Sabtu, 28 April 2012

Menggugat




“AaaaHHH, aku tidak tuli…,” teriak Telinga membahana berbentur gema di sebuah ruangan.
“Ada apa? Apa gerangan yang terus membuatmu berteriak,” timpal Kuping singkat. Maklum, jarak antara Telinga dan Kuping cukup berdekatan bahkan berdempetan. Di dalam sebuah acara temu-temu muka di salah satu ruangan hall hotel berkelas yang tiap menitnya kian terlihat sesak.
“Muak dan betul-betul bosan dengan fungsi kita seperti ini.”
“Fungsi bagaimana maksud kamu?,” sergah Kuping full kebingungan.
“Ya, seperti ini. Kita sudah sangat sering dibentak seakan kita ini sudah tidak mampu menghantar kembali getar suara yang masuk ke dalam sistem fungsi pedengaran kita. Bukan itu saja, baik atau buruk suara yang masuk mesti kita dengar,” keluh Telinga ketus.
“Terus, kamu maunya bagaimana?,” balas Kuping menatap kenalan barunya, seolah berusaha memengerti kemarahannya.
“Fungsi kita hanyalah mendengar dan mendengar! Tidak dapat digugat lagi”.
“Terus,” simak Kuping, coba memahami.
”Kita hanya bisa mendengar. Kapan saatnya kita bisa melontarkan kemauan atau bahkan celoteh atau unek-unek?.
“Wah...mungkin sekarang kamu dalam keadaan yang tidak bersih. Apa sudah lama kamu tidak dibersihkan dari kotoran yang mulai menyumbat pori-pori nalar positifmu,” terka Kuping.
“Tidak juga.”
“Lantas?”
“Tampaknya aku mulai jenuh dengan fungsi kita ini.”
“ Jenuh,” serga Kuping.
“Uuuhhhh…ia,” Telinga menghempaskan nafas panjang.

Kenapa sedari awal kita terlahir sebagai mulut saja. Tiap saat bisa besuara. Meski omongan kita berisi kebohongan atau berupa janji palsu. Namun tetap lebih baik posisinya. Sebab masih akan ada saja orang yang mau mendengar kita. “Terlebih, bangsa kita kan termasuk bangsa yang paling senang mendengar janji, walupun muaranya berwujud tipu muslihat,” papar Telinga sinis.

“Terus?,” kejar Kuping makin terlihat bingung.
Kadang berupa, ocehan, untuk meraih cita-cita sang mulut,’toh kita selalu senang mendengarnya (kuping ataupun telinga), dan menganggap itu bisikan dari surga. Padahal, tidak menutup kemungkinan dampaknya lebih jelek dari neraka. Ditambah ungkapan berupa slogan yang tidak bertumpu pada realitas, dan logika realistis.
“Namun kita....tetap saja mau dan harus dengar,” tantang Telinga.
Seketika kebingungan Telinga kian memburai, tak sadar bahwa ungkapannyapun kian melayang. Sementara cupil Telinga dan Kuping berlahan mulai terlihat kerepotan menangkap bunyi cawan yang beradu serta suara-suara Mulut yang terus saja nyerocos di ruangan yang semakin sesak dan pengap oleh asap rokok.
“Iya..ya, tampaknya ucapanmu ada benarnya juga. Namun jika, kita cukup waktu untuk menelaahnya lebih jauh. Serta diikuti mukjizat untuk kita bisa mengeluarkan suara seperti keinginanmu, ” terang Kuping seolah mulai ikut terseret alur berfikir Telinga kenalan barunya.

“Mestinya kamu sudah fasih akan keterbatasan kita ini. Dimana, semua suara dari mulut, entah baik atau tidak pasti kita dengar dan kita sama sekali tidak bisa melawan kodrat itu,” seru Telinga, terus mencoba meyakinkan teman yang baru di kenalnya dalam pesta-pesta yang sengaja dihelat untuk bertemu relasi ‘papan atas’.
“Wah.. kenapa ya! saya baru tersadar dari keterbatasan kita yang hanya bisa mendengar,” timpal Telinga.
“Makanya, tidak berlebihan jika tadi saya teriak. Kendati teriakanku tak mempunyai getar yang bisa diatikan Mulut atau organ manusia lainnya. Mengingat bahasa kita sering di artikan. Hanya melalui demo fungsi pendengaran saja,” terang Telinga sok diplomatis!.
“Betul itu! namun ingat fungsi atau kodrat kita sudah seperti ini,” bantah Kuping lagi seoah tengah tersadar mulai terpancing racauan Telinga.

***
“Trekkkkk tinggggggg..!”
Suara denting cawan pecah. Memburai. Seketika membuyarkan perbincangan Telinga dan si Kuping yang tadinya terdengar pelan. Kendati hanya bisa didengar orang yang fungsi Kuping dan Telinganya tidak sedang bermasalah. Cukup hanya mereka. Sesaat kemudian keramain mendekati gaduh. Segera sunyi kembali.
Berganti alunan musik melo yang mulai merambat pelan masuk di fungsi pendengaran Telinga dan Kuping. Dengan posisi yang sulit tergembarkan, namun pastinya mereka masih saja berhadapan. Dengan posisi yang Mpunya Telinga dan Kuping saling bersebelahan.

Kembali perhatian membuyar dan mulai serentak mengarah ke asal bunyi denting gelas yang beradu. Pecah untuk yang kedua kalinya..!!. Setelah salah satu mulut dari puluhan mulut yang hadir dalam acara tersebut. Mulut yang bagian atasnya berhias kumis tipis yang berangsur memutih.

Tampak, Mulut mulai bergerak naik turun, mengeluarkan suara-suara lantang. Membincang strategi yang paling revolusioner (versi mulut).
“Kemana seharusnya masyarakat harus diarahkan menuju kemaslahatan lagi malaqbi kedepannya,” seru Mulut bersemangat.

Suara Mulut tak luput memancing gairah ‘kekaburan’ dalam benak Telinga juga Kuping yang sejak tadi hanya bisa mendengar. Dan mendengar!!!.
“Suara dari sang Mulut barusan merupakan janji atau hanya sekedar mimpi,? ” kejar Kuping.

“Ah.. itu! yang aku maksudkan, keterbatasan kita. Kita hanya diposisikan
sebagai pendengar. Sekarang kamu bingungkan,” lanjut Telinga setengah nyengir.
“Iya memang, kita hanya bisa mendengar, tapi apakah itu merupakan alasan untuk bisa menambah fungsi kita, dari hanya bisa mendengar, kemudian punya kemampuan untuk bicara. Apa nantinya tidak terlihat lucu,” tantang Kuping.

“He-he-he, bukan lucu. Menakutkan ia”. Seraya Telinga melepas tawa yang lagi-lagi memburai, pada ruangan makin dingin oleh sergapan pendingin ruangan yang menempel di hampir semua sisi ruangan hall hotel. Dinding ruangan sebahagian tertutupi gorden yang menjuntai panjang berwarna keemasan. Juntaian gorden hingga mencium mesra lantai tegel yang putih bersih.

“Kenapa tertawa,? ” tanya Kuping.
“Inti kebingunganku barusan, sudah bisa kamu pahami tanpa perlu di jelaskan secara rinci lagi.”
“Terkait keterbatasan kita begitu?, yang hanya bisa mendengar,?” kejar Kuping.
“ Nah…kamu sudah mulai memahami bukan! Apakah kamu tidak mau protes dengan fungsi kita,” pungkas Telinga setengah menggurui.
“Protes sama siapa. Pada Tuhan begitu? Hal ini sudah merupakan kodrat, tidak mungkin ditawar lagi. Bagusnya sekarang kita menjalani fungsi kita dengan sewajarnya dan dengan ikhlas.”
“Ihlas,” timpal Telinga.
“Ia, dengan ikhlas. Kamu mesti bersukur masih dalam keadaan yang bisa menjalankan fungsi pendengaranmu dengan jernih, dengan tanpa iri melihat fungsi Mulut untuk terus berceloteh,” tantang Kuping dengan suara rendah.
“Persoalan ‘ikhlas’ dan ‘keinginan’ adalah merupakan sesuatu yang berbeda. Apa lacur jika aku punya harapan untuk bisa mengeluarkan suara dengan tidak terbatas pada jenis Telinga dan Kuping saja yang bisa mendengar suara kita,” kilah Telinga.
“Ohh..Begitu. Kendati sadar, ihwal itu merupakan keinginan yang puncaknya akan menjadi harapan yang tidak akan terwujut,” sengit Kuping.
“Memang itu tidak bisa saya pungkiri, kodrat memang tidak bisa kita rubah. Tapi aku jengkel, dengan fungsi si Mulut yang mengeluarkan suara dan kita hanya bisa menunggu untuk mencernanya.
“Jangan takabbur kamu? Jika tidak ada bunyi atau jenis suara yang di keluarkan oleh Mulut. Tentu kita tidak akan mempunya fungsi. Dan jangan sampai tuhan marah, lalu membuat fungsi pedengarmu tidak berfungsi. Kecuali kamu memang mau menjadi tuli. Mau kamu,? ” sengit Kuping.
“Tidak perlu se-extrim itu, namun jujur kadang akupun mau tidak mendengar atau menangkap bunyi apapun . Terlebih jika bunyinya hanya suara yang tidak berguna,!“ timpal Telinga meyakinkan.

Diantara gelompangan bunyi gaduh pada rungan itu. Kepulan asap tembakau kian mengepul. Tawa renyah, sampai cekikikan, memburai, meninggi serta membentur dinding ruangan membentuk deratan gema memanjang.
Harapan Telinga mulai menipis seiring hentakan irama bitt musik yang mulai merambat pelan. Alunan musik beriring merambat ke palfont hayal Kuping dan Telinga yang mulai menjelajah dan meninggi. Sedang megap-megap kata serta kalimat keluar menderas dari Mulut seseorang. Orang yang tengah berdiri gagah di atas podium. Mengenakan jas serta dasi bergaris putih yang sejak tadi melingkar di lehernya. Sehabis memberikan sambutan ia-pun berjalan meluber dalam kesesakan ruangan. Menyapa manusia lain yang hadir di pesta pendekalarasian diri si Mulut. Entah untuk apa?

***
“ Uhh..tambah muak aku dengan semua ini,” ucap Telinga seketika membuka bungkam.
“Ahhh..sudah-sudah! gerutumu itu tidak akan merubah apa-apa?” balas Kuping tegas.
Telingapun akhirnya bungkam dengan paksa. Sejurus kemudian suasana ramai sejak tadi nampak tidak berkurang sedikitpun. Malah sekarang terdengar kian heboh. Dan tidak terkontrol. Pada selipan-selipan tawa yang kian memekakkan Telinga dan Kuping.
Kontan, membuat Telinga kian gusar. Dalam keadaan yang terjepit karena tidak mampu bersuara. Dengan dialeg yang tidak sama dengan mulut pada umumnya. Sehingga tidak mendapat tanggapan dari organ tubuh lain. Terlebih manusia yang ada di ruangan itu. maklum suara Telinga hanya bisa di dengar Kuping sahabat yang baru di kenal beberapa jam yang lalu.

“Wah, memang susah melawan sesuatu yang bersifat kodrati, kendati dalam ketidak berdayaan itu pun masih saja menyisakan harap yang tak urung bersua dengan kenyataan,” Pancing telinga tanpa merasa jera dengan sanggahan kenalan barunya.
“Sebenarnya, tidak sulit malah teramat simpel. Coba saja harapanmu itu, kamu kubur dalam memorimu,” balas Kuping dengan mantap seraya Mpunya Telinga bergeser sedikit. Termaknai sebagai anggukan pada Telinga lawan bicara Kuping.

“Aku sudah coba, bahkan sudah berulang kali aku coba. Menahan keinginan untuk mau suaraku di dengar. Kendati, upayaku tetap sia-sia,” lanjut Telinga datar.
“Sudahlah, lagi-lagi ini adalah takdir. Suka atau tidak suka, toh! Ini adalah garis hidup kita. Sekarang yang penting, getar suara-suara atau bunyi apapun yang masuk dalam rongga pendengar kita. Entah itu, berupa kebohongan bertopeng janji. Kita mesti menyampaikannya pesan dari suara tersebut. Dengan tidak membedakan suara itu berasal dari kalangan mulut apa? Karena saya sendiri yakin, bahwa masih ada Telinga dan Kuping yang bisa membedakan mana suara bening yang mengalir dari mata air ketulusan dan mana suara bertopeng janji, mengalir dari air comberan,” urai Kuping.

Pesta usai, kebisingan pun berakhir!

Polewali, 020509

Abdul Muttalib lahir di Tinambung 23-07-1984, sekarang bergiat di Komunitas Teater Flamboyant Mandar Tinambung.
E-mail : alifbatza@yahoo.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar