini mengalami ketertindasan oleh adipatinya sendiri.

Kala itu, penduduk dipaksa menyerahkan upeti kepada pemerintah kadipaten Lebak yang berkongsi dengan kepala Resident VOC di Banten, baik itu dalam bentuk uang ataupun ternak (kerbau).

Tahun 1836, masa pendudukan VOC di Nusantara. Penduduk Nusantara secara khusus lagi di Lebak mengalami hari-hari penuh penderitaan. Max Havelaar datang menjadi pahlawan yang berniat mengakhiri derita penduduk Lebak dengan mengadili siapa pun yang melakukan tindakan sewenang-wenang, termasuk adipati dan seluruh kroninya.

Naas, perjuangannya harus berakhir di balik jeruji besi karena kalah bersaing dengan kepala Resident Banten selaku atasannya yang lebih mendapat kepercayaan di mata Gubernur Jendral VOC di Bogor.

Demikian narasi singkat dalam film “Max Haveelar” pada acara bedah film yang digelar di Warkop “Mata Kopi” di Lembah Sorso, Jeruk Legi-RT 13B RW 35 Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, kamis (05/06) pukul 20.00--22.00 WIB. Kegiatan ini merupakan agenda rutin yang diinisiasi pengelola Warkop Mata Kopi, Komunitas Mata Pena, kelompok musik Genk Cobra, dan Fachrurozzy Foundation Yogyakarta.

Muhammad Arif, dari Komunitas Café Baca Asyariah Sulawesi Barat, saat diminta memberikan apresiasi mengemukakan bahwa tokoh Max Haveelar sempat membuatnya terkesima karena ternyata masih ada orang-orang idealis VOC yang ingin menyuarakan keadilan di Lebak yang notabene menjadi tanah jajahan VOC.

Namun, ia masih meragukan penciteraan Max Haveelar yang seolah sangat idealis karena garapan film tersebut disuteradarai oleh orang Belanda.

Kemudian, Accung salah seorang penggiat Budaya di Yogyakarta berkomentar bahwa cerita dalam film ini masih perlu dikaji lebih mendalam karena kesan yang ditunjukkan sangat Leiden (Belanda) dan ada penegasan bahwa penduduk Jawa terkotak-kotakkan menjadi tiga golongan yakni priyayi, abangan, dan santri.

“Hal yang menjadi sorotan dalam film yakni kesan yang ditampilkan sangat Leiden , sehingga dalam alur ceritanya sangat menonjolkan tokoh-tokoh VOC yang terkesan idealis seperti Haveelar dan Gubernur Jenderal VOC yang diceritakan jujur dan religius. Selain itu, ceritanya juga memberikan penegasan tentang pengkotak-kotakan penduduk Jawa menjadi tiga golongan: priyayi, abangan, dan santri” ujar Accung.

Muh. Kholid karyawan PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta pada sesi akhir menyampaikan apresiasi positifnya kepada pihak pengelola karena acara bedah film ini menjadi agenda rutin. Sehingga siapapun yang berkunjung atau mampir di Warkop Mata Kopi akan meninggalkan kesan menarik karena nuansa intelektual yang senantiasa disajikan.

Turut hadir dalam acara bedah film itu, Ahmad Fikri AF (Pimpinan PT. LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta), sejumlah perwakilan Himpunan Mahasiswa Tangerang (Himata) wilayah Yogyakarta, PMII Komisariat UIN Sunan Kalijaga, puluhan penggiat budaya di kota Yogyakarta, serta warga sekitar.(ar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar