Jumat, 23 Desember 2011

SENANDUNG DALAM GERAKAN, PERNAPASAN DAN GESTUR


Oleh: Syuman Saeha


Antonin Artaud; Aku membutuhkan aktor-aktor, yang pertama adalah makhluk-makhluk. Yaitu bila mereka berada diatas pentas, mereka tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, yaitu luka karena pisau (Ledakan Dan Bom. 142), tentu saja pengakuan ini tidak bermaksud menghalalkan pembunuhan secara sungguhan lantaran tidak takut pada sensasi yang sebenarnya, pun mungkin bukan itu tujuannya dalam memberi penegasan terhadap aktor dan garapan teaternya. Sekalipun kita semua tahu, actor menurut Artaud, “haruslah seorang gila, yang hidupnya dihantui, dibahayakan dan diancam” (170).

Demikian pula bahwa tidak sedikitpun maksud untuk menyamakan (tapi kalau dapat kenapa tidak) setiap takaran dari sederet pertunjukan oleh kelompok seni sekolah SMA dalam Festival Teater Putih Abu II yang dilaksanakan di Kampus Unasman walaupun pada kenyataan tidak persis dengan apa yang diingini oleh Artaud dalam teater garapannya. Hal inilah kemudian yang menuntut kita untuk membuka mata selebar-lebarnya, memandang berbagai sisi atas pertunjukan tersebut, siapa dan kapan mengenalnya serta fasilitasnya apa, juga tak kalah pentingnya penyelenggaraanya bagaimana.

Berangkat dari kesadaran atas berbagai sisi pandang ini akan melabuhkan kita pada titik muara keresahan sekaligus mencoba menguatkan hati untuk menerima kelemahan yang mengepung disegala arah, sebab yang menjadi tujuan bersama adalah, bahwa teater harus ada dan hadir di tanah Mandar, (baca sulbar) dan di Polewali Mandar pada khususnya, meski harus secara terus-menerus cemburu terhadap kondisi serta kemampuannya.

Tulisan ini juga tidak bermaksud mengupas tuntas terlebih mencincang sampai kedalam isi perutnya tentang bagaimana pertunjukan itu berlangsung selama empat malam yang diawali oleh pementasan “Sanggar Layonga Mandar” SMA Neg.I Tinambung, kamis malam, 25 November 2010 dengan “Matahari Di Jalan Kecil” yang ditulis seniman sebesar (Arifin C Noer). Dalam pada itu malam berikutnya “Sanggar Pujangga” dari SMA Neg. I Wonomulyo mementaskan “Para Jahanam” adaptasi cerpen “LAMPOR” (Joni Arya Dinata), scenario (Zulfikri Sasma). disusul “Kartini Berdarah” scenario (Amanatia Junda S.) oleh “Sanggar Merah Putih. SMK Muhammadiah Wonomulyo. malam ketiga Festival Teater Putih Abu II pertunjukan dibuka SMA Neg. I Polewali ”Figura” karya (Enda Sukaputri). Dan ditutup “Aku Masih Perawan” dari “Teater TERBIG” SMK BIGES Polewali. Sedang malam keempat yakni malam terakhir pertunjukan peserta Festival Teater Putih Abu II menampilkan tiga peserta yaitu “Sanggar Palapa” SMKN Tapango “Bunga Desa” (D. Suradji) juga “Kebebasan Abadi” (Sebuah Tragedi Kepahlawanan) Karya (C.M. Nas) SMA Neg.I Wonomulyo dan “Sanggar Todilaling” SMK Neg. I Tinambung “Cinta Dan Laut” Karya (Dalif Palipoi) sebab seperti yang sudah disampaikan diatas kita tidak hanya semata bertolak pada kelemahan serta kekurangannya tapi lebih kepada bagaimana bisa hadir dan terus ditekuni tidak hanya berupa hiburan belaka, tapi juga sebagai tempat memahami ilmu pengetahuan.
Sungguhpun demikian tentu kita akan coba bersepakat meski dalam keadaan yang berat, bahwa melewatkan satu peristiwa berlalu begitu saja didepan mata tanpa berusaha “bertukar sapa” dengan cara apa dan bagaimanapun, tentu itu bukan satu cara sikap hidup yang baik.

Pertunjukan teater yang diramaikan delapan kelompok seni sekolah se-Polewali Mandar ini, bila ditinjau dari segi garapannya (konvensional) kesemuanya dibawa rata-rata, itu terlihat dari tidak adanya ketegasan secara maksimal terhadap ruang dan waktu yang meliputi kapan dan dimana terjadinya peristiwa itu. Belum lagi kita dihadapkan pada actor aktrisnya, secara keseluruhan belum menyentuh wilayanya sebagai laku yang meruang, yang tercipta dari gerak dan gesture yang meyakinkan, dan tentu saja disana juga ada nafas sebagai kehidupan, yang kesemuanya akan membingkai pertunjukan itu menjadi bukan hanya semata sebuah pementasan tapi sebagai peristiwa teater di atas pentas.

Mungkin saja dikarenakan belum terpahaminya secara memadai bahan-bahannya, disamping kurangnya waktu latihan untuk lebih membumikan secara cukup sebagai elemen yang akan mengusung terjadinya peristiwa teater tersebut, disinilah pentingnya melaksanakan kepekaan untuk merangsang sedemikian rupa kecemburuan terhadap kelemahan-kelemahan itu. Mungkin juga tidak begitu tepat bila hal ini kita ajukan sebagai pertanyaan serius terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat dan terkhusus Pemkab Polewali Mandar, sudah sejauh mana mengarahkan keakraban tentang keberadaan kelompok-kelompok seni, apakah itu di Sekolah, di Kampus, atau diluar keduanya demi berlangsungnya kehidupan seni dan budaya itu sendiri.

Alhasil Festival Teater Putih Abu II yang sudah dua tahun ini dilaksanakan oleh Kosaster SIIN Unasman (Komunitas Sastra dan Teater SIIN Universitas Al-Asy’ariah Mandar) patut kita sirami perhatian secara serius, sekaligus berharap sangat dapat melahirkan manusia cerdas lagi jujur serta memiliki kehalusan akal budi selaras dengan cita-cita Sulbar Mala’bi. Amin……

Manding, 28 November 2010.


Penulis adalah Pimpinan Komunitas Panggung Palatto Pambusuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar