Rabu, 23 November 2011

Sikalu- kalulu, Tradisi yang semakin memudar di Mandar

Teks oleh : Herman
Seorang petani di lingkungan Kalimbua timur, kelurahan Batupanga, Kecamatan Luyo bernama pua Munu’ menghela nafas panjang ketika ditanya oleh penulis tentang budaya sikalulu (gotong royong) yang saat ini sudah jarang terlihat di kampungnya. Menurutnya, di tahun 80-an konsep “sikalu-kalulu” yang di lakukan oleh masyarakat masih tetap terlihat. Ini dikarenakan mereka masih menjunjung tinggi nilai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka saat itu.
Orang –orang di Batupanga pada waktu dulu sangat semangat melakukan aktifitas “sikalu-kalulu” (gotong royong) dan mereka rela meninggalkan pekerjaannya sekali dalam seminggu, demi untuk ikut melakukan kerja sukarela seperti kerja bakti di mesjid, membersihkan selokan, dan sebagainya. Ini. tak lain agar kekompakan dalam masyarakat bisa tetap terjaga. Selain itu, agar kampung semakin tentram dan terhindar dari konflik karena terjalin hubungan baik di sekitarnya.
“diolo’ tia ana’, napogau le’ba dua pai tia sikalu-kalulu, andangi sittengang di te’e jarang mi dita (dulu itu nak, gotong royong masih kerap dilakukan, berbeda dengan sekarang sudah jarang kita lihat)” ungkap Pua’ munu’ dengan logat mandarnya yang khas.
Bukan cuma itu saja, Pua munu’ sempat mengatakan “sikalulu” merupakan kegiatan yang membuat masyarakat terasa nyaman, karena itu dilakukan secara ikhlas. Massukke anjoro (mengupas kulit kelapa) misalnya, pada waktu dulu masyarakat akan datang membantu tetangganya meski tidak diminta. Begitu juga ketika ada masyarakat setempat yang membangun rumah, secara berbondong-bondong masyarakat akan menghentikan aktivitasnya dan segera beranjak untuk membantu. Itu semua dilakukan dengan rasa ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun dari orang yang di bantunya tersebut. Meskipun tak jarang, si tuan rumah akan menyuguhkan suguhan makanan dan minuman sebagai bentuk ucapan terima kasihnya kepada orang-orang yang membantunya tadi. Tetapi bukan persolan makanan dan minuman sehingga mereka datang, melainkan rasa ikhlas dalam membantu sesamanya.
Jika mendengar ungkapan orang tua tersebut, sangat sudah jelas betapa pentingnya mengingat dan mengimplementasikan kembali budaya gotong royong yang selama ini mulai punah. Sudah banyak generasi penerus kita, jarang melakukan aktifitas gotong royong, entah mengapa terjadi demikian ? inilah kegagapan kita yang terlalu shock dengan perubahan karena terlalu dipengaruhi oleh arus globalisasi modern yang sangat individual.
Seperti contoh, sudah tidak ada orang yang mau melakukan pekerjaan tanpa imbalan (di bayar dengan uang). Ini menandakan bahwa betapa kuasanya uang yang kemudian membuat orang semakin apatis, dan berwatak materialistis. Sehingga nilai kebersamaan dalam masyarakat di pedesaan semakin jarang saja terlihat. Uang sepertinya mengalahkan segalanya.
Maka jangan heran, kalau sekarang ini orang mulai jarang mengenal satu sama lain, sebab mereka pasti sibuk dengan pekerjaannya masing- masing. Padahal, kalau kita sering melakukan komunikasi itu sangat membuat kita semakin akrab kepada tetangga maupun kerabat. Secara tidak sengaja kita merajut jalinan hubungan harmonis dalam masyakat yang telah diwariskan oleh nenek moyang kita.


Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Al- Asyariah Mandar, dan bergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Saat ini tengah menjalankan kegiatan lesehan mingguan “Peco-Peco Kampus”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar