Selasa, 22 November 2011

“Menggugat Nasionalisme di tengah Moralitas Bangsa yang Rapuh”

Teks Oleh : Muhammad Arif & Munawir Arifin


Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mengakoe Berbangsa Jang Satoe, Bangsa Indonesia
Kami Poetera dan Poeteri Indonesia,
Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.


… Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928.


Sejarah pergerakan nasional tahun 1928 adalah momentum bagi seluruh pemuda di nusantara untuk menyatukan tekad dalam satu semangat dan spririt nasionalisme yang kita kenal sebagai Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2011. Spirit dan ikrar yang dikobarkan oleh para kaum muda mulai dari Jong Java, Jong Papua, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten dan kaum muda lainnya menjadi momentum perjuangan pergerakan selanjutnya sampai dengan masa proklamasi kemerdekaan tahun 1945 yang dicetuskan oleh sang proklamator Soekarno -Hatta.

Fakta tentang keberadaan sumpah pemuda sebagai sebuah spirit perjuangan oleh para kaum muda pada masa lalu memberi gambaran betapa penindasan, penghisapan, serta penghilangan hak kemerdekaan yang dilakukan oleh suatu bangsa terhadap bangsa lainnya menjadi harga mati dan keharusan bagi anak bangsa untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan di tanah negeri ini (baca;soempah pemoeda).

Sumpah Pemuda yang diyakini sebagai ikrar sakral dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa, sejatinya menjadi renungan mendalam bagi pemuda sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan. Intinya bagaimana pemaknaan hari sumpah pemuda tersebut agar tidak hanya sebagai romantisme tahunan yang tabu dan terkesan tidak bermakna apa-apa.
Sejenak meminjam ungkapan Yudi Latif dalam tulisannya yang berjudul “Hidupkan Api Sumpah Pemuda” bahwa Sumpah Pemuda merupakan komitmen untuk secara sungguh-sungguh dalam memperjuangkan gagasan demi kebaikan hidup kebangsaan (Kompas, Jumat (28/10)).

Peristiwa bersejarah 73 tahun silam tersebut hendaknya menjadi momentum bagi seluruh elemen pemuda agar bergerak secara simultan dengan memunculkan ide dan gagasan baru yang kemudian mampu menjadi perekat kesatuan dan keutuhan bangsa yang multikultural. Karena problem akut bangsa saat ini yaitu mengalami kerapuhan moralitas akibat persenggamaan dengan ideologi asing (baca; liberal).

Fakta yang bisa dicermati, kerapuhan moralitas bangsa itu terlihat dari sejumlah peristiwa memprihatinkan yang melanda bangsa ini, seperti tingginya angka kriminalitas, menjamurnya skandal korupsi, ancaman dis-integrasi bangsa seperti Gerakan Papua Merdeka, kasus kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di beberapa tempat dengan menggunakan instrument agama sebagai alat kekerasan yang absah.

Selain itu, ada juga pembajakan kekayaan tradisi masyarakat lokal melalui proyek komersialisasi kebudayaan seperti yang menimpa perahu tradisional Mandar “Sandeq” karena mencoba dicabut dari habitat aslinya dengan cara menghilangkan aspek filosofinya. Ada juga ancaman baru di bidang pendidikan dengan diusulkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) yang melegalkan pendirian perguruan tinggi asing untuk bergeliat di Indonesia. Hal ini menjadi kekahwatiran tersendiri karena akan terjadi “liberalisasi pendidikan” gaya baru pasca dibatalkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Disamping sekelumit fakta sosiologis lain yang semakin hari mewarnai dinamika perkembangan zaman di negeri yang karut marut ini.

Realitas ini menunjukkan bahwa semangat nasionalisme yang berelaborasi dengan kebijakan politik etis Belanda seperti terulang kembali pada tahun 1908 dimana pengaruh pemikiran kolonial sangat kental mewarnai hiruk pikuk perkembangan masyarakat dan pemuda pada masa itu.

Padahal, jika kita konsisten untuk tetap berpijak pada landasan dasar Ideologi bangsa yaitu “Pancasila” yang kemudian terjabarkan dalam spirit sila ke tiga “Persatuan Indonesia” dan sila ke lima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, peristiwa diatas tak akan pernah termanifestasikan atau menyeruak ke permukaan.

Untuk itulah KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) pernah mencoba meramu konsep Pluralisme sebagai perekat ampuh untuk menciptakan harmonisasi ke-multikulturan itu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terancam mengalami perpecahan (dis-integrasi) pasca runtuhnya dinasti otoriter-represif Soeharto yang kemudian beralih ke tangan BJ. Habibie.

Dengan pemikiran kebangsaan yang digagasnya, meliputi hubungan agama dan negara, demokratisasi, pluralisme, serta pribumisasi merupakan instrument pemersatu bangsa.

Gagasan besar Gusdur tentang pluralisme inilah kemudian menjadi pemikiran yang diharapkan memberikan solusi konkret terkait permasalahan yang melanda bangsa Indonesia hari ini baik yang sudah terjadi maupun yang sedang menggejala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar