Sabtu, 26 November 2011

Demokrasi Bukan Suatu Keadaan, Refleksi Pilbup Majene dan Indonesia


Oleh : M. Ma’ruf Muchtar

Demokrasi Adalah Suatu Keadaan Masyarakat
(Alexis de Tocquiville)

Saya memulai tulisan ini dengan satu adagium pemikir demokrasi modern Amerika Serikat (AS) yang terkenal; de Tocquiville yang menulis Demokrasi Amerika pada abad ke 19. Ini tentu tak berlebihan sebab masyarakat Majene sebentar lagi akan kembali malalui PILKADA secara langsung untuk memilih sekaligus mengangkat Pemimpin Daerahnya untuk yang kedua kalinya; suatu tahap seleksi evolusi sosial untuk mencari “Sang Manusia Setengah Dewa” (pen. Pemimpin masa depan ) untuk Majene, atau sekedar uforia pelaksanaan prosedur demokrasi modern untuk mengembalikan Majene pada tampuk kekuasaan para aristokrat, oligarkian dan juga para birokrat daerah yang kita tahu bersama sangat “jauh” dari masyarakatnya ( the society) atau rakyatnya (the people).

Baiklah, marilah kita mencermati keadaan Majene yang kurang lebih pada bulan Mei nanti akan melaksanakan Prosedur Demokrasi. Mungkin banyak yang tidak puas dengan proses kepemimpinan Daerah saat ini yaitu duel Kalma Katta dan Itol Syaiful Tonra, dengan berbagai komentar miring yang saat ini mungkin bisa dianggap sebagai isu black champain. Namun tentu banyak juga yang puas dan menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Kalma Katta sudah cukup baik dan visible, tentu juga dengan berbagai komentar yang lebih banyak bersifat memuji dan apologetik. Akan tetapi, demokrasi tentu tidak sesederhana itu; keberhasilan demokrasi dalam satu daerah dan sebuah bangsa akan sangat muskil jika diukur lewat term opposition binner (puas/tidak puas-berhasil/gagal) semata.

Yang paling penting dilihat adalah bagaimana cara masyarakat Majene menilai kesuksesan dan kegagalan pemimpin yang dipilihnya sendiri dan bagaimana paradigma mereka dalam menentukan pilihan dalam aspirasi politiknya. Kegagalan Kalma-Itol bagi satu pihak saat ini hanya akan diukur karena mungkin saja, jalan disekitar kampungnya tidak diaspal atau bolong-bolong, atau jatah proyek fisik yang kurang atau tidak ada sama sekali bagi para kontraktor, dana pengajuan proposal yang tidak sesuai harapan, mutasi jabatan yang mengorbankan pegawai rendahan, jatah PNS yang tak kunjung datang dan lain sebagainya. Bagi yang puas dengan Kalma-Itol tentu akan berpikir sebaliknya.

Apabila alasan ini yang menjadi dasar untuk mengukur kesuksesan dan kegagalan demokrasi, maka masyarakat Majene dan pemimpinnya tentu salah kaparah dalam menilai demokrasi. Sebab tanpa demokrasi pun jalan, proyek, pencairan proposal dan sebagainya juga bisa didapatkan oleh rakyat. Cobalah kita tengok negara seperti Malaysia, Brunai Darussalam, Thailand, dan Jepang yang masih berbentuk aristokrat (monarki) dan tidak begitu demokratis seperti Indonesia ternyata mampu membangun bangsanya dan keluar dari Krisis sosial dan kebudayaan dibanding Indonesia yang demokrasinya dianggap nomor satu. Atau lihatlah negara-negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Suriah, Arab Saudi yang notabene dipimpin oleh rezim diktator, mampu membangun gedung-gedung indah dan jalan-jalan kota yang kuat bak kota surga bagi rakyatnya; yang lagi-lagi tak demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya. Bahkan negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda dan Austria cikal-bakal lahirnya pradaban modernd_ sampai hari ini negara mereka masih berbentuk Kerajaan (aristokrat) yang sama sekali tak mencerminkan keberhasilan demokrasi modern, namun orang tak akan menutup mata atas pengaruh ketiga Negara besar itu di Dunia sampai saat ini, dan sekali lagi ketiga negara itu, tak begitu demokratis seperti Indonesia dan Majene-nya.

Deskripsi diatas janganlah membuat kita berkecil hati; sebab masyarakat Majene tidak sedang mengalami itu. Lebih jauh, masyarakat Majene justru sedang meangalami shouck Culture akibat sistem demokrasi pancasila ala Indonesia yang salah kaparah. Masyarakat Majene cukup mengetahui dan mahami demokrasi dari poster-poster, baliho dan benner yang menampilkan gambar para CABUP dan CAWABUP yang berpenampilan elegan dan dengan senyum yang dibuat-buat; yang akan bertarung dalam Pilkada. Kedua, demokrasi bagi mereka hanyalah sekedar nyoblos di TPS yang ditunjukkan oleh para Team Sukses, ketiga, demokrasi adalah partai-partai yang mengorganisir mereka dimana simbol-simbol dan jargonnya tak pernah mereka pahami, keempat, demokras adalah ikatan primordial karena calon yang maju ada ikatan darah dan keturunan (calon yang maju itu keluargaku ces..! pilih ki na..!) kelima dan yang paling parah, demokrasi adalah berapa duit dan lebih tinggi nilai duit engkau beri maka pilihanku jatuh ke Anda. Di Indonesia dan Majene-nya masyarakat hanya merasakan demokrasi melalui uang yang bersumber dari proses moneyy politic, satu-satunya senjata ampuh bagi para calon untuk memenangkan Pilkada, sekali lagi aturan dibuat untuk selalu dilanggar.

Sejenak Membaca Demokrasi

Marilah sejenak kita berbicara tentang makhluk ini (demokrasi.pen). Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang(wikipedia). Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM (Rosseau, 87.124)

Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan. Dalam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia dengan ciri-ciri pemerintahan; seperti adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik, baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan), kedua; adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang, ketiga; adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara, dan keempat; adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

Demokrasi Yunani dikenal sebagai demokrasi Kaum Elite yang jauh dari konstitusi rakyat seperti yang kita tahu di zaman modernd, sehingga demokrasi Yunani bersifat medioker dan anarkis, Itulah alasanya mengapa Plato sangat membenci demokrasi saat itu, karena bagi Plato demokrasi hanya akan mengacaukan sistem pemerintahan, sehingga Plato lebih memilih bentuk pemerintahan diktator ala Sparta (negara tetangga Athena) yang prinsip pemerintahannya dibangun dalam bentuk militer, dan Plato selalu membuktikan kecerdasannya, Athena runtuh akibat persaingan politik para elitenya, sementara Sparta sukses mempertahankan Negaranya dari serangan Raja Xexers Persia yang terkenal; meski pada akhirnya Alexander The Great dari Macedonia mampu menaklukkan Sparta lewat aksi keroyokan.

Demokrasi Yunani hilang ditelan zaman, dan Eropa dalam cengkraman Imperium Romawi mengalami zaman kegelapan pengetahuan selama 1000 tahun sampai akhirnya pada akhir abad ke 15 M menjelang abad ke 16 M (Amstrong: 2001.120), datanglah zaman Renecine (pencerahan) di Eropa yang melahirkan pemikir demokrasi Modernd sepert Jone Locke dan Thomas Hobbes dan David Hume J. Jasque Rosseau, (Russel:1999-57) pada abad ke 18 M yang kemudian melahirkan gagasan social contract (kontrak sosial) dimana demokrasi sebuah bangsa sepenuhnya berpijak pada konstitusi yang disepakati oleh rakyat yang bebas dari penindasan para elite dan kelompok tertentu.

Apapun bentuknya, demokrasi di Eropa tak pernah seindah yang kita bayangkan. Sejak bangkitnya zaman renecine (modernd) pada abad ke 17 M yang mencapai puncaknya pada aba ke 20 M, The Blue Land (julukan benua Eropa) tak pernah berhenti diwarnai oleh perang dan pertumpahan darah. Sampai akhirnya, orang tak pernah memprediksi sebelumnya_bahwa sebuah bangsa disebelah barat Eropa; berada diseberang Samudera Atlantik, tempat para imigran Eropa kulit putih (mayoritas Anglo Sakson mantan begal dan patologi social), tepat disebelah utara bagian tengah benua Amerika, demokrasi menjadi sistem yang begitu mapan dan modern sampai akhirnya mampu mempengaruhi seluruh dunia hingga hari ini.

Yah, semua orang terkejut, justru di negeri para imigran Eropa itulah (Amerika Serikat) demokrasi muncul untuk pertama kali dalam pengertian modern. Sejak kesuksesan Revolusi AS pada abad ke 18 M, Revolusi Rakyat AS dalam melawan penjajahan Spanyol dan Inggris selama hampir 260 tahun, sejak itu pula Konstitusi Sosial telah menjadi pijakan demokrasi AS dalam membentuk Nation State-nya. Eropa boleh berbangga karena memiliki tokoh-tokoh pemikir besar seperti Karl Marx, Hegel, Montesquie dan Adam Smith, akan tetapi sejarah membuktikan bahwa hanya di AS pemikiran mereka bisa diterapkan.

Alexis de Tocquiville (pemikir Prancis yang datang ke Amerika Serikat) menjelaskan bahwa demokrasi menjadi kuat dan liberal di AS karena beberapa faktor. Menurutnya, ada tiga faktor yang membuat keunggulan demokrasi AS. Di negeri Eropa ketiga faktor ini tidak ada, dan inilah yang membedakannya dari absolutisme dan anarkisme Eropa. Yang pertama adalah kondisi geografis; AS tidak pernah terdesak karena lahan yang terbatas, AS adalah Negara continental (daratan) yang sangat luas sehingga pada saat demokrasinya tumbuh, AS tidak terdesak oleh keadaan geografis. Sehingga konflik antar Negara tetangga dan rakyatnya jarang terjadi (kecuali konflik antar ras, kulit putih, Indian dan Negroid). Hal ini berbeda dengan Negara-negara Eropa yang memiliki lahan sempit dan bertetangga dekat. Sepanjang sejarah Eropa sekali lagi yang kita lihat adalah sejarah peperangan.
Faktor kedua, adanya pemerintahan lokal. Yang utama dilihat Tocqueville di Amerika adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal, bahwa rakyat AS individual itu tidak sepenuhnya. Satu hal yang patut di cermati bahwa di AS orangtua selalu mengantar anaknya ke sekolah dan mengikuti rapat. Hal ini berlaku umum dan wajar di sana, bahkan aneh kalau orangtua tidak ikut rapat(Mallarangen: 2009.9).

Faktor ketiga yang paling penting. Yakni adat-istiadat dan agama yang muncul pada kaum imigran Amerika saat itu. Partisipasi yang tinggi ini didorong oleh sesuatu hal yakni agama protestan yang puritan. Selain itu, karena kondisi alam yang keras, mereka didorong untuk berani. Ini yang membuat kehendak untuk bebas menjadi sangat kuat. Dorongan untuk bekerja sama dan bekerja keras itu ada. Ini akan ditulis lagi oleh Weber 50 tahun kemudian tentang kapitalisme lahir dari semangat kerja keras protestan.

Tapi Tocqueville lebih awal menjelaskan ini, Agama merupakan salah satu perekat yang universal. Artinya agama adalah suatu counter balance terhadap elemen demokrasi yang suatu saat bisa destruktif dan menghancurkan dirinya sendiri. Amerika mungkin sangat sosial, patriotik—bahkan mungkin lebih dari kita (meski sudah belajar PKN di sekolah). The land of the brave, the land of the free. Tanahnya kaum pemberani, tanahnya kaum yang bebas. Itulah lirik lagu kebangsaan AS yang nampaknya membuatnya menjadi bangsa congkak hari ini.

Deskripsi diatas menjelaskan bahwa Demokrasi Liberal AS adalah demokrasi yang berpijak dan berproses dalam ketiga faktor diatas, pendeknya; demokrasi AS adalah demokrasi yang sepenuhnya bersumber dari basis kesadaran masyarakat bawah, yang sadar akan nasib bangsanya. Sejarah mencatat, Goerge Washintong, Thomas Jeferson dan Abraham Licoln telah menjadi “manusia setengah dewa” memimpin dan membesarkan AS dengan pijakan demokrasi modernd Amerika Serikat.
Bagaimana dengan Majene (demokrasi untuk [si] apa.. ?

Derivasi demokrasi Modernd perjalanan AS diatas pada akhrinya sedang mencari momentum geraknya di Indonesa. Sejak pemilihan umum yang dilaksanakan begitu liberal pada tahun 1955, kemudian demokrasi pancasila pada tahun 1959, demokrasi terpimpin wujud sikap diktator Soekarno berakhir 1966, demokrasi Pancasila tafsir otoritarianisme-fasis gaya Soeharto yang berakhir pada tahun 1998 sampai kembalinya demokrasi pancasila gaya reformasi saat ini, demokrasi selalu berupa produk politik yang dihadirkan oleh para elite (kuasa-modal) yang berjalan melahirkan sistem rekayasa sosial baru, yang tak pernah memberi batasan kekuasaan pada negara untuk rakyatnya. Rakyat Indonesia membutuhkan sebuah negara dan pemimpinnya sebagai Institusi tertinggi yang melindungi kepentingan rakyat, sehingga Konstitusi dan sistem demokarasi adalah keniscayaan untuk membatasi kekuasaan Negara dan para elitenya agar tidak sewenang-wenang pada rakyatnya sebagai konstituante tertinggi.

Di Indonesia dan Majenenya keinginan itu tak pernah terjadi, sebab konstitusi dan demokrasi hanya sebatas alat untuk membagi kekuasaan. Demokrasi Pancasila salah kaprah menjadi alat untuk pembagian kekuasan melalui jalur politik yang tak dipahami oleh rakyat Indonesia dan Majene-nya. Demokrasi pada akhirnya hanya sekedar situasi formal dan penyelesaian prosedur belaka, PEMILU, PILKADA, partai politik, KPU dan atribut politik lainnya itulah demokrasi yang dipahami oleh Rakyat Indonesia.

Lalu bisakah demokrasi melalui pilkada ini melahirkan satu duet “manusia setengah dewa” yang bisa memimpin Majene kemasa depan? Apakah para kandidat Kalma-Massiara, Rizal-Rusbi, A.Syukri- Syahriah, Arifin-Rizal memiliki talenta dan gaya kepemimpinan yang bisa membesarkan Majene, atau mereka hanyalah orang-orang yang memiliki logistik cukup untuk bertaruh nasib dalam pilkada yang lebih nampak seperti casino legal. ini bukan pertanyaan mudah; untuk menjawabnya, kita bisa memulai suatu analisis meminjam pemikiran beberapa tokoh diatas, sehingga kita akan melihat bahwa demokrasi bukanlah the most success system in the world.

Jika kesimpulan Tocquiville bahwa demokrasi adalah suatu keadaan masyarakat; itu berarti demokrasi adalah suatu partisipasi dan kesadaran penuh dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dan penjelasan Tocquiville yang bersumber dari konteks sosial masyarakat AS ini, tak pernah terjadi di Majene. Sebab demokrasi melalui pilkada adalah rekayasa sosial yang datang dari atas (elite) dimana rakyat Majene adalah rakyat yang paling tidak mau berpartisipasi tanpa pamrih untuk negaranya, rakyat yang paling senang dengan janji-janji birokratnya, rakyat yang berpenghasilan rendah dan dalam kondisi ekonomi terbatas, rakyat yang tidak pernah bersatu dan tentunya rakyat yang tak pernah punya kesadaran dan sejarah demokrasi.

Boleh saja demokrasi begitu maju di AS; akan tetapi Majene hanyalah satu kabupaten kecil yang ber-PAD 5 M/tahun(sangat menyedihkan), yang terletak di sebelah barat pulau Sulawesi berada dalam gugus 17 ribu pulau di Indonesia yang kondisi geografisnya berbentuk Archipelago (Negara Kepulauan) berbeda 380⁰ dari AS yang berbentuk Kontinental. Majene hanyalah satu kabupaten yang memiliki lahan sempit dan bertanah gersang yang sulit dan tidak bisa menjadi lahan pertanian maju.

Mayoritas rakyat Majene harus mencari rejeki dengan cara bertarung dengan ombak Selat Makassar yang terkenal ganas, atau pasrah menunggu giliran menjadi PNS, atau yang beruntung bisa berdagang kecil-kecilan, membuka mini-market, bisnis on-line seperti warnet, berdagang pulsa, ber-kontraktor dan usaha jasa lainnya. Dan yang paling penting Majene adalah salah-satu kabupaten termiskin di Indonesia (54,24% bps), hal ini sangat kontras dengan prilaku gaya hidup para birokrat daerah dan legislatifnya yang hidup dalam keadaan mewah, sehingga Majene juga termasuk Daerah yang pejabatnya berpotensi besar melakukan korupsi. Bisakah demokrasi hidup dalam kondisi geografis dan keadaan demografis seperti ini? Bukan tidak mungkin, pasca pilkada Majene akan disibukkan oleh konflik perbutan lahan.

Pemerintahan lokal tak pernah ada di Majene, sebab kita tahu bersama bahwa otonomi daerah dan pemekaran daerah, bukanlah suatu perubahan yang lahir dari kepentingan dan semangat rakyat di arus bawah. Tetapi otonomi daerah dan pemerkarannya sekedar kebijakan yang menguntungkan para elite ketika mereka kalah bertarung dalam power level yang lebih tinggi.

Sejak kerajaan Majannang (kerajaan pertama dan asal Kata nama Majene ) di abad 12 berdiri dan membangun persekutuan dengan Kerajaan Majapahit (pararaton:leiden.43), kemudian pada abad ke 16 muncul Banggae bersama dengan Balanipa dan beberapa kerajaan lainnya membentuk Pitu Ba’ba Binanga yang bersekutu dengan kerajaan Gowa, menjadi Ibu Kota Distrik Afdeling Mandar di Zaman Kolonial Belanda, sampai menjadi Kabupaten dalam rahim Ibu Pertiwi, sejak itu pula rakyat Majene tidak pernah tahu apa itu Negara dan pemerintahan (State and Govermance), mereka hanya tahu bahwa sejak dulu mereka dipimpin oleh para Raja yang bergelar Mara’dia dan Para Pa’bicara yang mengangkat Raja. Dimasa lalu, rakyat Majene percaya bahwa pemimpin mereka adalah pilihan Deata’ (istilah Ketuhanan Mandar Kuno) dan yang paling tahu tentang itu adalah para Pa’bicara keturunan to manurung yang mendapat ilham dari Deata’ untuk mengangkat seorang Raja.

Sampai saat ini kesadaran ini masih mengakar, setiap hari kita masih mendengar banyak orang yang dipangil dengan sebutan Dzaeng/Daeng (pangilan untuk Mara’dia Mandar Kuno) dan Puang (Panggilan untuk Pa’bicara Mandar Kuno), meski kita tahu bahwa mereka yang dipangil itu tak pernah diangkat menjadi Mara’dia dan tak pernah melanjutkan amanah Pa’bicara. Pada akhirnya Feodalisme modern menemukan momennya dan rakyat Mejene tak perlu lagi menunggu pemimpin yang dipilih oleh Deata’; mereka (rakyat Majene) yang tak pernah mengenal apa itu kekuasaan, kepemimpinan, politik, dan pemerintahan, kini punya hak yang sama untuk memilih pemimpinnya, dan semua punya kesempatan menjadi kandidat asal memiliki ambisi dan logistik yang cukup untuk membiayai pemilihannya.

Greand Narasi dan Imagined Community

Melihat kondisi hiostoris dan tipikal masyarakatnya, demokrasi di Majene adalah sebuah fakta yang ahistoris. Demokrasi datang dengan semangat antroposentrisme Eropa yang kemudian menjadi greand narasi (nasrasi besar)_meminggirkan diskursus politik dan kepemimpinan lokal yang telah lama mengakar dalam mind-set masyarakat Majene, dalam kondisi ini, masyarakat Majene (dan Seluruh Indonesia) menerima sistem Demokrasi daratan ala Eropa itu sebagai keharusan agar mereka bisa menjadi masyarakat, dewasa, maju dan modern seperti Eropa. Pada saat bersamaan, mainstream demokrasi yang datang dari kepala Eropa ini, mengunci alam bawah sadar masyarakat sehingga masyarakat Majene berada dalam represi psikotik (Freude: 2004.245) yang membuat mereka percaya sekaligus tidak percaya pada pilkada Majene dalam ruang dan waktu bersamaan. Kedua, masyarakat majene diikat oleh identitas etnis Mandar, namun dalam kehidupan sehari-hari tak pernah ada nilai-nilai kultur Mandar yang mereka jalankan; jika itu persoalan berkelahi, perkawinan dan harga diri_mereka sangat mengaku Mandar, akan tetapi jika itu menyangkut uang, jabatan, gaya hidup, dan image sosial_mereka sudah lupa dengan orang Mandarnya. Keadaan ini-lah yang membuat masyarakat Majene berada dalam kondisi apa yang disebut oleh Derrida de apporia exemplarity dimana masyarakat Majene berusaha melupakan identitasnya yang berkesadaran tradisional dan menggantinya dengan yang lain, sementara kesadaran mereka tak pernah berajak. Pada akhirnya demokrasi bagi mereka hanya untuk kebesaran orang lain. Ketiga, akibat keadaan bawah sadar yang serba tak menentu itu, masyarakat Majene mewujud menjadi orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai “yang lain” (the others) dan “liyan” (Lacan:2003.96) yang tak pernah PD (percaya diri), berpikir apa adanya, wawasan sempit, dan takut akan tantangan, maka apapun yang akan anda perbuat pada Majene hendaknya dipikirkan dulu; sebab masyarakat Majene adalah masyarakat yang paling cepat bosan dengan hal baru, Demokrasi dan Pilkada adalah hal baru, sebentar lagi masyarakat akan segera bosan dengan itu.

Demokrasi modern tak mungkin sukses pada masyarakat yang memiliki limitasi kesadaran seperti ini; sementara kita tahu bahwa Demokrasi Modern lahir dari konteks masyarakat yang sejak awal bebas (anarki) dan tidak diperintah oleh mekanisme kekuasaan apapun (masyarakat AS memiliki konteks ini).

Kondisi historis dan metanarasi inilah yang menjadikan_pilkada selalu menghasilkan konflik horisontal yang berujung pada tidak stabilnya pemerintahan daerah. Sebab asumsi pembangunan daerah tidak berpijak pada prinsip good governance sebagaimana tujuan pilkada. Akan tetapi, sistem pemerintahan daerah lebih jauh menjadi ajang perebutan lahan proyek daerah jangka pendek untuk membagi-bagi kue kekuasaan. Hasilnya, keuntungan akan diperoleh bagi mereka yang mendapat kue lebih, dan yang mendapat jatah kurang atau tidak sama sekali akan berpotensi mengacaukan program-program daerah atau bahkan menggalkannya, hasilnya rakyat yang telah memilih kembali menjadi tak terperhatikan, dan bagi pejabat terpilih pasti bisa melenggang dan memberi alasan klasik “kan masyarakat dah dibayar biar milih saya, sekarang waktunya kembali modal”, rakyat dah diberi haknya “didepan,” sekarang pejabat butuh haknya dipenuhi” itulah fakta yang terjadi. Wajar saja wacana sentaralisasi kebijakan daerah kini mulai bergulir dengan alasan klasik bahwa daerah tidak pernah siap untuk menerima kebijakan otoda.

Itulah pilkada Majene, pilkada yang datang dari elite, oleh elite dan untuk elite juga, masyarakat Majene adalah mereka yang sedang mengalami sindroma imagine community, masayarakat yang membayangkan bahwa mereka sedang dilindungi oleh kepentingan mereka sendiri, padahal itu tak pernah mereka temukan, (Anderson.1999-178) itu hanya terjadi di angan-angan. Hasil pilkada mungkin terlalu cepat mereka rasakan melalui amplop yang berisi duit bernilai Rp 50 ribu, Rp 100 ribu, Rp 150 ribu atau bahkan lebih dari itu. Jika kesadaran, paradigma, dan sikap masyarakat Majene masih dengan mudah dibeli dan tidak selektif dalam memilih, dan begitu mudah terbuai dengan janji-janji politik_maka perubahan untuk Majene tak akan terjadi, sebab para elite yang terpilih akan sibuk menguras uang dari khas daerah melalui KKN sebab merasa kehabisan modal, sementara elite yang kalah akan sibuk membuat kerusuhan dan kekacauan karna merasa bangkrut dikibuli oleh rakyat dan tidak menerima kekalahan, intinya pilkada tak pernah sukses menghadirkan the zoo politichos yang siap kalah dan menang dalam politik_ yang hanya mengenal no Enemmy Permanent and no Freand Permanent. Dan mustahil mengharap hadirnya “manusia setengah dewa” untuk memimpin Majene kedepan. (s)

M. Ma'ruf Muchtar :
Direktur, Lembaga Studi Agama dan Budaya Nusantara (eLSABaN) Tinggal di Majene.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar