Kamis, 24 November 2011

Central Comitee: Idealnya Lembaga Kemahasiswaan

Teks Oleh :Muhammad Arif



Pada era 80-an, pemerintah memberlakukan aturan yang dinamai Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Kordinasi Kampus (NKK/BKK). Kebijakan ini diterapkan sebagai upaya untuk mengekang daya kritis mahasiswa yang dinilai terlalu jauh melakukan campur tangan terhadap pemerintahan yang dikelola rezim saat itu.

Dengan kebijakan ini, mahasiswa kemudian disibukkan oleh kegiatan intra kampus yang serba padat sehingga tidak lagi mempunyai banyak kesempatan untuk melayangkan protes terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang jauh dari semangat keberpihakan terhadap rakyat kecil.

NKK/BKK merupakan kebijakan pemerintah untuk mengubah format organisasi kemahasiswaan dengan melarang mahasiswa turun ke jalan dan memasuki ranah politik praktis, yaitu dengan keluarnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi, dimana Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi).

Nah, dua akronim diatas seolah menjadi momok bagi aktivis Gerakan Mahasiswa tahun 1980-an. Istilah NKK /BKK tersebut mengacu pada kebijakan keras rezim Presiden Soeharto pada tahun 1978 melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk membredel serangkain aksi kritis mahasiswa.

Dewasa itu, produk NKK/BKK tersebut sangat kental di dalam kehidupan kemahasiswaan. Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF), Senat Mahasiswa Fakultas (SMF), dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), merupakan contoh dari serangkaian produk rezim otoriter tersebut, sehingga memunculkan arus pikir (mainstream) yang menghendaki revitalisasi dari sistem kelembagaan mahasiswa dan menformulasi ulang model yang lebih ideal untuk dijalankan.

Central Comite
Di negara-negara yang menerapkan paham sosialis-komunis, sentralisasi kewenangan berada sepenuhnya di tangan negara. Negara mempunyai legitimasi mutlak dalam mengurusi hajat hidup rakyatnya dalam rangka pemerataan kesejahteraan.
Nah, jika pola sosialis-komunis ini diterapkan dalam lembaga kemahasiswaan, maka implementasinya adalah legitimasi mutlak berada di tangan Dewan Mahasiswa (Dema) yang diusulkan perwakilan prodi di setiap angkatan. Setiap fakultas mengusulkan satu calon perwakilan untuk menduduki posisi di Dema.

Dari sini Dema akan memilih satu orang pelaksana tekhnis dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga perwakilan, yaitu yang biasa disebut Presiden mahasiswa. Jika sistem ini dijalankan, maka niscaya kompetisi dalam ranah intelektual diantara mahasiswa akan terasa kental. Para mahasiswa akan berlomba-lomba belajar dan terus belajar karena syarat untuk menduduki jabatan tidak semudah yang dibayangkan, karena prasyarat minimal yang harus dimiliki adalah Coca Cola (Competent/kompetensi, Capacity/kapasitas, Communication/komunikasi, dan Landscape/wawasan).

Diperlukan kapasitas mumpuni baik itu dari segi pengetahuan maupun kepemimpinan, karena setiap prodi ini akan membentuk kelompok diskusi yang bertugas menyeleksi siapa saja yang pantas untuk dicalonkan. Bukan lagi kandidat yang mencari konstituen melainkan justru sebaliknya para konstituen yang mencari calon/kandidat.

Idealkah di Unasman ?
Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) sebagai lembaga pendidikan terbesar di Sulawesi barat dalam perjalanannya sedang menata pondasi kokoh guna mengarungi kompetisi yang begitu sengit di tahun-tahun mendatang.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar) di Majene dan Universitas Tomakaka (Unika) Mamuju merupakan fakta empirik bahwa aroma kompetisi antar perguruan tinggi di Sulawesi Barat kedepan akan semakin tajam. Ini disebabkan karena beberapa perguruan tinggi ini akan berusaha menarik simpati masyarakat Sulbar agar dilirik.

Dalam kondisi demikian, diharapkan kapasitas (capacity) mahasiswa Unasman sebagai pioneer dalam menjawab tantangan tersebut. Disinilah peran lembaga kemahasiswaan sebagai wadah aktualisasi dalam menciptakan atmosfer kreatif dalam ranah akademik yang beragam sehingga kampus akan semakin hidup dan berkembang.
Dengan mengambil acuan dari paradigma central comitee diatas, hal positif yang dilahirkan adalah kampus akan semakin hidup dengan ramainya kelompok-kelompok diskusi (small group) ,karena mengingat yang berhak mengusulkan para kandidat untuk mengisi posisi di Dewan Mahasiswa (Dema) adalah small group ini.

Kehadiran kelompok diskusi semisal Komunitas Diskusi Peco-peco Kampus, Padepokan Sastra Mpu Tantular, dan Cafe Baca Asyariah, ,ada juga kabar yang sempat terdengar di telinga penulis bahwa ada lagi kelompok diskusi baru yang muncul yaitu Serambi Cendikia yang fokus kajiannya membahas tentang isu-isu tentang agama yang berkembang saat ini di Indonesia dan terkhusus lagi di Sulawesi Barat.

Kelompok-kelompok inilah yang diharapkan menjadi bagian penting dalam melahirkan mahasiswa-mahasiswa intelektual nantinya di Unasman. Harapan besar setidaknya akan mempengaruhi mahasiswa yang lain untuk membentuk kelompok serupa. Para mahasiswa tidak akan terjebak lagi dalam ranah konflik karena memperebutkan posisi jabatan di BEM, HMJ dan UKM.

Seiring berjalannya waktu, ketika ini menjamur maka tidak menutup kemungkinan paradigma central comite ini akan bisa diterapkan di Unasman. Jika selama ini pola yang digunakan adalah pola formal pemilihan seperti yang diterapkan pada perhelatan pemilukada dan pemilu, ini berangsur akan bisa berubah. Dengan semakin banyaknya kelompok diskusi bermunculan, iklim diskusi di internal kampus akan berjalan sehingga menambah khazanah keintelektualan dalam upaya menjadikan Unasman sebagai pusat peradaban di Sulbar, semoga !!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar