Rabu, 23 November 2011

Tumpang Tindih Regulasi Vs Eksistensi Masyarakat Adat

Laporan : Muhammad Arif


Senin Tanggal 10 Juli 2011 lalu, bertempat di Alauddin University Hotel Makassar, dilaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) dan Universitas Al-Asyariah Mandar (Unasman) dengan mengusung tema “Posisi Masyarakat Adat dalam Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam”.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Rektor Universitas Al- Asyariah Mandar Dra. Hj. Chuduriah Sahabuddin. Msi, serta arahan dari staf sekretariat Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, yaitu Ridwan, SH.MH. FGD ini dipandu oleh fasilitator Muhammad Subair Sunar, dibantu oleh Tim Perumus lainnya, yakni Aco Dahrul Saharuddin dan Rezki Azis, ketiganya berasal dari civitas akademika Unasman.

Focus Group Discussion ini dilaksanakan dalam dua sesi, pertama; sesi presentasi narasumber. Dan kedua; sesi diskusi dan ekplorasi. Sesi presentasi narasumber dilakukan oleh dua orang, yakni Kepala Bappeda Provinsi Sulawesi Barat dan Zaldi Razak (Pengurus Aliansi Masyarakat Adat Sulawesi Selatan). Saat itu juga hadir Muhammad Arif (Pimpinan Redaksi LENSA 04 Unasman) yang bertindak sebagai notulis.

Peserta yang mengikuti kegiatan Focus Group Discussion ini dihadiri salah satu komunitas adat yang ada di Sulawesi Barat yaitu dari komunitas masyarakat adat Ongko Campalagian Polman. Serta beberapa aktivis LSM seperti dari Komisi Pembaruan Agraria Sulawesi Selatan (KPA-Sulsel), Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Sulsel, Komisi Anti Kekerasan (Kontras), Akademisi Unasman dan dari pers yaitu Seputar Indonesia (SINDO) . Tercatat dalam daftar hadir berjumlah 30 orang.

Pada sesi pertama, pemaparan ketua Bappeda, hanya dibacakan makalah yang dikirimkan karena yang bersangkutan tidak dapat hadir. Beberapa point , materi yang dipaparkan adalah; Konsep MP3I (Master Plane Perencanaan Pembangunan Ekonomi Indonesia), dimana Provinsi Sulawesi barat berada dalam lanskap pengembangan perkebunan kakao, perikanan, gas alam dan nikel.

Hal lain yang dipaparkan adalah beberapa potensi Pengelolaan Sumber Daya Alam (selanjutnya PSDA) yang ada di Sulbar yang bisa dikembangkan diantaranya Potensi Listrik Tenaga Air (PLTA) pada sungai Karama di Mamuju, potensi hutan dan beberapa potensi tambang serta potensi lainnya. Beberapa potensi tersebut telah dikeluarkan ijin pengelolaannya dan beberapa lainnya belum ada ijin pengelolaannya.

Pada sesi kedua, Zaldi Razak (Ketua AMAN Sulsel) memaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan eksistensi masyarakat adat berhadapan dengan PSDA. Beberapa point penting yang dipaparkan adalah Apa itu AMAN ? Sejarah dan perkembangan gerakannya ? Eksistensi Masyarakat Adat (MA), serta jumlah keanggotaan masyarakat adat yang sudah diregistrasi oleh AMAN.

Poin penting lain yang dipaparkan adalah tumpang tindih regulasi yang berkaitan dengan PSDA dan eksistensi Masyarakat Adat. Dalam paparannya juga disampaikan fakta-fakta PSDA yang merugikan masyarakat adat.

Lebih lanjut lagi, Zaldi Razak dalam presentasenya mengangkat kondisi faktual masyarakat adat dari sabang sampai merauke. Mulai dari persebaran masyarakat adat yang berjumlah 1.163 se nusantara, 242 komunitas di Sulawesi Selatan, 66 komunitas di Sulawesi Barat. Beberapa entry point juga dipaparkan dalam materinya, terutama mengenai hak-hak masyarakat adat dalam konvensi Internasional dan nasional, yang seringkali dilabrak oleh kolusi pemodal dengan pihak birokrasi yang mengejar keuntungan ekonomi semata. Banyak pula study kasus yang dimunculkan dalam pemaparan Zaldi Rasak seperti kasus PT. LONSUM (London Sumatera) yang mencaplok tanah komunitas adat Kajang di Bulukumba dan kasus Towani Tolotang di Sidrap. Setelah kedua narasumber melakukan presentasi kemudian dilakukan klarifikasi atas materi serta diskusi tersebut.

FGD dimulai pada saat fasilitator meminta kepada peserta yang berasal dari masyarakat adat di desa Ongko Kecamatan Campalagian, untuk menceritakan berbagai pengalaman yang dialaminya. Masyarakat adat Ongko yang diwakili beberapa tokoh perwakilan yakni Daaming S.Ag dan Saur Mannannungang, kemudian menceritakan kasus tambang emas yang rencananya akan di kelola oleh konsorsium PT. Malindo.

Modus Operandi yang terjadi bahwa konsorsium ini telah melakukan penandatanganan Memorandum of our Standing (MOU) dengan pihak Pemerintah daerah (Pemda) Polewali Mandar di ruang pola kantor Bupati. Hal tersebut tanpa sepengetahuan masyarakat di desa Ongko dan sekitarnya. Setelah mengetahui rencana tersebut, masyarakat ini kemudian berinisiasi untuk mempertanyakan ke pihak DPRD Polewali Mandar. Tetapi, saat itu pihak DPRD tidak menfasilitasi keinginan mereka.

Ditambahkannya lagi, tercatat dua kali pihak PT. Malindo dengan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Polman mengambil sampel (eksplorasi) emas mentah dan totalnya berjumlah 40 karung.

Peristiwa serupa hampir mirip dengan kejadian yang menimpa salah satu masyarakat adat yang ada di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Fakta itu diungkapkan oleh Accung salah satu perwakilan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan.

Menurutnya, modus operandi yang dilakukan oleh pihak investor yang juga bekerja sama dengan pihak Pemda Sinjai adalah tak lain mengkriminalisasi masyarakat adat dengan cara mempidanakan mereka (baca; MA) karena dituduh menempati hutan lindung tanpa seizin pemerintah. Ironi, sebab tak berselang lama pihak investor dalam hal ini Bakri Group secara tiba-tiba mengambil alih tanah yang diklaim sebagai kawasan hutan lindung tadi.

Ada beberapa dampak yang dikhawatirkan terjadi seandainya betul-betul kawasan adat Ongko ini jadi lahan pertambangan.

Pertama, akan terjadi pencemaran sungai, apalagi sungai tersebut selain ditempati untuk mandi, mencuci, dsb. Di sana dijadikan pula sebagai tempat ritual mandi adat dalam setiap tahunnya dan itu masih berlangsung sampai sekarang.

Kedua, situs-situs sejarah dan budaya seperti kuburan-kuburan tua akan terancam kelestariannya. Masyarakat mengkhawatirkan akan terjadi penggusuran karena berada pada landscape pertambangan.

Ketiga, masyarakat setempat juga mengkhawatirkan keberlangsungan pekerjaan mereka sebagai petani akan terganggu. Mengingat, tanah dan perkebunan coklat juga berada pada lokasi penambangan.

Keempat, akan terjadi ketimpangan sosial antara masyarakat adat dengan masyarakat sekitar karena alat produksi mereka yaitu tanah terampas oleh investor dalam hal ini konsorsium PT. Malindo.
Berkaca dari realitas tersebut, dalam proses diskusi muncul dua pertanyaan mendasar.

1. Mengapa masyarakat adat termarginalkan ?
2. Mengapa pemerintah memarginalkan ?

Kemunculan kedua pertanyaan ini, menimbulkan beberapa opsi jawaban yang beragam. Accung misalnya berpendapat bahwa secara politik masyarakat adat lemah dikarenakan minimnya pengakuan atas keberadaan mereka. Terutama legitimasi dari pemerintah. Hal ini terbukti dengan semakin sedikitnya produk kebijakan (regulasi) yang dikeluarkan ternyata tidak sepenuhnya berpihak terhadap masyarakat adat.

Selain itu, ada juga yang beranggapan bahwa konvensi hukum adat tidak sepenuhnya bisa di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari yang mengakibatkan melemahnya eksistensi dan identitas masyarakat adat itu sendiri, serta dukungan eksternal terhadap perjuangan masyarakat adat melemah. termasuk ritual dan upacara adat yang berkaitan dengan hak-hak kepemilikan adat secara komunal.

Lebih jauh lagi, ada juga peserta yang mengemukakan bahwa seringkali masyarakat adat dilemahkan dalam sengketa PSDA terutama pada delik hukum yang sering muncul pada obyek perkara, biasanya hanya berkutat pada aspek perdata. Padahal, dari sisi pidana inilah masyarakat selalu dikorbankan.

Zaldi Razak juga sempat menyinggung tentang lemahnya para birokrasi dan aparat penegak hukum dalam memahami masyarakat adat baik secara sosiologis maupun secara yuridis formal.

Pertanyaan kedua, mengapa negara (pemerintah) memarginalkan masyarakat adat ?
Mencuat dalam diskusi tersebut, bahwa fenomena yang menyebabkan sehingga pemerintah mempunyai cara pandang demikian adalah adanya politik dan tumpang tindih kebijakan PSDA. Artinya terjadinya ego sektoral karena tidak adanya payung hukum jelas yang mengatur tentang PSDA itu sendiri sebagai turunan dari TAP MPR No 21.

Lebih lanjut, anomaly (kontradiksi) antara Undang-undang PSDA yang menganut hukum positif seringkali mengabaikan nilai yang tercantum dalam UU NRI 1945, dan abai pada konvensi yang ditetapkan oleh masyarakat adat. Undang- Undang PSDA terlalu menghamba pada arus globalisasi yang sangat kapitalistik dan sarat persekongkolan (oligarki).

Selain itu, cara pandang pemerintah keliru dalam memaknai pasal 33 ayat 1 yang berbunyi” Bumi dan air dan seluruh kekayaan alam didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Kata “dikuasai” ini sering disalah tafsirkan oleh pemerintah sehingga membentuk pola fikir yang dangkal dengan mendiskreditkan masyarakat adat.

Sebelum FGD diakhiri, salah seorang peserta dari komunitas masyarakat Buku yakni Suardi yang menambahkan tentang terjadinya restrukturisasi kebijakan pemerintah yang sangat tidak berpihak terhadap masyarakat adat. Ini disebabkan oleh perumusan Undang-undang tentang Penanaman modal asing (UU PMA tahun 1967-1968) yang melibatkan perusahaan-perusahaan asing. UU inilah kemudian yang dijadikan pemerintah sebagai alat legitimasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar