Rabu, 23 November 2011

“ SBI “ adalah Diskriminasi Pendidikan

Oleh : Muhammad Sikin


Perputaran era globalisasi menyebabkan ketertinggalan di berbagai bidang sebagai dampak ketidaksiapan kualitas sumber daya manusia ( SDM ) berdampingan dengan berbagai macam pola hidup modern. Jika dibandingkan negara-negara tetangga yang sudah sangat maju diberbagai bidang kehidupan. Persoalan seperti ini menjadi batu loncatan bagi pemerintah memacu diri untuk melakukan berbagai macam pembenahan di sektor infrastruktur maupun suprastruktur. Salah satu sektor sasaran pengembangan itu adalah dunia pendidikan yang dikuatkan di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. “

Dalam pengejewantahannya, Sekolah Berstandar Internasional (selanjutnya disingkat SBI) membuka peluang besar bagi peserta didik yang dianggap layak mendiami dengan melakukan penyeseleksian secara ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus nantinya. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia. Karena dianggap sebagai bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT/Information and Communication Technology).

Karenanya, siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet selain itu harus pula ditunjang tenaga pengajar yang menguasai ba hasa inggris. Jika kita tinjau proses pembelajaran yang demikian maka bisa tarik satu pengertian sebagai satuan pendidikan yang berkiblat kepada system pembelajaran modern (Satria Dharma, sekolah bertaraf internasional : quo vadiz? 2007)

SBI menjadi salah satu program yang sangat menakjubkan bagi dunia pendidikan Indonesia, selain sebagai bentuk kemajuan dunia pendidikan kita dalam usahanya mewujudkan dan mengembangkan sumber daya manusia dengan disertai harapan mampu bertarung bukan hanya diukur dari kapasitasnya memberikan idea tau gagasan tetapi juga keterampilan dalam hal penguasaan terhadap berbagai macam prodak tekhnology modern.

Namun banyak hal yang perlu kita kaji secara bersama. Apakah eksistensi atau keberadaan sekolah semacam ini menjalankan proses pendidikan merata di semua aspek kehidupan masyrakat kita ataukah justru menutup ruang bagi kelas bawah atau kaum-kaum lemah untuk menikmati fasilitas yang telah dipersiapkan oleh sekolah yang bersangkutan?

Subtansi Pendidikan
Hakikat pendidikan sesungguhnya adalah bagaimana membangun suatu karakter individu serta anak bangsa yang berilmu pengetahuan menuju proses pendewasaan cara berfikir, bersikap dan hakikat yang paling mendasar ialah menjadikan manusia sebagai manusia
Pengertian tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan manusia, kapan dan dimana saja, sifanya itu membangun satu individu atau kelompok tanpa melalui lembaga tertentu. Konsep itu sering kita dapati salah satunya dalam kehidupan keluarga, hal ini merupakan salah satu dari sekian banyak contoh proses pendidikan sebagai wadah yang banyak memberikan dampak terhadap terjadinya proses mendidik serta membangun karakrter keindividualan yang ditujukan untuk kepentingan bersama dalam kehidupan masyrakat.
Jika kita hadapkan wajah kita pada kenyataan, hari ini proses-proses itu telah dikonstruk sedemikian rupa hingga menghasilkan satu defenisi dan kegiatan yang diformalkan pada lembaga tertentu sebagai jalan untuk mendapat pengakuan terhadap proses yang kita lakukan. Sehingga proses yang tidak melalui jalur formal yang telah ditetapkan oleh pihak penentu kebijakan dianggapnya sesuatu yang tabu atau tidak benar.

Diskriminasi Pendidikan

Dalam batang tubuh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Pasal 4 tentang prinsip pelaksanaan pendidikan dengan lantang menjelaskan kepada kita bahwasanya Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Berangkat dari pengertian subtansial pendidikan, sekolah sebagai wadah pengimplementasiannya, haruslah menjadi sebuah mesin yang mencetak alumni yang memiliki karakter pengetahuan yang humanis. Akhir-akhir ini, abstraksi nilai-nilai pendidikan baik secara subtansial ataupun nilai yang termaktub dalam undang-undang, sangatlah tidak relevan dengan proses pelaksanaannya dilapangan. Jika kita coba kaji model pendidikan dengan kebijakan bertaraf internasional, modelnya merupakan satu gambaran penindasan baru dalam dunia pendidikan terhadap masyarakat kita. Indicatornya adalah kesempatan untuk menikmati proses pembelajaran dalam model sekolah seperti itu hanyalah milik anak-anak kaum-kaum menengah keatas. Tingginya pembiayaan yang dikenakan membuat sekolah seperti ini adalah bukan milik anak-anak dari kalangan bawah dan keberadaannya menjadi sangat ekslusif dan hanya akan melahirkan gerbang yang menutup kesempatan belajar di kalangan masyarakat.

Ketetapan kebijakan pendidikan menggunakan model SBI pada instansi sekolah tertentu yang ada di tiap daerah. Hal semacam ini merupakan satu potret buram tentang adanya diskriminasi terhadap warga Negara. Undang-Undang Sebagai landasan bagi Negara untuk melakukan atau menjalankan kebijakan khususnya pelaksanaan program pendidikan yang merata bagi seluruh masyrakat bangsa, berkeadilan dan tidak diskriminatif bukannya menjalankan satu kebijakan yang justru mencederai dan membunuh hak-hak warga Negara.

Pandangan foucalt mengatakan munculnya sekolah unggulan, SBI atau semacamnya dengan berbagai macam fasillitas yang mewah dan sangat mahal adalah satu jalan yang diperuntukkan untuk kalangan menengah keatas. Sekolah semacam ini adalah produk kapitalis untuk mencetak alumni-alumni yang nantinya akan melakukan penguasaan dan penindasan terhadap kaum-kaum-lemah(Saprillah Syahril, Pendidikan Pembebasan 2004)

Sekedar memberikan refleksi tentang pola kehidupan masyarakat di masa lampau Dimana, jika seorang atau kelompok dalam system social masyrakat tertentu mampu menguasai infrastruktur misalkan saja penegetahuan, alat-alat produksi, tanah, serta alat-alat yang digunakan oleh masyarakat dalam melangsungkan kegiatan ekonominya maka dirinya atau kelompok tersebut akan berdampak terhadap dominasi yang dilakukan terhadap suprastruktur. Pada masa itu, orang atau kelompok yang biasa menguasai hal tersebut adalah kaum orang atau kaum yang memiliki basisi pengetahuan, aristocrat atau kaum borjouis(tuan tanah) dan pada saat itu kaum yang lemah tak punya pilihan selain menjadi buruh.

Pertanyaan yang lahir kemudian, apakah model-model penguasaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya tidak menerapkan pola yang dengan model pendidikan SBI yang hanya didasari atau sangat jelas diorientasikan atau diperuntukkan bagi kalangan elit atau menengah keatas dan apakah cetakan dari SBI tersebut dengan bekal penguasaan terhadap infrastruktur yang lebih dominan tidak akan menjadi penguasa dan penindas baru terhadap masyarakat kita ?

Sebagai landasan filosofis untuk membangun sebuah bangsa yang berakhlak dan bermoral serta sebagai rambu-rambu yang mengatur jalannya kebijakan demi kepentingan kesejahteraan dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Undang-undang tentang pelaksanaan program pendidikan harusnya dijalankan secara merata bagi seluruh lapisan masyrakat yang berkeadilan dan tidak diskriminatif bukannya menjalankan satu kebijakan yang melenceng dari jalur cita-cita tujuan pendidikan nasional. Maka dari itu, penentu kebijakan diharapkan mampu merumuskan satu program pendidikan yang dapat diakses oleh seluruh elemen masyarakat.
Terealisasikannya hal tersebut adalah sebuah harapan besar yang kita impikan bersama, maka dari itu solusi yang bijak yang sifatnya subjektif diharapkan lahir sebagai bentuk keprihatinan kita terhadap majunya dunia pendidikan.


Penulis adalah Mahasiswa pada Jurusan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Al- Asyariah Mandar, Sulbar. Berkecimpung dalam Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Polewali Mandar. Saat ini aktif di Café Baca Asy’ariah dan Padepokan Sastra Mpu Tantular, Sulbar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar