Senin, 28 November 2011

Romantisme Ala Akademika

Oleh : Ilham



Pada hakikatnya, lingkungan akademik sangat berbeda dengan lingkungan masyarakat lain. jika ingin ditinjau dari tipografi kata dari akademik itu sendiri tentunya kita akan berbicara mengenai perguruan tinggi. Dimana, pelajar-pelajar yang menuntut ilmu di dalamnya sudah tidak lagi dinamai siswa atau murid, melainkan mahasiswa. Gelar sebagai mahasiswa ini tentunya memiliki nilai plus tersendiri. Salah satunya yakni diberi gelar sebagai kaum intelektual oleh kalangan masyarakat luas. Namun terkadang mahasiswa ini pun tak sadar dengan apa yang menjadi beban dengan nilai kata MAHA yang digelarnya. Sudah banyak fakta yang terjadi di depan mata kita sendiri. Begitu dominannya sikap dan prilaku mahasiswa yang sangat tidak mencerminkan nilai keiintelektualannya itu. Sikap yang dimana, Mahasiswa sudah tidak dapat dibedakan dengan sikap dan prilaku orang yang tidak pernah sekolah. Ironis bukan?

Mungkin ada beberapa alasan mengapa gelar keintelektualan yang diberikan masyarakat terhadap kita selaku mahasiswa ini. Salah satunya berawal dari pandangan hidup dan tujuan mahasiswa yang berbeda dengan orang yang bukan mahasiswa. sepakat bukan? Namun pernahakah kita menyadari, bahwa sesuatu yang membuaikan kita maka itu pula yang akan membutakan kita.
Salah satu fakta yang terjadi di ruang lingkup akademik yang dapat dijadikan sampel atas kekeliruan kita memaknai arti keintelektualan itu. Hampir semua mahasiswa yang berpacaran sudah tidak lagi menggunakan gaya pacaran ala kaum intelektual. Mengapa tidak, banyak dari mahasiswa terutama kaum perempuan atau yang lazim disebut mahasiswi ini telah keliru menanggapi arti bercinta. Sudah beberapa kejadian yang ditemukan dilapangan. Tak jarang salah satu pasangan cerita memiliki keluhan dari pengembaraan kisah romantisnya. Ada yang beranggapan bahwa pacarnya terlalu mengungkungnya. Ke mana pun harus melapor. Jika tak dizinkan, yah apa boleh buat kita sepakat-sepakat saja. Kasihannya, semua itu berimbas pada masa depan perkuliahnnya sendiri. Ada yang cuti, ada yang malas masuk kuliah, hanya karena persoalan dua kata “Sakit Hati“. Jadi pertanyaannya kemudian, apa bedanya kita dengan cara pacaran dengan anak-anak layangan di luar akademik?

Memang kekeliruan memahami cinta itu tidak sepenuhnya dapat diamini. Tapi kalau kita mau menelisik kembali tentang makna gelar kita selaku kaum intelektual, tentunya kita akan sepakat dan mensahkan pendapat itu. Andai kita ingin mencoba mengkupas satu persatu paradigma pelaku-pelaku romantisme akademik ini, tentunya kita akan banyak menemukan kekeliruan. Sebab apa yang menjadi mainstream berfikir kita sekarang mungkin terlalu terhegemoni oleh budaya-budaya import dan lokal kita sendiri.

Di suatu universitas, lazim terjadi jumlah wanita lebih dominan dibanding jumlah kaum lelaki. Pada akhirnya perempuan yang dilahirkan memang sebagai jawaban dari suatu pertanyaan seakan berlomba-lomba untuk mencari siapa yang akan membuat dirinya kelepak-kelepak. Maka berlomba-lomba pulalah mereka untuk menyodorkan kemolekan tubuh dan cantik paras yang dimilikinya. Kedengarannya mungkin sedikit lucu, tapi memang hal itu sudah lazim terjadi dari kalangan wanita-wanita perguruan tinggi. Mungkin jika kita ingin berbicara benar salahnya, kita tidak akan semerta-merta mengklaim itu salah maupun benar. Tapi pada prinsipnya, jika ditinjau dari sisi yang lain tentu semuanya itu memiliki banyak kekeliruan.

Mungkin kekeliruan mendasar yang terjadi dikalangan wanita-wanita intlek, itu pula yang terjadi pada kaum lelaki. Namun pemberian kesannya mungkin sedikit berbeda. Umumnya yang sering dipandang mata, begitu banyaknya mahasiswa yang pola fikir dalam menggait wanita itu sudah tidak dikategorikan kaum intelektual lagi. Mengapa tidak, tak jarang mahasiswa yang mengandalkan harta dan wajahnya saja untuk mencuri hati para wanita. Maka wajar-wajar saja jika ada satu kalimat mandar yang berbunyi “ Silambi’ to kasusu anna’ to parallu “. Cukup menyedihkan bukan?

Sangat diakui, mencari pasangan cerita alias pacar itu hal yang wajar-wajar saja. Sebab kita ini sadar, kita tentunya tak mau dikategorikan menjadi orang-orang yang tak sehat bukan? Tapi satu hal yang kita harus ingat sebagai kaum intelek yang hidup dalam lingkup akademik. Segala tingkah laku yang kita mesti lemparkan pada setiap orang itu harus mencerminkan kepribadian kita tentunya. Sama halnya berpacaran, kita seyogyanya menjalani suatu hubungan yang membedakan kita dengan cara berpacaran orang-orang yang bukan mahasiswa.

Sebenarnya banyak jalan yang mudah ditempuh untuk semua itu. Salah satunya mungkin dapat dimulai dari kalangan mahasiswi akademika. Jangan sekali-sekali membumikan difikiran anda untuk mencari lelaki yang hanya mengandalkan fisiklinya saja. Sebab anda pun telah mamahami bahwa ketampanan itu tidak ada yang abadi.

Coba direnungkan, jika hanya fisikli lelaki saja jadi ukuran maka sama halnya anda akan menjerumuskan diri anda untuk mencapai titik kebosanan atau kejenuhan berpacaran. Jadi, mungkin ada baiknya sebagai kaum intelektual, wanita seharusnya mencari lelaki yang mempunyai kapabiliti yang bagus. Toh, anda sendiri tentunya sepakat, tidak ada satupun wanita di dunia ini yang tak menginginkan masa depan yang dipenuhi lampu-lampu pijar penerang jalan.

Problem yang kedua tentunya dari kaum lelaki itu sendiri. Masih membuminya pola fikir yang keliru akibat kungkungan modernisme yang menjajah pengetahuan mahasiswa. Faktanya, sekarang betapa sukarnya kita membedakan mana BoyBand dan yang mana mahasiswa. Yang di mana, kita tak bisa mendengar trend-trend apa yang gaul dan marak diperbincangkan untuk kita populerkan juga. Demi kelancaran dan keberlangsungan kita untuk menggaet para wanita. Amat disayangkan, jika pemikiran-pemikiran seperti itu terjadi secara terus menerus pada diri kita selaku pelopor bangsa. Semestinya kita selaku mahasiswa yang sering berdiskusi dan mengkaji mengenai anti kemamapanan ini seyogyanya merasa resah bagaimana langkah yang harus kita tempuh agar memiliki pengetahuan dan kecerdasan yang tinggi.

Maka langkah awal kita, marilah kita mencoba menumbuhkan rasa kemauan kita untuk mengisi dan mengisi otak kita dengan pengetahuan-pengetahuan yang akan menguatkan kapabiliti kita sebagai agen of changes di muka bumi ini. lalu kapabiliti kita itulah yang dijadikan amunisi untuk merampok hati para kaum hawa di lingkungan masyarakat dan ruang lingkup akademik kita sendiri. Dan apabila budaya-budaya berpacaran seperti itu kita lakoni dengan intens, pasti semuanya akan terasa indah dan bermakna. Ingat friend, kemampuan yang hanya mengandalkan deruman knalpot kendaraan itu sudah tidak jaman lagi. Apalagi ketampanan dan kekayaan yang kita andalkan selama ini hanya bagaikan seonggok daging tempat perlindungan untuk bersembunyi di balik ketidak mampuan kita.

Kesimpulannya, mulai dari detik ini kita harus mencoba menanamkan difikiran kita bahwa kita ini mahasiswa yang lebih tinggi derajatnya dari kaum-kaum pelajar yang lain. Mahasiswa yang telah diberi gelar sebagai kaum intelektualis di dalam masyarakat. Maka cara berpacaran pun harus mencerminkan kepribadian kita sebagai kaum intelektual. Sederhananya, model berpacaran ala kaum intelektualislah.
Akhir kata, pikirkan dan renungkanlah..............!!!!!!!! Hidup Mahasiswa!

Penulis adalah Warga PMII Polman.
Saat ini menjabat sebagai mandataris
Ketua Umum Gerakan Mahasiswa Bahasa Indonesia (Gemabina)
FKIP Unasman periode 2011-2012.
Selain itu, aktif di Padepokan Sastra Mpu Tantular.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar