Kamis, 24 November 2011

Menjawab Problem Kemiskinan Nelayan di Sulawesi Barat

Catatan Diskusi/Lesehan Mingguan Peco-Peco Kampus

Teks Oleh : Muhammad Arif



Setahun lalu, tepatnya senin tanggal 8 November 2010, digelar acara diskusi/lesehan "Peco-Peco Kampus" di pelataran kampus Universitas Al-Asyariah Mandar, dengan mengangkat topik “Menjawab Problema Kemiskinan Nelayan di Sulawesi Barat”. Kehidupan seputar nelayan dibedah habis dalam diskusi yang berdurasi sekitar dua jam yang menghadirkan narasumber Muhammad Ridwan Alimuddin (penulis dan pemerhati budaya bahari mandar).

Mencuat dalam diskusi tersebut, masyarakat nelayan atau pesisir diasumsikan jauh tertinggal secara ekonomi dengan masyarakat lainnya seperti petani terlebih lagi pedagang. Asumsi demikian berangkat dari pengamatan yang dilakukan oleh narasumber selama menjalani proses riset yang begitu mendalam tentang kemiskinan nelayan. Terkhusus lagi diwilayah pesisir pantai Sulawesi Barat (Sulbar), seperti yang terjadi di daerah Pambusuang Kabupaten Polewali mandar (Polman), dan Salutambung, Kabupaten Majene.

Problem Eksternal dan Internal

Mengapa nelayan di Sulbar miskin? Pertanyaan sederhana namun cukup menggelisahkan dan menjadi perbincangan hangat. Ridwan menjelaskan bahwa sebab utama kemiskinan nelayan disebabkan faktor internal dan eksternal. Pola patron-klien yang begitu menggurita antara nelayan (passawi) dengan majikan (punggawa), adalah satu dari sekian banyak faktor internal yang membuat nelayan hari ini tetap miskin.

Mata rantai ini sangat sulit untuk dihilangkan. Ini terjadi dikarenakan punggawa adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu keperluan semasa berada laut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan.

Situasi ini membuat punggawa (majikan) mematok bunga pinjaman yang begitu mencekik leher para nelayan dan mau tidak mau nelayan harus menerima konsekuensi tersebut. Realitas seperti ini terjadi berulang-ulang, sehingga anak nelayan yang belum dilahirkan pun akan ikut berutang akibat bertumpuknya pinjaman.

Selain itu, sebab internal lain adalah gaya hidup yang cenderung konsumtif (berfoya-foya) hal ini yang mengakibatkan nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Umumnya ketika belum sampai masa paceklik, nelayan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahnya tanpa berpikir untuk berinvestasi untuk kebutuhan jangka panjang. Sehingga kebiasaan untuk menabung ditiadakan. Kondisi lain yang cukup memiriskan, nelayan kerab menggunakan alat tangkap atau peralatan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan racun. Hal ini dikeluhkan oleh Ridwan berpotensi menghancurkan biota-biota dan terumbu karang yang dipahami adalah rumah bagi ikan.

Persoalan tanah juga menjadi masalah pokok bagi nelayan, sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat, berbeda dengan mereka yang hidup didaerah pegunungan. Di daerah pesisir, banyak ditemui kondisi tanah yang tidak layak untuk ditanami karena pengaruh dari air laut. Dan sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yag luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal saja yang dimiliki.

Dan hal yang paling terpenting adalah minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, rata-rata mereka hanya lulus ditingkat sekolah dasar dan paling tinggi tamat sekolah menengah pertama (SMP).

Begitupun halnya ketika kita melacaknya dari segi eksternal, sedikit banyak penyebab kemiskinan ini dikarenakan oleh regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak sepenuhnya berpihak kepada nelayan. Baik itu dari sistem itu sendiri dan juga oknum yang menjalankannya. Sebut saja, bantuan modal dan perlengkapan terkadang tidak tepat sasaran.

Umum diketahui bahwa program-program bantuan pemerintah tidak tepat sasaran dikarenakan kurangnya riset yang dilakukan, dan juga terjadinya political will dari pemerintah. Pelaksanaan pembangunan seharusnya tidak hanya bertumpu di wilayah daratan. Melainkan juga diwilayah pesisir dijadikan sebagai skala prioritas pembangunan, dalam rangka penggalian sumber ekonomi baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional.

Dengan masuknya perusahaan asing untuk mengeksplorasi hasil laut, seperti pengeboran minyak lepas pantai menunjukkan bukti bahwa political will dari pemerintah pusat dan daerah masih memarginalkan masyarakat pesisir. Sehingga nelayan mengalami keterbatasan akses untuk menangkap ikan. Atau dengan kata lain bukan saja kemiskinan struktural tetapi juga merupakan kemiskinan absolut yang dialami oleh para nelayan.

Lembaga Ekonomi Nelayan & Keterbukaan
Pada dasarnya diperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan diatas. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi sosial-ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat pesisir (nelayan) di di salah satu provinsi termuda di Indonesia ini.

Dari hasil sharing lesehan tersebut lahir sebentuk ide dan gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan. Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. Sarana dalam bentuk lembaga ekonomi merupakan sebuah ide yang pas untuk menunjang kehidupan para nelayan. Dengan adanya lembaga ekonomi ini diharapkan akan lebih mempermudah akses bagi pemenuhan kebutuhan para nelayan dan tekhnis pengelolaannya murni untuk kepentingan nelayan.

Lembaga ekonomi ini nantinya yang bertugas membuka akses pasar dalam rangka menunjang pendapatan nelayan. Olenya itu, selain dibentuknya lembaga ekonomi diperlukan pengorganisasian yang matang baik itu nelayan ataupun para istri nelayan guna memberikan pendidikan atau pelatihan sehingga pada gilirannya mereka tidak akan hanya bertumpu pada hasil tangkapan ikan saja, melainkan produk kreatif lainnya.

Dalam studi kasus yang dilakukan oleh narasumber di pesisir utara pantai Jawa, pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir yang ada disana banyak ditopang oleh semakin tumbuhnya industri olahan hasil laut. Contoh: pembuatan kerupuk ikan kemasan yang dikelola oleh para istri-istri nelayan.

Lebih lanjut, lembaga ekonomi yang telah dibentuk mencari pangsa pasar dalam rangka pemasaran produk kripik ikan ini. Dari hasil pemasaran inilah yang kemudian mampu menutupi kebutuhan hidup para istri nelayan selama ditinggal oleh sang suami, disamping penghasilan tambahan lain seperti arisan dan sebagainya.

Oleh karena itu, agar hal seperti ini juga bisa diterapkan di masyarakat pesisir yang ada di Sulawesi barat, dibutuhkan upaya nyata dari semua pihak untuk bagaimana membangkitkan semangat para nelayan untuk dapat keluar dari jaring kemiskinan yang melilitnya. Karena akan sangat sulit jika tidak adanya kerjasama timbal balik, baik itu dari kalangan nelayan ataupun pihak yang merasa peduli dan terpanggil hatinya untuk meringankan beban hidup para nelayan ini.

Peningkatan kehidupan sosial-ekonomi nelayan merupakan kontribusi besar bagi peningkatan kualitas SDM masyarakat nelayan. Dengan kemampuannya dalam mengelola potensi sumber daya alam (laut) maka akan semakin mengurangi problem bangsa terlebih lagi masyarakat miskin yang berada diwilayah pesisir Indonesia dan lebih terkhusus lagi, nelayan-nelayan yang ada di Sulbar.



Muhammad Arif adalah Pendiri Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus
. Sekarang ini aktif mengelola Cafe Baca "Asyariah"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar