Minggu, 18 Desember 2011

Peranan Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pembangunan Perdamaian

Add caption

Oleh : Muhammad Subair Sunar

"Saya tidak bersedih kalau saya tidak dikenal masyarakat,

Tapi saya akan sangat sedih jika saya tidak mengenal masyarakat"

(Bikkhu Dhamma Subo)



Pengantar.

Pernah dalam sebuah seminar tentang syariat Islam di Makassar, seorang panelis menyebut "jawa" sebagai factor penentu sukses tidaknya gerakan penegakan syariat Islam. Menurutnya, kemunduran orang-orang Bugis dan Makassar diakibatkan oleh dominasi Jawa, bahwa suplai beras dan hasil-hasil bumi Sulawesi lebih banyak di angkut ke Jawa. Orang-orang Bugis dan Makassar tidak memperoleh imbalan yang memadai. Mereka dinomorduakan dalam pembangunan, dan lebih mengutamakan masuknya dominasi asing menguasai kekayaan alam mereka. Dan pada akhir pemaparannya, Panelis tersebut menyebut perlunya syariat Islam ditegakkan, karena Bugis dan Makassar sejak dulu identik dengan Islam.

Sang panelis diatas menggunakan bahasa etnisitas atau kesukuan untuk memperkuat argumen "perlunya penegakan syariat islam di Sulawesi Selatan". Wacana ini hampir sama dengan isu "Sulawesi Merdeka" yang pernah muncul di Makassar tahun 1999 ketika Habibie terganjal dalam sidang umum MPR 1999 untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Wacana yang dipergunakan adalah isu kesukuan "Sulawesi versus Jawa".

Kampanye dari dua kasus wacana diatas tampaknya tidak akan mencapai tujuannya tanpa"meminggirkan" unsur yang disebut yang lain, yang didefenisikan sebagai "Jawa"(belakangan muncul) "Cina", "Amerika", "Jepang" dan lain-lain yang tergambar melalui pemberitaan media dengan memunculkan aksi-aksi sweeping terhadap warga asing.

Sengaja saya mengutip dua peristiwa diatas dengan titik kesamaan yakni sama-sama menggunakan bahasa kesukuan untuk memperkuat argumen mereka. Dan bukan sama sekali untuk membicarakan pro dan tidaknya kita pada gerakan penegakan syariat Islam yang mereka bangun. Kutipan kasus wacana diatas menjadi penting ketika kita mendiskusikan perihal kearifan lokal. Diskusi mengenai kearifan lokal, berarti mendiskusikan "nilai budaya" dalam konteks ke"suku"an atau salah satu suku.

Lalu apa arti suku atau etnisitas? Dalam kajian ilmu politik, etnisitas suku selalu diidentikkan dengan pemicu konflik dalam satu Negara kebangsaan. Dalam kajian sosiologi, ke"suku"an seringkali diidentikkan dengan pemicu keresahan social,seperti yang tergambar dalam konflik antar kampong atau perkelahian antar warga di kota-kota besar. Dan konflik suku Dayak dan pendatang di Kalimantan beberapa tahun lalu ikut, memperkaya makna politik etnik sebagai pemicu konflik berdarah.

Mungkin dalam konteks pariwisata dan seni hiburan, "suku" tidak dimaknai sebagai pemicu konflik, tapi dipahami sebagai barang komoditas yang bisa diperdagangkan dan diperjual belikan. Sehingga sudah sangat lazim kita menemukan pernik-pernik etnik kesukuan menjadi unsur penambah selera komsumsi. Dipihak lainnya (kitabaca dikoran-koran saat sekarang ini, menjelang Pemilu) sangat banyak orang melakukan perburuan gelar-gelar adat dan silaturrahmi antar komunitas suku.Kesemuanya itu adalah model perdagangan baru untuk mendapatkan dukungan pada Pemilu yang akan datang.

Pemosisian Tradisi dan Kearifan Lokal Untuk perdamaian.

Penyebutan suku atau etnik, terkadang mencerminkan hal-hal yang serba kurang dan terkesan disudutkan. Ketika orang menyebut, "suku", yang terbayang adalah orang-orang Dayak yang menenteng Mandau, orang-orang Papua yang memakai koteka dan lain sebagainya. Akhirnya penyebutan "suku" secara berlebihan pada masa Soehartodicurigai sebagai SARA. Dan pada saat bersamaan "keragaman suku dan budaya"dirayakan sebagai identitas bangsa, identitas "manusia indonesia seutuhnya",sedang identitas kesukuan tidak dipandang sesuatu melainkan SARA. Sungguh suatu hal yang kontroversial.

Lantas dimana kearifan local budaya dari setiap suku bangsa harus diposisikan dalam membangun perdamaian? Pendekatan suku dalam membangun perdamaian telah menemukan hasilnya di Ambon, seperti model pelagandong. Adakah nilai budaya yang kita miliki yang bisa dipergunakan untuk membangun perdamaian? Dan Syarat-syarat budaya apa yang harus dibangun,sehingga kearifan lokal dari seiap budaya kita memberi sumbangsih untuk membangun perdamaian di daerah kita?

Pertama; Memahami nilai kebudayaan danidentitas masing-masing ke"suku"an kita dan ke"suku"an orang lain dari sudutpandang pelaku budaya itu sendiri dan bukan dari pihak lain atau orang lain.Disini pemahaman atas nilai suatu budaya tidak sekedar "mengetahui"nya, tapijuga mengalami proses pembatinan, proses refleksi untuk pengendapan nilai.Sehingga membutuhkan keterlibatan diri secara subyektif, karena itu prosesmemahaminyapun harus berguru pada orang yang melakoninya secara subyektif, danbukan pada orang lain yang hanya menjadi "pengamat" budaya atau penulis budaya.Bagi orang Mandar bergurulah pada kasus I Kauseng yang mati terhukum di paha ibunya demi kehormatan dan keadilan, sebaliknya tidak menjadi benar ketika orang mandar berguru pada sesamanya mandar tentang orang bugis, karena akan menimbulkan pemahaman negative dan apriori terhadap (ma'af) orang bugis, paande be,do, mandar pandoti-doti dan semacamnya. Singkatnya, Memahami nilai budaya dari sudut pandang pelaku budaya itu sendiri akan menjauhkan dari "bentukan" (konstruk) pemahaman keliru tentang suatu budaya, melainkan memahami budaya secara faktual dan nyata.

Kedua; Biasanya sebutan suku, budaya dansemacamnya muncul dalam konteks penghadapan antara tradisi dan modernitas,antara yang lama dan yang baru. Kesukuan dan kebudayaan dibicarakan tidak sekedar mewakili tradisi yang lama, tetapi diperbincangkan sebagai sesuatu yangniscaya dirawat, sebagai sesuatu yang hidup, bangkit dan dinamis. Memperlakukan budaya sebagai suatu yag dinamis dan terus mengispirasi pencitraan diri warganya. Perlakuan budaya seperti inilah yang akan terus mendorong setiap orang (suku) memberi penghargaan setara pada sesamanya manusia sebagai makhluk berkebudayaan dan beradab dan tidak membangun relasi kemanusiaan atas dasar"kepentingan" dan dominasi. Singkatnya,"bukan karena penghargaan setara atas sesama, sehingga kita disebut berkebudayaan, melainkan karena berkebudayaanlah sehingga kita menghargai pada sesama.

Ketiga; Mentransformasikan masa depan denganmengubah kesadaran manusia tentang masa depan. Kesadaran tentang masa depanmenurut versi budaya masing-masing, seperti tertuang dalam rumusan masa depanpencitraan diri seorang "raja" dalam nilai budaya mandar; marondong dumbongi anna matea, da'moannai dari mjnari mara'dia mua Tania tonama asayanngi lita' ..... dst. Disni terungkap impian masa depan tentang pencitraan seorang raja yang harus adil, jujur dan mengutamakan kepentingan hajat hidup orang banyak. Dan sangat berbeda dengan impian masa depan versi liberalis yang mengkonotasikannya dengan "kekuasaan".

Penutup

Damai adalah tidak takut, tidak heran, tidak terkejut, tapi cerah, anggun dan sumeleh.

Penulis adalah Pemerhati sosial
dan staf pengajar di Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) Sulbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar