Kamis, 01 Desember 2011

Kearifan Lokal "Vis a Vis" Modernisme

Sebuah Refleksi Kritis

Oleh: Muhammad Yahya



Perlu kita pahami bahwa, terjadinya evolusi (perubahan lambat/tidak terasa) pada tradisi/budaya lokal (local wisdom) itu akibat dari lemahnya implementasi atau tidak mampu mensejajarkan antara nilai produk lokal masyarakat kultur dalam bersitatap dengan tradisi modern sebagai produk elite kapitalisme yang melahirkan pemikiran dan pola hidup bergaya liberal.

Salah satu perilaku masyarakat kultur yang menjadi sasaran amuk ideology oleh aktor modernis (orang-orang modern) yang berorientasi pada penyeragaman budaya modern secara universal (menyeluruh) adalah upaya untuk meruntuhkan sikap kolektifitas (kerjasama) masyarakat kultur yang masih mengimplementasikan tradisi dan budaya.

Seperti halnya di tanah mandar dengan konsep tradisi "Sikalu-kalulu" (gotong royong). Sikalu-kalulu itu merupakan tradisi masyarakat mandar tempo dulu yang mana bentuk sikalu-kalulunya itu sangat tidak menginginkan tetangga atau kerabatnya berada dalam kondisi kesusahan. Sehingga, yang terbangun pada waktu itu adalah prilaku kolektif dalam segala aktifitas sosial.

Misalnya. Tomambue’ Boyang (mendirikan sebuah rumah), pasti masyarakat lain akan datang dengan satu tujuan bisa membantu proses Mappake’de’ Boyang (mendirikan rumah) sedangkan para wanita itu datang untuk membantu memberikan pelayanan konsumsi dengan membawa sembako mentah maupun yang siap saji, dan mereka akan datang meskipun tidak di minta. Tradisi ini bisa di temukan di kampung halaman penulis tepatnya di kampung Rattekallang, desa Pullewani, kecamatan Tubbi Taramanu, kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.

Inilah salah satu tradisi-budaya lokal mandar yang kemudian perlahan bergeser sejak masuknya berbagai faham yang seolah menghipnotis untuk kemudian saling memasang wibawa. Inikan bisa di kategorikan sebagai permulaan lahirnya konsep hidup individualistik yang di sodorkan oleh kaum modernis kapitalis yang sudah renyah di konsumsi oleh masyarakat perkotaan.

Dari fenomena tersebut itulah sehingga lahir dua faktor sebagai fakta nyata yang telah mengantarkan sebagian masyarakat untuk menanggalkan identitasnya, yang kemudian mendorong penulis untuk mengangkat topik mengenai Kearifan Lokal "Vis a vis" Liberalisme sebagai akibat dari peralihan pola interaksi kolektif menjadi individualistik dan konsumtif.

Perlu kita fahami bahwa munculnya pola fikir konsumtif dan individualistik itu merupakan dampak perilaku (pemikiran) baru pada masyarakat yang tidak mampu mensejajarkan antara nilai tradisi dan nilai modern, dalam hal ini masyarakat lebih cenderung pada kemudahan dari produk ke-moderenan. Sehingga, pola fikir konsumtif lahir sebagai efek dari perkembangan industri yang lebih cenderung menyediakan berbagai kebutuhan secara universal, dan ber-efek pada perubahan negatif terhadap tanggung jawab sosial yang perlahan terabaikan dan melahirkan pola interaksi masyarakat saling membatasi.

Selanjutnya, pola fikir individualistik pada masyarakat itu di dominasi oleh kemudahan – kemudahan yang di sajikan negara kapital melalui ilmu teknologi atau perkembangan globalisasi. Sehingga, membuat masyarakat merasa tidak lagi membutuhkan kolektifitas dalam kehidupan bermasyarakat.

Nah, pola fikir yang di perlihatkan oleh aktor modernis terkait dengan upaya penyeragaman nilai secara universal, tentu hal tersebut akan berorientasi pada perubahan sosial budaya pada masyarakat tradisional demi menciptakan nilai – nilai (fisik, material, sosial) yang bersifat universal rasional (dapat di terima oleh akal) dan fungsional (sesuai fungsunya) dengan asumsi untuk membangkitkan tatanan kehidupan modern atau mensejajarkan basis pengetahuan dan pemahaman pada masyarakat yang masih memperthankan nilai substansi tradisi dan budaya. Namun pada hakikatnya upaya tersebut adalah untuk mengikis nilai –nilai tradisi lokal untuk menciptakan kehidupan konsumtif guna menanamkan pola hidup liberalisme (faham kebebasan)

Dampak Perubahan Sosial Budaya
Dampak pemikiran yang di hasilkan dari proses yang berorientasi pada perubahan sosial budaya itu secara tidak sadar akan berimbas pada hilangnya tradisi dan budaya sebagai identitas yang merupakan kekuatan kemandirian suatu kelompok. Sehingga, ketika system sosial budaya yang terdapat pada suatu kelompok itu terkikis tentu akan berimbas pada hilnagnya citra kelompok tersebut di mata kelompok yang lain.

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi pergeseran nilai kultur, pertama faktor innovation yaitu temuan-temuan baru yang di gagas oleh kaum modernis degan asumsi untuk mensejajarkan substansi nilai yang mencakup secara keseluruhan.
Kedua, pengaruh kebudayaan masyarakat lain (defusi). dalam hal ini di pengaruhi oleh pola interaksi yang kebarat-baratan yang perlahan mengikis identitas melalui periklanan dan perkembangan globalisasi yang sangat mengancam keberadaan nilai kultur. sebab, pergeseran nilai kultur yang masih percaya pada perilaku yang berlatar belakang megik, mistik dan ritual itu akan menjadi rasional dengan pendekatan yang memiliki kekuatan rasional dari faham moderni kapitalis yang perlahan menghapus nilai Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat (TBC).

Ketika kita berbicara mengenai dampak yang di hasilkan dari pengimplementasian nilai liberal yang perlahan mendorong paradigma eksistensi ideology kapital. Tentu dampak yang akan terjadi adalah ketidak kolektifan yang memaksa masyarakat tidak saling membutuhkan sehingga kepedulian terhapus dan berujung pada tindakan radikal. Seperti yang di persembahkan di berbagai media elektronik maupun media cetak yang tidak jarang menampilkan peristiwa pembunuhan, penganiayaan, penipuan, pelecehan seksual, perampasan hak dan sebagainya.

Dengan melihat peristiwa tersebut yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat, tentu peristiwa demikian itu adala akibat dari kurangnya kerjasama dalam menjalani kehidupan. Sehingga ada yang merasa tersingkirkan atau terkucilkan dengan ketidak mampuan untuk menjalin pola interaksi elite seperti halnya dengan orang-orang kaya yang di manjakan oleh pemikiran elite kapitalisme yang meniupkan doktrin modernisme dengan asumsi untuk mesejajarkan basis ideology untuk menyingkirkan eksistensi tradisi dan budaya yang pada akhirnya menimbulkan konplik atau yang lebih populernya Perampokan dan Pencurian akibat ketidak pedulian pada kaum menengah kebawah.

Selain itu, problem yang terjadi akibat kurangnya solidaritas masyarakat adalah akibat implementasi “isme” modernis yang mengalir pada liberalisme yang kemudian melahirkan pola hidup individualistik adalah tidak terbangun pola interaksi yang saling memahami (mengenal). Itu terbukti ketika penulis mencari salah seorang dosen kemudian menanyakannya kepada salah seoang masyarakat dan dia menjawab “disini tidak ada nama yang anda maksud” padahal mereka adalah bertetangga. Menggiurkan bukan???

Melihat fenomena maupun fakta yang terjadi dalam tatanan masyarakat, itu merupakan suatu kekhawatiran yang boleh jadi akan semakin memudarkan tradisi dan budaya sebagai identitas yang membedakan kita dengan bangsa lain. Seingga yang menjadi kesimpulan dalam goresan yang mengandung sejuta filu oleh masyarakat yang cinta akan kedamaian dengan implementasi tradisi dan budaya, setidaknya Bisa memberikan solusi konkrit dalam proses eksistensi tradisi-budaya dalam kehidupan bermasyarakat dengan kolektifitas yang tinggi. Sehingga, citra yang dulunya terpancar jelas sebagai kekuatan kemandirian bisa kembali memancarkan citra kita sebagai rakyat Indonesia yang kaya akan keberagaman budaya.

Penyataan demikian bukan untuk menelorkan doktrin anti kapitalis dalam hal ini penganut faham modernis kedalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimanapun perkembangan globalisasi yang di motori oleh para elite kapitalis itu menyimpan dua nilai. Positif dan negative.

Pertama, perubahan progresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih baik dan menuju pada kemajuan. Maksudnya adalah, kemajuan itu hanya akan terealisasi sebagai kemajuan ketika masyarakat kultur bisa mensejajarkan antara substansi nilai tradisi lokal dengan nilai perilaku modern.

Kedua, perubahan regresif. Yaitu perubahan yang mengarah pada keadaan yang lebih buruk di bandingkan sebelumnya. Maksudnya adalah sepanjang masyarakat mengkonsumsi pola interaksi modern dengan meninggalkan tradisi-budaya sebagai identitas kelompok itu sendiri.


Penulis adalah Mahasiswa Unasman-asal Rattekallang, Tutar
pada jurusan Bahasa Indonesia FKIP.
Selain itu, merupakan warga PMII Pol-Man
dan saat ini berproses di CafĂ© Baca Asy’ariah.

1 komentar: