Rabu, 23 November 2011

Ketika “ Sandeq” Dicabut Dari Habitatnya

OLEH : MUHAMMAD ARIF


Desa Pambusuang bagi para pemandu wisata di Sulawesi Barat bukan daerah yang asing. Di Sulawesi Barat, Pambusuang bahkan menjadi laboratorium alam bagi para peneliti khususnya yang tertarik dengan dunia bahari. Disamping masyarakatnya yang terkenal agamis karena tempat lahinya para ulama terkemuka, di daerah ini juga lahir sebuah maha karya yang estetik dan mengandung muatan filosofis begitu dalam yaitu Sandeq.

Perahu bercadik yang terkenal karena kecepatannya ini mampu mengarungi lautan selama berbulan-bulan, sehingga mengundang minat para wisatawan lokal dan asing untuk datang berkunjung ketika ajang Sandeq Race digelar. Tidak sedikit dari mereka (baca:wisatawan) yang karena keingintahuannya yang menggebu rela tinggal beberapa bulan di Pambusuang untuk melacak bagaimana proses pembuatan Sandeq. Bahkan, beberapa waktu lalu penulis mendapati seorang mahasiswa asal Jepang tengah melakukan riset disana.

Maka tidak mengherankan, keunikan dari perahu ini mengundang intervensi dari pemerintah daerah. Bahkan, dalam upaya menaikkan citra daerah ini (Mandar-Sulbar) sikap pemerintah pro aktif dalam menentukan keberadaan Sandeq. Tapi sayangnya, kepedulian pemerintah terhadap sandeq hanya sebatas kepentingan pariwisata dan cenderung hanya menguntungkan segelintir kelompok saja.

Yang lebih ironi, sebagian besar masyarakat Pambusuang tidak pernah paham dan risau tentang apa sebenarnya yang menimpa Sandeq hari ini. Hingga dalam ketidaktahuannya, tetap mendukung segala bentuk kapitalisasi Sandeq yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan pihak luar yang menggunakan Sandeq sebagai objek jualan yang laris manis di pameran mancanegara.

Perpaduan Nilai antara Agama dan Budaya

Terjadi pergeseran fungsi pada Sandeq tak lebih dikarenakan kurangnya pemahaman oleh generasi sekarang tentang apa itu makna filosofis Sandeq. Dahulu kala, pada masa kejayaan kerajaan Balanipa, penamaan awalnya bukan Sandeq melainkan Pakur yang berukuran lebih besar dan inilah yang digunakan oleh para nelayan di Mandar untuk menafkahi keluarganya. Tetapi hanya sebatas mencari ikan di wilayah perairan yang tidak terlalu jauh dari bibir pantai, karena layarnya masih sangat sederhana.


Menurut pengakuan para pelaku sejarah, seperti yang dikemukakan oleh Kambasong alias Papa Agus. Setelah kedatangan para pelaut dari pulau Salemo Pangkep ke daerah pambusuang. Kala itu, Para nelayan di Pambusuang di Mandar tertarik dengan model sombal (layar) “Toposel” yang digunakan oleh pelaut Salemo, kemudian salah seorang nelayan pambusuang yang akrab disapa Kama Eko mencoba merancang layar serupa maka jadilah perahu Sandeq seperti yang kita saksikan sekarang.

Sandeq adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan mereka (baca:nelayan), perahu ini disimbolkan sebagai bentuk tubuh manusia yang mempunyai kepala kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya sehingga diidentikkan dengan manifestasi sang khalik. Sandeq diyakini selain sebagai alat mencari nafkah juga dijadikan sebagai sarana pengenalan diri melalui renungan yang dalam, dan juga sebagai bentuk peribadatan yang di ajarkan Nabi Muhammad SAW.

Bahkan keyakinan para nelayan jika tidak menggunakan Sandeq dalam mencari ikan penghasilannya tidak akan seberapa, dan walaupun ada itu tidak bertahan lama atau bisa dikatakan tidak berberkah. Hal inilah yang mendasari pada zaman dulu Sandeq menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kelangsungan hidup masyarakat pesisir di tanah Mandar.

Jika diteropong lebih dalam, muatan filosofi yang tergambar dalam perahu Sandeq mengandung makna religi yang begitu haqiqi dan menyentuh aspek metafisik yang tidak dapat dicerna oleh akal (rasio) jika tanpa melalui renungan yang panjang.

Seperti pada tiang (Pallayarang) di ibaratkan huruf Alif yang tegak lurus, sebagai simbol kesatuan keyakinan dan harapan. Menurut keyakinan kebanyakan masyarakat nelayan Mandar, huruf “Alif” adalah dasar kesatuan hamba dengan Khaliqnya dalam bentuk peribadatan apapun, sehingga ada bahasa yang sangat populer dikalangan masyarakat nelayan pesisir “Alefu’ Tang Makkejori’ yang berarti ” Alif Yang Tak Tertulis”. Empat tali penyangga tiang disimbolkan sebagai empat sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Bakar Assidiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, serta Ali Bin Abu Thalib. Hal ini dikiyaskan ketika mengembalikan posisi “Hajar Aswad” pada tempatnya di Ka’bah.

Dibagian paling ujung yang biasa di istilahkan Paccong ini digambarkan sebagai Nabi Nuh AS, seperti yang tertera dalam Alquran bahwa Nabi Nuh lah yang pertama kali membuat perahu dimuka bumi ini. Sedangkan Tubal atau lubang tempat tiang agung dipancangkan menurut pendapat para nelayan dan ulama Pambusuang (tidak ingin disebut namanya) adalah simbol kebesaran N abi Yunus AS, yang karena mukjizat dari Allah SWT tidak meninggal dalam perut ikan selama berpuluh-puluh tahun.

Dibagian Posi’ atau pusar, yang secara mistik merupakan bagian paling penting pada perahu adalah simbol nabi besar Muhammad SAW. Sedangkan pada guling (kemudi) itu adalah penggambaran Tuhan (Allah SWT) sebagai zat yang menggerakkan manusia.

Secara mistik, yang tak kalah menarik dari Sandeq itu sendiri adalah proses ritual (upacara) yang dijalani pada saat pengambilan kayu bahan untuk membuat perahu. Kemudian sampai pada saat akan diturunkan kelaut. Semua orang yang ikut dalam pengambilan kayu diharuskan mengambil daun yang berguguran dibawah pohon kayu yang akan ditebang. Dedaunan tersebut digosokkan ke badan mereka, ini sebagai pertanda bahwa bagaimana perkenalan awal dengan pohon yang akan ditebang. Setelah itu menggali tanah sedalam telunjuk sebagai simbol penyatuan rasa tubuh dengan tanah.

Lebih lanjut, manakala saat diturunkan kelaut selain membaca doa yang diyakini, para nelayan menyiapkan beberapa makanan sebagai bentuk sedekah, seperti sokkol (lemper) yang terbuat dari tiga jenis beras ketan yaitu merah, putih dan hitam. Tujuh butir telur ayam kampung, serta pisang tiga sisir yang juga terdiri dari tiga jenis yaitu pisang Ambon, pisang balambang (bentuknya sedikit ramping dan lonjong), dan pisang manurung (bentuk dan ukurannya lebih besar). Ini pertanda bahwa Sandeq sebagi sarana kebutuhan hidup nelayan tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang berbau mistik (irrasional).

Ditinjau dari ajaran agama yang diajarkan oleh Nabi bahwa dalam setiap kali akan memulai aktivitas yang erat hubungannya dengan masalah sarana dan prasarana kehidupan, sebaiknya dimulai dengan kebersihan jiwa berupa doa dan kesungguhan jiwa dengan memberikan yang terbaik kepada orang lain. Berarti ritual yang dilaksanakan diatas bukanlah suatu bentuk kemusyrikan.

Lebih jauh lagi, keterangan yang sempat didapat oleh penulis dari para informan bahwa para nelayan pun harus mengetahui secara detail nama laut, dan siapa penjaga laut sebagai bentuk penghargaan kepada mahluk Tuhan yang tak terlihat oleh mata zahir. Disamping itu, hal yang menggelikan yakni penggunaan kalimat porno oleh para nelayan ketika melaut karena diyakini ikan-ikan akan terangsang jika menggunakan kalimat-kalimat tersebut.

Dari kesemuanya ini menandakan bahwa Sandeq sebagi sarana kebutuhan hidup nelayan tidak bisa dilepaskan dari hal-hal yang berbau mistik dan irrasional. Hal ini merupakan gambaran perpaduan antara nilai budaya dan nilai religi yang tak bisa dipisahkan begitu saja.

Kapitalisasi Sandeq
Sekelumit kekultusan Sandeq ini perlahan hilang semenjak masyarakat nelayan mulai mengenal kapal mesin (katinting), banyak nelayan yang mulai meninggalkan Sandeq. Selain itu, Pergeseran pemaknaan Sandeq dari sarana vital kehidupan nelayan beralih fungsi menjadi komoditi pariwisata saat Sandeq mulai dikenal oleh dunia luar, terutama lagi sejak diperlombakan dalam ajang Sandeq Race.

Betapa tidak, perahu yang mengandung muatan mistik begitu tinggi ini dipaksa untuk keluar dari habitat aslinya demi kepentingan para kelompok elit yang menjadikannya sebagai proyek komersialisasi yang mendatangkan banyak keuntungan dengan digelarnya event ini.

Dan sesuai informasi yang didapat penulis Sandeq pun akan diperlombakan pada Pameran Budaya yang rencananya akan digelar di Prancis tahun 2012 mendatang, pertanyaanya kemudian sampai sejauh manakah kontribusi bagi para nelayan di Sulawesi Barat, terkhusus lagi nelayan yang berada di Pambusuang sebagai tempat (habitat) asli Sandeq ?

Yang lebih ironis lagi, pada saat ajang Sandeq Race digelar, justru pihak terkait yang nota bene bukan masyarakat pribumi mempunyai andil dalam menentukan siapa yang berhak menjadi panitia. Sehingga, terkadang banyak masyarakat setempat kecewa karena keinginan untuk turut serta menjadi panitia pelaksana terbatasi ruang geraknya. Sungguh sangat memilukan hasil karya dari nenek moyang mereka malah di intervensi dan diatur oleh pihak luar .

Dengan semua keresahan diatas, penulis tidak bermaksud untuk menapikan peran pemerintah dan pihak terkait yang telah memperkenalkan Sandeq ke dunia mancanegara. Tetapi yang terpenting adalah bagaimana suatu produk kebudayaan seperti Sandeq ini bisa dilestarikan tanpa mengurangi aspek-aspek filosofis yang terkandung di dalamnya.

Fenomena Sandeq yang tereklusi dari habitatnya ini merupakan gambaran konkret betapa kurangnya perhatian pemerintah dalam upaya melestarikan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh bangsa. Cara pandang negara yang hanya melihat kebudayaan dari aspek keindahan telah membentuk pola fikir yang dangkal dengan menjadikan produk kebudayaan sebagai asset yang berharga. Akibatnya, produk kebudayaan hanya akan menjadi barang komoditas untuk meraup keuntungan demi untuk mengisi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sandeq memang pantas untuk dijadikan Ikon Sulawesi Barat. Bukan tanpa alasan, Sandeq yang telah diperlombakan beberapa tahun yang lalu (sepengetahuan penulis mulai ramai sekitar tahun 2006) dalam ajang “Sandeq Race” ini menjadi salah satu asset pemerintah yang paling berharga. Sandeq yang tadinya sarat akan makna-makna filosofis, saat ini sudah jauh mengalami pergeseran makna kearah proyek komersialisasi. Ironisnya lagi, keuntungan yang diperoleh dari hasil karya pelaut Mandar ini (baca: Sandeq), justru dinikmati oleh kalangan elit yang sama sekali tidak memahami arti dari Sandeq itu sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) ,
Universitas Al-Asyariah Mandar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar