Senin, 28 November 2011

PMII Di Tengah Pusaran Arus Islam Ekstrem

Catatan Diskusi Malam Café Baca Asy’ariah, Selasa 22 Nopember 2011


Oleh : Muhammad Sikin

Membincang tentang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), tentunya kita takkan pernah lepas dari paham Ahlusunnah Waljamaah ( asawajah ) yang senantiasa memperjuangkan Islam berlandaskan atas Al Qur’an dan Sunnah Rasul serta mencoba memadukan khazanah lokalitas masyrakat. “PMII ditengah pusaran arus Islam ekstrem” merupakan tema yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam. Topik ini diangkat dari judul buku yang ditulis Abdul Muiz Syaerozie, salah satu aktivis PMII cabang Jogja yang saat ini sebagai peneliti Cires (Center For Interelegius Studies), Lingkar Tradisi Yogyakartadan Rumah Kitab ; Kitab Kuning Research Center.

PMII sampai saat ini masih tetap konsisten mencetak para pemikir Islam yang progresif dengan ikon pemikiran yang berkarakter tauhid, social, serta senantiasa mempertahankan eksistensi kebudayaan berbasis lokalitas. Ada dua paradigma yang senantiasa dibangun PMII dalam upayanya mencounter paham-paham transnasional yaitu paradigma “menggiring arus” dan “melawan arus”.

Konsep menggiring arus jika diuraikan dalam konteks globalisasi yakni bagaimana mencoba menerima masuknya paham baru dengan menkontekstualkan paham itu dengan kehidupan masyrakat kita. Kalau suatu paham tidak memberikan kontribusi positif untuk tujuan kemaslahatan, maka hal tersebut di upayakan agar tidak teraktualisasikan dalam pola hidup masyrakat. Sedangkan paradigma melawan arus adalah bagaimana PMII memberikan dogmatisasi perlawanan terhadap apapun bentuk paham yang bisa mengancam eksistensi negara, bangsa dan masyarakat.

Salah satu kendala yang melanda masyarakat pesantren di masa lampau yaitu adanya anggapan yang dialamatkan terhadap pesantren bahwa tumbuhnya ajaran ASWAJA dalam piraktek keagamaan di pesantern sifatnya hanya mengawan-awan. Dalam artian tidak adanya upaya membenturkan paham-paham tersebut dengan relitas masyrakat. Makanya para pemikir intelektual PMII dirasa perlu membumikan paham itu dengan menkontekstualkan pola kehidupan masyrakat kita. Bisa kita contohkan, dalam masyrakat pesantren sangat jarang di rasuki ajaran-ajaran di luar iklim pesantren. Lahirnya pemikir intelektual merupakan usaha untuk menepis asumsi yang disebutkan sebelumnya dengan tujuan agar pesantren tidak terjebak dengan paham-paham tekstual.
Perlu dijelaskan pula bahwa pola relasi yang dibangun penyebar agama Islam yang berhaluan ASWAJA semenjak masuknya ke Indonesia dengan cara memadukan ajaran agama Islam dengan pola-pola atau praktek kehidupan masyrakat. Di jawa misalnya, masyrakat pada masa itu sangat fanatik dengan “wayang<

Nah, jalan yang ditempuh adalah menggunakan instrument wayang dalam menyebarkan agama Islam. Salah satu upaya yang dilakukan yakni dengan menggelar petunjukan wayang yang diperuntukkan bagi ummat muslim dan jikalau belum menganut agama Islam tetap di luaskan masuk asalkan didahului dengan mengucapkan dua kalimat syahadat.
Begitupun di tanah Mandar, bagaimana Islam senantiasa mencoba melakukan syiar yang memakai instrument khazanah local. Salah satu cara yang ditempuh ialah “ mua tamma bando’o mangaji naupinggulilingo’o ditangnga kappung massaeayang” artinya kalau kamu ( anak ) tamat mengaji saya akan mengarak kamu mengelilingi kampung mnggunakan kuda. Inilah salah satu upaya yang dilakukan suatu masyarakat atau penyebar agama Islam masa lalu.

Di tengah gempuran globalisasi, PMII harus mampu memberikan sikap terhadap dampak semakin merengsek masuknya paham-paham transnasional ke dalam ruang masyarakat kita. Paham fundamentral atau tekstual yang dipahami oleh kelompok ini mencoba melakukan penyeragaman pemahaman dalam masyarakat kita, hingga tak jarang kita mendedngar anggapan yang mengatakan ke-arab-arab-an, kalau sampai hal ini membumi sebagai paham yang diyakini masyarakat maka akan sangat menciderai nilai-nilai keberagaman serta subtansi agama Islam itu sendiri.

Gerakan radikalisme yang dilakukan dalam melakukan penyebaran pahamnya justru tidak sejalan dengan nilai nilai ajaran islam yang mengedepankan aspek kedamaian, menghargai perbedaan, dan saling menaghormati. Tapi perlu juga kita pahami, yang menjadi kelemahan masyarakat kita saat ini yaitu terbangunnya paradigma bahwa Islam itu adalah Islam. Walaupun sesungguhnya paham yang masuk kedalam ruang masyarakat kita itu adalah sebuah konspirasi yang didesain sedemikian rapinya untuk menghabisi praktek keagamaan masyrakat cultural, seperti halnya wahda Islamiah, Wahabi dan sebagainya.

Betapa masyarakat kita terjebak pada simbolitas Islam yang hanya melihat dari materi belaka..Perlu dijabarkan bahwa Islam tektual itu menjadikan landasan kebenaran itu pada al Qur’an dan hadist, dan praktek atau pemahaman keagamaan yang tidak sesuai dengan paham mereka itu adalah sesuatu yang tidak benar. Sungguh sebuah tantangan besar bagi PMII kedepan.

Mayoritas penganut agama moderat dan penganut agama terbesar di dunia adalah Indonedia. Islam yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah islam moderat, toleran, inklusif terhadap segala perbedaan. Maka diwacanakanlah suatu paham bahwa Islam yang benar itu adalah islam yang ada di arab. Kenapa agama moderat perlu dikikis eksistensinya karena hanya akan menghambat masuknya paham tekstual fundamental yang bersenggama dengan faham liberal ala barat.
Nah bagaimana kita memberikan satu solusi yang paling konkret terkait dengan upaya kita untuk menqounter paham yang sudah mendarah daging dalam kehidupan masyrakat kita.

Pertama, memuliakan mesjid, kenapa, karena di sebagian mesjid dijadikan sebagai sasaran atau basis pergerakan dan tidak jarang dari mereka menjadi orang terpenting dalam mesjid tersebut. Salah satu fakta juga bahwa pada hakikatnya mesjid dijadikan sebagai tempat untuk membicarakan banyak persoalan ummat akan tetapi terjadi semacam disfungsi ketika orang selesai melaksanakan shalat, selanjutnya akan ditutup untuk kepentingan atau aktifitas yang lain yang menyangkut persoalan ummat. Selain itu terdapat begitu banyak terdapat tempat-tempat strategis lain yang bisa dijadikan sebagai wadah penyebar dogma ajarannya tersebut.

“Tangan terkepal dan maju kemuka “
Wallahul muwaffieq ila aqwamit thariq


Penulis adalah warga PMII Polman,
dan saat ini aktif di Café Baca Asyariah
dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus.


1 komentar: