Selasa, 22 November 2011

Merevitalisasi Pancasila Sebagai Ideologi Negara di Tengah Gempuran Globalisasi

Laporan Diskusi Mingguan Peco-Peco Kampus

Oleh Muhammad Yahya



Upaya yang di lakukan oleh panitia pelaksana diskusi (lesehan) mingguan dalam hal ini Komunitas Diskusi “Peco-Peco Kampus” untuk membangun paradigma mahasiswa terutama dalam pengembangan kapasitas dan ide/gagasan di luar rutinitas perkuliahan saat ini kembali diwujudkan.

Hal tersebut tampak jelas dari upaya untuk kembali meng-eksiskan wadah Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus setelah berhenti (tertunda) akibat tragedy 13 Januari 2011 (eksekusi) di Universitas Al-asyariah Mandar (Unasman).

Pelaksanaan lesehan mingguan yang di gelar pada hari selasa (22/11) di pelataran kampus Unasman merupakan pelaksanaan perdana yang menghadirkan dua panelis yang tentu tidak asing lagi dalam dunia Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sebab kedua narasumber tersebut merupakan mantan pengurus cabang PMII di dua tempat yang berbeda.

Sebut saja Ma’ruf Mukhtarsalah satu mantan pengurus cabang PMII Surabaya Jawa Timur dan sekarang menjabat sebagai Direktur Lembaga Kajian Agama dan Budaya (Elsaban) sulawesi Barat. Dan juga hadir pula Suaib Amin Pranowo mantan ketua cabang PMII Makasaar Sul-sel dan sekarang menjabat sebagai sekertaris Kerukunan Keluarga Mandar Sulawesi Barat (KKM-SB) di Sulawesi Selatan (Sul-Sel).

Kedua narasumber tersebut di daulat untuk membincang tema besar yaitu “Merevitalisasi Pancasila Sebagai Ideologi Negara di Tengah Gempuran Globalisasi” yang di sodorkan oleh panitia pelaksana Peco-Peco kampus.

Abdul Muttalib yang tampil menjadi moderator memberikan gambaran awal bahwa menyimak dan menyaksikan fenomena maupun fakta yang terjadi di negeri ini tentu membincang pancasila sebagai ideology bangsa merupakan sesuatu yang menarik sebab hampir dari lima sila yang terkandung di dalamnya itu bukan sedikit melenceng. Tetapi, terkadang di latar belakangi dalam pengambilan keputusan demi kepentingan politik oleh segelintir orang baik dalam system structural pemerintahan maupun dalam kultur kemasyarakatan. Hal itu mungkin di karenakan akibat kurangnya pemahaman secara mendalam mengenai substansi nilai yang terkandung dalam Pancasila itu sendiri “ tandas Talib.

Otokritik Terhadap Pancasila
Setelah pengantar dari moderator, selanjutnya Ma’ruf Muhtar mengurai falsafah Pancasila melalui pendekatan secara biologis.
Alumni IAIN Sunan Ampel ini kemudian mencoba mengurai tentang sejarah dan latar belakang dari mana sebenarnya manusia Indonesia itu berasal.

Menurut Ma’ruf, bahwa sebenarnya manusia asli Indonesia bukan sebenarnya bersal dari melayu. Melainkan ras asli Indonesia sebenarnya berasal dari Papua. Ia kemudian mencontohkan tentang para pemain sepak bola Indonesia sepertti Okto Maniani, Titus Bonai, dan Patrich Wanggai.

Sahabat-sahabat bisa saksikan, kuatnya pemain-pemain Indoensia yang bersal dari Papua. Mereka-mereka inilah sebenarnya bangsa asli Indonesia, makanya jangan heran, mereka kuat, sigap, cekatan, berbeda dengan suku Melayu yang loyo, pada hakikatnya manusia Indonesia itu kuat dan berani bertarung “ ungkap Ma’ruf.

Lebih jauh, Maruf menjelaskan tentang bagaimana menemukan makna pancasila dalam pola keseharian kita. Dalam pandangannya, dua kata Pancasila dan globalisasi mempunyai masing-masing basis kajian. Globalisasi membincang tentang persoalan ekonomi- politik, sedangkan Pancasila masuk pada tataran ideology.

Tetapi, fakta hari ini nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut tidak diterapkan secara maksimal. Contoh sederhana saja, coba kita bertanya kepada anak-anak SD, SMP atau mungkin juga SMA mereka mungkin mampu menuturkan dengan lisan dari sila satu sampai dengan sila ke lima.

Kemudian, jika ditanya mengenai apa pemaknaan Pancasila sudah barang tentu sangat sedikit yang mampu memaknainya.
Intinya adalah bagaimana kita memaknai seluruh isi yang terkandung dalam Pancasila dengan realitas yang menimpa Indonesia hari ini. Terlebih, dengan semakin banyaknya fakta-fakta penggerusan nilai Pancasila yang menggunakan instrument agama, ras, suku, dan kemudian berujung pada munculnya konflik baikn itu yang bersifat vertical maupun horizontal sehingga mengancam kebhinekaan yang selama ini telah terajut dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Berbeda dengan apa yang di ungkapkan oleh Suaib yang merupakan panelis Ma’ruf. Pancasila hari ini, hanya diterima sebagai ideologi tetapi dalam pengimplementasian tidak. Kenapa demikian karena apa yang di pertontonkan oleh pemerintah, pemuda dan masyarakat sangat menyimpang dari nilai pancasila itu sendiri.

“ membincang masalah Pancasila adalah persoalan yang basi, karena itu hanya akan berujung pada stress, sebab setengah mati kita mengomandangkan pancasila sebagai ideology tetapi penginplementasiannya kita sendiri yang mengingkari”. Ungkap Suaib.

Konsep Pancasila
Berbicara mengenai konsep Pancasila yang mengandung lima sila dan upaya penerapan kandungan pancasila ke dalam pola interaksi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan pemahaman kebhinnekaan, itu berarti kita akan di perhadapkan pada berbagamacam persoalan atau pertentangan.

Seperti sila pertama yaitu ; Ketuhanan yang Maha esa, dari sila ini berarti kita harus mampu menerima dengan realitas yang ada. Bahwa, konsep pemahaman suatu kelompok menyangkut tentang Ketuhanan itu berbeda-beda. Sebab, jumlah agama yang resmi dan di resmikan pemerintah kita itu ada lima. Dari kelima agama ini tentu memiliki konsep keTuhanan dan ke yakinan yang berbeda.

Dari pernyataan tersebut sudah jelas bukan sebagai rujukan untuk tidak melakukan diskriminasi dengan upaya penyeragaman keyakina yang menyangkut tentang teology. sebab berbicara tentang teology itu erupakan hak setiap orang yang tidak bisa di gugat (di paksa memeluk suatu agama yang kita yakini.

Tetapi kenyataan yang terjadi, ketika konsep pemahaman suatu kelompok tidak di terima oleh masyarakat dengan alasan memiliki keyakinan yang berbeda maka kelompok yang mengupayakan penyeragaman ideology mulailah dengan aksi radikal dengan cara pengeboman, terror atau yang menyangkut tentang radikalisasi agama lainnya. Pemikiran seperti inikan sudah sangat jelas bertolak dari sila pertama. Begitupun dengan sila berikutnya yang selalu menyimpang dari substansi nilai yang di kandung oleh pancasila sebagai ideology.

Penulis teringat dengan materi Seminar Sehari yang di selnggarakan The Sahabuddin Institute beberapa minggu yang lalu di rutan polis wonomulyo Pol-man. Pada waktu itu K.H Syibly Sahabuddin mengemukakan bahwa ada dua teori yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan.

Pertama, teori antropologi, teori ini menjelaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia itu di sebabkan oleh “gen” yang ada dalam tubuh manuaia itu berbeda-beda. Kemudian teori kedua adalah, teori “dosa asal” teori ini menjelaskan bahwa perbedaan yang terjadi pada manusia adalah factor “dosa asal” bukan “gen” karena kita semua berasal dari “gen” yang sama, yaitu dari Adam.

Dari kedua gambaran teori tersebut maka sudah sangat jelas bahwa setiap manusia akan memiliki latar belakang yang berbeda. Dari penyataan inilah yang harus kita pahami dalam konsep ketuhanan yang termuat dalam sila perta tadi.

Tetapi yang terjadi adalah sebagian orang Indonesia, tidak mempersoalkan kenapa kita berbeda tetapi yang terjadi adalah kekejaman melihat perbedaan. padahal perbedaan itu merupakan sunnatullah yang sangat tidak wajar ketika manusi ingin mengubahnya,satu lagi yang menjadi referensi penulis dalam memetakan konsep perbedaan. bahwa. Penyebab kehancuran nilai NKRI, Bhineka Tunggal IKA, Undang-Undang dan Pancasila adalah ketika kita tidak mampu menerima segala perbedaan antara satu etnik, agama,dan budaya lain. Kesimpulannya “kita lahir akibat faktor perbedaan”


Penulis adalah Mahasiswa pada jurusan Bahasa Indinesia (FKIP) Unasman, juga tercatat sebagai Warga PMII Pol-Man. Saat ini aktif di Cafe Baca Asyariah dan Komunitas Diskusi Peco-Peco Kampus.

1 komentar: