Sabtu, 26 November 2011

Melacak Mandar di Kappung Lette, Migrasi dan Pergolakan

Teks oleh : Muhammad Arif

RABU sekitar pukul 11.30 19 Desember 2010, awal pertama saya menapakkan kaki di Lorong 09 RW 05 Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Makassar. Di sana, kening saya dikerutkan oleh pemandangan pemukiman penduduk setengah kumuh, rumah-rumah berhimpitan, jalan-jalan kecil yang hanya bisa dilalui pejalan kaki dan sepeda motor. Tak luput, coretan-coretan menghiasi tembok lorong masuk perkampungan.

Selain rumah berdempetan dan jalan sempit, mata saya juga disuguhi pemandangan gerobak para PKL (Pedagang Kaki Lima) yang terparkir pada sebidang tanah tak berpenghuni. Disekitarnya terdapat puing-puing rumah panggung seperti habis terbakar api. Dan ternyata benar anggapan saya, tanah kosong tersebut adalah sisa bangunan rumah yang beberapa bulan lalu naas dilalap si jago merah.

Tak jarang, saya juga menyaksikan dari kejauhan kerumunan ibu-ibu asyik ngerumpi dengan tetangganya sembari sesekali melayangkan tatapan dengan sorot mata yang tajam ke arah saya. Tatapan itu seolah menyiratkan tanya tentang siapa gerangan orang asing yang datang ke tempat mereka, tetapi ada pula yang terlihat acuh seolah tidak mau ambil pusing.

Menjelang sore dan magrib saat adzan di kumandangkan, saya menyaksikan warga berbondong tengah itikaf di mesjid seluas 15 x 20 m. Warga Lette menamakannya “Mesjid Darul Hijrah”. Mesjid ini terletak disudut kiri pertigaan perkampungan.

Kebanyakan dari mereka yang berdatangan itu, adalah para orang tua dan ibu-ibu. Sedang beberapa anak muda hanya terlihat duduk santai di sekitar mesjid sambil menghisap dalam rokoknya bahkan sesekali tampak memainkan kepulan asapnya.

Pemandangan seperti ini tidak jauh beda dengan situasi tanah kelahiran saya, di kampung Paropo Polewali Mandar Sulawesi Barat. Saat tiba waktu sholat, para orang tua menghentikan segala aktifitasnya guna menunaikan sholat berjamaah di mesjid, sedangkan anak muda asyik nimbrung (berkumpul) di area mesjid.

Seratus meter sebelah utara mesjid, berdiri bangunan pasar tempat warga sekitar melakukan aktifitas jual beli. Pada pagi hari, pasar akan terlihat ramai hingga menjelang siang, dan tampak lengang pada sore hari. Situasi ini berlangsung setiap harinya, dari pukul 06.00 pagi sampai 12.00 siang, pasar tersebut banyak yang menamainya pasar “ Lette”.

Menurut cerita Pak Ahmad Imran (56) warga lorong 10 RW 05, dulunya pasar itu bukanlah merupakan pasar seperti yang ada hari ini, melainkan hanya pemukiman warga. Tetapi pada saat terjadi kebakaran dahsyat yang melanda pasar di kompleks Patompo, maka para pedagang sayur dan ikan yang ada di sana mencari tempat yang layak untuk ditempati berjualan, karena tenda-tenda sebelumnya yang mereka tempati ludes terbakar.

Para pedagang ini akhirnya memilih tempat jualan di lorong 10 RW 05 sebagai tempat yang dianggapnya strategis dalam menjajakan barang dagangannya. Akhirnya, lama kelamaan banyak pembeli yang datang berkunjung dan membeli. Situasi ini berlangsung setiap hari dan seiring berjalannya waktu, akhirnya tempat itu dijadikan sebagai pasar seperti yang kita jumpai sekarang.

Sahdan, pada tahun 90-an, keberadaan pasar tersebut juga sempat menuai kontroversi dari Pemerintah Kota Makassar. Pasar Lette ini pernah ingin digusur oleh petugas Satpol PP karena dianggap mengganggu ketertiban kota. Penggusuran itu atas perintah Walikota yang saat itu masih dijabat oleh H. Amiruddin Maula. Tetapi waktu itu, warga melakukan perlawanan dengan menyiramkan cabai yang sudah dihaluskan terhadap petugas yang hendak melakukan penertiban. Mereka memilih bertahan di tempat yang mereka jadikan tempat mengais rezeki sampai titik darah penghabisan, hingga akhirnya niat penertiban pun dibatalkan.

Mengungsi akibat Pergolakan DI/TII di Tanah Mandar

Sore itu, saya juga menyempatkan waktu untuk berbincang dengan salah seorang warga lain sebut saja—Pak Razak. Menurut penuturan Pak Razak, mayoritas warga yang bermukim di Kelurahan Lette ini adalah para pendatang yang awalnya mengungsi dari daerah Mandar, seperti Majene, Polman, dan Mamuju. Mereka mengungsi lantaran terjadi pergolakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan pada kurun waktu 1950 sampai dengan 1965 yang juga merajalela di tanah Mandar. Kala itu, pertempuran sengit antara pasukan DI/TII dengan pasukan Batalion 710 pimpinan Andi Selle dari Pinrang.

Peristiwa inilah yang mengilhami terciptanya lagu Mandar “Diwattu Tallo’be’na (sesaat sebelum kebakaran itu terjadi) ciptaan Masud Abdullah yang kemudian dipopulerkan oleh A.Syaiful Sinrang yang kini almarhum. Rekaman dengan lirk memilukan tersebut, merupakan penggambaran kehidupan yang tidak pasti.

Terbakarnya sebagian daerah Mandar itu terjadi bertepatan Mandar berada dalam masa suram ketika DI/TII pimpinan Abdul Qahhar Muzakkar melakukan perlawanan terhadap pemerintah NKRI pada pertengahan tahun 50-an sampai awal tahun 60-an. (Suradi Yasil, Ensiklopedi Sejarah dan Kebudayaan Mandar edisi ke 2, 2005).

Nah, berangkat dari cerita Pak Razak yang juga asli Baruga Majene inilah kemudian yang menggugah semangat saya untuk mengetahui lebih jauh asal muasal perkampungan ini. Ditambah lagi dengan diskusi saya sebelumnya, dengan Pak Daud dan Ibu Raehang yang juga adalah tetangga Pak Razak. Menarik sebab kedua pasangan suami istri yakni Pak Daud dan Ibu Raehang tadi juga mengaku merasakan betul pahit getirnya pergolakan yang berujung terbakarnya rumah dan harta benda mereka di tanah Mandar dan terpaksa harus ia tinggalkan.

Banyak pengalaman berharga dari kunjungan saya kesana. Pertama, sejauh ini belum secarik kertas pun saya dapati baik itu melalui buku, artikel, atau jurnal yang menceritakan tentang kehidupan orang-orang Mandar yang mendiami kota Makassar itu. Kedua, sebagai orang Mandar untuk pertama kalinya saya mengetahui bahwa di sudut kota Makassar terdapat perkampungan Mandar yang rasanya tak begitu keliru jika dikategorikan berstatus menengah ke bawah. Ya, mereka yang merupakan korban peristiwa politik masa lalu yang terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya dan ber-diaspora dengan kehidupan tak menentu di kota terbesar di wilayah Indonesia timur ini. (s)

Penulis adalah Pengelola Cafe Baca Asy'ariah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar